Join The Community

Premium WordPress Themes

Pedang Keramat Thian Hong Kiam 05

PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM

Karya: Kho Ping Hoo

Beberapa hari kemudian, Nyo Liong dan Yang Giok tiba di luar desa Bi-siang-lun. Ketika mereka hendak memasuki pintu dusun yang terbuat dari pada pagar bambu, tiba-tiba dari depan mendatangi serombongan orang dan ternyata orang-orang itu sengaja menghadang di tengah jalan hingga Nyo Liong dan Yang Giok terpaksa menahan kuda mereka. Setelah dekat, Yang Giok terkejut sekali karena orang-orang ini tidak lain ialah Tan Kok si Maling Kate bersama kawan-kawannya.

Yang Giok mendahului meloncat turun dari kudanya dan menghadapi mereka dengan tabah. Si Kate Tan Kok kembali menjadi wakil pembicara dan kini si kate itu bersungguh-sungguh, bahkan ia menjura dan memberi hormat kepada Yang Giok dan Nyo Liong.

“Jiwi, sudah lama kami menanti di sini.”

“Orang she Tan, kembali kau menghadang dan menahan kami. Apakah kehendakmu kali ini?”

“Kwee-kongcu, kali ini kami sengaja mengambil jalan terang-terangan, kami telah mengambil keputusan untuk mengundang kau bersama kawanmu itu berkunjung ke tempat kami, yakni di cabang kami dalam desa Bi-siang-lun ini. Kami mengundang kau dan kawanmu untuk ber-pibu (adu kepandaian), yakni jika kau berani. Kami hendak menebus kekalahan kami yang berkali-kali itu.”

“Orang she Tan, sudah ku katakan kepadamu bahwa pedang itu tidak berada padaku, mengapa kau tetap mendesakku?” Yang Giok mencoba mencegah.

“Ha, ha, Kwee kongcu, kami tidak percuma menjadi anggota-anggota Jian-jiu-pai yang tidak saja mempunyai seribu tangan, tapi juga seribu mata. Pedang itu belum kau berikan kepada orang lain, maka sekarang kami minta kau memberi sedikit pelajaran kepada kami. Kalau ternyata kau memang seorang gagah perkasa dan dapat mengalahkan jago yang kami ajukan, kami mengaku kalah dan takkan mengganggumu lagi. Sebaliknya jika kau atau si Kedok Hitam itu kalah, bagaimanapun kau harus memberikan pedang itu kepada kami. Kecuali jika kau takut dan tidak berani menerima undangan kami, maka kami akan menganggap kau seorang pengecut.”

Bukan main marahnya Yang Giok mendengar ini hingga wajahnya berubah merah. Biarpun ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum mencukupi untuk menghadapi anggota-anggota Jian-jiu-pai yang hebat itu. Akan tetapi, ia lebih baik binasa dari pada dianggap seorang pengecut. Akan tetapi, sebelum ia sempat menjawab, Nyo Liong telah mendahuluinya dan berkata dengan suara lantang, “Eh, eh kau berani sekali menganggap kawanku ini pengecut. Dia adalah seorang gagah yang tidak takut menghadapi cacing-cacing seperti kalian ini. Saudaraku yang baik terimalah tantangan mereka dan aku akan menjadi wasit dan saksi agar dalam pibu ini tidak terjadi kecurangan.”

Semua orang memandang kepada Nyo Liong dan Tan Kok tersenyum menghina, “Siapa yang akan main curang? Marilah kalau kalian memang benar-benar lelaki!”

Dengan hati panas Yang Giok dan Nyo Liong mengikuti mereka menuju ke desa Bi-siang-lun. Di sepanjang jalan rombongan maling yang ditakuti penduduk dan sudah terkenal sebagai orang-orang yang berkepandaian tinggi itu memberitahu kepada para penduduk bahwa di rumah perkumpulan mereka akan diadakan pibu, maka banyaklah orang mengikuti mereka hendak menonton orang mengadu kepandaian.

Gedung perkumpulan Jian-jiu-pai cukup besar dan mempunyai pekarangan depan yang luas. Agaknya para maling itu telah mengetahui dari para penyelidik mereka bahwa kedua pemuda ituakan lewat di situ, maka mereka telah siap sedia dan di pekarangan itu telah dibangun sebuah luitai. Mereka dapat menduga bahwa diam-diam si Kedok Hitam tentu melindungi pemuda she Kwee itu, maka mereka sengaja memancing agar si Kedok Hitam muncul di waktu siang sehingga mereka akan dapat mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam itu.

Untuk menghadapi si Kedok Hitam, mereka sengaja mendatangkan tiga orang jago mereka yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Tan Kok. Dan telah mereka rencanakan bahwa apabila ketiga jago itu akhirnya takkan dapat melawan si Kedok Hitam, mereka akan mengeroyok.

Yang Giok dan Nyo Liong mendapat tempat kehormatan yang sengaja diadakan di kepala panggung luitai hingga tempat duduk mereka dapat terlihat dari segenap penjuru dan dari luar. Setelah dengan tabah kedua anak muda itu duduk di tempat yang disediakan untuk mereka, maka tak heran apabila keduanya merasa menjadi tontonan orang.

Sebentar saja semua penduduk yang datang hendak menonton tahu bahwa kedua anak muda itulah yang hendak berpibu melawan rombongan anggota Jian-jiu-pai, maka diam-diam mereka merasa heran dan kuatir. Kedua pemuda itu kelihatan begitu pendiam, lemah lembut dan tak bertenaga. Bagaimana mereka ini hendak mengadu kepandaian melawan orang-orang Jian-jiu-pai yang kasar dan bertenaga besar serta berkepandaian silat tinggi?

Kemudian Tan Kok menghampiri kedua pemuda itu dan berkata kepada Yang Giok, “Kwee kongcu, karena kalian datang berdua, maka kami pun hendak mengajukan dua orang jago. Sekarang, di antara jiwi, siapakah yang hendak maju terlebih dahulu?” Sambil berkata demikian, Tan Kok si pendek ini tersenyum mengejek, karena ia memandang rendah sekali kepada pemuda tamunya ini.

Yang Giok segera berdiri dan berkata, “Aku sendirilah yang hendak maju melayani kalian, sedangkan kawanku ini tidak tahu apa-apa dan tidak ikut campur. Dalam hal pibu yang kalian adakan ini, kalah atau menang adalah menjadi tanggung jawabku sendiri dan kuharap kawanku yang lemah ini jangan sekali-kali diganggu.”

Memang Yang Giok sudah dapat menduga bahwa kali ini kawanan maling itu tentu tidak mau melepaskannya dan karenanya ia hendak berlaku nekad dan melawan mati-matian. Akan tetapi ia tidak ingin melihat Nyo Liong diganggu, pertama karena pemuda ini lemah tak berdaya, kedua karena pedang Thian Hong Kiam telah dititipkan kepada pemuda ini.

Akan tetapi, dengan bersemangat Nyo Liong juga berdiri dan berkata, “Tidak, tidak begitu. Karena kami datang berdua, maka pertandingan boleh dilakukan dua kali. Saudara Kwee ini maju terlebih dulu dan aku maju di bagian kedua. Tapi ingat, pertandingan yang diadakan ini hanyalah sekedar pibu yakni untuk mengukur kepandaian belaka, maka tidak boleh sekali-kali sampai mempertaruhkan jiwa.”

Tan Kok tertawa gelak-gelak. “Bagus, kau agaknya pemberani juga, anak muda. Bukankah kau ini Nyo kongcu yang terkenal karena dalam usia muda telah merebut ijazah dan lulus dalam ujian? Rupanya, selain cerdik pandai, kau juga gagah berani. Boleh, boleh memang seharusnya diatur demikian. Sekarang kami persilakan Kwee Kongcu maju untuk menghadapi seorang jago kami.”

Tanpa ragu-ragu, biarpun sambil mengerling ke arah Nyo Liong dengan heran dan kuatir, Yang Giok menuju ke panggung dan dari pihaktuan rumah muncullah seorang tinggi besar bermuka hitam. Orang itu menjura kepada Yang Giok dan berkata dengan suaranya yang besar dan parau. “Saya sudah mendengar dari kawan-kawan tentang kehebatan Kwee-sicu, maka beruntung sekali hari ini aku mendapat kesempatan untuk mengenalmu.”

Yang Giok memandang muka orang itu dan bertanya. “Sebetulnya aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa akan tetapi pihakmu yang mendesak dan memaksa. Siapakah tuan?”

“Aku adalah Gan Sin Kun, suheng dari Tan Kok.”

Diam-diam Yang Giok terkejut karena baru melawan Tan Kok saja ia tak dapat menang, apalagi harus menghadapi suhengnya. Akan tetapi, memang pada dasarnya Yang Giok berhati tabah dan bersemangat baja, hingga sedikit pun ia tidak memperlihatkan perasaan takut.

“Gan enghiong, marilah kita mulai,” Ia mengajak dan memasang kuda-kuda.

“Harap kau berlaku murah hati, Kwee sicu,” jawab orang bermuka hitam itu yang lalu maju menyerang. Yang Giok tahu bahwa ia kalah tenaga menghadapi orang ini, maka ia hanya menggunakan kegesitannya untuk menjaga diri dan membalas serangan lawannya. Sebaliknya, Gan Sin Kun memang sudah tahu dari sutenya, Tan Kok, bahwa kepandaian Yang Giok tidak seberapa hebat, maka ia tidak merasa kuatir dan bertempur seenaknya saja.

Biarpun ia bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam menyeramkan, akan tetapi orang she Gan ini mempunyai hati yang halus dan lemah. Begitu melihat muka Yang Giok yang tampan sekali dan kulitnya yang lemas itu, hatinya telah menaruh rasa kasihan dan ia tidak tega untuk mencelakakan atau melukainya, apalagi kalau ia ingat bahwa permusuhan di antara golongannya dengan pemuda ini bukanlah permusuhan besar dan soal yang timbul di antara mereka hanyalah merupakan perebutan sebuah benda belaka. Oleh karena itu, ia hanya akan mendesak kepada Yang Giok agar pemuda itu mengaku kalah tanpa melukainya.

Karena Gan Sin Kun mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat dan bertenaga besar, maka benar saja, Yang Giok segera terdesak dan hanya mampu mengelak serta kadang-kadang menangkis saja. Bahkan tiap kali menangkisia merasa betapa lengan tangannya sakit dan pedas. Orang-orang yang menonton pertandingan ini menahan napas dan merasa kuatir sekali melihat betapa Yang Giok terdesak dan hanya dapat mengelak sambil mundur.

Ketika Nyo Liong melihat betapa kawannya terdesak, diam-diam ia merasa gelisah sekali. Kalau ia bertindak, tentu akan terbuka rahasianya, akan tetapi untuk berdiam diri saja, juga tak benar karena Yang Giok berada dalam bahaya. Ia gelisah dan merasa serba susah.

Akhirnya, karena tidak tega melihat Yang Giok terdesak terus dan melihat peluh memenuhi wajah Yang Giok yang keras hati dan tetap melawan tak mau menyerah kalah itu, Nyo Liong lalu berdiri dan dengan berlari ia menghampiri ke atas panggung. Dengan menggerak-gerakkan kedua tangannyaia mencegah dilanjutkannya pertempuran sambil berkata, “Sudah, sudah! He, muka hitam, sudahilah!” Nyo Liong dengan gerakan kacau menyerbu di antara mereka hingga Gan Sin Kun terpaksa mundur karena ia tidak mau salah tangan memukul kepada anak muda yang hanya bermaksud menghentikan pertempuran itu. Yang Giok berdiri dengan muka merah karena malu dan memandang kepada Nyo Liong dengan mata melotot karena marahnya.

“Liong-ko, mengapa kau bertindak setolol ini? Apa kau kira aku takut mati? Biarkan orang she Gan itu menyerangku, walaupun kepandaianku kalah tinggi, akan tetapi aku tidak takut sama sekali!”

Mendengar ucapan Yang Giok ini, Gan Sin Kun merasa kagum akan ketabahan dan kekerasan hati anak muda itu, maka ia lalu berkata, “Kwee sicu telah berlaku murah hati dan mengalah.”

Sebaliknya sambil tersenyum Nyo Liong menghadapi Yang Giok dan berkata, “Saudaraku yang baik, ini hanyalah pibu yang biasa saja, mengapa harus berlaku nekad dan mati-matian? Duduklah di sana dan biarkan aku merasai kehebatan orang-orang Jian-jiu-pai.”

“Apa kau mabok?” Yang Giok membentak. ”Bagaimana kau hendak menghadapi mereka yang hebat?”

Akan tetapi Nyo Liong tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya kepada Yang Giok. Apa boleh buat, dengan mengangkat kedua pundaknya, Yang Giok kembali ke tempat duduknya dan melihat ke arah Nyo Liong dengan hati berdebar.

Nyo Liong menjura kepada Gan Sin Kun, “Tuan muka hitam yang gagah, berilah aku sedikit pelajaran ilmu silat seperti yang telah kau berikan kepada kawanku tadi.”

Akan tetapi, sebelum Gan Sin Kun menjawab, tiba-tiba Tan Kok si pendek naik ke atas panggung. Ia tidak mau jika semua pahala direbut oleh suhengnya, maka ia berkata, “Gan suheng, harap kau suka mundur. Biarlah sute yang melayani pemuda ini. ” Gan Sin Kun memang tidak suka melayani segala pemuda lemah, maka ia lalu mengundurkan diri dan duduk menjadi penonton.

Sementara itu, Tan Kok sambil tertawa berkata kepada Nyo Liong, “Anak muda, kau tadi telah mendengar sendiri perjanjian kita. Sekarang kawanmu she Kwee itu sudah kalah dan sebentar lagi kalau kau telah kujatuhkan, maka kau dan kawanmu itu harus segera mengeluarkan benda yang kami inginkan?”

“Jadi kau hendak menjatuhkan aku?” Nyo Liong bertanya tanpa memperdulikan bicara lawannya tentang pedang itu.

Tidak saja Tan Kok yang tersenyum geli mendengar pertanyaan ini, bahkan dari pihak penonton ada juga yang tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaan Nyo Liong tadi.

“Sudah tentu aku akan menjatuhkan kau!” jawab Tan Kok. “Memang di dalam pibu, orang yang bertanding harus berusaha untuk menjatuhkan lawannya.”

“Oh, begitu? Jadi siapa yang terjatuh, maka ia dianggap kalah?” tanya Nyo Liong.

“Ya, begitulah,” jawab Tan Kok dan pada saat itu juga Nyo Liong cepat menggunakan kakinya menjegal dan tangan mendorong tubuh si Kate hingga Tan Kok yang sama sekali tidak menyangka pemuda ini akan melakukan serangan aneh ini, tidak dapat mempertahankan diri dan jatuh terguling. Para penonton tertawa geli dan bahkan ada yang bersorak, akan tetapi diam-diam Yang Giok mengeluh karena gerakan Nyo Liong adalah akal kanak-kanak yang digunakan pada waktu mereka berkelahi.

Sementara itu, melihat bahwa Tan Kok telah jatuh, Nyo Liong dengan wajah berseri lalu berkata lantang. “Nah, orang she Tan. Kau harus mengaku kalah. Kau telah terjatuh!!”

Bukan main marahnya Tan Kok mendengar ini. Ia melompat berdiri dengan muka merah.

“Bangsat rendah dan curang!” bentaknya.

“Eh, eh, mengapa kau marah-marah? Bukankah kau sudah kujatuhkan? Ingatlah perjanjian kita!”

“Apa, kau kira aku ini anak kecil!” bentak Tan Kok. “Yang dimaksudkan dengan terjatuh di atas panggung luitai adalah jatuh karena dikalahkan dalam perkelahian. Hayo kau siap dan jaga datangnya seranganku!” Sambil berkata begitu Tan Kok lalu maju menyerang dengan kepalan tangannya. Serangan ini hebat sekali dan ditujukan ke arah dada Nyo Liong dengan sekuat tenaga.

Tak terasa lagi Yang Giok menjerit. Untung ia masih dapat menahan suara jeritannya dan karena pada saat itu terdengar banyak suara para penonton yang ramai membicarakan sikap Nyo Liong, ada yang pro dan ada yang kontra, maka suara jeritannya tak terdengar orang. Kalau sampai terdengar, tentu orang akan merasa heran mengapa pemuda ini mengeluarkan suara jeritan seperti suara perempuan. Akan tetapi karena hatinya benar-benar merasa cemas melihat serangan itu tak terasa lagi Yang Giok berteriak, “Awas, Liong-ko!” dan ia memejamkan mata karena tak tahan melihat betapa pemuda tunangannya itu akan terpukul jatuh dengan menderita luka berat. Akan tetapi, ketika mendengar suara teriakan Yang Giok, Nyo Liong bahkan berpaling dan memandang dengan tersenyum, sama sekali tidak memperdulikan datangnya kepalan lawan ke arah dadanya.

Yang Giok membuka mata dan masih sempat melihat, betapa setelah serangan itu hampir mengenai dada Nyo Liong, tiba-tiba pemuda itu seperti terjengkang ke belakang dengan gerakan yang canggung dan lucu. Akan tetapi justru karena gerakan itu ia terhindar dari serangan Tan Kok. Yang Giok melebarkan matanya dan hampir tak dapat percaya kepada matanya sendiri. Luar biasa benar gerakan mengelak tadi. Kebetulan sajakah atau memang Nyo Liong memiliki kepandaian tinggi?

Sementara itu, ketika melihat betapa serangan pertama yang hampir berhasil itu akhirnya gagal, Tan Kok makin marah dan terus menyerang dengan hebat. Ia tidak memperdulikan lagi apakah lawannya yang bersikap lemah itu akan terluka hebat atau akan mati sekalipun terkena serangannya karena amarah telah memenuhi dadanya dan menutupi hati nuraninya.

Akan tetapi, kini semua penonton bersorak riuh rendah dan Yang Giok tak terasa lagi bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Ketika diserang secara bertubi-tubi oleh Tan Kok, Nyo Liong lalu bergerak ke sana ke mari dengan lincah sekali. Semua gerakan mengelak dari pemuda ini nampaknya kacau balau dan kakinya pun tak teratur, akan tetapi tak sebuah pun pukulan Tan Kok mengenainya. Bahkan ketika mendapat kesempatan, Nyo Liong berhasil menangkap ujung baju Tan Kok dan menariknya sekuat tenaga. Tan Kok mempertahankan diri karena ia merasa betapa tenaga tarikan itu kuat sekali, dan dalam adu tenaga ini, tiba-tiba terdengar suara “Brett!!” dan sobeklah baju Tan Kok. Tan Kok terhuyung-huyung ke belakang, terbawa oleh tenaga mempertahankan yang kini dilepas secara tiba-tiba. Akan tetapi ia dapat mempertahankan diri dan dengan muka merah ia bertanya.

“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Mengakulah! Apa hubunganmu dengan si Kedok Hitam?”

Juga Yang Giok ingin sekali mendengar jawaban Nyo Liong karena diam-diam iapun menyangka bahwa Nyo Liong mungkin sekali adalah si Kedok Hitam sendiri. Akan tetapi, Nyo Liong hanya tersenyum dan menjawab.

“Eh, orang kate. Kau hendak bertanding kepandaian atau bertanding lidah? Kalau bertanding lidah, bukan di sini tempatnya!”

Tanpa berpikir panjang Tan Kok bertanya, “Di mana?”

“Di sekeliling meja yang penuh hidangan dan arak wangi!” Mendengar kata-kata yang jelas mempermainkan Tan Kok ini para penonton tertawa geli, juga Yang Giok tersenyum. Entah mengapa, ketika melihat bahwa Nyo Liong ternyata bukanlah seorang lemah seperti yang selama ini ia sangka dan yang selalu mendatangkan rasa kecewa di dalam hatinya. Yang Giok merasa sesuatu yang mesra dan yang menimbulkan perasaan girang dan bahagia meresap ke dalam hatinya dan yang membuatnya tiba-tiba memerah muka dan merasa bangga ketika memandang wajah Nyo Liong.

Tan Kok merasa bahwa ia dipermainkan segera melepaskan jubahnya yang sudah sobek itu, lalu sambil memutar-mutar jubahnya ia berkata, “Kalau begitu, hayo kita lanjutkan pertandingan ini dan kau boleh mempergunakan senjatamu!”

“Aku tidak bisa memegang senjata, dan kalau senjatamu hanya pakaian tua yang tak berharga lagi, sudah sobek ini, biarlah aku melayanimu dengan tangan kosong.”

Tan Kok terkenal sekali karena kepandaiannya memainkan jubahnya sebagai senjata karena dengan ilmu lweekangnya yang sudah tinggi, jubah itu dapat berubah menjadi sebuah senjata yang sangat ampuh di dalam tangannya. Tentu saja ia menjadi marah sekali mendengar betapa pemuda ini hendak menghadapinya dengan tangan kosong. Juga Yang Giok yang sudah mengenal kehebatan senjata aneh di tangan si Kate ini, tak terasa berseru lagi.

“Liong-ko, kau pakai pedangku ini!”

Nyo Liong berpaling lagi dan tersenyum sambil berkata, “Saudaraku, jangan kau memperolok-olokan, kau tahu bahwa aku tidak becus memegang senjata tajam!” Kemudian ia menghadapi Tan Kok kembali dan berkata, “Orang kate jangan banyak membuang waktu, hayo lekas memperlihatkan kehebatanmu!”

“Bangsat, kau mencari mampus sendiri!” Tan Kok membentak dan jubahnya menyambar menimbulkan angin hebat.

Melihat gerakan ini, Nyo Liong yang juga sudah tahu akan kehebatan Tan Kok, tidak mau bermain-main lagi. Ia segera memperlihatkan kegesitannya dan mengelak ke kiri, sebelum Tan Kok dapat menyerang lagi, Nyo Liong sudah mendahuluinya dan menotok ke arah iga kanannya. Tan Kok terkejut sekali karena serangan ini benar-benar merupakan gerakan yang sangat cepat dan hebat, maka ia cepat mengelak dan mencurahkan perhatiannya kepada serangan lawan ini, akan tetapi celaka baginya karena serangan ini sebetulnya hanyalah gertak belaka dan tahu-tahu tangan kiri Nyo Liong telah meluncur dan menotok sambungan sikunya yang memegang jubah. Tan Kok berteriak kesakitan dan jubahnya terlepas dari tangannya. Saat itu digunakan oleh Nyo Liong untuk mempergunakan akal kanak-kanak yang tadi telah diperlihatkan, yakni dengan kakinya menjegal kaki lawan ia mendorong sekerasnya hingga Tan Kok terjungkal.

Bukan main riuh rendahnya para penonton melihat hal ini. Juga pihak Jian-jiu-pai merasa heran sekali. Sungguh sukar dipercaya bahwa dalam dua jurus saja, Tan Kok yang mempergunakan senjatanya yang ampuh itu dapat dirobohkan oleh seorang pemuda yang bertangan kosong. Bukan Main!

Yang Giok kini tidak ragu-ragu lagi. Nyo Liong tentu tidak lain ialah si Kedok Hitam sendiri. Kalau tidak demikian, mana mungkin pemuda itu dapat memiliki kepandaian sehebat ini? Maka hampir saja ia ikut bersorak, akan tetapi ia dapat menahan perasaannya dan hanya bersorak sorai di dalam hati dengan perasaan girang dan bahagia. Kini Tan Kok merasa bahwa pemuda yang luar biasa ini benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi sekali, maka ia hanya dapat memandang dengan bengong sambil merintih-rintih karena sambungan sikunya telah terlepas. Sementara itu para kawanan Jian-jiu-pai ketika melihat betapa pemuda she Nyo itu hebat sekali, mereka serentak mencabut senjata dan maju mengepung Nyo Liong dan Yang Giok yang sementara itu telah melompat mendekati Nyo Liong. Yang Giok cepat mencabut pedangnya menghadapi segala kemungkinan, sedangkan Nyo Liong tiba-tiba mengubah sikapnya yang tadi bermain-main. Ia cabut sebatang pedang dari pinggangnya hingga baik Yang Giok sendiri maupun para kawanan Jian-jiu-pai berdiri bengong ketika melihat bahwa pemuda itu telah mencabut pedang Thian Hong Kiam yang diperebutkan.

“Kawanan perampok. Kalian menghendaki pedang ini? Baiklah, kalian maju semua dan hendak kulihat siapa di antara kamu sekalian yang sanggup merampas pedang ini dari tanganku.”

Untuk sejenak kawanan maling ini berdiri terpaku akan tetapi mereka segera maju menggerakkan senjata dan mengeroyok. Akan tetapi, pada saat itu Nyo Liong berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah lenyap, berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan yang menyambar ke sana ke mari. Ternyata ia telah mengeluarkan ilmu silat pedang Pat-kwa Im Yang Kiam-sut. Terdengar teriakan-teriakan yang dikeluarkan oleh para anggota Jian-jiu-pai yang menjadi panik karena mereka tidak melihat penyerang mereka dan tahu-tahu senjata mereka terbabat putus dan tangan mereka terkena ujung pedang Thian Hong Kiam hingga mengalirkan darah.

Akhirnya semua anggota Jian-jiu-pai menjatuhkan diri berlutut, sedangkan semua penonton lari bubar karena takut. Gan Sin Kun sendiri terluput dari pada serangan Nyo Liong karena pemuda ini suka kepada orang yang tadi berlaku murah kepada Yang Giok, maka orang she Gan ini lalu berkata, “Nyo taihiap, kau sungguh perkasa. Patut sekali pedang Thian Hong Kiam berada di tanganmu. Bolehkah kami mengetahui, apakah taihiap (pendekar) ini Sasterawan Berkedok Hitam?”

Nyo Liong menyimpan pedangnya dan sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kalian tak perlu tahu tentang Sasterawan Berkedok Hitam. Dia adalah kawan baikku, dan jika kalian masih mengganas, maka ia tentu takkan memberi ampun!”

Setelah berkata demikian, dengan tenang Nyo Liong lalu mengajak Yang Giok pergi meninggalkan tempat itu dan menunggangi kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan. Semua kawanan Jian-jiu-pai tak berani menghalangi mereka lagi.

******

Bersambung ke bagian 06

Pedang Keramat Thian Hong Kiam: 01 | 02 | 03 | 04 | 05

0 comments: