Join The Community

Premium WordPress Themes

Pedang Keramat Thian Hong Kiam 03

PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM

Karya: Kho Ping Hoo

Alangkah heran dan girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa ketiga pencuri itu kini sedang mengeroyok seorang yang berkedok sutera hitam. Si Kedok Hitam itu bertangan kosong, akan tetapi pedang Thian Hong Kiam telah berada di tangannya.

Ia melayani tiga orang pencuri itu dengan kegesitannya yang luar biasa akan tetapi sama sekali ketiga orang pengeroyoknya tidak berdaya menghadapinya. Bahkan ketika Yang Giok tiba di situ, seorang maling telah dapat tertendang pergelangan tangannya hingga goloknya terlempar ke atas genteng.

Bukan main kagetnya Tan Kok menghadapi orang aneh yang hebat ini. Ketikaia tadi melompat ke atas genteng tahu-tahu ada bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu pedang Thian Hong Kiam di tangannya telah kena dirampas. Ia lalu maju mengeroyok dengan sengit sekali, akan tetapi baru beberapa jurus saja, si Kedok Hitam yang bertangan kosong itu telah dapat merobohkan seorang kawannya.

Maka ia lalu teringat dan maklum bahwa yang berada dihadapannya adalah si “Sasterawan Kedok Hitam” yang kesohor karena kehebatannya. Ia lalu memberi isyarat dan mereka bertiga dengan cepat lalu melarikan diri dalam gelap, diikuti suara ketawa si Kedok Hitam yang berseru, “Hah, maling-maling kecil hina dina. Jangan sekali-kali kau berani lagi mengacaukota Siu-bi-koan, karena lain kali aku takkan mau memberi ampun pula.

Yang Giok berdiri memandang dengan bengong dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya ia melihat kehebatan seperti itu. Ia sendiri yang memiliki kepandaian dan ilmu pedang cukup tinggi, merasa terdesak menghadapi pengeroyok tadi, bahkan harus ia akui bahwa kepandaian si Kate Tan Kok lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.

Akan tetapi si Kedok Hitam yang aneh ini dapat menghadapi keroyokan mereka bertiga dengan bertangan kosong saja, bahkan dengan seenaknya dan mudah saja menjatuhkan seorang di antara mereka. Ia belum pernah mendengar tentang nama Sasterawan Kedok Hitam, maka ia kini berdiri memandang dengan tercengang.

Si Kedok Hitam menghampiri Yang Giok dan menyodorkan pedang Thian Hong Kiam sambil berkata, “Pedangmukah ini saudara?”

Yang Giok mengangguk dan menerima pedang itu laluia menjura sambil berkata, “Sungguh siauwte merasa berterima kasih sekali atas budi pertolonganmu, dan siauwte merasa kagum sekali melihat kepandaianmu yang tinggi. Bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama enghiong (ksatria) yang mulia dan gagah perkasa?”

Si Kedok Hitam itu tertawa gelak-gelak lalu berkata, “Kepandaianmu sendiri hebat dan di luar persangkaan orang karena kau bersikap seperti seorang sasterawan, apa perlunya memuji-mujiku? Dan sedikit bantuan tadi perlu apa disebut-sebut? Saudara Kwee jangan kau terlalu berhormat!”

Yang Giok terkejut. “Kau telah mengenal namaku?”

Orang itu tertawa lagi. “Siu-bi-koan adalah kotaku bagaimana aku takkan tahu akan kedatangan seorang dari luar seperti kau?”

“Betapapun juga terimalah ucapan terima kasihku. Kau tidak tahu sahabat, betapa besar artinya pertolonganmu tadi. Pedang yang hendak mereka curi ini bukanlah pedang sembarangan.”

Yang Giok merasa heran mengapaia tiba-tiba merasa begitu tertarik dan percaya penuh kepada si Kedok Hitam ini hingga tanpa ragu-ragu lagi ia membongkar rahasia pedang Thian Hong Kiam. Sebaliknya, si Kedok Hitam juga merasa tertarik dan sambil melihat pedang yang dipegang oleh Yang Giok, ia bertanya, “Pedang pusaka apakah itu, dan mengapa mereka ingin mencarinya?”

Entah perasaan apakah yang menyebabkan Yang Giok tiba-tiba merasa sangat percaya kepada orang yang tidak kelihatan mukanya itu. Entah suaranya yang lembut, entah sinar matanya yang tajam dan halus dan yang mengintai dari dua lubang di sutera hitam itu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tertarik dan percaya penuh kepada si kedok hitam yang tinggi sekali ilmu silatnya ini. Ia lalu bercerita tentang pedang itu.

“Pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan yang bernama Thian Hong Kiam dan yang dianggap sebagai lambang jayanya kerajaan. Karena itulah agaknya maka banyak pihak yang menginginkan pedang ini, dan yang tadi mencoba untuk merampas pedang ini adalah pihak perkumpulan Jian-jiu-pai. Masih ada lagi pihak yang kuat dan yang juga pernah mencoba merampas pedang ini, yakni para perwira utusan kaisar yang mengungsi ke Secuan ini.”

Si Kedok Hitam itu nampak tertarik sekali. “Kalau begitu, kau berada dalam bahaya selalu saudara,” katanya. “Lebih baik diatur begini. Aku tahu bahwa Nyo-wan-gwe mempunyai seorang putera yang terkenal sebagai seorang siucai, dan karenanya, ia takkan dicurigai orang. Kalau kau titipkan pedang ini kepadanya, maka takkan ada orang yang dapat menduga bahwa siucai ini menyimpan pedang pusaka Thian Hong Kiam.”

“Apakah siucai bodoh itu dapat dipercaya?” tanya Yang Giok dengan memperlihatkan muka sangsi. “Tadi baru melihat datangnya penjahat saja ia sudah lari terbirit-birit dan menyembunyikan dirinya!”

Si Kedok Hitam tertawa. “Itulah yang kumaksudkan! Dia seorang lemah dan tak mungkin orang seperti dia menyimpan pedang ini hingga takkan ada yang mencurigai ataupun menduganya. Dia dapat dipercaya sepenuhnya, karena aku mendengar bahwa dia adalah seorang yang jujur.”

Setelah berpikir-pikir sesaat lamanya, akhirnya Yang Giok berkata, “Baiklah, aku akan menurut nasehatmu ini.”

“Nah, kalau begitu selamat berpisah, saudara Kwee yang gagah!”

Si Kedok Hitam itu hendak pergi, akan tetapi Yang Giok menahannya dan bertanya.

“Nanti dulu, Saudara!”Kau belum memberitahukan namamu!”

“Ah, apakah perlunya? Sebut saja aku si Kedok Hitam seperti orang-orang lain menyebutku!” Sehabis berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya, si Kedok Hitam itu berkelebat dan lenyap.

Yang Giok menghela napas. Alangkah gagah dan berbudi orang itu. Ia lalu melayang turun dan disambut oleh Nyo-wan-gwe dengan seruan heran.

“Kwee-hiante, tak kusangka bahwa kau adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana hiante? Mencuri apakah penjahat-penjahat itu?”

Yang Giok lalu minta supaya semua pelayan mengundurkan diri sebelum memberi keterangan. Kemudian ia mengajak orang tua itu memasuki ruang belakang. Sebelum ia menceritakan keadaannya kepada Nyo-wan-gwe, muncullah Nyo Liong. Pemuda ini dengan takut-takut lalu bertanya, “Sudah pergikah penjahat-penjahat tadi? Heran sekali, mereka itu datang hendak mencuri apa? Ayah, barang apakah yang mereka curi?”

Melihat munculnya pemuda tunangannya ini, diam-diam Yang Giok membandingkannya dengan si Kedok Hitam, dan seballah melihat Nyo Liong yang tiada gunanya ini. Ia tidak memperdulikan pemuda itu dan mulai menceritakan kepada Nyo-wan-gwe tentang pedang Thian Hong Kiam.

“Menurut pesan Pangeran Liu, pedang ini harus disembunyikan dan jangan sampai terjatuh ke dalam tangan siapapun, karena pedang ini hanya boleh diberikan kepada seorang yang kelak akan menjadi kaisar yang bijak di negeri kita. Banyak sekali pihak yang hendak merampasnya, bahkan ada utusan dari kaisar yang menghendaki kembalinya pedang ini, akan tetapi Pangeran Liu mempunyai anggapan bahwa pedang itu tidak pantas berada di dalam tangan kaisar lalim itu.”

“Itu benar! Benar dan tepat sekali! Memang Pangeran Liu seorang yang bijaksana dan baik!” tiba-tiba Nyo Liong berkata dan mau tidak mau Yang Giok merasa senang juga mendengar betapa pemuda itu memuji-muji ayahnya.

“Habis pedang yang menimbulkan perebutan ini harus diserahkan kepada siapa?” tanya Nyo-wan-gwe yang merasa kuatir kalau-kalau akan ada banyak orang jahat yang datang menyerbu gedungnya.

“Paling tepat harus diserahkan kepada pemimpin besar Oey Couw!” kata Nyo Liong.

“Mengapa demikian pikiranmu?” tiba-tiba Yang Giok bertanya sambil memandang kepada Nyo Liong dengan mata tajam hingga Nyo Liong terkejut melihat pandangan mata ini.

“Karena ... karena ... bukankah sekarang dia yang menjadi pemimpin dan menduduki istana kerajaan?” katanya gagap.

“Biarpun Oey Couw telah menduduki istana, namun dia bukanlah seorang yang mengerti tentang pemerintahan. Mungkin ia adalah seorang pemimpin pemberontak yang cakap dan mungkin ia pandai tentang ilmu perang, akan tetapi aku merasa sangsi apakah ia juga pandai tentang ilmu tata negara!

“Habis, kalau menurut pikiranmu, saudara Kwee, pedang ini harus diberikan kepada siapa? Apakah kepadaku?” Nyo Liong berkelakar.

Nyo Seng Hwat menegur puteranya, “Liong jangan kau main-main!”

Akan tetapi, alangkah herannya orang tua ini ketika Yang Giok berkata sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Nyo Liong, “Ya, pedang ini hendak kuberikan kepadamu!”

“Kwee-hiante, jangan main-main dalam perkara besar ini!” Nyo-wan-gwe menegur Yang Giok.

“Saudara Yang Giok, jangan kau memperolok-olok aku!” kata Nyo Liong.

“Aku tidak main-main, memang untuk sementara waktu ini kuharap saudara Nyo Liong suka menyimpan pedang ini untukku. Kau adalah seorang sasterawan, saudara Nyo Liong, dan takkan ada orang yang akan menduga bahwa pedang ini berada di tanganmu. Kalau aku yang membawanya, maka tentu aku selalu akan dikejar-kejar dan akhirnya pedang pusaka ini takkan dapat kupertahankan lagi. Demi kepentingan kerajaan dan demi memenuhi pesan Pangeran Liu, kuharap kau tidak menolaknya.”

“Tapi ... . . bukankah itu berbahaya sekali bagi keselamatannya?” tanya Nyo-wan-gwe dengan kuatir.

“Jangan takut, lopeh. Ada aku yang menjaga di sini, dan pula masih ada seorang kawan baikku yang gagah perkasa dan yang ikut menjaganya dengan diam-diam.”

“Aku sudah menyaksikan kepandaianmu ketika kau melompat naik ke atas genteng tadi, saudara Yang Giok, akan tetapi tidak tahu bagaimanakah kepandaian kawanmu ini, dan siapakah dia?” tanya Nyo Liong.

“Kepandaian kawanku ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri, dan ia tidak lain adalah si Kedok Hitam!”

Nyo Seng Hwat terkejut sekali. “Apa? Kau maksudkan Sasterawan Kedok Hitam yang tersohor itu yang menjadi kawanmu? Ah, hiante, mengapa kau datang dari kota raja ternyata selain memiliki kepandaian bu yang tinggi juga bergaul dengan segala orang kasar dari dunia kang-ouw? Ah, celaka ... celaka ... . Kalau aku tahu akan begini jadinya ... ah ... . .”

Tak enak sekali hati Yang Giok mendengar ucapan “calon mertuanya” ini, maka ia segera menjawab.

“Nyo lopeh, jangan kau kuatir tentang hal ini, karena sesungguhnya aku hanya ikut mondok di sini untuk bersembunyi sementara waktu saja. Akan tetapi, karena sekarang orang-orang yang mengejar Thian Hong Kiam telah mengetahui tempat tinggalku di sini, tiada gunanya lagi aku berdiam lebih lama di sini. Aku hendak pergi mencari tempat kediaman sucouw (kakek guru) dan menyerahkan pedang ini kepada sucouw agar untuk sementara waktu ini Thian Hong Kiam disimpan dengan aman oleh sucouw dan takkan dapat diganggu atau dirampas oleh orang-orang yang menginginkannya.”

“Itu baik sekali Kwee-hiante,” jawab Nyo Seng Hwat cepat-cepat, sambil memandang wajah Yang Giok dengan mata tajam, “memang, pedang pusaka yang sangat berharga ini seharusnya berada di bawah perlindungan seorang yang berilmu tinggi hingga orang lain tidak berani mengganggunya. Bukan aku tidak suka kau tinggal di sini, akan tetapi dengan adanya pedang ini, maka aku yang bertubuh lemah dan telah tua ini, akan selalu merasa kuatir dan takut akan serangan penjahat seperti yang telah terjadi malam tadi.”

“Dimanakah tempat tinggal sucouwmu itu, saudara Yang Giok?” Nyo Liong bertanya.

“Beliau adalah Kok Kong Hosiang yang bertapa di puncak Go-bi-san di sebuah kuil yang disebut Thian-hok-si. Sucouw adalah guru dari Pangeran Liu sendiri.”

“Eh, eh kalau begitu kau adalah murid Pangeran Liu?”

Yang Giok mengangguk. “Ya, Ie-thio (paman) juga suhuku.”

“Saudara Yang Giok orang-orang yang mengejarmu telah tahu bahwa kau membawa pedang Thian Hong Kiam, maka apakah tidak berbahaya kalau kau membawa-bawa pedang itu ke Go-bi-san?”

Yang Giok menghela napas. “Apa boleh buat, aku harus berani menghadapi bahaya itu.”

“Kalau begitu, aku ikut pergi dengan kau!” kata Nyo Liong dengan suara tetap hingga baik Yang Giok maupun Nyo Seng Hwat memandang heran.

“Liong, orang selemah kau ini akan dapat membantu apa kepada Kwee-hiante? Kau hanya akan menyukarkan saja, dan pula, apa perlumu ikut pergi ke tempat yang sangat jauh itu?” kata ayahnya.

“Saudara Nyo Liong, biarpun maksudmu itu baik sekali, akan tetapi kata-kata ayahmu betul juga. Biarlah aku sendiri menghadapi bahaya itu karena akulah yang bertugas, bukan kau,” sambung Yang Giok.

Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Agaknya kau lupa, saudara Yang Giok bahwa aku sebagai seorang sasterawan lemah justeru takkan diganggu oleh mereka itu dan jika pedang kusembunyikan di bawah pakaianku, siapakah yang akan tahu?”

Kemudian Nyo Liong berkata kepada ayahnya dengan suara memohon.

“Ayah, perkenankanlah anakmu pergi. Telah lama aku mendengar tentang keindahan pengunungan Go-bi, maka sekarang kebetulan ada kawan yang gagah perkasa, biarlah aku sekalian berpesiar ke sana meluaskan pemandangan. Jangan kuatir, ayah, aku bukan seorang gadis yang perlu dikuatirkan, dan aku tentu akan dapat menjaga diri baik-baik.”

Setelah membujuk-bujuk ayahnya dan Yang Giok, akhirnya Nyo Liong diperkenankan juga, dan diam-diam Yang Giok merasa senang juga melihat keberanian Nyo Liong yang biarpun telah tahu akan banyaknya bahaya jika berjalan bersamanya, namun tetap hendak mengawaninya ke Go-bi-san. Pula, siapa tahu kalau-kalau sucouwnya akan memberi bimbingan ilmu silat kepada pemuda tunangannya ini agar ia kelak menjadi seorang pemuda yang sedikitnya tidak begitu lemah.

Begitulah, setelah mendapat pesan banyak-banyak dari orang tuanya dan menerima uang dan pakaian, dengan naik dua ekor kuda bagus yang disiapkan oleh Nyo-wan-gwe, Nyo Liong dan Yang Giok pada keesokan harinya mulai dengan perjalanan mereka ke Go-bi-san.

******

Di luar dugaan Yang Giok, ternyata Nyo Liong pemuda sasterawan yang kelihatan lemah itu pandai sekali menunggang kuda. Dan bukan itu saja, bahkan pemuda ini agaknya kenal baik jalan yang menuju ke Go-bi-san. Oleh karena itu, Yang Giok sendiri masih asing sekali dengan daerah itu, maka Nyo Liong yang menjadi petunjuk jalan dan gadis itu terpaksa menurut saja ke mana Nyo Liong membawanya.

Beberapa hari telah lewat tanpa ada gangguan dari pihak-pihak yang hendak merampas Thian Hong Kiam, hingga mereka bernapas lega. Di dalam perjalanan ini, mau tidak mau, Yang Giok selalu merasa curiga dan berkuatir kalau-kalau musuh-musuhnya dapat mengejarnya, akan tetapi ia merasa mendongkol melihat betapa Nyo Liong agaknya enak-enakan saja biarpun pedang itu berada di bawah jubahnya, tergantung di pinggang dan tertutup oleh jubahnya yang panjang.

Pemuda ini sama sekali tak pernah bicara tentang hal pedang dan orang-orang yang mungkin datang mengejar atau menghadang di jalan. Akan tetapi dengan sikap gembira ia selalu bercakap-cakap tentang pemandangan alam yang permai dan menceritakan segala macam dongeng dan sejarah yang mempunyai hubungan dengan tempat-tempat yang mereka lewati. Kalau saja hati Yang Giok tak sedang kuatir karena tugasnya itu, tentu ia akan merasa senang melakukan perjalanan bersama pemuda ini.

Sepekan kemudian, pada suatu pagi ketika mereka tiba di sebuah hutan pohon cemara yang indah, tiba-tiba dari jurusan lain mendatangi dua orang penunggang kuda yang berpakaian seperti ahli-ahli silat dengan gagang pedang nampak di belakang punggung mereka. Kedua orang ini telah berusia tiga puluh tahun lebih dan nampak sangat gagah, sedangkan dua ekor kuda tunggangan mereka juga tinggi besar dan baik.

Karena di tempat itu sunyi sekali maka pertemuan ini tentu saja menarik perhatian kedua pihak hingga mereka saling pandang dengan penuh perhatian. Bagi Nyo Liong dan Yang Giok, kedua orang itu tidak pernah mereka jumpai, akan tetapi seorang di antara mereka melihat Yang Giok, segera berseru, “Hai, sahabat-sahabat muda, berhenti dulu!”

Nyo Liong dan Yang Giok menahan kendali kuda mereka dan orang yang menegur itu lalu mendekatkan kudanya sambil memandang wajah Yang Giok dengan mata tajam.

“Anak muda, ada hubungan apa engkau dengan penjahat Liu Mo Kong?” tiba-tiba orang itu bertanya kepada Yang Giok sambil menuding dengan jari telunjuknya.

Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba ini, berdebarlah hati Yang Giok, akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menjawab, “Eh, tuan, apakah maksud pertanyaanmu yang kurang ajar ini?”

Orang itu menyengir dan memandang rendah. “Mukamu hampir sama dengan seorang yang bernama Liu Mo Kong, dan kau patut menjadi puteranya. Akan tetapi orang itu tidak mempunyai putera, maka kalau kau masih keluarganya, tentu kau adalah kemenakannya. Katakanlah terus terang, masih ada hubungan apa kau dengan Liu Mo Kong?”

Yang Giok tak dapat menjawab, karena ia tidak sudi mengaku dan tak mau pula menyangkal. Nyo Liong tahu bahwa mereka berdua ini tentu bukan orang-orang yang mempunyai maksud baik, maka ia lalu bertanya.

Jiwi, sebetulnya kami tidak mengerti ucapanmu itu. Siapakah adanya Liu Mo Kong yang jiwi sebutkan tadi dan mengapa kalian menyangka bahwa sobatku she Kwee ini keluarganya?”

Orang itu memandang tajam kepada Nyo Liong, kemudian ia berkata. “Memang muka pemuda ini hampir sama dengan Pangeran Liu Mo Kong.”

“Kalau begitu, Pangeran Liu itu tentu berwajah tampan?” kata Nyo Liong tersenyum.

“Pangeran Liu Mo Kong adalah seorang pengkhianat, pencuri, dan penjahat besar!” kata orang itu dengan mata terbelalak merah.

Sepasang mata Yang Giok yang bagus itu mengeluarkan cahaya marah mendengar ini. “Apa maksudmu mengucapkan makian-makian kotor di depan kami?” tegurnya.

“Kau peduli apa? Memang Pangeran bangsat she Liu itu bukan orang baik-baik dan kalau saja aku dapat bertemu dengan dia, tentu dia akan kupenggal kepalanya, kubeset kulitnya dan kuinjak-injak kepalanya!”

“Bangsat rendah!” Yang Giok memaki karena tak dapat menahan sabarnya pula. “Mulutmu yang kotor itu bawa pergi jauh-jauh dari kami!”

“Ha, ha, ha! Kenapa kau marah? Kalau kau bukan keluarganya, mengapa marah mendengar aku memaki-makinya?” orang itu lalu memandang tajam dan sikapnya mengancam sekali.

Sebelum Yang Giok menjawab, Nyo Liong cepat berkata. “Sobat, bukankah kau tadi mengatakan bahwa wajah kawanku ini serupa benar dengan wajah Pangeran Liu? Nah, tentu saja ia marah kalau kau maki-maki seorang yang berwajah hampir sama dengannya!”

“Kalau memang ia bukan keluarganya, perduli apa? Aku memaki dangan mulutku sendiri dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggungnya!” kata orang itu dengan marah.

Akan tetapi Yang Giok berkata keras, “Pendeknya kau tak usah memamerkan kepandaianmu memaki dan bermulut kotor di depanku dan lekas pergi dari sini! Mari, Liong-ko, kita pergi!”

Akan tetapi sebelum ia dan Nyo Liong dapat memajukan kudanya, orang itu mendahului dan menghadang mereka.

“Anak muda, mukamu mencurigakan, biarlah kami menggeledahmu lebih dulu. Turunlah dari kuda dan biarkan kami memeriksa barang-barangmu!”

“Eh, kalian ini orang-orang apa dan ada hak apakah memeriksa barang-barang kami? Apakah kalian ini hendak merampok?” Yang Giok membentak.

“Jangan banyak cakap!” Orang itu berkata marah. “Ketahuilah, kami adalah perwira-perwira kerajaan yang sedang menjalankan tugas. Lekas kamu berdua turun dari kuda!” Perwira itu dan kawannya lalu mendahului turun dari kuda dan mereka menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon. Yang Giok memberi tanda dan isyarat mata kepada Nyo Liong, kemudian sambil mencabut pedang, Yang Giok melompat turun.

“Bangsat-bangsat rampok, sebelum kalian menyentuh barang-barangku lebih dulu hadapilah pedang ini!”

“Ha, ha! Kau galak benar, anak muda. Baiklah, mari kita main-main sebentar!” Perwira itu bersama kawannya sambil tertawa mengejek lalu mencabut pedang dan maju bersama-sama. Akan tetapi, Nyo Liong lalu berkata, “Tahan dulu!”

Setelah turun dari kuda pemuda ini lalu membawa sebuah bungkusan kecil yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian ia membawa bungkusan itu kepada mereka. Sambil membuka bungkusan kecil yang berisi emas dan permata mahal itu, ia berkata, “Kalian berdua seharusnya malu untuk maju mengeroyok kawanku ini. Lihatlah, barang-barang ini kujadikan taruhan. Kalian boleh maju seorang demi seorang, jangan main keroyokan. Kalau di antara kalian ada yang mampu mengalahkan kawanku ini, barang-barangku ini boleh kalian ambil. Akan tetapi, kalau kalian kalah, kalian anggap saja sebagai pelajaran agar lain kali jangan suka mengganggu orang.”

Bukan main marah kedua orang perwira itu. Yang tadi bicara dengan Yang Giok lalu berkata dengan suara keras, “Anak muda, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Aku adalah Ciu Gin Hok dan kawanku ini adalah suteku Thio Sam, dan kami adalah perwira-perwira kerajaan yang berkedudukan tinggi, bukan bangsa rampok. Akan tetapi karena kau sendiri yang mengajak bertaruh, jangan kau anggap kami curang kalau nanti kawanmu ini kalah dan barang taruhanmu kami ambil.”

“Tentu saja, dan sekarang kau mulailah. Hadapilah kawanku she Kwee ini seorang demi seorang.”

Perwira kedua yang bernama Thio Sam segera maju dengan pedang di tangan karena ia hendak mendahului suhengnya mengalahkan Yang Giok agar barang taruhan yang mahal itu dapat ia miliki.

“Majulah anak muda,” katanya sambil memutar-mutar pedangnya.

Biarpun merasa mendongkol sekali kepada Nyo Liong yang menganggapnya sebagai domba aduan untuk bertaruh, namun Yang Giok tak berkata apa-apa dan segera memutar pedangnya menyerang Thio Sam. Gerakan pedangnya cepat dan lincah. Karena hatinya gemas sekali terhadap para perwira yang memaki-maki ayahnya itu, Yang Giok lalu menyerang dengan sengit. Akan tetapi Thio Sam adalah seorang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi hingga ia dapat menangkis serangan Yang Giok dan balas menyerang tak kalah serunya.

Kiam-hoat (ilmu pedang) Yang Giok memang bagus dan hebat, dan biarpun terhadap Thio Sam ia kalah tenaga, akan tetapi ia menang gesit dan ginkangnya lebih tinggi, maka dengan geraka-gerakan tubuh yang cepat serta gerakan-gerakan pedang yang tak terduga, ia dapat mengurung lawannya. Setelah bertempur kira-kira tiga puluh jurus, Thio Sam mulai terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.

Melihat keadaan sutenya, Ciu Gin Hok lalu berseru, “Sute, mundurlah kau!” Dan ia lalu menyerbu dan menangkis pedang Yang Giok. Thio Sam terpaksa melompat ke belakang dan berdiri sambil terengah-engah dan heran karena tak disangkanya sama sekali bahwa kiam-hoat pemuda sasterawan yang tampan itu demikian hebat.

“Bagus, saudara Kwee! Seorang telah dapat dikalahkan! Ha, ha!” Nyo Liong bertepuk tangan memuji hingga Thio Sam merasa mendongkol sekali. Akan tetapi ia tak dapat membalas ejekan ini, dan ia hanya melihat pertempuran yang berlangsung antara suhengnya dan pemuda itu dengan harap-harap cemas.

Ternyata bahwa ilmu pedang orang she Ciu itu biarpun sejalan dengan ilmu pedang Thio Sam, akan tetapi gerakannya jauh lebih cepat dan kuat. Yang Giok terkejut sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi Ciu Gin Hok menerjang dengan serangan-serangan berbahaya. Yang Giok diam-diam mengeluh dan merasa khawatir sekali. Lagi-lagi ia merasa kecewa karena Nyo Liong tak dapat membantunya dan “tunangan” yang lemah itu hanya bisa bertaruh dan menonton.

Setelah mempertahankan diri selama lima puluh jurus lebih, Yang Giok mulai lelah dan kegesitannya berkurang. Lawannya menggunakan ilmu pedang dari cabang Kun-lun untuk mendesaknya dan kini Yang Giok hanya dapat menangkis saja sambil mundur.

“Sudahlah, sudahlah! Kami mengaku kalah !” Nyo Liong berkata, sambil maju menghampiri mereka dan membawa bungkusannya.

Ciu Gin Hok tertawa gelak-gelak dan menyambar bungkusan di tangan Nyo Liong. “Sekarang kau baru ketahui kehebatanku!” katanya sambil tertawa-tawa lalu mengajak Thio Sam pergi dari situ.

Yang Giok memandang kepada Nyo Liong dengan gemas dan marah.

“Bagus, bagus, kau tidak membantuku bahkan enak-enak bertaruh dan menganggap aku sebagai ayam aduan!” ia mengomel.

“Saudara Yang Giok, kulakukan hal itu untuk menyimpangkan perhatian mereka agar pedang kita jangan sampai terampas oleh mereka.” Nyo Liong membela diri.

Yang Giok terpaksa membenarkan ucapan ini. “Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” katanya dengan merengut.

Nyo Liong tersenyum dan melanjutkan perjalanan dengan masih tersenyum-senyum, hingga beberapa kali Yang Giok memandang kepadanya dengan heran dan mendongkol.

“Kau agaknya senang sekali melihat aku kalah oleh perwira itu!” katanya.

“Bukan begitu, aku hanya geli memikirkan betapa mereka akan sangat marah kalau membuka bungkusan barang-barang taruhan tadi. Kau cukup gagah berani, sahabatku. Tentu saja tadi kau kalah karena kau lelah setelah mengalahkan Thio Sam.

Yang Giok diam saja, lalu ia mempercepat jalan kudanya hingga Nyo Liong terpaksa mengejarnya. Ah, celaka benar, pikir Yang Giok. Pemuda tunangannya ini benar-benar tidak tahu apa-apa tentang persilatan. Tadi ia kalah oleh Ciu Gin Hok karena memang kalah tinggi kepandaiannya, bukan karena lelah seperti yang diduga Nyo Liong.

Akan tetapi, apa gunanya menerangkannya? Biarpun tunangannya itu tidak tahu siapa dia sebenarnya, namun diam-diam Yang Giok merasa malu dan kecewa karena ia dikalahkan orang di depan mata Nyo Liong.

Tiba-tiba Nyo Liong berkata kepada Yang Giok. “Saudara Kwee, mari kita bersembunyi. Cepat!!”

Tanpa menanti jawaban, ia lalu memegang lengan Yang Giok dengan tangan kanan dan dengan tangan kiri ia kendalikan kudanya membelok ke kiri dan bersembunyi di balik tetumbuhan yang tebal dan gelap. Yang Giok heran sekali akan tetapi ia tidak membantah dan ikut bersembunyi. Mereka turun dari kuda dan sambil mengelus-elus leher kudanya. Nyo Liong berkata, “Mudah-mudahan kuda kita tidak akan mengeluarkan ringkikan. ” Ia pun mengelus-elus leher kuda Yang Giok.

Baru saja Yang Giok hendak bertanya, tiba-tiba telinganya dapat menangkap suara kuda yang dilarikan cepat dari belakang dan tak lama kemudian tampaklah kedua perwira tadi dengan muka marah sekali memacu kuda mereka lewat di jalan yang mereka lalui tadi. Setelah mereka pergi jauh, Yang Giok hendak bertanya, akan tetapi Nyo Liong menggunakan jari tangan untuk memberi isyarat di depan mulut hingga Yang Giok menunda maksudnya. Mereka bersembunyi untuk beberapa lama lagi, sampai tak lama kemudian, terdengar pula suara kaki kuda dilarikan perlahan.

Kedua perwira itu ternyata telah kembali dan terdengar mereka bercakap-cakap dengan suara mendongkol. Ketika mereka lewat di situ, Yang Giok dapat menangkap suara percakapan mereka.

“Kurang ajar benar! Pemuda baju biru itu telah menipu kita! Kalau aku dapat membekuk batang lehernya, tentu akan kupenggal kepalanya!” terdengar Thio Sam berkata.

“Hm, akan kubeset kulit mukanya!” Ciu Gin Hok bersungut-sungut.

Yang Giok memandang kepada Nyo Liong dengan muka heran dan ia menduga-duga mengapa kedua orang itu marah kepada Nyo Liong, karena yang dimaksudkan dengan pemuda baju biru tentulah Nyo Liong. Setelah kedua perwira itu pergi jauh, barulah Nyo Liong tertawa dengan senang hingga tubuhnya tergoncang-goncang.

“Eh, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa mereka begitu marah?” tanya Yang Giok.

“Ha, ha! Tentu saja mereka marah karena isi bungkusan yang kuberikan kepada mereka tadi hanya berisi batu-batu hitam saja. Ha, ha!”

Yang Giok ikut tertawa dan diam-diam ia memuji kecerdikan pemuda ini karena ia menyangka bahwa ketika ia sedang bertempur tadi, tentu dengan diam-diam Nyo Liong telah mengganti isi bungkusan dengan batu-batu kecil.

Dengan gembira mereka melanjutkan perjalanan.

Bersambung ke bagian 04

Pedang Keramat Thian Hong Kiam: 01 | 02 | 03

0 comments: