Join The Community

Premium WordPress Themes

Pedang Keramat Thian Hong Kiam 04

PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM

Karya: Kho Ping Hoo

Pada suatu hari, Yang Giok dan Nyo Liong tiba di kota Tiang-hu. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan yang terbesar di kota itu dan seperti biasa apabila bermalam di rumah penginapan, Yang Giok minta dua kamar untuk mereka. Hal ini berkali-kali telah membuat Nyo Liong merasa mendongkol sekali. Kali ini ia marah-marah ketika ia berkata.

“Saudara Yang Giok, kau ini benar-benar aneh! Mengapa kita harus berpisah kamar? Bukankah lebih enak kalau kita berdua bermalam dalam satu kamar hingga kita dapat bercakap-cakap?”

Hampir saja Yang Giok lupa akan keadaan dirinya dan memaki, akan tetapi ia segera ingat bahwa pada saat itu ia adalah seorang pemuda maka ia hanya berkata, “Liong-ko sudah berkali-kali aku berkata padamu bahwa aku tidak bisa tidur berdua. Kalau ada orang lain tidur di pembaringanku, aku takkan dapat tidur nyenyak.

“Aneh kau ini, seperti seorang perempuan saja. Kalau kita sekamar, bukanlah akan lebih aman dan kita dapat saling menjaga? Pula sebelum tidur kita dapat bermain thioki lebih dulu.”

“Sudahlah, Liong-ko, perlu apa meributkan soal kecil ini? Kalau kau ingin main catur, akan kulayani sampai kita mengantuk dan pergi tidur.”

Nyo Liong masih hendak mengomel, akan tetapi Yang Giok menyetopnya sambil berkata, “Liong-ko, aku pernah dengar dari Liu-ithio, bahwa kau telah dipertunangkan dengan Liu-siocia. Pernahkah kau bertemu dengan dia?”

Wajah Nyo Liong memerah. “Belum pernah, dan takkan pernah bertemu,” jawabnya singkat.

Yang Giok memandang heran. “Takkan pernah bertemu? Apa maksudmu? Bukankah kelak akan bertemu juga?”

Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak mau bertemu dengan dia!”

“Loh! Kau agaknya marah dan benci kepadanya, mengapa?”

“Tidak ada yang marah atau membenci. Aku belum pernah bertemu muka dengannya, bagaimana aku bisa marah atau benci? Soalnya ialah, aku dipertunangkan dengan seorang gadis yang belum pernah ku lihat.”

“Jadi kau menolak ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang tuamu itu?”

“Menolak terang-terangan sih tidak berani, akan tetapi ... ah, untuk apa kita bicarakan soal ini? Apakah kau sudah pernah melihatnya, saudara Yang Giok?”

“Melihat siapa? Kau maksudkan melihat Liu-siocia? Tentu saja sudah.”

“Apakah ia ... cantik?”

Yang Giok menggeleng-gelengkan kepala, “Tidak, tidak cantik malah menurut pendapatku, ia buruk sekali.”

Nyo Liong menghela napas, “Mengapa orang tuaku begitu bodoh? Dasar aku yang bernasib buruk, harus dijodohkan dengan seorang gadis buruk pula!”

Diam-diam Yang Giok tertawa geli di dalam hati.

Tiba-tiba Nyo Liong teringat akan sesuatu dan ia bertanya, “Serupa siapakah gadis she Liu itu? Apakah serupa dengan ayahnya?”

Yang Giok yang tidak menyangka sesuatu lalu mengangguk dan berserilah wajahnya Nyo Liong. “Kalau begitu, kau bohong! Kalau ia serupa ayahnya, tentu ia cantik!”

Yang Giok terkejut. “Eh, eh ... . . bagaimana kau bisa menyangka begitu?”

Nyo Liong tertawa senang. “Lupakah kau akan ucapan perwira dulu itu? Sebelum bertempur, bukanlah ia katakan bahwa kau serupa benar dengan Pangeran Liu Mo Kong ? Nah, kalau Liu-siocia serupa ayahnya, itu berarti bahwa ia serupa dengan kau, dan kalau ia serupa dengan kau, tak dapat tidak tentu ia cantik!”

Wajah Yang Giok memerah. Ia merasa lega karena Nyo Liong tidak mengetahui rahasianya seperti yang ia kuatirkan tadi, akan tetapi ia merasa bangga karena pujian pemuda itu langsung tertuju kepada dirinya.

“Hm, kau ini aneh-aneh saja, Liong-ko!” Hanya itu kata-katanya dan selanjutnya ia tak banyak bercakap-cakap karena hatinya masih berdebar mendengar pujian pemuda ini.

“Saudara Yang Giok, kalau kau tidur di kamar lain, harap kau berhati-hati, karena betapapun juga, pihak lawan tentu takkan tinggal diam saja. Kalau terjadi apa-apa, harap kau suka berteriak agar aku dapat mendengarnya.”

Yang Giok diam-diam merasa girang karena biarpun lemah ternyata pemuda ini berhati baik dan ingin sekali menolongnya, maka ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Liong-ko, kau sungguh baik hati. Aku akan berlaku sangat hati-hati, jangan kau khawatir.”

“Pedang sudah berada padaku, tentu mereka itu tidak akan menduga sesuatu, akan tetapi yang aku khawatirkan adalah keselamatanmu. Kalau mereka tak bisa mendapatkan pedang itu dan karenanya marah padamu hingga mereka mencelakakan kau, aku takkan memberi ampun kepada mereka!” Kata-kata Nyo Liong bersemangat sekali hingga Yang Giok merasa makin terharu.

“Liong-ko, mengapa kau begini baik dan sangat memperhatikan keselamatanku?” tak terasa lagi ia bertanya.

Pemuda itu memandangnya tajam dan berkata dengan suara sungguh-sungguh pula. “Saudaraku yang baik, terus terang saja, aku sangat suka kepadamu dan menganggap kau sebagai kawan terbaik. Dan pula, jangan kau lupa, mukamu serupa benar dengan tunanganku bukan?” ia tambahkan dengan jenaka hingga lagi-lagi wajah Yang Giok memerah, maka ia lalu pergi meninggalkan pemuda itu ke dalam kamarnya.

Malam hari itu sunyi sekali karena habis turun hujan. Hawa di luar rumah dingin dan orang-orang yang berada di dalam rumah sore-sore telah tidur nyenyak di bawah selimut. Akan tetapi dua orang di dalam kamar terpisah dalam penginapan itu tak dapat tidur.

Nyo Liong tak dapat tidur karena ia merasa kuatir akan datangnya musuh-musuh yang mengejar mereka, sedangkan Yang Giok tak dapat tidur karena memikirkan Nyo Liong. Pemuda itu baik sekali dan ia mulai merasa suka kepadanya. Ternyata bahwa pemuda itu juga suka sekali kepadanya, walaupun ia tidak tahu bahwa pemuda yang menjadi kawannya itu sebetulnya tunangannya sendiri.

Yang Giok dapat membayangkan bahwa kalau Nyo Liong tahu akan penyamaran itu, tentu pemuda itu akan merasa makin suka. Hal ini dapat ia pastikan dan karenanya membuat hatinya berdebar girang dan malu. Akan tetapi, masih terdapat sedikit kekecewaan di dalam dadanya kalau ia memikirkan bahwa pemuda itu hanyalah seorang sasterawan yang lemah.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki menginjak genteng di atas kamarnya. Cepat ia memadamkan api lilin yang masih bernyala di kamar itu dan sambil membawa pedangnya, ia diam-diam membuka daun jendela. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan dan tahu bahwa di atas genteng itu sedikitnya terdapat empat atau lima orang, maka hatinya berdebar keras.

Dengan tindakan perlahan ia lalu keluar dari pintu kamarnya dan menghampiri kamar Nyo Liong. Ia ketuk-ketuk pintu pemuda itu dengan perlahan, akan tetapi tak terdengar jawaban. Akhirnya ia meninggalkan pintu kamar itu dan langsung menuju ke belakang. Setelah tiba di pekarangan belakang ia lalu melompat naik ke atas genteng dan benar saja, di atas rumah penginapan itu berdiri lima orang dengan senjata di tangan.

“Ah, baik sekali kau sudah mengetahui kedatangan kami, anak muda!” terdengar seorang di antara mereka berkata ketika melihat kedatangan Yang Giok. Ternyata yang bicara ini adalah si Kate Tan Kok yang hebat dan yang dulu pernah mencuri Thian Hong Kiam. Diam-diam Yang Giok merasa terkejut sekali, karena baru menghadapi si Kate seorang ini saja sudah sangat berat baginya, apalagi kalau si Kate ini masih dibantu oleh empat orang lain. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan berkata dengan suara lantang.

“Orang she Tan! Kau mengejar-ngejarku sampai ke sini dengan maksud apa? Kita tak pernah bermusuhan, mengapa kau terus mendesak?”

“Ha, ha, ha ! Coba lihat kawan-kawan! Alangkah berani dan tabahnya anak muda ini! He, anak muda, ketahuilah, kami dari Jian-jiu-pai selamanya tidak mau bekerja kepalang tanggung. Kami telah mengambil keputusan hendak mendapatkan pedang Thian Hong Kiam dan sebelum usaha kami ini berhasil, kami takkan tinggal diam. Lekas serahkan pedang itu dan jangan banyak membantah, karena kau sudah mengetahui sendiri kehebatanku, bukan?”

Yang Giok merasa heran juga mengapa mereka ini demikian berdungguh-sungguh hendak merampas pedang pusaka kerajaan Tang itu, maka ia bertanya. “Pedang itu adalah pedang kerajaan yang tidak banyak harganya, mengapa kalian ini bangsa ya-heng jin (orang jalan malam atau maling-maling) bersusah payah hendak mendapatkannya?”

“Ha, ha, agar jangan kau merasa kecewa, biarlah kuceritakan kepadamu sebab-sebabnya. Ada seorang Pangeran yang ingin sekali mendapatkan pedang itu dan bersedia menebus sebanyak dua puluh lima ribu tail perak jika kami bisa mendapatkan pedang itu!”

Terkejutlah Yang Giok. “Siapa Pangeran itu? Dan untuk apa ia menghendaki Thian Hong Kiam?”

Tan Kok tertawa menyeringai, “Jangan kau hendak permainkan aku, anak muda. Aku tidaklah begitu bodoh seperti yang kau kira. Kalau kau kuberitahu nama orang itu, tentu kau sendiri akan pergi ke sana dan menerima hadiah itu, ha, ha, ha!”

“Tan-ko, perlu apa banyak cakap dengan boca ini?” seorang kawannya menegur.

“Anak muda, lihat, kawan-kawanku sudah tak sabar lagi. Lekas serahkan pedang itu kepada kami.”

Yang Giok menggeleng-gelengkan kepala, “Pedang itu tidak berada ditanganku lagi.”

Muka Tan Kok menjadi merah. “Jangan kau main-main anak muda. Aku sudah cukup sabar dan jangan bikin aku marah. Di mana pedang itu?”

Yang Giok mengangkat pundak dan bersiap sedia dengan pedangnya. “Kalau kalian tidak percaya, boleh kalian periksa sendiri kamarku, dan kalian juga dapat melihat bahwa pedang itu tidak kubawa.”

Dengan marah sekali Tan Kok memberi tanda dan tiga orang kawannya melayang turun memasuki kamar Yang Giok melalui jendela. Mereka mengadakan pemeriksaan dengan teliti, akan tetapi pedang itu tak mereka temukan. Tak lama kemudian mereka melayang naik kembali untuk memberi laporan kepada Tan Kok. Dari gerakan-gerakan mereka, Yang Giok maklum bahwa kepandaian kawan-kawan Tan Kok ini benar-benar hebat hingga ia menghela napas berat.

Bukan main marah Tan Kok. Ia lalu menanggalkan baju luar yang merupakan senjata ampuh dan berkata, “Anak muda, kalau kau tidak lekas memberitahu di mana adanya pedang itu, malam ini jangan harap kau akan dapat terlepas dari tanganku lagi. Lekas katakan, di mana adanya pedang itu?”

Akan tetapi, Yang Giok tidak menjawab dan hanya berdiri dengan memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan mereka. Melihat kebandelan Yang Giok, Tan Kok marah sekali. Sambil berseru keras ia menggerakan jubahnya dan menyerang dengan hebat. Yang Giok melompat dan mengelakkan serangan itu, lalu balas menyerang dengan nekad. Akan tetapi empat orang kawan Tan Kok tidak tinggal diam dan ikut menyerbu hingga keadaan Yang Giok berbahaya sekali.

Pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang gerakannya gesit sekali dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilau menahan serangan lima orang anggota Jian-jiu-pai itu. Semua orang, termasuk Yang Giok, memandang dan hampir bersamaan Yang Giok dan musuh-musuhnya berseru.

“Sasterawan Kedok Hitam!”

Si Kedok Hitam itu tertawa nyaring. “Kalian ini benar-benar panjang tangan, dan kerjanya hanya mencuri saja. Akan tetapi sebelum mengulurkan tangan, lihatlah dahulu baik-baik, barang apa yang kalian hendak curi dan lebih-lebih perhatikan dulu apakah tidak ada orang yang melihatnya. Aku berada di sini, apakah kalian kutu-kutu busuk ini masih hendak berani berlaku kurang ajar?”

Tan Kok marah sekali dan menjawab, “Biarpun namamu sudah tersohor sebagai seorang gagah perkasa, akan tetapi apa kau kira kami dari Jian-jiu-pai takut kepadamu? Bagi kami kau tak lain hanyalah seorang pengecut!”

Sepasang mata yang bersembunyi di balik kedok dan mengintai melalui dua lubang itu memancarkan sinar tajam.

“Apa katamu, anjing pendek? Aku pengecut?”

“Hanya seorang pengecutlah yang tidak berani berlaku terang-terangan. Kau menyembunyikan mukamu di balik kedok, apakah itu dapat dianggap laki-laki sejati dan jantan? Kalau kau tidak bersifat pengecut, bukalah kedokmu!”

“Ha, ha, ha! Ini hanyalah akal bulus yang licik untuk mengetahui rahasia orang. Eh, orang kate. Majulah bersama kawan-kawanmu, dan kalau aku sampai kalah, barulah kau akan dapat melihat dan mengenal siapakah aku sebenarnya.”

Sementara itu, Yang Giok mendapat kesempatan ketika si Kedok Hitam berbantah dengan kawanan maling itu, untuk memperhatikan kesatria perkasa ini baik-baik. Dan ia berdebar dengan hati penuh dugaan. Biarpun suaranya agak berlainan, karena suara orang ini gagah dan keras, sedangkan suara Nyo Liong lemah lembut, akan tetapi suara ketawanya dan potongan tubuhnya benar-benar mirip dengan Nyo Liong. Nyo Liongkah orang ini? Ah, tak mungkin sekali.

Pada saat itu, kelima orang anggota Jian-jiu-pai itu telah maju menyerbu dan segera terjadi pertempuran ramai dan seru sekali. Yang Giok sekali lagi menjadi kagum melihat permainan pedang si Kedok Hitam. Dulu ia telah menyaksikan betapa dengan tangan kosong si Kedok Hitam dapat melayani Tan Kok dan dua orang kawannya.

Akan tetapi, kini lebih-lebih ia merasa kagum sekali melihat ilmu silat pedang yang luar biasa sekali gerakan-gerakannya. Juga Tan Kok merasa sangat gemas karena telah dua kali si Kedok Hitam ini menghalang-halangi maksudnya dan menggagalkan usahanya yang hampir berhasil. Maka ia berlaku nekad dan menyerang dengan hebat.

Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba si Kedok Hitam berseru keras dan panjang dan tahu-tahu semua senjata kelima orang itu telah terpental dan tangan mereka yang tadi memegang senjata telah mendapat luka dan mengucurkan darah. Mereka berteriak-teriak kesakitan dan tanpa diberi komando lagi, kelimanya lalu melompat turun dari atas genteng dan lari dalam gelap, diikuti suara ketawa yang nyaring dari si Kedok Hitam.

Yang Giok menghampiri penolongnya dan menjura. “lagi-lagi in-kong (tuan penolong) telah menolongku dari pada bahaya. Sungguh kau berbudi sekali dan tidak tahu bagaimanakah aku dapat membalas budi itu,” kata Yang Giok.

Si Kedok Hitam tersenyum. “Tak perlu bicara tentang budi kalau hendak membalas budi, kau jagalah pedang itu baik-baik!”

Yang Giok menghela napas dan tiba-tiba ia mendapat pikiran baik.

“In-kong, inilah yang menyusahkan hatiku. Kepandaianku masih rendah sekali, mana aku dapat menjaga pedang itu dengan baik? Dan kawan seperjalananku demikian bodoh dan lemah hingga berkawan dengan dia dalam melakukan perjalanan berbahaya ini, tidak ada faedahnya sama sekali. Kalau saja kau sudi menolongku, maka perbolehkanlah aku berjalan bersama-sama denganmu, agar aku tak usah merasa kuatir lagi tentang gangguan segala penjahat itu.”

Sambil berkata begini Yang Giok memandang dengan penuh harapan. Alangkah akan senangnya kalau ia bisa melakukan perjalanan dengan seorang seperti si Kedok Hitam ini, sebagai pengganti Nyo Liong yang bodoh dan lemah.

Akan tetapi si Kedok Hitam malahan tertawa geli mendengar permintaan itu. “Saudara Kwee yang baik, kalau kau tinggalkan Nyo kongcu dan pergi dengan aku, bukankah itu akan melukai perasaan Nyo kongcu dan mungkin membuat dia berduka?”

“Biarlah, hal itu adalah tanggung jawabku!” jawab Yang Giok, dan pula, jikaia tidak ikut aku pergi melakukan perjalanan ini, keselamatannya takkan terancam. Aku selalu merasa kuatir, karena kalau sampai terjadi sesuatu, ia takkan berdaya dan kalau sampai ia mendapat luka celaka, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkannya di depan Nyo-wan-gwe?”

Sekali lagi si Kedok Hitam tertawa, “Kau tidak tahu, saudara Kwee bahwa sebenarnya Nyo kongcu adalah seorang sahabat baikku, maka aku tak sampai hati membuat ia berduka. Belajarlah kau berlaku sabar dan tenang. Nah, selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, si Kedok Hitam lalu berkelebat dan lenyap dari situ.

Yang Giok merasa kecewa sekali, akan tetapi ia teringat akan kecurigaannya tadi dan akan dugaannya bahwa si Kedok Hitam ini mirip-mirip Nyo Liong. Maka cepat-cepat ia melompat turun dan menghampiri kamar pemuda itu. Ia dorong-dorong pintunya, akan tetapi agaknya terkunci dari dalam, maka dengan jalan memutar ia berhasil melompat masuk ke dalam kamar dari lubang jendela.

Dan apa yang ia lihat membuat ia menggertakkan gigi karena mendongkol. Nyo Liong sambil berselimut nampak tidur nyenyak dan mendengkur.

Ketika Yang Giok hendak meninggalkan kamar itu, tiba-tiba Nyo Liong menggeliat dan terjaga dari tidurnya. Ia serentak bangun dan duduk sambil memandang kepada Yang Giok dengan mata masih mengantuk. “Eh, saudara Yang Giok. Kau disini ...?? Dari mana, bagaimana kau bisa masuk?” Ia lalu memandang ke arah jendela yang terbuka.

“Eh, tidak ada apa-apa, Liong-ko. Aku hanya hendak melihat kalau-kalau ada penjahat memasuki kamarmu!”

“Ah, kau baik sekali,” kata Nyo Liong. Akan tetapi Yang Giok dengan mendongkol telah melompat keluar dan langsung memasuki kamarnya sendiri. Hatinya kecewa karena tidak mungkin si Kedok Hitam yang menarik hati dan gagah perkasa itu dengan Nyo Liong yang malas dan lemah adalah satu orang! Tak mungkin! Tapi benarkah bahwa si Kedok Hitam itu adalah sahabat Nyo Liong? Orang itu telah mengakui dan dari Nyo Liong ia mungkin akan dapat mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam sebenarnya. Kalau saja ia dapat berkenalan dengan dia ... . ?

Pada keesokan harinya, Yang Giok menuturkan pengalamannya semalam, dan Nyo Liong hanya berkata, “Untung sekali ada si Kedok Hitam yang menolong!”

“Apakah kau kenal kepadanya?” Yang Giok bertanya dengan pandangan tajam.

Nyo Liong termenung sejenak, lalu berkata, “Sebetulnya hal ini adalah rahasia, akan tetapi kepadamu baiklah aku berterus terang bahwa dia memang seorang kawan baikku.”

“Siapakah dia sebenarnya dan siapa pula namanya? Apakah kau tahu di mana tempat tinggalnya?”

“Eh, eh, agaknya kau tertarik sekali kepadanya, kawanku?” tanya Nyo Liong dan tiba-tiba saja tak dapat dicegah lagi, wajah Yang Giok berubah marah.

“Siapa tertarik? Aku telah dua kali ditolong olehnya, bukanlah wajar kalau aku hendak mengetahui nama dan tempat tinggalnya?” jawabnya bersungguh-sungguh.

Melihat Yang Giok menjadi marah, Nyo Liong tersenyum dan berkata, “Aku sendiri pun hanya kenal dia sebagai si Kedok Hitam saja. Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi halnya, lebih baik kita percepat perjalanan ini agar segera sampai di tempat tujuan kita.”

“Masih jauhkah puncak Go-bi-san yang kita tuju itu?” tanya Yang Giok.

“Kalau melalui jalan raya, paling cepat memakan waktu sebulan. Akan tetapi, aku mengetahui sebuah jalan yang lebih dekat, Cuma saja, jalan ini karena bukan jalan umum, agak sukar dan melalui hutan-hutan lebat.”

“Tidak apa, lebih baik kita ambil jalan terdekat,” kata Yang Giok.

******

Bersambung ke bagian 04

Pedang Keramat Thian Hong Kiam: 01 | 02 | 03 | 04

0 comments: