PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM
Karya: Kho Ping Hoo
Nyo Seng Hwat adalah seorang hartawan besar di kota Siu-bi-koan. Dahulu Nyo-wangwe (hartawan Nyo) ini pernah tinggal di ibukota, maka ia mempunyai banyak kenalan para pembesar di situ, dan di antaranya, yang paling akrab adalah Pangeran Liu Mo Kong.
Kedua orang ini saling mengenal dengan baik dan pergaulan mereka demikian akrab hingga akhirnya mereka lalu mempertunangkan anak tunggal mereka yang ketika itu masih kecil. Liu Mo Kong hanya mempunyai seorang anak perempuan, yakni Liu Yang Giok, sedangkan Nyo-wan-gwe (hartawan Nyo) pun hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Nyo Liong.
Nyo Liong lebih tua setahun dari Yang Giok dan pemuda ini berbadan tegap dan gagah serta bermuka tampan. Semenjak kecil, Nyo Liong telah mempelajari ilmu kesusasteraan hingga dalam usia lima belas tahun sebelum kerajaan Tang roboh, ia telah berhasil menempuh ujian yang diadakan di kota raja dan telah lulus dengan hasil baik sekali.
Akan tetapi Nyo Liong tidak suka memegang jabatan, bahkan setelah lulus dari ujian itu ia tidak pulang ke rumah orang tuanya dan hanya memerintahkan pelayan tua yang mengantarnya untuk pulang terlebih dahulu ke Siu-bi-koan sedangkan ia sendiri pergi merantau.
Lebih dari tiga tahun Nyo Liong pergi merantau hingga kedua orang tuanya merasa sangat kuatir dan bersedih karena anak itu tidak mengirim berita apa-apa.
Tiba-tiba saja, pada suatu pagi, Nyo Liong datang dan tubuh anak muda ini bertambah tegap dan mukanya kini nampak selalu berseri, akan tetapi sikapnya lemah lembut seperti dulu. Tentu saja kedua orang tuanya merasa girang sekali dan kedatangan pemuda ini disambut dengan sebuah pesta yang meriah.
Nyo Liong memiliki pengertian sastera yang luas dan pemuda ini paling suka membaca buku-buku sejarah para kesatria di zaman dahulu. Semenjak kecil ia suka sekali membaca buku-buku kuno seperti Sam Kok, See Yu, Hong Sin, dan buku-buku lain lagi.
Oleh karena Nyo-wan-gwe sangat sayang kepada puteranya dan suka melihat puteranya membaca buku-buku untuk menambah pengetahuannya, maka orang tua ini telah membeli banyak sekali buku-buku kuno hingga semenjak kecil Nyo Liong sudah biasa membaca kitab-kitab sejarah dan filsafat kuno yang jarang dimiliki atau dibaca orang. Di dalam kamar anak muda ini terdapat berpeti-peti buku-buku kuno yang tak ternilai harganya.
Di antara kitab-kitab kuno yang sudah lapuk dan kuning itu, terdapat sebuah kitab kuno yang dibeli oleh Nyo-wan-gwe dengan perantaraan seorang pelayan dari dalam sebuah kuil. Oleh karena hwesio pengurus kuil itu tidak dapat membaca kitab yang memuat tulisan-tulisan kuno yang sukar dipahami itu, maka buku itu dapat dibeli dengan harga murah.
Nyo-wan-gwe sendiri biarpun telah banyak mempelajari sastera, akan tetapi ia tidak dapat mengerti isi kitab itu. Bahkan baru membaca beberapa kalimat saja, kepalanya sudah menjadi pusing dan ia lalu memberikan buku itu kepada Nyo Liong.
Buku itu pada sampulnya ditulis dengan tulisan yang bergaya seperti naga-naga menari dan berbunyi “Pat Kwa Im Yang Coan Si” dan isi buku menerangkan tentang rahasia-rahasia Pat-kwa dan tenaga-tenaga Im dan Yang (negatif dan positif) yang menguasai alam raya. Oleh karena ini, baru membaca sedikit saja, Nyo Seng Hwat sudah merasa pusing.
Tidak demikian dengan Nyo Liong. Pemuda ini, biarpun ketika itu baru berusia paling banyak tiga belas tahun, ketika membaca kitab ini, nampaknya menjadi tertarik sekali. Memang mula-mula sangat sukar baginya untuk mengerti arti tulisan kuno itu, akan tetapi berkat ketekunan dan kerajinannya, sedikit demi sedikit, dapat juga ia menangkap artinya.
Dan semenjak ia membaca kitab itu, kedua orang tuanya merasa adanya perubahan yang luar biasa pada anak mereka. Karena Nyo Liong lalu menjadi pendiam sekali, akan tetapi otaknya menjadi luar biasa terangnya karena segala macam pelajaran dengan sekali menghafal saja telah melekat di dalam ingatannya. Adapun buku kuno itu telah dilupakan oleh Nyo Seng Hwat, karena ia tidak melihatnya lagi. Ia tidak tahu bahwa Nyo Liong telah menyembunyikan buku itu dan sama sekali ia tak pernah menyangka bahwa tiap malam, setelah semua orang tidur pulas, anak itu mengeluarkan kitab kuno yang lapuk itu dan membacanya sampai lewat tengah malam. Ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa kitab “Pat Kwa Im Yang Coan Si” sebetulnya adalah sebuah kitab pelajaran yang sangat hebat.
Kitab ini adalah peninggalan seorang sakti di zaman dahulu yang menuliskan semua kepandaiannya di dalam kitab ini. Di situ terdapat pelajaran-pelajaran ilmu silat yang tinggi sekali juga terdapat cara-cara berlatih lweekang serta siulan (samadhi) yang dapat mengumpulkan tenaga batin dan dapat membersihkan darah dan menyehatkan otak.
Inilah yang menyebabkan mengapa Nyo Liong yang masih kecil itu tiba-tiba menjadi pendiam. Ketika ia membaca kitab itu, karena di antara pelajaran di dalam kitab itu, berkali-kali disebutkan bahwa siapa yang ingin memelihara kekuatan batin, ia harus banyak berdiam dan jangan sembarangan mengeluarkan kata-kata. Dan juga, sebetulnya Nyo Liong menjadi pendiam bukan hanya karena taat kepada pesan dalam kitab ini, akan tetapi juga ia merasa kecewa dan bingung sekali.
Ingin benar ia mengerti isi kitab ini, akan tetapi terlampau sukar baginya hingga banyak bagian yang tidak dimengertinya. Maklumlah, semenjak kecil ia tak pernah diberi pelajaran silat, maka tentu saja kini menghadapi sebuah pelajaran persilatan yang sangat tinggi dan sukar tanpa ada yang memimpinnya. Ia merasa bingung dan tidak mengerti.
Ia tidak berani memberitahukan hal ini kepada ayahnya, karena selain ayahnya tidak pandai ilmu silat, juga ia kuatir kalau-kalau ayahnya akan merampas kitab itu dan melarang membacanya. Oleh karena ini, ia tinggal diam, bahkan untuk membaca kitab itu ia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Bertahun-tahun Nyo Liong membaca dan mempelajari isi kitab itu, dan pada waktu malam ia mencoba untuk mempraktekkan pelajaran itu. Ia mulai melatih napas dan bersamadhi menurut petunjuk di dalam kitab dan heran sekali, baru beberapa bulan saja ia belajar, ia rasakan tubuhnya menjadi segar, dan ingatannya kuat sekali. Oleh karena itu, ia makin tekun mempelajari kitab “Pat Kwa Im Yang Coan Si”. Ketika ia pergi ke kota raja untuk menempuh ujian, kitab itu diam-diam dibawanya pula.
Setelah ia berhasil dalam menempuh ujiannya, tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam hatinya. Untuk dapat mempelajari kitab itu dengan sempurna, ia harus mencari seorang guru yang pandai. Maka, ia lalu menyuruh pelayannya pulang dan ia sendiri lalu merantau ke barat, karena ia tahu dari buku-bukunya bahwa di daerah barat banyak terdapat orang pandai.
Jodoh dan nasib baik membawa ia ke propinsi Cing-hai dan membawanya ke sebuah pegunungan, yakni pegunungan Ceng-liong-san. Dan di lereng bukit Ceng-liong-san, dalam sebuah kuil tua, ia bertemu dengan seorang pertapa tua yang tidak lain adalah Li Lo Kun, seorang pendekar tua, yang kenamaan dan yang telah mengasingkan diri di bukit itu. Melihat sikap pemuda yang baik dan yang berbakat untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, Li Lo Kun tertarik sekali.
Alangkah terkejutnya ketika pada malam hari, dari kamar pemuda itu ia mendengar pernapasan yang teratur dan ditarik secara luar biasa hingga menerbitkan angin bersiutan. Ia cepat mengintai dari atas genteng dan aneh sekali, tiba-tiba Nyo Liong yang pendengarannya telah maju hebat di luar tahunya sendiri karena melatih diri menurut petunjuk kitabnya, dapat mendengar tindakan kakinya dan pemuda yang sedang berlatih napas itu berkata.
“Tuan yang berada di atas genteng, jika mempunyai keperluan, silakan turun saja!”
Li Lo Kun merasa kagum dan terkejut sekali. Ia telah merantau puluhan tahun lamanya dan kepandaian ginkangnya telah terkenal hingga jarang ada orang yang demikian tajam pendengarannya hingga bisa mendengar tindakan kakinya di atas genteng.
Akan tetapi, pemuda yang nampaknya seperti bodoh dan hijau ini, telah dapat mengetahui dan mendengarnya. Maka buru-buru Li Lo Kun melompat turun dan dengan heran ia bertanya, “Anak muda yang luar biasa. Kau belajar dari siapa maka pendengaranmu sehebat ini?”
Karena tahu bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang berilmu, Nyo Liong lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, teecu (murid) yang bodoh mana ada harga untuk dipuji. Mohon suhu sudi memberi petunjuk dan jika suhu tidak keberatan, mohon suka menerima teecu sebagai murid.”
Li Lo Kun makin merasa heran. Pemuda ini telah memiliki kepandaian tinggi, mengapa masih hendak berguru kepadanya? Nyo Liong lalu menuturkan dengan terus terang bahwa ia melatih diri menurut petunjuk dari sebuah kitab kuno.
Li Lo Kun terbelalak heran dan minta melihat kitab itu, akan tetapi karena ia hanya sedikit mempelajari ilmu surat, tentu saja tak dapat mengerti sama sekali, dan orang tua ini hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata, “Kongcu, kau benar-benar telah berjodoh untuk menjadi murid orang sakti yang menulis buku ini. Kalau untuk menjadi suhumu, aku tidak berani karena ilmu yang terdapat di dalam kitab ini jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaianku. Akan tetapi, kalau kau ingin supaya aku membantumu dalam mempelajari kitab ini, yakni pada bagian-bagian pergerakan kaki tangan, tentu saja aku akan suka sekali membantu.”
Nyo Liong merasa girang sekali dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukan kepala berkali-kali sambil menyebut “Suhu!” demikianlah, semenjak hari itu, tiga tahun lamanya Nyo Liong berdiam di kuil itu dan mempelajari isi kitab di bawah pimpinan Li Lo Kun yang menerangkan bagian-bagian ilmu silatnya. Dan benar-benar ilmu silat yang terkandung oleh kitab itu luar biasa sekali. Di dalam kitab itu terdapat dua macam ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang.
Li Lo Kun merasa kagum sekali karena benar-benar ilmu silat yang terdapat dalam kitab itu luar biasa gerakan-gerakannya. Dan dengan membantu Nyo Liong belajar saja, orang tua ini telah mendapat kemajuan hebat dalam kepandaiannya karena terbukalah banyak rahasia-rahasia ilmu silat yang rumit-rumit.
Apalagi Nyo Liong yang dapat belajar sambil membaca, tentu saja kemajuan dan kepandaian yang didapat oleh anak muda ini mengagumkan sekali. Setelah mempelajari kitab itu untuk tiga tahun lamanya, Li Lo Kun dengan kagum dan girang sekali berkata, “Nyo Liong, kitab ini sungguh-sungguh telah ditulis oleh seorang dewa yang sakti. Kalau kau melatih dirimu baik-baik dalam waktu setahun atau dua tahun lagi saja, ilmu silatmu takkan ada keduanya di dunia ini.”
Nyo Liong sambil berlutut berkata, “Ini semua berkat bantuan suhu yang berbudi.”
Li Lo Kun merasa girang sekali. Walaupun pengetahuan pemuda ini dalam ilmu silat telah tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri, namun pemuda ini ternyata dapat membawa diri dan bersikap sopan dan merendah, hingga sukar sekali dapat ditemukan seorang pemuda sebaik ini.
Oleh karena itu, maka dengan sepenuh hatinya Li Lo Kun lalu menurunkan kepandaiannya sendiri kepada muridnya ini, dan karena Nyo Liong telah mempunyai dasar-dasar yang tebal karena pelajarannya dari kitab itu, maka dalam waktu beberapa bulan saja, ilmu kepandaian Li Lo Kun yang terhebat telah dapat ia warisi.
Demikianlah, kurang lebih tiga setengah tahun semenjak ia pergi merantau, Nyo Liong lalu kembali ke tempat tinggal orang tuanya dan disambut dengan girang dan meriah oleh Nyo-wan-gwe.
Semenjak kembali ke rumah orang tuanya, biarpun Nyo Liong selalu bersikap biasa dan setiap hari membantu pekerjaan dagang ayahnya sambil membaca-baca buku-buku yang selalu menjadi kesukaannya, akan tetapi diam-diam pada waktu malam anak muda ini merobah dirinya menjadi seorang pendekar rahasia yang pergi melakukan tugasnya membela orang-orang tertindas dan membasmi para penjahat.
Semenjak ia kembali dalam beberapa bulan saja bersihlah kota Siu-bi-koan dari pada para penjahat dan perampok. Dan ketika terjadi pemberontakan terhadap terhadap pemerintah dinasti Tang, Nyo Liong juga tidak tinggal diam dan membantu dengan sepenuh tenaga.
Bahkan ia berhasil membongkar sebuah goa kuno dan menggali harta terpendam, memperebutkannya dengan kawanan kang-ouw yang menginginkan harta tersebut, lalu berhasil membawa harta itu kepada Oey Couw, pemimpin besar pemberontak itu.
Dalam semua sepak terjangnya Nyo Liong selalu mengenakan sebuah topeng hitam hingga ia mendapat julukan Sasterawan Topeng Hitam.
Semua pekerjaan yang dilakukannya dan yang telah menggemparkan dunia kang-ouw ini, dilakukan tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya dan Nyo-wan-gwe suami isteri hanya menganggap bahwa puteranya kini seringkali pergi berpesiar untuk beberapa hari lamanya.
******
Ketika tiba di kota Siu-bi-koan, dengan mudah sekali Yang Giok dapat mencari gedung keluarga Nyo atau calon mertuanya itu, karena siapakah yang tak mengenal Nyo-wan-gwe?
Biarpun hatinya tabah dan biasa menghadapi orang-orang besar, namun ketika memasuki halaman muka dari gedung Nyo-wan-gwe, mau tidak mau Yang Giok merasa gugup sekali. Dengan tangan kirinya ia tuntun kudanya dan tangan kanannya tiada hentinya membereskan pakaian dan rambutnya, lupa bahwa sebenarnya ia masih menyamar sebagai seorang pemuda.
Berkat sinar matahari yang tiap hari menimpa dan membakar kulit muka dan tangannya, maka kulitnya agak hitam kemerah-merahan hingga tak seorang pun akan dapat menyangka ia seorang wanita. Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengaku bahwa ia adalah puteri Liu Mo Kong, karena ia hendak menyelidiki lebih dulu keadaan tunangannya, dan juga selama pedang Thian Hong Kiam berada di tangannya dan belum diterimakan kepada orang yang berhak menerimanya, ia takkan merubah diri menjadi seorang gadis.
Seorang pelayan menyambutnya dengan hormat, dan pelayan lain lalu menyambut kudanya untuk dibawa ke kandang kuda. Mereka berlaku hormat kepada Yang Giok, dan pelayan tua sambil menjura bertanya, “Kongcu (Tuan muda) dari mana dan hendak bertemu dengan siapa?”
“Tolong beritahukan kepada Nyo-wan-gwe bahwa aku seorang she Kwee dari ibukota datang membawa berita penting.”
Mendengar bahwa pemuda itu datang dari kota raja, pelayan itu lalu bergegas memberi laporan ke dalam setelah mempersilahkan Yang Giok menanti di ruang tamu. Tak lama kemudian, Yang Giok melihat seorang laki-laki setengah tua yang berwajah peramah keluar menyambut.
Di belakang laki-laki ini terdapat seorang pemuda berpakaian sasterawan. Mereka berdua lalu memandangnya dengan mata heran karena mereka tidak mengenal kepadanya. Yang Giok buru-buru menjura memberi hormat dan berkata, “Mohon dimaafkan jika saya mengganggu. Sesungguhnya saya membawa berita penting dari Pangeran Liu Mo Kong.”
Mendengar ini, Nyo-wan-gwe lalu cepat-cepat berkata, “Ah, kau datang membawa berita dari Pangeran Liu? Silakan masuk saja, anak muda!”
Yang Giok lalu diantar masuk ke dalam dan dibawa ke ruang belakang, karena Nyo-wan-gwe maklum bahwa pemuda ini tentu membawa berita penting sekali. Setelah mereka duduk mengitari sebuah meja yang terukir indah, Nyo Seng Hwat lalu bertanya, “Kau siapa, hiante (saudara)? Dan pernah apakah dengan Pangeran Liu?
Saya bernama Kwee Yang Giok dan Pangeran Liu adalah pamanku, karena Liu hujin (nyonya Liu) adalah bibiku.”
Nyo Seng Hwat lalu memperkenalkan dirinya dan sambil menunjuk kepada pemuda yang bersamanya itu, ia berkata, “Dan ini adalah puteraku bernama Nyo Liong.”
Yang Giok merasa betapa mukanya menjadi panas dan untuk menyembunyikan warna merah yang menjalar pada mukanya, ia gunakan ujung lengan baju untuk pura-pura menyeka peluhnya. Ia diam-diam memperhatikan pemuda itu.
Tak disangkal bahwa Nyo Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, sedangkan tubuhnya tinggi tegap, akan tetapi sayang sekali, dalam pandangan Yang Giok, pemuda ini terlampau lemah dan begitu sopan santun dan pendiam hingga sama sekali tidak nampak sifat-sifat gagah, bahkan agak bodoh nampaknya.
Oleh karena ini, diam-diam hatinya merasa kecewa sekali. Ia adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian bun (kesusasteraan) dan bu (keperwiraan), maka tentu saja iapun menginginkan seorang pasangan yang selain pandai ilmu sastera, juga pandai ilmu silat pula agar sesuai dengan kepandaiannya sendiri. Dengan seorang pemuda kutu buku macam ini, apakah keselamatan hidupnya kelak akan terjamin?
“Sekarang ceritakanlah, Kwee-hiante, bagaimana keadaan Pangeran Liu setelah kota raja jatuh ke dalam tangan pemberontak,” tanya Nyo-wan-gwe.
Yang Giok menghela napas dan wajahnya menjadi berduka. “Kaisar dan pembesar-pembesar lain mengungsi ke Secuan, akan tetapi pamgeran Liu yang semenjak dulu tidak suka dengan kelaliman kaisar, telah mengambil jalan sendiri. Tadinya Pangeran Liu hendak melarikan diri ke sini, akan tetapi malang baginya, di tengah jalan beliau telah tertangkap oleh perajurit-perajurit tani dan ditawan.”
Nyo-wan-gwe menjadi pucat mendengar ini dan ia mengeluh, akan tetapi tiba-tiba Nyo Liong berkata, “Ayah, tak perlu dikhawatirkan nasib Pangeran Liu. Ia terkenal sebagai seorang Pangeran yang jujur dan tidak menjalankan kecurangan-kecurangan seperti pembesar lain, bahkan terang-terangan ia menentang kelaliman kaisar, maka kurasa ia akan selamat. Bukankah sepanjang pendengaran kita, kaum pemberontak tidak memusuhi mereka yang memang jujur dan melakukan tugas kewajibannya dengan baik? Yang dibasmi adalah para penindas rakyat.”
Yang Giok merasa heran juga mendengar ucapan ini dan mulailah ia menaruh perhatian kepada “tunangannya” itu, karena ternyata bahwa pemuda ini tidak sebodoh yang ia sangka. Akan tetapi Nyo-wan-gwe menghela napas dan berkata.
“Mudah-mudahan saja begitu. Dan bagaimanakah dengan keadaan puterinya?” tanyanya kemudian kepada Yang Giok.
“Liu-siocia (nona Liu) juga telah melarikan diri dan berpisah dengan ayahnya, akan tetapi saya sendiri tidak tahu ke mana perginya.”
Nyo-wan-gwe menggeleng-gelengkan kepala dan mukanya menyatakan bahwa ia ikut berduka dan bingung hingga melihat keadaannya ini, diam-diam Yang Giok merasa suka kepada “calon mertua” ini.
Akan tetapi, ia mendongkol sekali melihat betapa Nyo Liong agaknya tidak ambil perduli sama sekali, bahkan tidak bertanya sesuatunya tentang diri puteri Pangeran Liu, bahkan sebaliknya, cuma mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penyerangan yang terjadi di kota raja.
“Saudara Kwee,” katanya sambil memandang tajam, “kau datang dari kota raja, tentu kau tahu tentang terjadinya penyerbuan barisan tani yang dipimpin oleh Oey Couw itu. Bagaimanakah? Apakah tentara kerajaan melakukan perlawanan? Dan bagaimana sepak terjang barisan tani itu?”
Dengan mendongkol Yang Giok menjawab. “Mereka itu buas sekali dan rata-rata bertempur dengan nekat hingga tentara kerajaan terpukul mundur. Kaisar dan para panglimanya tiap hari kerjanya hanya bersenang-senang saja dan sama sekali tidak melatih tentaranya, mana bisa para gentong nasi itu melakukan perlawanan terhadap musuh yang menyerbu? Boleh dikata bahwa pintu kota raja dibuka begitu saja untuk para penyerbu, dan kaisar sendiri bersama panglima dan pembesar lain siang-siang sudah melarikan diri. Aku tidak tahu banyak tentang pertempuran itu, karena setelah tentara musuh menyerbu masuk, aku bergegas melarikan diri dan sekarang aku berada seorang diri, sebatang kara tak tentu arah tujuan dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.”
“Kwee-hiante, jangan kau kuatir. Karena kau adalah keponakan sendiri dari Pangeran Liu, maka berarti bahwa kaupun adalah keluarga kami sendiri. Kuharap kau suka tinggal saja di sini sambil menanti berita dari Pangeran Liu yang tertawan itu, atau aku akan menyuruh orang mencari tahu tentang nasib Liu-siocia.”
Yang Giok berdiri sambil menjura. “Kau ternyata baik sekali, Nyo-wan-gwe, dan aku yang muda berterima kasih sekali atas kebijakanmu ini.”
“Ah, kita adalah orang-orang sekeluarga, janganlah berlaku terlalu hormat, Kwee-hiante, dan jangan menggunakan sebutan wan-gwe, panggil saja lopeh (paman) kepadaku,” kata Nyo Seng Hwat yang baik hati.
Nyo-wan-gwe lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan sebuah kamar untuk Yang Giok dan gadis ini lalu tinggal di dalam gedung calon mertuanya dengan aman. Karena semua orang menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda sasterawan, maka ia dapat bergaul bebas dengan Nyo Liong dan pemuda ini tiap hari mengajaknya membaca buku, menulis sajak, atau bermain thioki.
Juga seringkali Nyo Liong bertanya tentang keadaan di kota raja, hingga Yang Giok benar-benar menyangka bahwa pemuda ini adalah seorang kutu buku yang betul-betul tidak mengerti ilmu silat. Hanya dalam permainan thioki atau catur ia selalu dikalahkan oleh Nyo Liong, dan juga dalam kepandaian menulis, pemuda ini benar-benar mengagumkan.
Kalau saja Nyo Liong pandai ilmu silat tentu Yang Giok akan merasa puas sekali melihat tunangannya ini, akan tetapi karena gadis itu menyangka bahwa Nyo Liong adalah seorang yang buta silat, maka tetap saja hatinya merasa kecewa.
******
Tiga hari berikutnya, pada waktu tengah malam yang gelap gulita, ketika seisi keluarga Nyo dan tidur nyenyak, tiba-tiba di atas genteng gedung besar itu berkelebat tiga bayangan orang-orang yang gesit sekali. Mereka ini tidaklain ialah anggota-anggota Jian-jiu-pai atau Perkumpulan Tangan Seribu. Seorang di antara mereka terdapat si Kate Tan Kok yang hebat.
Setelah mengadakan kontak dengan para penyelidik mereka yang berada di kota Siu-bi-koan, akhirnya perkumpulan itu dapat mengetahui bahwa pemuda sasterawan yang membawa pedang Thian Hong Kiam berada di rumah Nyo-wan-gwe, hingga malam itu Tan Kok dan dua orang kawan lain sengaja datang hendak mencuri pedang itu.
Dengan secara cerdik sekali mereka telah dapat mencari keterangan di mana letak kamar Yang Giok dan setelah melompat turun, mereka dengan mudah dapat membongkar daun jendela kamar Yang Giok.
Akan tetapi, semenjak tinggal di gedung itu, Yang Giok selalu berlaku hati-hati dan waspada, maka iapun dapat mendengar ketika jendela kamarnya dibongkar orang. Dengan pedang di tangan, ketika daun jendelanya terbuka, gadis ini melompat dan menerjang melalui jendela sambil memutar pedangnya dan berseru.
“Maling hina, kau datang mencari mampus!”
Melihat bahwa “pemuda sasterawan” itu telah mengetahui kedatangan mereka, maka ketiga maling itu lalu mencabut senjata masing-masing dan maju mengeroyok. Tan Kok yang memiliki kepandaian hebat itu kini bersenjata sebatang ruyung lemas sedangkan kedua kawannya bersenjata golok. Gerakan-gerakan mereka cukup hebat hingga baru beberapa jurus saja Yang Giok telah terdesak hebat.
Tan Kok maklum bahwa kedua kawannya cukup tangguh menghadapi Yang Giok, maka ia lalu melompat masuk ke dalam kamar itu. Yang Giok yang tahuakan maksud Tan Kok, hendak maju menghalangi, akan tetapi kedua lawannya mendesak hebat dengan golok mereka hingga ia tidak berdaya dan terpaksa menghadapi mereka ini sambil memutar-mutar pedangnya dengan gemas.
Karena bingung dan kuatir sekali kalau-kalau pedang Thian Hong Kiam akan tercuri, Yang Giok lau berteriak-teriak.
“Tolong, tolong, ... maling ... . !!”
Akan tetapi, Tan Kok sudah berhasil mendapatkan pedang Thian Hong Kiam yang disembunyikan dalam buntalan pakaian Yang Giok dan maling kate ini nampak telah melompat keluar dari jendela sambil membawa pedang itu.
“Kawan-kawan, pergi!!” katanya kepada kedua kawannya sambil melompat naik ke atas genteng. Kedua kawannya lalu meninggalkan Yang Giok dan ikut melompat naik.
Sementara itu, teriakan Yang Giok telah membangunkan tuan rumah dan para pelayan akan tetapi mereka ini hanya memandang dengan takut dan bingung, karena tidak berdaya menghadapi penjahat-penjahat yang dapat loncat naik ke atas genteng demikian gesitnya bagaikan seekor kucing layaknya.
Mereka ini hanya dapat ikut berteriak-teriak, bahkan Nyo Liong juga datang ke tempat itu ikut berteriak-teriak, “maling, maling!” Kemudian pemuda ini lalu berlari menyembunyikan diri ke dalam kamarnya.
Yang Giok merasa gemas dan mendongkol sekali. Dari orang-orang lemah yang mendiami gedung ini. Ia tak dapat mengharapkan bantuan apa-apa, maka iapun lalu nekad dan melompat naik ke atas genteng mengejar ketiga orang pencuri itu.
Bersambung ke bagian 03
0 comments:
Post a Comment