Join The Community

Premium WordPress Themes

Laron Penghisap Darah 03

Bab 3. Malam yang panjang.

EMPAT ekor Laron Penghisap Darah masih tetap bertengger di atas penutup lentera, sorot matanya yang berwarna merah darah seakan sedang mengawasi dirinya dengan pandangan mengejek.

Ternyata pandangan matanya belum melamur!

Tapi aneh, mengapa Gi Tiok-kun tidak dapat melihatnya? Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah istrinya, lalu dengan suara ringan menegur, "Kau benar-benar tidak melihatnya?"

Sekali lagi Gi Tiok-kun menghela napas panjang, kali ini dia tidak menjawab, mulutnya ditutup rapat-rapat.

Jui Pakhay mendengus dingin, mendadak dia maju ke depan dengan langkah lebar, langsung menghampiri lentera berwarna perak itu.

Dia melangkah maju sangat lamban, tangan kanannya menggenggam gagang pedang kuat-kuat sementara sorot matanya mengawasi ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu dengan pandangan buas.

Sedikit saja ada gerakan, pedang Jit seng Coat mia kiam miliknya segera akan dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

Ke empat ekor Laron Penghisap Darah masih tetap tidak bergerak.

Jui Pakhay maju lagi tiga langkah, otot-otot hijau pada lengan kanannya sudah pada menonjol keluar dengan tegangnya.

Begitu pula dengan tangan kirinya, ke lima jari tangannya telah ditekuk bagaikan kail yang tajam, kail yang setiap saat akan merobek tubuh lawannya! Sekarang tinggal tujuh langkah lagi dia akan tiba di depan lentera perak itu.

Sekarang jarak lawan sudah berada dalam jangkauannya, walaupun sang pedang belum diloloskan dari sarungnya, namun hawa pembunuhan yang memancar keluar dari badannya nyaris bisa memadamkan api di atas lentera.

Tentu saja cahaya lentera tidak sampai padam, akan tetapi ke empat ekor Laron Penghisap Darah itupun masih belum bergerak, pandangan mengejek seakan makin tebal menyelimuti mata makhluk-makhluk itu.

Pada hakekatnya kawanan laron itu tidak pandang sebelah mata pun terhadap Jui Pakhay.

Rasa gusar mulai menyelimuti benaknya, Jui Pakhay pun mempunyai anggapan yang sama dengan kawanan makhluk itu, merasa dirinya dipandang enteng, hawa amarah seketika menggantikan perasaan ngeri yang semula mencekam perasaannya.

Begitu hawa amarahnya berkobar membakar perasaan hatinya, rasa benci dan muak kontan membangkitkan keberaniannya, sambil membentak nyaring dia lancarkan sebuah cengkeraman maut ke tubuh kawanan makhluk itu.

Tatkala serangan mautnya nyaris mengenai penutup lentera, tiba-tiba terlihat warna tubuh keempat ekor Laron Penghisap Darah itu berubah jadi bening hingga tembus pandangan.

Sorot matanya yang merah darah seketika berubah bagaikan cahaya senja, keempat ekor Laron Penghisap Darah itu telah berubah menjadi empat buah lingkaran cahaya berwarna hijau bening.

Bentuk tubuh mereka saat ini telah berubah bagaikan empat buah ukiran Laron hijau kecil yang menempel di atas penutup lentera itu.

Sepasang mata Jui Pakhay terbelalak semakin lebar, serangannya berubah menjadi kaku dan terhenti seketika di tengah udara.

Lingkaran cahaya berwarna hijau bening itu lambat laun bertambah sirna, persis seperti cahaya senja yang mulai dicekam kegelapan malam.

Suasana senja serasa menyelimuti penutup lentera itu, tidak lama kemudian bayangan tubuh ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu lenyap tidak berbekas.

Mereka lenyap dan sirna bagaikan bayangan setan iblis! Untuk kedua kalinya kejadian yang sama kembali terulang.

Benarkah Laron Penghisap Darah itu adalah setan penghisap darah?

Jui Pakhay mulai celingukan memeriksa ke sekeliling tempat itu, namun ke empat ekor Laron Penghisap Darah yang lenyap dari atas penutup lentera itu tetap sirna dan tidak muncul lagi di situ, bahkan di tempat lain sekalipun.

Jui Pakhay mulai sangsi, mulai bimbang perasaan hatinya. Dia benar-benar kehabisan akal, tidak tahu apa yang mesti diperbuat untuk menghadapi Laron Penghisap Darah yang bisa muncul dan lenyap bagaikan setan iblis.

Dengan perasaan terperanjat Gi Tiok-kun memandang wajah suaminya, dia seakan sedang mengawasi seorang gila sedang bertingkah aneh di hadapannya.

Bila perempuan ini benar-benar tidak pernah melihat kehadiran keempat ekor Laron Penghisap Darah itu, maka tidak bisa disangkal lagi tingkah laku yang dilakukan Jui Pakhay barusan memang tidak ubahnya seperti tingkah laku orang gila.

Tapi anehnya, bila Jui Pakhay bisa melihatnya, kenapa perempuan itu sama sekali tidak dapat melihatnya?

Benarkah kawanan Laron Penghisap Darah itu adalah jelmaan dari setan iblis? Benarkah hanya calon korbannya yang bisa melihat kehadiran mereka?

Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya dan terakhir berhenti di atas wajah Gi Tiok-kun.

Sebenarnya dia berniat mengucapkan berapa patah kata untuk menenangkan kembali perasaan hatinya yang bergelora, siapa tahu begitu sorot matanya membentur wajah Gi Tiok-kun, dia seakan telah menyaksikan sepasang mata berwarna merah darah.

Sebenarnya mata yang dipandang adalah sepasang mata Gi Tiok-kun, tapi entah sejak kapan telah berubah menjadi merah membara.

Merah bagaikan kucuran darah segar, merah bagaikan tetesan darah segar....

Biji matanya yang hitam pekat kini lenyap tidak berbekas, sepasang mata milik Gi Tiok-kun tidak ubahnya seperti sarang tawon, sarang yang dipenuhi ruas-ruas kosong.

Sebuah sarang tawon yang terdiri dari beribu-ribu ruas membentuk sepasang mata yang mengerikan, sepasang mata bentuk sarang tawon.

Bukankah sepasang mata milik Laron Penghisap Darah pun berbentuk seperti ini?

Paras muka Gi Tiok-kun telah berubah pula warnanya, kini wajahnya yang semula bersemu merah telah berubah jadi putih kehijau-hijauan, putih kehijauan namun bening, persis seperti tampang Laron Penghisap Darah.

Jui Pakhay melongo, dia tertegun dan termangu berapa saat lamanya.

Bibir mulut Gi Tiok-kun seakan terpentang lebar, seperti sedang berbicara, namun dari balik bibir mulutnya yang terpentang itu tidak kedengaran suara yang meluncur keluar, lidahnya justru malah melingkar keluar seperti lidah seekor ular.

Lidah itu panjang sekali, ujungnya tajam bagaikan sebuah mata tombak, berwarna merah padam, merah segar bagaikan cucuran darah.

Pada hakekatnya wanita itu tidak lain adalah jelmaan dari Laron Penghisap Darah!

Jui Pakhay menjerit ngeri, secara beruntun tubuhnya mundur tiga langkah dengan sempoyongan.

Jari tangannya menunjuk ke arah Gi Tiok-kun, bibirnya bergetar keras karena gemetar, namun tidak sepatah kata pun yang dapat diutarakan.

Perasaan ngeri, seram dan ketakutan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seakan telah menyumbat tenggorokannya, membuat dia tersedak dan tidak mampu berkata-kata.

Dengan cepat perasaan ketakutan karena horor yang sedang dihadapinya menyusup ke seluruh badannya, membuat seluruh tubuhnya kini ikut gemetar keras.

Bini sendiri yang setiap malam dibelai ternyata berubah jadi siluman laron, bahkan hendak menghisap darahnya, bila berganti orang lain, mungkin dia sudah mampus lantaran ketakutan.

Kini, walaupun dia belum sampai mati ketakutan, paling tidak nyalinya benar-benar sudah pecah.

Bila bukan melihat dengan mata kepala sendiri, dia benar-benar tidak mau percaya kalau kejadian ini merupakan kejadian yang benar-benar telah terjadi.

Dalam pada itu kembali lidah dari Gi Tiok-kun menjulur keluar makin panjang, makin panjang sekali....

Sepasang tangannya sudah mulai menekan di sisi bangku, tampaknya dia bersiap-siap akan bangkit berdiri, berjalan menghampiri dan menghisap darah yang berada dalam tubuh Jui Pakhay!

Belum lagi perempuan itu bangkit berdiri, nyali Jui Pakhay sudah pecah, dia ketakutan setengah mati.

Segulung hawa dingin yang menggidikkan hati menyusup keluar dari dasar telapak tangannya, menyusup naik ke atas dan menyerang ulu hatinya, menerjang tenggorokannya membuat dia semakin tersedak.

"Jangan kemari!" akhirnya dia menjerit keras-keras.

Jeritan itu penuh diliputi perasaan takut, ngeri dan seram yang luar biasa, sama sekali tidak mirip dengan suara sendiri.

Gi Tiok-kun yang sudah setengah bangkit, kembali duduk. Tegurnya, "Kenapa kau?"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, lidah merah darah yang semula sudah terjulur keluar mendadak lenyap tidak berbekas, paras mukanya yang pucat kehijau-hijauan juga telah pulih jadi semu merah, sementara sepasang matanya juga telah pulih kembali seperti sedia kala.

Semua perubahan itu berlangsung hanya dalam waktu sekejap, Jui Pakhay hanya merasakan pandangan matanya jadi silau, tahu-tahu bentuk menyeramkan yang menempel pada diri Gi Tiok-kun sudah hilang lenyap tidak berbekas.

Begitu cepatnya semua perubahan itu berlangsung, bahkan jauh lebih cepat daripada sulap sehebat apapun.

Jui Pakhay benar-benar dibuat terbelalak, dia mulai ragu, mulai sangsi, benarkah apa yang barusan dilihat olehnya hanya sebuah ilusi? Sebuah khayalan belaka?

Dengan sebuah gerakan secepat kilat dia menerjang ke hadapan Gi Tiok-kun, lalu dengan sebuah gerakan bagaikan halilintar dia cengkeram wajah perempuan itu dengan tangan kirinya dan mementang lebar mulut bininya dengan tangan kanan.

Dua baris gigi Gi Tiok-kun tampak rapi, putih dan bersih, sama seperti keadaan biasa, lidahnya juga tidak berbeda jauh dengan keadaan biasa, bahkan segala sesuatunya tidak ada yang aneh, tidak ada yang luar biasa.

Sambil berseru tertahan Jui Pakhay melepaskan cengkeramannya.

Gi Tiok-kun masih mementangkan mulutnya lebar-lebar, sepasang matanya ikut berbelalak tanpa berkedip, dia seakan dibuat terperanjat setengah mati oleh ulah suaminya.

Jui Pakhay masih mengawasi terus wajah bininya dengan mata mendelong, akhirnya pelan-pelan dia mundur ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku, paras mukanya pucat pasi, sepucat selembar kertas.

Sementara itu suasana di luar jendela tampak gelap gulita, kegelapan malam mencekam seluruh jagat bagaikan selembar kain hitam, malam yang sangat panjang.... sampai kapan fajar baru menyingsing?

0-0-0

Bulan tiga tanggal empat, malam yang sangat panjang akhirnya telah berlalu.

Ketika bangun dari tidurnya pagi itu, sepasang mata Jui Pakhay nampak merah dipenuhi garis-garis darah.

Semalaman suntuk dia tidak dapat tidur nyenyak, nyaris sepasang matanya terpentang lebar hingga terbitnya sang fajar.

Di hari-hari biasa, saat seperti ini dia pasti masih tertidur lelap, atau kalaupun sudah mendusin dari tidurnya, dia masih tetap tiduran di atas ranjang

Karena di atas ranjang selain dia masih ada orang lain, yaitu bininya, Gi Tiok-kun.

Sekarangpun Gi Tiok-kun masih berada di atas ranjang, namun dia sudah tidak sanggup lagi untuk berbaring terus disisinya.

Dia sudah menaruh perasaan yang sangat takut terhadap Gi Tiok-kun, kendatipun perempuan itu adalah bininya yang cantik jelita.

Semalaman suntuk dia tidak sanggup tidur nyenyak karena selama tidur perasaan hatinya selalu kuatir, selalu tidak tenang, dia takut Gi Tiok-kun berubah lagi jadi Laron Penghisap Darah, Laron yang menjulurkan lidah panjangnya dan menghisap darah segar dari tubuhnya.

Dia mencoba menggeliat beberapa kali untuk membangkitkan kembali semangatnya, setelah itu dengan langkah lambat berjalan menghampiri almari pakaian.

Selama tiga tahun belakangan, hampir boleh dibilang saban hari dia sendiri yang menyiapkan pakaian, pakaian yang akan dikenakan pada hari itu, karena dia tidak ingin membuat Gi Tiok-kun sibuk dan lelah, begitu pula hari ini, sama sekali tidak terkecuali.

Sepasang tangannya segera dipentangkan lebar-lebar, dia pentang ke dua pintu almarinya dan ditarik ke belakang.

Tapi begitu almari baju dibuka, pandangan matanya segera tertumbuk dengan delapan pasang mata.

Delapan pasang mata yang memancarkan sinar darah, sinar mata merah darah yang membara.

“Sreet, sreet, sreet." berbarengan waktu ketika pintu almari dibuka lebar, delapan ekor Laron Penghisap Darah itu terbang keluar dari balik almari dan langsung menerjang ke wajah Jui Pakhay.

Alat penghisap yang berwarna merah darah ditusukkan bersamaan ke atas wajah Jui Pakhay.

Tidak terlukiskan rasa kaget dan ngeri Jui Pakhay menghadapi serangan ini, dia segera menjatuhkan diri ke lantai dan berguling kian kemari.

Agaknya Gi Tiok-kun yang masih tertidur nyenyak dibangunkan oleh suara gaduh itu, tergopoh gopoh dia melompat turun dari pembaringan.

"Apa yang telah terjadi?" buru-buru tegurnya setelah menyaksikan suaminya sedang bergulingan di atas lantai dalam kondisi ketakutan.

"Apa yang terjadi?" teriak Jui Pakhay parau. "Masa kau tidak melihat kawanan Laron itu? Laron Penghisap Darah!!"

"Laron Penghisap Darah? Mana ada Laron Penghisap Darah?" Gi Tiok-kun semakin kebingungan, dengan penuh rasa heran dia celingukan ke sana kemari.

Buru-buru Jui Pakhay melompat bangun dari atas lantai, sambil melototkan sepasang matanya yang merah membara penuh guratan darah, dia periksa seluruh kamar tidur dengan lebih seksama.

Benar juga, ternyata disana memang tidak nampak Laron Penghisap Darah, jangan lagi delapan ekor, satu pun tidak nampak.

Ke mana perginya kedelapan ekor Laron Penghisap Darah yang terbang keluar dari dalam almari tadi? Tidak ada yang tahu!

Padahal waktu itu ke empat buah daun jendela yang ada dalam kamar tidur itu belum terbuka, lalu ke mana perginya kedelapan ekor Laron Penghisap Darah tersebut? Mungkinkah kawanan makhluk itu bisa lenyap begitu saja bagaikan gaibnya setan iblis?

Dengan penuh kesangsian dan keraguan Jui Pakhay memeriksa almari bajunya sekali lagi, kemudian diapun menengok ke wajah Gi Tiok-kun, tidak ada yang aneh! Kendatipun begitu, tubuhnya nampak gemetar sangat keras, jelas dia amat ketakutan.

Fajar baru saja menyingsing, namun Laron Penghisap Darah telah munculkan dirinya kembali, apakah kehadiran kawanan makhluk itu merupakan sebuah peringatan? Atau justru merupakan sebuah teror?

Tanggal satu bulan tiga Laron Penghisap Darah hanya muncul seekor, tanggal dua bulan tiga sudah muncul dua ekor, tanggal tiga bulan tiga yang muncul ada empat ekor dan hari ini tanggal empat bulan tiga sudah muncul delapan ekor! Kemunculan setiap ekor Laron Penghisap Darah itu seakan berlipat satu kali setiap harinya.

Hari ini sudah muncul delapan ekor, berarti bila esok Laron Penghisap Darah itu muncul kembali, jumlah yang muncul pastilah enam belas ekor.

Mungkinkah semua kejadian ini hanya sebuah kebetulan? Kalau tidak, berarti Laron Penghisap Darah semacam ini benar-benar merupakan jelmaan dari setan iblis!

Kalau bukan jelmaan dari setan iblis, darimana makhluk itu bisa tahu kalau kelipatan dari satu adalah dua, kelipatan dua adalah empat dan kelipatan empat adalah delapan?

0-0-0

Bulan tiga tanggal lima malam, angin malam berhembus kencang menembusi jendela, menggoyangkan lampu lentera yang sedang memancarkan cahayanya.

Lentera perak dalam ruang tidur kini seolah telah berubah menjadi lampu jalanan, ada segerombol Laron Penghisap Darah sedang terbang mengitari cahaya lampu dan menari kian kemari.

Jui Pakhay tidak bergerak, dia masih duduk tenang di tepi pembaringan sambil menghitung jumlah Laron Penghisap Darah yang sedang beterbangan itu.

Satu, dua, tiga... enam belas.... yaa ternyata berjumlah enam belas ekor, Jui Pakhay mulai bergidik, mulai merasa ketakutan setengah mati.

Diam-diam dia mencuri pandang ke arah Gi Tiok-kun, terlihat bininya sedang duduk pula di atas ranjang sambil memandang lentera perak itu dengan termangu.

"Hey, kenapa kau awasi terus lampu lentera itu?" tegurnya kemudian dengan suara lantang.

Gi Tiok-kun tertegun, jawabnya kemudian lirih, "Karena melihat kau mengawasi lentera itu terus menerus, aku jadi keheranan hingga ikut mengawasinya."

"Ooh, lantas apa yang telah kau lihat?"

"Sebuah lentera perak."

"Hanya sebuah lentera perak?" tegur Jui Pakhay lagi dingin.

Gi Tiok-kun manggut-manggut.

"Bukankah cahaya lentera bergoyang tiada habisnya karena hembusan angin malam?"

"Tidak, cahaya lentera itu tidak goyang."

"Apakah kau mendengar juga suara gemerisik yang ramai?" kembali Jui Pakhay bertanya

"Tidak!"

"Kau juga tidak melihat ada enam belas ekor Laron Penghisap Darah sedang terbang mengelilingi lentera perak itu?"

"Tidak, benar-benar tidak ada," Gi Tiok-kun gelengkan kepalanya berulang kali.

"Kau bohong, kau sedang menipu aku," teriak Jui Pakhay sambil tertawa seram.

Gi Tiok-kun menghela napas panjang, dia tidak menjawab dan hanya membungkam dalam seribu basa.

Setelah tertegun berapa saat lamanya, kembali Jui Pakhay berkata, "Padahal selama ini aku bersikap begitu baik kepadamu, kenapa sih kau justru bersikap demikian kepadaku?"

Gi Tiok-kun tetap tidak menjawab, dia hanya menghela napas panjang.

Dengan wajah tertegun dan termangu-mangu Jui Pakhay bangkit berdiri, perlahan-lahan berjalan menghampiri lentera perak itu.

Belum sampai dia berjalan mendekat, keenam belas ekor Laron Penghisap Darah itu sudah berubah menjadi tembus pandang, lalu dengan membentuk cahaya lingkaran berwarna hijau satu per satu hilang lenyap tidak berbekas.

Kali ini paras muka Jui Pakhay sama sekali tidak berubah, dia sudah menduga bakal begitu akhirnya.

Bukan baru pertama kali ini dia saksikan kejadian tersebut, maka diapun tertawa sedih, dia memang hanya bisa tertawa pedih.

0-0-0

Bulan tiga tanggal enam malam, malam sudah sangat larut, rembulan bersinar terang di angkasa dan membiaskan cahayanya menembus jendela.

Jui Pakhay sudah berbaring di atas ranjangnya, perasaan hatinya kali ini jauh lebih tenang daripada malam sebelumnya.

Selama enam hari terakhir, baru hari ini dia merasakan pikiran yang lega dan perasaan yang lebih ceria.

Dia memang patut merasa ceria, karena hari ini, seharian Laron Penghisap Darah tidak muncul muncul lagi di depan matanya.

Cahaya rembulan yang rendup terasa membawa sebuah keindahan yang tidak terlukiskan dengan kata.

Memandang keindahan cahaya rembulan itu, tiba-tiba dari lubuk hatinya muncul semacam dorongan napsu birahi yang sangat kuat.

Dia segera membalikkan badan, mengawasi Gi Tiok-kun yang sedang tertidur nyenyak di sisi tubuhnya.

Waktu itu Gi Tiok-kun, bininya sudah tertidur, tertidur sangat pulas.

Di bawah cahaya rembulan yang redup, meski dia tidak dapat melihat dengan jelas gaya tidur Gi Tiok-kun yang menawan hati, paling tidak dia dapat membayangkan hal ini.

Sudah hampir tiga tahun lamanya dia hidup sebagai suami istri dengan Gi Tiok-kun, bukan baru pertama kali ini dia saksikan gaya tidur istrinya yang menawan hati, bahkan sudah berapa ribu kali dia nikmati keindahan tubuh Gi Tiok-kun yang sedang telanjang bulat.

Apalagi sekarang, dia masih sempat mendengar dengusan napas Gi Tiok-kun serta harum khas yang secara lamat-lamat muncul dari tubuhnya.

Tubuh Gi Tiok-kun yang putih, halus, indah serasa mendatangkan rangsangan yang kuat, bahkan dengus napasnya yang lembut menimbulkan godaan napsu yang sangat aneh saat itu.

Jui Pakhay benar-benar tidak sanggup menahan diri, tidak mampu menahan rangsangan napsu birahinya.

Dia mulai menggeser tangannya dari balik selimut, pelan-pelan bergeser hingga akhirnya menyentuh tangan milik istrinya.

Tangan Gi Tiok-kun terasa halus dan lembut tapi dingin sekali, dingin bagaikan es. Seakan-akan tangan milik perempuan itu sudah berubah jadi sebuah logam, seakan darah yang mengalir di dalam tubuhnya telah membeku, telah membeku bagaikan es.

Tapi bagi Jui Pakhay, hal ini justru mendatangkan semacam rangsangan yang luar biasa.

Sebuah rangsangan hawa napsu yang amat hebat! Membuat kerongkongannya terasa mulai mengering, dengus napasnya pelan-pelan berubah jadi cepat dan memburu.

Dia mulai menggeser tubuhnya sembari tangannya mulai merangkul badan Gi Tiok-kun, kemudian sambil memutar tubuh, dia menggeser badan perempuan itu sehingga payudara miliknya menghadap ke hadapannya.

Waktu itu sepasang payudara Gi Tiok-kun masih bergerak naik turun mengikuti irama napasnya yang teratur.

Biarpun dia tidak bisa melihat dengan jelas bentuk payudara milik istrinya ini, namun Jui Pakhay merasa napsu birahinya semakin membara.

Dengan dengus napas agak memburu dia mulai menggeser telapak tangannya, pelan-pelan merogoh ke balik pakaian milik Gi Tiok-kun dan mulai meraba sepasang payudaranya yang montok lagi kenyal itu.

Tapi begitu tangannya mulai merogoh payudara itu, tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan selapis perasaan aneh melintas di wajahnya.

Dia memang telah menjumpai sebuah peristiwa yang luar biasa anehnya, ternyata tangannya telah meraba tiga buah payudara.

Kini, tangannya sedang berhenti di atas payudara ke tiga milik Gi Tiok-kun, tapi.....kenapa bisa muncul payudara yang ke tiga?

Dia mulai menggeser tangannya dari tempat itu, lalu dengan pandangan samar-samar dia coba memeriksa dengan seksama.

Ternyata memang bukan khayalan, bukan sebuah ilusi, Gi Tiok-kun benar-benar memiliki tiga buah payudara, tiga buah tetek!!

Payudara yang ke tiga tumbuh persis pada lekukan atau celah yang memisahkan payudara yang kiri dengan payudara yang kanan.

Ketika tangannya meraba di atas payudara yang ketiga ini, terasa benda itu halus, lembut dan kenyal, bahkan payudara itu malah bisa bergetar dan bergoyang lembut.

Padahal kalau mau bicara siapa yang tahu dengan jelas setiap bagian tubuh milik Gi Tiok-kun, orang itu tidak akan lebih jelas ketimbang dirinya.

Dia tahu dengan pasti, Gi Tiok-kun memiliki organ tubuh yang sangat normal, selama ini dia hanya memiliki sepasang payudara.

Tapi sekarang, mengapa bisa muncul sebuah lagi? Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Jangan-jangan dia telah meletakkan sesuatu benda di antara lekukan payudaranya? .... tapi benda apakah itu?

Jui Pakhay tidak sanggup menahan diri, dia segera melepasi kancing baju Gi Tiok-kun dan mulai membuka penutup dadanya, kemudian sekali lagi tangannya meraba ke tengah lekukan itu, memegang payudaranya yang ketiga.

Begitu diraba, Jui Pakhay semakin tercengang.

Ternyata di atas payudara itu penuh ditumbuhi semacam bulu halus, tapi bulu apakah itu?

Jui Pakhay semakin keheranan, terdorong oleh rasa ingin tahunya yang besar dia mulai meraba payudara itu dengan kelima jari tangannya, mendadak ... jari tangannya terasa sakit sekali, seakan baru saja tertusuk semacam benda tajam.

Rasa sakit itu jauh melebihi rasa sakit karena tertusuk benda tajam, seolah-olah terdapat begitu banyak jarum tajam yang bersamaan waktunya terhisap semua ke dalam jari tangannya.

Kemudian dia mulai merasakan seluruh lengannya itu mendadak mengejang keras, seolah darah segar yang ada di dalam tangannya itu mulai dihisap, mulai tersedot keluar semua.

Dengan perasaan terkesiap dia menarik kembali tangannya! Tapi begitu tangannya ditarik, ternyata payudara ke tiga milik Gi Tiok-kun ikut terbetot keluar juga bersama dengan tangan miliknya.

Tak ada darah, tak ada gumpalan daging, bahkan sama sekali bukan sebuah payudara, sama sekali bukan tetek perempuan, yang berbetot keluar rupanya sekelompok laron! Sekelompok Laron Penghisap Darah.

Rupanya ada segerombolan Laron Penghisap Darah berkumpul menjadi satu di tempat itu sehingga berbentuk seperti payudara, ketika jari tangan Jui Pakhay meraba disana, maka jarum-jarum penghisap dari Laron Penghisap Darah yang lebih tajam dari jarum itu langsung menusuk di atas jari tangannya, menghisap darah segar dari tubuhnya.

Rasa ngeri, takut dan seram yang dialami Jui Pakhay saat ini benar-benar luar biasa, sedemikian hebatnya hingga tidak terlukiskan dengan kata-kata.

Dia menjerit keras, menjerit ketakutan, jeritan itu begitu keras dan menyeramkan hingga nyaris tidak mirip dengan jeritan manusia.

Jeritan ngeri yang memilukan hati itu bergema di seluruh ruangan, sementara dia sendiri bagaikan seekor serigala yang terluka, melompat bangun dari atas ranjang dan langsung menerjang keluar melalui daun jendela.

"Blaammm!" daun jendela hancur berantakan dengan satu kecepatan luar biasa dia menerjang keluar lewat jendela dan meluncur keluar halaman.

Setelah bergulingan dua kali di atas tanah, Jui Pakhay baru melompat bangun, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, terpentang lebar sambil mengawasi tangan sendiri.

Tidak ada Laron Penghisap Darah yang menempel di atas permukaan telapak tangannya, tidak seekor pun, juga tidak ada darah yang meleler keluar, namun dia merasa seakan muncul berpuluh-puluh buah lubang sekecil jarum di tangannya, lubang bekas hisapan yang penuh berpelepotan darah.

Seluruh otot, seluruh daging dan kulit tubuhnya mulai mengejang keras, sekali lagi dia menengok ke arah jendela kamar yang jebol.

Di situ pun tidak ada Laron Penghisap Darah, yang ada hanya selembar wajah manusia. Gi Tiok-kun sedang berdiri di balik jendela yang jebol, berdiri sambil mengawasi ke arahnya.

Cahaya rembulan yang redup memucat memancar di atas wajah Gi Tiok-kun. Tidak heran kalau paras mukanya kelihatan lebih putih, lebih memucat.

Tapi warna putih itu hanya putih memucat, sama sekali tidak berwarna hijau, sepasang matanya juga sama sekali tidak berbentuk sarang lebah yang penuh dengan pori pori, juga tidak berwarna merah, semerah darah segar.

Dia tampil dengan wajah aslinya, sama sekali tidak seram, sedikitpun tidak menakutkan. Malahan dia tampak cantik sekali, di bawah redupnya cahaya rembulan dia nampak sangat cantik bak bidadari dari kahyangan.

Cahaya rembulan yang redup kepucat-pucatan kebetulan sedang menyorot di atas wajah Gi Tiok-kun, hal ini membuat paras mukanya kelihatan jauh lebih putih, jauh lebih memucat.

Namun warna itu hanya putih pucat, sama sekali tidak berwarna hijau, sepasang matanya juga tidak berbentuk sarang lebah yang penuh berpori-pori, sama sekali tidak ada warna merah darah yang menggidikkan hati.

Perempuan itu tampil dengan wajah aslinya, sama sekali tidak nampak seram, tidak kelihatan mengerikan hati.

Di bawah cahaya rembulan, dia justru kelihatan lebih cantik, lebih menawan hati, bak bidadari yang baru turun dari kahyangan.

Kecantikan semacam ini serasa bukan kecantikan seorang manusia di dunia ini, kecantikan wajahnya nampak begitu lembut, begitu menarik dan begitu memabukkan hati.

Dengan wajah tercengang penuh rasa heran perempuan itu sedang mengawasi wajah Jui Pakhay, pelan-pelan dia berjalan menghampiri jendela, menengok ke luar, cahaya rembulan yang redup semakin menyoroti wajahnya.

Wajah itu kelihatan jauh lebih pucat, jauh lebih putih, sedemikian putihnya sehingga sama sekali tidak ada warna darah, bahkan termasuk bibirnya yang mungil pun kelihatan memucat hingga mendekati warna hijau.

Mengawasi raut wajahnya itu, tanpa terasa Jui Pakhay terbayang kembali saat-saat dia sedang meraba tubuh perempuan itu, meraba sebuah tubuh yang dingin membeku bagaikan es, dingin kaku seolah sama sekali tidak ada kehidupan itu.

Daya rangsangan yang muncul dalam hatinya waktu itu, bila dibayangkan kembali sekarang, mendadak dia merasa sangat ngeri, sangat takut....

Tubuh yang dia sentuh tadi sama sekali bukan tubuh yang punya aliran darah yang hangat, lalu ke mana larinya cairan darah di dalam tubuh perempuan itu?

Apakah segerombolan Laron Penghisap Darah yang berkumpul di lekukan antara sepasang payudara perempuan itu tadi adalah sedang menghisap darah segar dari dalam tubuhnya?

Apakah cairan darah yang dimiliki perempuan itu, sebagian besar telah terhisap oleh rombongan Laron Penghisap Darah?

Benarkah sasaran pertama yang diincar Laron Penghisap Darah itu justru bukan dia melainkan perempuan itu?

Kalau tidak, mengapa rombongan Laron Penghisap Darah tersebut bisa berkumpul dan bergerombol di tengah lekukan payudara perempuan itu?

Berbagai kecurigaan dan tanda tanya menyelimuti seluruh benak Jui Pakhay, ditatapnya wajah Gi Tiok-kun dengan pandangan tajam, pandangan terbelalak.

Tampaknya Gi Tiok-kun dibuat keheranan oleh tingkah laku suaminya, tiba-tiba dia menegur, "Sedang apa kau di situ?"

Suaranya begitu sendu, begitu lembut seakan-akan suara yang datang dari luar angkasa.

Di tengah malam dengan udara yang begitu dingin bagaikan air, tidak dapat disangkal nada suara perempuan itu selembut air, tapi juga lebih dingin dari air.

Ketika pakaian tidurnya yang putih dan tipis tertimpa cahaya rembulan, terbias selapis cahaya bagaikan kabut yang tipis, seperti kabut yang menyebarkan hawa dingin dari sebuah lapisan salju yang beku.

Sesaat Jui Pakhay merasa tenggorokannya seperti tersumbat oleh hawa dingin itu, membuatnya terbungkam, tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Gi Tiok-kun tidak tahan untuk menegur sekali lagi, "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Laron........!" ketika perkataan itu diucapkan dengan suara parau, tubuhnya sudah bergidik berulang kali, bulu kuduknya pada bangun berdiri.

Setelah berhenti sesaat, kembali lanjutnya dengan nada gemetar, "Ada segerombolan Laron Penghisap Darah berkumpul di atas dadamu, sedang menghisap darahmu...."

Biarpun perkataan itu diucapkan dengan suara seakan muncul dari tenggorokan, namun dalam keheningan malam, setiap patah katanya dapat terdengar amat jelas.

Dia mengucapkan perkataan itu dengan nada bersungguh-sungguh, sedikitpun tidak mirip orang berbohong.

Dengan perasaan terperanjat buru-buru Gi Tiok-kun membuka pakaian tidurnya dan memeriksa payudara sendiri.

Di bawah sorotan cahaya rembulan, payudara perempuan itu nampak putih mulus bagaikan pualam, begitu mulus dan merangsang sehingga sepasang mata Jui Pakhay ikut terbelalak lebar, memandangnya tanpa berkedip.

Sejak menikah hingga hari ini, belum pernah dia saksikan sepasang payudara Gi Tiok-kun yang begitu indah, terutama ketika ditimpa cahaya rembulan.

Dalam waktu singkat dia seakan sudah melupakan seluruh ketakutan dan rasa ngeri yang semula mencekam perasaan hatinya.

Dengan cepat perasaan gugup bercampur kaget yang semula menghiasi wajah Gi Tiok-kun pulih kembali seperti sedia kala, sekarang wajahnya berganti dihiasi rasa tercengang dan keheranan yang luar biasa, dia seperti tidak menemukan sesuatu apapun.

Akhirnya setelah menghela napas panjang, dia merapatkan kembali pakaian tidurnya yang terbuka lebar tadi.

Pada saat itulah Jui Pakhay dengan kecepatan luar biasa telah meluncur balik, melompati pagar pekarangan dan melayang turun di hadapan Gi Tiok-kun, baru saja tubuhnya melayang turun, dia sudah menggenggam sepasang tangan perempuan itu erat-erat.

Tanpa sadar Gi Tiok-kun menarik kembali tangannya, tentu saja jari tangannya tidak akan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Jui Pakhay.

Genggaman dari Jui Pakhay sama sekali tidak menggunakan tenaga yang kelewat besar, genggamannya juga tidak menimbulkan rasa sakit, maka setelah gagal melepaskan diri, perempuan itupun tidak meronta lagi.

Ternyata sepasang tangan perempuan itu sama sekali berbeda dengan tangan yang digenggamnya tadi, walaupun masih tetap terasa halus dan licin, namun sudah terasa ada kehangatan.

Jui Pakhay tertegun, segera tangannya yang lain menyelinap ke balik baju tidur Gi Tiok-kun dan meraba sepasang payudaranya.

Sorot matanya mengikuti gerakan tangan itu segera memandang pula ke arah dada perempuan itu.

Selisih jarak mereka begitu dekat, tentu saja dia dapat melihat segala sesuatunya dengan sangat jelas.

Sepasang payudara Gi Tiok-kun kelihatan amat putih dan harus, lekukan di antara sepasang teteknya juga amat mulus tanpa cacad sedikitpun, tidak ada bekas luka merah yang berdarah, bahkan tidak seekor laron pun yang nampak bercokol di situ.

Tidak menemukan bekas lubang tusukan memang bukan kejadian yang aneh, sebab belum seekor Laron Penghisap Darah pun yang telah merobek kulit dadanya yang putih mulus, belum ada yang menghisap darah segarnya, tapi ketika begitu banyak Laron Penghisap Darah berkumpul menjadi satu dan saling berdesakan tanpa bergerak, paling tidak sewaktu merayap masuk ke balik pakaian pasti akan bergesekan dengan pakaian tidur itu, minimal disepanjang baju tidur itu tentu akan tertinggal bubuk bubuk Laron yang tercecer.

Da masih belum lupa dengan kejadian tempo hari, ketika Tu Siau-thian menangkap seekor Laron Penghisap Darah dan tangannya penuh dinodai bubuk Laron.

Tapi sekarang, pada sepasang payudara Gi Tiok-kun sama sekali tidak dijumpai bubuk Laron yang tercecer, kenapa bisa terjadi begini?

Bagaimana cara gerombolan Laron Penghisap Darah itu memasuki pakaian tidur Gi Tiok-kun?

Apa yang dilakukan gerombolan Laron Penghisap Darah itu dilekukan payudara perempuan itu?

Sembari berpikir, Jui Pakhay memeriksa seluruh tubuh Gi Tiok-kun dengan seksama, namun tidak ada sesuatupun yang mencurigakan yang ditemukan olehnya.

Dia mulai tertawa getir, perasaan tercengang, keheranan, tidak habis mengerti menghiasi raut mukanya.

Dia benar-benar terkesima, sudah terlalu banyak kejadian tidak masuk di akal yang harus dialami olehnya selama beberapa hari ini. Rasa tercengang dan keheranan yang dialaminya selama ini sudah kelewat banyak.

Walaupun rasa tercengang dan keheranan yang dialami belum sampai membuat perasaannya kaku, dia sendiri sudah mulai kaku.

Ditatapnya Gi Tiok-kun sekejap, mendadak sorot matanya kembali memancarkan rasa takut, ngeri yang luar biasa, dalam waktu yang relatip singkat, dia seperti terbayang kembali banyak kejadian yang telah dialaminya.

...... Secara beruntun sebanyak tiga kali berada bersama nya, aku melihat kehadiran Laron Penghisap Darah tapi dia tidak melihatnya, meski wajahnya menunjukkan sikap tercengang bercampur keheranan, namun tidak menampilkan perasaan gugup atau ketakutan, setelah kejadian, dia pun tidak banyak bertanya, seakan dia sudah mengetahui segala sesuatunya dngan jelas.

...... Ketika malam tanggal tiga bulan tiga, setelah Laron Penghisap Darah itu lenyap dari pandangan, tiba-tiba sepasang matanya berubah jadi merah darah, berubah jadi seperti sarang lebah yang terbentuk dari ribuan ekor lebah, waku itu paras mukanya ikut berubah jadi hijau seram, bahkan lidahnya terjulur keluar sepanjang berapa depa bagaikan ujung jarum yang berwarna merah darah!

...... Barusan, segerombolan Laron Penghisap Darah memasuki pakaian tidurnya dan berkumpul dilekukan payudaranya, padahal lekukan antara sepasang payudara merupakan bagian tubuh yang paling sensitip bagi wanita, kenapa dia seperti tidak merasakan apa pun, jelas kejadian seperti ini tidak mungkin bisa terjadi.

...... Gerombolan Laron Penghisap Darah berkumpul di tengah lekukan payudaranya, namun sama sekali tidak meninggalkan bekas ceceran bubuk Laron, juga tidak menghisap darahnya, tapi sewaktu diraba dengan tangan, ternyata ada bulu seperti duri yang menusuk tanganku, menghisap darahku habis-habisan, tapi dia sama sekali tidak diganggu, bahkan kulit badannya pun sama sekali tidak disentuh, mungkinkah....

...... Mungkinkah perempuan itu adalah siluman ngengat? Jelmaan dari Laron Penghisap Darah?

Berpikir sampai di situ, paras muka Jui Pakhay berubah jadi hijau membesi, nampak sangat menyeramkan.

Tanpa sadar dia kendorkan tangannya, mundur berapa langkah ke belakang dan bersandar di atas sebuah tiang di sisi serambi.

Walaupun tubuhnya belum sampai roboh, paling tidak sebagian besar badannya sudah menjadi lemas, lemas tidak bertenaga.

Menurut cerita kuno, makhluk yang sering menghisap inti sari dari sang surya dan rembulan, lama kelamaan akan berubah jadi siluman, kemudian akan menjelma pula dalam wujud manusia.

Konon banyak pula pohon-pohonan dan bunga-bungaan yang bisa menjelma nebjadi manusia, menjelma menjadi siluman bunga atau siluman pohon-pohonan ....

Bila bunga dan pohon pun bisa menjelma dalam wujud manusia, kenapa laron tidak bisa?

0-0-0

0 comments: