PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM
Karya: Kho Ping Hoo
Pada tahun 870 sampai 873 rakyat Tiongkok menderita hebat sekali karena buruknya pemerintah yang dipegang oleh Dinasti Tang. Pembesar-pembesar dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terendah sampai yang tertinggi, semua melakukan korupsi besar-besaran, hingga tenaga dan harta benda rakyat diperas habis-habisan.
Di antara sekalian pembesar-pembesar koruptor tinggi, kaum Thaikam (orang kebiri) yang paling hebat menjalankan peranan. Mereka ini tidak saja berpengaruh di dalam istana kaisar, tapi meluas sampai keluar hingga boleh dibilang, semua pembesar militer dan sipil berada dalam genggaman tangan mereka. Lebih dari setengah bagian dari pada seluruh tanah di ibukota dikuasai oleh para Thaikam ini.
Para petani, atau lebih tepat disebut buruh tani, bekerja di atas tanah tuan-tuan besar ini melebihi kerja seekor kerbau. Sedangkan para petani yang memiliki sedikit tanah, dikenakan pajak yang sangat tinggi. Untuk tiap mou sawah, seorang petani harus membayar pajak dari 50 sampai 100 kati gandum.
Tentu saja ini merupakan delapan bagian dari pada hasil tanah mereka. Apalagi ketika dalam tahun 873 di daerah Shantung dan Honan terserang musim kering yang hebat, sedangkan pajak yang telah ditetapkan itu sama sekali tidak berubah atau dikurangi. Celakalah nasib kaum tani. Siapa yang tidak kuat membayar pajak sebagaimana yang telah ditetapkan, dihukum berat.
Hukuman yang paling ringan adalah hukum cambuk lima puluh kali. Tapi hukuman yang disebut paling ringan inipun sering mengantar nyawa seseorang ke alam baka, karena siapakah yang kuat menahan pukulan cambuk besar sampai lima puluh kali, sedangkan tubuh yang dicambuk itu telah begitu kurus kering karena kurang makan?
Ada nasehat-nasehat kuno yang menyatakan bahwa rakyat jelata akan tunduk dan menurut apabila perut mereka kenyang, maka kenyangkanlah dulu rakyat jelata jika menghendaki Negara tenteram dan aman. Pada tahun 874, terbuktilah betapa tepatnya kata-kata itu.
Para petani yang terjepit dan menderita dengan perut kosong, tak dapat bertahan lagi dan menjadi nekad. Maka pecahlah pemberontakan pertama di Cang-yuang (Shantung) yang dipimpin oleh Ong Sien Ci, dan pemberontakan ini didukung oleh hampir seluruh rakyat kecil. Pada tahun berikutnya, rakyat di Coa-chau memberontak pula, dipimpin oleh seorang patriot bernama Oey Couw.
Empat tahun kemudian, Ong Sien Ci tewas dalam sebuah pertempuran melawan tentara kerajaan Tang di Hupeh. Akan tetapi dalam sesuatu revolusi suci, tewasnya seorang dua orang, bahkan ratusan atau ribuan orang, tak menjadi soal dan sama sekali takkan memadamkan api revolusi yang menggelora. Mati satu maju dua, gugur seratus maju seribu.
Demikianlah, setelah Ong Sien Ci tewas, Oey Couw segera menggantikan dan memegang pimpinan atas barisan pemberontak yang berjumlah tidak kurang dari enam puluh laksa orang. Oey Couw yang gagah perkasa menjalankan taktik gerilya di sepanjang propinsi Hupeh, Kiangsi, Cekiang dan An hwei lalu memutar dan kembali ke Honan, hingga dalam operasinya ini, Oey Couw telah melakukan semacam 'long march' yang jauhnya sepuluh ribu li lebih.
Akhirnya, berkat semangat para tentara rakyat yang gigih melawan tentara Tang yang hanya pandai menerima suapan dan sogokan serta merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang itu dapat dipukul hancur.
Kaisar Tang melarikan diri mengungsi ke Secuan dan pasukan petani memasuki ibukota Cang-an, disambut oleh penduduk dengan gembira dan penuh harapan.
******
Untuk beberapa hari semenjak tentara petani berhasil mengalahkan kerajaan Tang, di kampung-kampung dan dusun-dusun orang mengadakan perayaan dengan tari-tarian, hingga keadaannya di mana-mana meriah seperti di waktu orang merayakan hari tahun baru. Para petani kini bebas mengerjakan sawahnya tanpa kuatir membayar pajak yang tidak semestinya itu. Para buruh juga mendapat harapan baik, tenaga mereka tidak diperas seperti kerbau.
Pada suatu pagi, di antara banyak orang yang kesemuanya adalah orang biasa yang mengenakan pakaian petani dan pengemis, tanda dari buruk dan miskinnya keadaan rakyat jelata pada waktu yang lalu, nampak dua orang keluar dari pintu gerbang ibukota Cang-an.
Seorang di antara mereka ini telah berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan terpelihara baik-baik, dan wajahnya nampak merah dan sehat. Orang kedua adalah seorang pemuda yang berusia paling banyak tujuh belas tahun dan berwajah tampan sekali. Keduanya mengenakan pakaian petani dan kepala mereka terlindung oleh caping (topi petani yang lebar dan terbuat dari pada bambu).
Di punggung yang tua terikat sebuah bungkusan bundar besar, sedangkan yang muda memanggul sebuah bungkusan kecil panjang dari sutera kuning. Tak seorang pun memperhatikan kedua orang petani ini, kecuali, orang-orang perempuan yang kebetulan melihat mereka karena tertarik dan kagum akan kegantengan pemuda petani itu.
Orang-orang sedikit pun tak menyangka bahwa mereka ini bukanlah sembarangan orang, akan tetapi adalah seorang Pangeran dan anaknya. Orang tua itu adalah Pangeran Liu Mo Kong yang tadinya menjabat pangkat kepala bagian perbendaharaan kaisar.
Berbeda dengan pembesar-pembesar lain, Pangeran yang menjadi ahli kesusasteraan dan juga memiliki kepandaian silat tinggi ini, tidak ikut menggila seperti yang lain dan hatinya tetap bersih. Bahkan diam-diam ia merasa tidak senang melihat keburukan-keburukan yang terjadi di lingkungan istana. Akan tetapi, ia seorang diri tentu saja tidak berani menentang para Thaikam yang sangat berpengaruh itu.
Selain memiliki kepandaian sastera yang tinggi, Liu Mo Kong juga memiliki kesabaran dan kekuatan batin yang sungguh-sungguh luar biasa. Hal ini terbukti ketika terjadi peristiwa yang sangat ganjil dan memalukan.
Beberapa belas tahun yang lalu, ketika isteri Liu Mo Kong mengunjungi permaisuri, kaisar telah melihatnya dan jatuh cinta kepada isteri Pangeran ini. Ketika itu, isteri Liu Mo Kong telah setahun lebih melahirkan seorang anak dan nyonya Liu ini memang sangat cantik lagi masih muda, belum lebih dari pada dua puluh tahun usianya. Sedangkan Liu Mo Kong ketika itu telah berusia tiga puluh lima tahun.
Nyonya Liu ini adalah puteri seorang hartawan dari selatan dan terkenal sekali karena kecantikannya. Dan pertemuan ini lalu disambung dengan pertemuan lain, karena kaisar memang masih muda dan mata keranjang. Dengan bujukan-bujukan halus maka runtuhlah iman nyonya Liu hingga ia mengadakan perhubungan gelap dengan kaisar lalim itu.
Ketika Pangeran Liu Mo Kong mendengar tentang ketidak setiaan isterinya, biarpun di dalam hatinya ia merasa malu, marah, dan kecewa tercampur sedih yang menghancurkan hatinya, namun ia dapat menekan perasaannya itu dan bahkan lalu menceraikannya.
Semua pembesar mengetahui hal ini, akan tetapi tak seorang pun yang berani membuka mulut. Tidak saja mereka takut kepada kaisar, akan tetapi juga takut untuk menyinggung perasaan dan kehormatan Liu Mo Kong yang perkasa.
Anak tunggal Liu Mo Kong adalah seorang wanita dan diberi nama Liu Yang Giok. Anak ini semenjak berusia satu tahun lebih telah ditinggalkan ibunya, akan tetapi karena sayangnya kepada anak ini, Liu Mo Kong tidak mau kawin lagi dan tinggal menduda sampai Yang Giok menjadi dewasa. Ia memberi pelajaran kesusasteraan dan ilmu silat yang tinggi kepada puterinya ini.
Pada waktu tentara kaum tani menyerbu dan menduduki ibukota, Liu Mo Kong mengajak puterinya pergi meninggalkan istana. Biarpun dia menjadi kepala bagian bendahara raja, namun ia tidak mau membawa barang-barang istana, kecuali sebatang pedang, karena menurut kepercayaan keturunan raja-raja dulu, pedang inilah yang menjadi bukti dan yang mengesahkan kedudukan raja yang memerintah di daratan Tiongkok, di antara pusaka-pusaka keraton lain. Pedang ini adalah pedang Thian Hong Kiam.
Demikian, maka pada hari itu, Liu Mo Kong menyamar sebagai petani dan puterinya yang telah menjadi gadis remaja itulah yang menyamar dan berpakaian sebagai seorang pemuda tani tampan. Yang Giok memanggul bungkusan pakaiannya, sedang pedang Thian Hong Kiam juga berada dalam bungkusan itu. Dan ayahnya memanggul barang-barang berharga milik mereka sendiri.
Karena ayah dan anak ini tidak mempunyai keluarga lain, maka mereka meninggalkan istana dengan hati lapang. Mereka sengaja tidak mau ikut kaisar melarikan diri ke Secuan, dan ketika kaisar dan sekalian hambanya melarikan diri dengan tergesa-gesa ke Secuan, Liu Mo Kong mengajak anaknya bersembunyi, setelah berhasil mencuri pedang pusaka Thian Hong Kiam.
Kedua ayah dan anak itu keluar dari pintu gerbang ibukota tanpa mendapat gangguan. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di istana terjadi keributan karena Oey Couw pemimpin pemberontakan itu telah mengetahui bahwa pedang Thian Hong Kiam telah lenyap.
Dari para penyelidiknya ia mendengar bahwa Pangeran Liu Mo Kong tidak ikut pergi mengungsi dengan kaisar dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan istana itu. Maka ia segera memerintahkan seorang panglimanya membawa barisan mengejar Pangeran Liu Mo Kong itu.
Sementara itu, Liu Mo Kong dan Liu Yang Giok telah pergi jauh meninggalkan kota raja. Yang Giok bernapas lega dan berkata, “Ah, untung tak seorang pun mengenali kita, ayah. ”
Akan tetapi, Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepala, “Betapapun juga, kita harus berlaku hati-hati. Ingat, anakku, apabila sampai terjadi sesuatu, jangan kau hiraukan aku bawalah pedang itu pergi jauh-jauh dan kau harus pergi ke selatan. ”
“Takkan terjadi sesuatu kepadamu, ayah.”
“Mudah-mudahan begitu, akan tetapi, kita harus berhati-hati. Kau tentu masih ingat pesanku kemarin?”
Gadis itu mengangguk. “Aku harus pergi ke kota Siu-bi-koan di propinsi Honan.”
“Benar, di sana carilah keluarga Nyo Seng Hwat dan tuturkan semua kepada keluarga Nyo.”
Tiba-tiba wajah yang cantik itu memerah. Memang semenjak kecil ia telah dipertunangkan dengan putera Nyo yang bernama Nyo Liong. Akan tetapi ia belum pernah bertemu muka dengan pemuda tunangannya itu.
Ketika ayah dan anak ini berjalan cepat menjahui kota raja, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda mendatangi arah mereka.
“Hati-hati, Yang Giok, dan ingat pesanku.” Kata Liu Mo Kong kepada anaknya. Yang Giok mengangguk dan dadanya berdebar.
Barisan berkuda itu datang menimbulkan debu tebal. Tiba-tiba pemimpinnya berhenti dan memerintahkan anak buahnya berhenti pula. Ia adalah seorang panglima setengah tua yang nampak sangat gagah. Ketika melihat dua orang petani itu berdiri memandang mereka, panglima ini segera menghampiri dan bertanya dengan suara manis budi.
“Maaf lopeh. Apakah kau pernah melihat seorang Pangeran tua dengan puterinya lewat di sini?” Sambil berkata demikian, sepasang mata panglima itu dengan tajam menatap wajah mereka.
Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba panglima itu berkata, “Jangan kau marah, lopeh, terpaksa aku akan memeriksa buntalan-buntalan kalian itu, karena aku mendapat tugas mencari dua orang yang melarikan diri. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu menyamar sebagai petani-petani.”
“Kami petani-petani biasa, apa perlunya ciangkun mengganggu?” kata Liu Mo Kong dengan berani. “Bukankah kita sama-sama petani dan rakyat kecil?”
Kata-kata ini membuat panglima itu tertegun dan ia tidak dapat segera melakukan niatnya karena merasa ragu-ragu. Akan tetapi, ketika Liu Mo Kong berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya, panglima yang berpemandangan tajam itu melihat betapa telapak tangan Liu Mo Kong berkulit putih bersih dan halus, sama sekali bukan tangan seorang petani yang seharusnya kasar dan berkulit tebal. Maka ia segera memberi perintah, “Tangkap mereka ini!”
Karena tahu bahwa rahasianya terbuka, Liu Mo Kong lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di bawah jubahnya yang panjang, lalu berteriak kepada Yang Giok.
“Pergilah kau, tunggu apa lagi?”
“Ayah ... .” gadis itu ragu-ragu tidak tega meninggalkan ayahnya.
Sementara itu panglima yang memimpin barisan itu dengan girang berkata, “Bagus kalian tentu Pangeran dengan puterinya itu! Hayo tangkap!” Ia sendiri lalu mencabut goloknya dan menyerbu.
Liu Mo Kong memutar pedangnya dan menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh beberapa belas orang tentara yang memiliki kepandaian lumayan juga. Yang Giok hendak membantu, akan tetapi ayahnya membentak, “Lekas pergi! Kau hendak membantah?!”
Dengan mengucurkan airmata, Yang Giok terpaksa melompat mundur kembali dan melarikan kakinya secepat mungkin.
“He ... . . tahan ... jangan lari!” Panglima itu berteriak dan hendak mengejar, akan tetapi pedang Liu Mo Kong menghalanginya dan karena gerakan pedang Pangeran itu hebat dan cepat, maka terpaksa panglima itu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Pangeran tua ini.
Lima orang perajurit lalu memacu kuda mengejar Yang Giok. Akan tetapi, sambil berlari Yang Giok mengayunkan tangannya dan dua orang pengejarnya roboh karena piauw (senjata rahasia yang disambitkan) gadis yang jitu itu. Tiga orang pengejar lainnya berlaku hati-hati hingga ketika piauw dari Yang Giok menyambar lagi, mereka dapat mengelakkannya dengan membungkuk rendah-rendah di atas punggung kuda mereka.
Setelah mereka tiba di dekat Yang Giok, ketiganya lalu meloncat turun dan mengepung dengan senjata masing-masing. Akan tetapi Yang Giok memiliki gerakan yang cepat dan gesit sekali. Ia menyambut seorang pengeroyok dengan sebuah tendangan kilat hingga orang itu kena tendang lututnya dan roboh sambil meringis-ringis dan tak kuasa bangun lagi.
Ketika dua orang yang lain maju menyambar dengan golok mereka, Yang Giok mengelak dengan sebuah lompatan jauh dan sebelum kedua orang itu dapat mengejar, tahu-tahu gadis itu telah meloncat ke atas seekor kuda mereka dan melarikan binatang itu cepat-cepat.
Sambil berteriak-teriak kedua orang itu menaiki kuda mereka dan mengejar, akan tetapi Yang Giok yang sengaja memilih kuda terbaik sudah pergi jauh sekali, hingga akhirnya kedua pengejar ini terpaksa kembali ke tempat di mana Liu Mo Kong dikeroyok.
Pangeran tua ini memang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi dia tak mau menjatuhkan tangan kejam kepada para perajurit yang mengeroyoknya. Karena maksudnya hanya hendak menghalangi mereka mengejar Yang Giok. Ketika melihat bahwa para perajurit yang mengejar Yang Giok itu kembali dengan tangan kosong, Liu Mo Kong lalu berkata kepada panglima tadi.
“Sudahlah, aku menyerahkan diri! Kini tangkaplah!” Ia lalu melempar senjatanya dan iapun segera diikat kedua tangannya. Orang tua ini dengan bungkusannya yang besar lalu dibawa kembali ke kota raja dan dihadapkan kepada Oey Couw.
Oey Couw adalah seorang perwira yang tahu juga bahwa Pangeran tua ini berbeda dari pada kebanyakan pembesar yang korup, maka ia lalu membuka sendiri belenggu yang mengikat tangan Liu Mo Kong.
“Maafkan kalau kawan-kawanku berlaku kasar kepadamu, Pangeran Liu,” katanya.
Liu Mo Kong memandang kepada pemimpin besar ini dengan kagum. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, kecuali, “Oey sicu, aku merasa kagum akan pergerakanmu yang berhasil ini. Harus ku akui bahwa pemerintah Tang kurang bijaksana dan tidak pandai memerintah rakyat, oleh karena itu, tak heran bahwa ia kehilangan kedudukannya. Akan tetapi, betapapun juga aku adalah seorang anggota kerajaan Tang dan sekarang aku telah tertangkap, kini terserah kepadamu!”
Oey Couw tersenyum. “Kami tidak bermaksud buruk terhadapmu, karena kami pun bukanlah orang-orang buta yang tak dapat membedakan mana lawan mana kawan. Kami hanya mohon supaya kau suka mengembalikan pedang pusaka Thian Hong Kiam, karena pedang itu harus disimpan di dalam istana ini.”
Liu Mo Kong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu apa-apa tentang pedang itu.”
Oey Couw maklum bahwa Pangeran tua ini masih bersikap kukuh dan percaya akan tradisi lama, maka ia tidak mendesak lebih jauh.
“Biarlah, kalau kau menghendaki pedang itu, kami tidak membutuhkannya. Bukan segala macam pusaka yang mendatangkan kebaikan kepada sesuatu pemerintah, akan tetapi kebijaksanaan para pelaksananya. Sekarang kami harap tuan suka tetap tinggal di sini dan menjadi penasehat kami karena betapapun juga, kau lebih tahu akan segala peraturan pemerintah.”
“Terima kasih, sicu. Kau memang benar pahlawan dan berpemandangan luas. Akan tetapi, biarpun pemerintah yang lalu buruk dan tidak mampu, aku tetap adalah seorang hamba yang setia hingga tak pantas bagiku untuk membantu kalian yang betapa pun juga adalah pemberontak!”
Oey Couw tidak menjadi marah, akan tetapi sikapnya berubah dingin. “Kalau begitu, kau yang menentukan nasibmu sendiri Pangeran!” Pemimpin ini lalu memerintahkan anak buahnya untuk memasukkan Pangeran Liu dalam penjara, dengan pesan supaya mereka melayani Pangeran tua ini baik-baik dan jangan mengganggunya.
Demikianlah, mulai hari itu, Pangeran Liu menjadi seorang tahanan yang istimewa hingga diam-diam Pangeran ini kagum sekali akan kebijaksanaan Oey Couw. Ia kini hanya melakukan samadhi di dalam penjaranya dan menuliskan sebuah buku catatan yang kelak akan menjadi semacam catatan sejarah yang penting artinya bagi ahli-ahli sejarah.
******
Dengan hati bingung dan sedih karena teringat akan nasib ayahnya, Yang Giok melarikan kudanya dengan secepat mungkin. Setelah melihat bahwa tidak ada musuh yang mengejarnya, ia merasa lega dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Propinsi Honan. Biarpun sebagian besar barang-barang berharga berada di dalam bungkusan yang dibawa oleh ayahnya, akan tetapi di dalam bungkusan pakaiannya ia membawa perhiasan-perhiasannya sendiri yang terbuat dari pada emas dan batu permata, hingga untuk biaya perjalanan dan makan selanjutnya ia tak perlu kuatir lagi.
Tiga hari kemudian ia tiba di kota Lun-tien dan bermalam di dalam sebuah rumah penginapan yang besar. Ia tetap mengenakan pakaian sebagai seorang pemuda, akan tetapi karena ia membawa barang-barang berharga, agaknya akan menimbulkan kecurigaan apabila ia mengenakan pakaian yang sederhana. Oleh karena itu, ia kini menyamar sebagai seorang siucai (sasterawan).
Ia tetap mnggunakan nama Yang Giok, karena nama inipun dapat digunakan oleh seorang pria. Hanya shenya saja ia ganti, bukan she Liu lagi, akan tetapi she Kwee.
Kota Lun-tien cukup ramai dan indah, hingga sore hari itu Yang Giok merasa perlu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat kota. Ia meninggalkan bungkusannya, akan tetapi ia cukup berhati-hati untuk meninggalkan pedang Thian Hong Kiam yang dibawanya. Ia sembunyikan pedang itu di pinggang, tertutup oleh baju sasterawan yang lebar dan membawanya ke mana saja ia pergi.
Ketika ia kembali dari berjalan-jalan dan memasuki kamarnya, ia terkejut sekali karena melihat bahwa kamarnya telah dimasuki orang yang telah membongkar bungkusannya dan membalik-balikkan kasur pembaringannya seakan-akan pencuri itu mencari-cari sesuatu. Yang Giok merasa kuatir. Kemudian ia mengadakan pemeriksaan. Ternyata semua barang berharga berupa perhiasan yang berada di dalam buntalan pakaiannya itu masih lengkap dan tidak sebuah pun lenyap.
Ia merasa lega, akan tetapi seketika ia merasa makin kuatir. Kalau saja perhiasannya lenyap, maka terang bahwa yang datang itu tentu seorang pencuri biasa dan ia tak perlu ambil pusing pula. Akan tetapi, karena barang-barangnya masih lengkap, maka terang yang datang itu bukanlah pencuri biasa, tentu mereka itu mencari-cari sesuatu, yakni pedangnya. Hati Yang Giok berdebar.
Apalagi ketika ia memeriksa ternyata baik pintu maupun jendela kamarnya tidak ada tanda bekas dibongkar. Ia dapat menduga bahwa yang telah memasuki kamarnya tadi tentulah seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi dan memasuki kamar itu dari atas genteng.
Malam itu Yang Giok tidak berani tidur dan ia menyembunyikan pedang Thian Hong Kiam di bawah bantal kepalanya, sedangkan pedangnya sendiri yang juga adalah sebuah pedang pusaka bernama Pek-lian-kiam, siap sedia di atas pembaringannya. Setelah menjelang tengah malam dan matanya mulai mengantuk, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di atas genteng. Yang Giok cepat memegang pedangnya dan duduk di atas pembaringan.
Ia mencurahkan perhatian dan pendengarannya ke arah suara itu. Akan tetapi suara itu hilang lagi, dan ia menduga bahwa itu tentu suara kucing atau tikus, karena kalau suara orang berjalan di atas genteng, tidak mungkin demikian perlahan suaranya. Karena hatinya masih berdebar, Yang Giok lalu bersila dan mengatur pernapasan untuk menenteramkan hatinya dan untuk mencegah kantuknya.
Tiba-tiba terdengar genteng dibuka orang dan tahu-tahu dari atas melayang turun bayangan orang ke dalam kamarnya. Bukan main hebatnya gerakan orang itu dan diam-diam Yang Giok merasa khawatir sekali. Orang ini memiliki kepandaian yang demikian luar biasa hingga tidak saja tindakan kakinya tidak terdengar, bahkan gerakannya ketika melompat masuk ke kamarnya tidak beda seperti melayangnya seekor burung. Yang hebat sekali ialah ketika orang itu melompat turun, di tangan kirinya memegang sebuah obor hingga kamar itu menjadi terang sekali.
Yang Giok melihat wajah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kate, akan tetapi gadis ini tidak sempat memperhatikan lebih jauh, karena ia segera menggerakkan pedang Pek-lian-kiam untuk menyerang. Orang kate itu mengelak dan sebagai serangan balasan ia majukan obornya ke arah muka Yang Giok yang cepat sekali melompat mundur. Saat itu digunakan oleh lawannya untuk menubruk maju dan sekali tangan kanannya bergerak ke arah pembaringan, maka pedang pusaka Thian Hong Kiam telah berada di tangannya.
“Aku hanya perlu dengan pedang ini!” orang itu berkata sambil tertawa dan suaranya parau dan besar.
“Kembalikan pedangku!” Yang Giok membentak marah dan ia mengirim serangan kilat dengan pedangnya ke arah punggung orang yang hendak melarikan diri itu. Serangan Yang Giok ini dilakukan dengan penuh kemarahan dan ia menggunakan gerak tipu Chong-eng-kim-touw atau Garuda Menyambar Kelinci, maka serangan ini benar-benar hebat dan berbahaya.
Akan tetapi, orang itu lebih cepat lagi. Sekali tiup saja ia telah memadamkan obor di tangan kirinya dan keadaannya menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu, ia menghindarkan diri dari tusukan Yang Giok dengan sebuah loncatan indah dan cepat ke arah jendela kamar Yang Giok yang masih tertutup. Dengan menendangkan kaki, orang itu berhasil menendang pecah daun jendela dan langsung melompat keluar sambil tertawa. Terdengar kata-katanya mengejek, “Anak muda, kau seorang yang lemah tidak pantas memegang pedang pusaka ini!”
Yang Giok merasa sangat gemas dan marah sekali, hingga tiba-tiba timbul keberaniannya ketika mendengar orang itu menyebutnya anak muda dan siucai, tanda bahwa pencuri itu belum tahu bahwa ia adalah seorang wanita dan puteri Pangeran Liu Mo Kong.
“Bangsat pencuri hina dina jangan lari!” dengan gerak loncat Rajawali Menyambar Ikan, ia melompat keluar dari jendela itu pula sambil memutar-mutar pedangnya.
Ketika ia tiba di luar, ia masih sempat melihat pencuri pedang itu melompat ke arah genteng, maka segera ia melompat pula menyusul. Yang Giok telah mempelajari ilmu silat semenjak kecil di bawah pimpinan ayahnya yang hebat, hingga dara ini memiliki ginkang yang tidak rendah.
Melihat kegesitan Yang Giok yang mengejarnya, pencuri itu tiada bernafsu untuk melayani. Maka ia lalu mempercepat larinya dan sekali lompat saja ia telah berada di wuwungan rumah lain. Yang Giok terkejut sekali melihat lompatan indah dan hebat ini, maka iapun lari mengejar dengan cepat. Ia maklum bahwa kepandaian orang itu lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi ia tidak akan melepaskan orang yang mencuri Thian Hong Kiam itu begitu saja.
Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang lain datang dari jurusan lain dan langsung menyerang pencuri itu. Yang Giok cepat mengejar dan di bawah sinar bulan purnama ia dapat melihat bahwa yang datang menyerang pencuri itu adalah seorang perwira dari kaisar yang bernama Khu Lok.
Khu lok ini adalah seorang di antara banyak perwira yang berkepandaian tinggi dan yang menjadi perwira istana sebelum kerajaan Tang jatuh ke dalam tangan pemberontak. Telah beberapa kali Khu Lok datang ke rumah ayahnya, maka Yang Giok mengenal pula orang itu. Akan tetapi karena ia melihat bahwa Khu Lok mengenakan pakaian biasa, dan juga karena ia ingat bahwa iapun sedang menyamar sebagai seorang pemuda, maka ia tidak mau menegurnya, hanya diam-diam lalu maju mengeroyok pencuri itu.
Tapi rupanya Khu lok kenal kepadanya dan sambil tersenyum ia berkata, “Ha, ha, ha pencuri kecil kecurian. Hayo kita bereskan pencuri besar ini dulu, baru aku dapat memberi ampun kepadamu!”
Yang Giok maklum bahwa Khu Lok telah mengenalnya dan ia menjadi marah karena dimaki sebagai pencuri kecil. Memang, ayahnya telah mencuri pedang kerajaan itu karena menurut anggapan ayahnya, pedang itu tidak pantas berada di tangan kaisar yang lalim dan hendak disimpan untuk kelak dipersembahkan kepada kaisar yang lebih baik dan yang berhak. Akan tetapi, karena keadaan pedang itu sedang dalam bahaya tercuri oleh orang lain, ia tidak berkata sesuatu hanya memperhebat gerakan pedangnya mengepung pencuri itu.
“Ha, ha! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah utusan dari kaisar yang telah jatuh dan melarikan diri itu? Jangan harap kau dapat mengambil pedang ini!”
Pencuri Kate itu mengejek dan melayani keroyokan itu dengan hebat pula. Ternyata kepandaian si Kate ini benar-benar tinggi karena dengan sabetan ujung baju ia telah dapat menggetarkan tangan Yang Giok yang memegang pedang. Akan tetapi, Khu Lok yang terkenal sebagai ahli lweekeh dan ia telah banyak punya pengalaman bertempur, maka pedangnya lalu membuat gerakan mengurung hingga pencuri yang bertangan kosong itu terdesak juga.
Pada suatu kesempatan yang baik, pedang Khu Lok telah berhasil membabat ujung lengan baju pencuri itu hingga terpotong dan ketika pencuri itu karena kagetnya berlaku lambat, Khu Lok mengulur tangan kirinya dan berhasil merampas pedang itu.
“Anjing kaisar rasakan pembalasanku!” teriak pencuri itu dan ia lalu melepaskan jubah luarnya dan menggunakan sebagai sebuah senjata. Biarpun hanya baju dari kain biasa, akan tetapi dalam tangannya, baju itu berubah menjadi senjata yang ampuh, dan hal ini menyatakan betapa tingginya tenaga lweekang dari pencuri itu. Segera ia bertempur dengan dengan hebat sekali melawan Khu Lok dan Yang Giok akan tetapi Yang Giok yang tadinya membantu Khu Lok, sekarang tiba-tiba saja ia menujukan pedangnya untuk berbalik menyerang perwira itu.
“Eh, eh, anak kecil!Apakah kau mau berkhianat?”Khu Lok membentak kaget.
Akan tetapi Yang Giok hanya menjawab, “Kembalikan pedangku!” lalu menyerang lebih keras. Kini Khu Lok yang dikeroyok hingga perwira itu terdesak hebat.
Khu Lok merasa gemas sekaliakan tetapi ia mendapat sebuah pikiran. Kalau pedang itu terjatuh ke dalam tangan pencuri yang berilmu tinggi ini, sukarlah untuk merampasnya atau mencarinya kembali. Sebaliknya, ilmu kepandaian Yang Giok tak berapa aneh, maka lebih baik pedang itu biar untuk sementara waktu berada di dalam tangan gadis itu agar mudah baginya untuk merampasnya kembali kelak.
Karena pikiran inilah, maka Khu Lok tiba-tiba berkata, “Nah, kalau kau tetap menghendaki pedang ini, ambillah!”
Ia lalu melemparkan pedang Thian Hong Kiam kepada Yang Giok yang menyambutnya dengan heran dan girang. Ia lalu memegangi erat-erat dan melompat pergi ke arah kamarnya. Si Pencuri hendak mengejar, akan tetapi pedang Khu Lok menghalanginya hingga terpaksa pencuri itu melayani perwira ini sambil memaki-maki.
Sementara itu, Yang Giok segera mengumpulkan buntalan dan barang-barangnya, lalu malam itu juga ia pacu kudanya secepat-cepatnya. Sampai keesokan harinya setelah matahari timbul, ia tidak menghentikan kudanya dan berlari terus. Sambil melarikan kudanya, dara ini merasa heran sekali. Ia tidak mengerti bagaimana pencuri itu tahu bahwa ia membawa Thian Hong Kiam dan tidak tahu pula bagaimana Khu Lok tiba-tiba bisa di situ pula.
Sebenarnya pencuri itu adalah seorang anggota dari sebuah perserikatan pencuri dan pencopet yang bernama Jian-jiu-pai atau Perkumpulan Tangan Seribu. Perkumpulan ini telah terkenal sekali dan mempunyai cabang-cabang yang meluas sampai di mana-mana dan hampir di tiap kota dalam propinsi Honan terdapat cabangnya.
Oleh karena perkumpulan ini mempunyai banyak sekali mata-mata yang tajam sekali pandangan dan pendengarannya, maka tidak heran bahwa mereka mengetahui adanya seorang pemuda sasterawan membawa-bawa sebatang pedang kerajaan yang sangat berharga. Maka seorang yang dianggap cukup tinggi kepandaiannya, yakni si Kate yang bernama Tan Kok dan berjuluk Malaikat Kate, mendapat tugas untuk mencuri pedang itu.
Juga di pihak kaisar yang telah mengungsi ke Secuan, tidak tinggal diam karena hilangnya pedang pusaka Thian Hong Kiam, maka kaisar mengutus beberapa orang perwira yang pandai untuk mencari dan merampas kembali Thian Hong Kiam. Para perwira ini telah mendengar akan tertawannya Liu Mo Kong dan kaburnya Yang Giok, maka mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu dibawa oleh gadis puteri Pangeran itu.
Akhirnya mata Khu Lok yang tajam dapat melihat Yang Giok di kota Lun-tien. Diam-diam ketika Yang Giok berjalan-jalan, ia lalu memasuki kamar gadis itu dan menggeledah, akan tetapi ia tidak mendapatkan pedang itu. Dengan sabar ia menanti dan ketika pada malam hari itu ia hendak menyerbu ke kamar Yang Giok, ternyata ia telah didahului oleh si Kate Tan Kok hingga mereka lalu bertempur.
Setelah melihat betapa pedang itu terjatuh ke dalam tangan Yang Giok kembali Tan Kok juga berpikir bahwa mudah baginya untuk mencuri pedang itu kembali dari tangan Yang Giok dari pada dari tangan perwira yang tangguh ini, maka iapun lalu melompat pergi karena ia anggap tidak ada perlunya bertempur lebih lama dengan perwira itu karena barang yang diperebutkan telah dibawa pergi orang lain.
Demikianlah pedang Thian Hong Kiam masih dapat berada dalam tangan Yang Giok, dalam hal ini adalah karena kebetulan saja. Kalau saja Tan Kok dan Khu Lok tidak datang pada waktu yang sama, tentu Yang Giok takkan mampu mempertahankan pedang itu, karena baik Tan Kok maupun Khu Lok, keduanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya.
Tanpa berhenti, kecuali kalau kudanya sudah lelah sekali atau kalau rasa lapar di perutnya sudah tak dapat ditahan lagi, Yang Giok memacu kudanya menuju kota Siu-bi-koan untuk mencari keluarga Nyo Seng Hwat.
******
Bersambung ke bagian 02
0 comments:
Post a Comment