Bab 2. Teka-teki Seputar Raja Laron
BULAN tiga tanggal dua, menjelang tengah hari, di tepi telaga.
Air kelihatan jernih berwarna hijau dengan latar belakang bukit nan biru, pepohonan Liu tumbuh rimbun di sepanjang tepi telaga, musim semi memang musim yang mudah membuat orang mabuk, membuat orang terpesona.
Perasaan Jui Pakhay sangat murung, kesal dan masgul, jauh lebih murung ketimbang mabuk oleh air kata-kata, kemurungan yang susah terurai, bahkan semakin berusaha dihilangkan, perasaan itu semakin mencekam.
Kejadian semalam masih jelas terbayang di depan matanya, meski kini dia sedang berjalan menelusuri pepohonan Liu yang rindang, namun langkah kakinya terasa berat.
Pemandangan alam nan indah yang terbentang di hadapannya tidak membuat perasaannya tenang, dia bahkan seakan tidak melihatnya, seakan tidak merasakannya.
Dalam keadaan seperti ini, dia memang tidak punya napsu untuk menikmati kesemuanya itu.
Hari ini dia memang sengaja datang kesana, karena di tempat inilah dia akan menemukan Tu Siau-thian.
Tu Siau-thian adalah sahabat karibnya, diapun seorang wakil opas di wilayah itu, seorang jago golok yang handal, selain pintar, kungfunya juga hebat. Hingga sampai hari ini sudah begitu banyak kasus besar yang berhasil dibongkar olehnya.
Ada orang bilang, bila latar belakang Tu Siau-thian setengah saja melebihi Nyoo Sin, maka yang jadi komandan opas di kota ini bukan Nyoo Sin melainkan Tu Siau-thian.
Menanggapi gurauan semacam ini, Tu Siau-thian tidak pernah memberikan pandangan maupun pendapat pribadinya. Dia seperti sudah amat puas dengan posisinya sekarang, wakil komandan opas.
Sekarang dia sedang berjalan menuju ke sisi Jui Pakhay, lagak maupun gayanya persis seperti orang yang sedang terbuai karena mabuk oleh keindahan alam di tepi telaga yang rimbun dengan pohon liu itu.
Berbicara sejujurnya, kedatangannya ke tempat itu memang khusus untuk menikmati pemandangan alam disana.
Karena belum lama ini dia berhasil membongkar sebuah kasus kriminal yang sangat berat, dalam kondisi demikian, dia butuh tempat rileks untuk mengendorkan semua otot dan uratnya yang telah cukup lama kencang dan tegang.
Dia baru terperanjat setelah Jui Pakhay berada di sisinya, dengan pandangan terkejut bercampur keheranan ditatapnya wajah sahabatnya lekat-lekat.
Dia seperti tertegun, keheranan dan tidak percaya kalau bakal berjumpa dengan Jui Pakhay di tempat seperti ini, dia sangat mengenal siapa Jui Pakhay itu dan tahu pasti apa kegemerannya.
Tempat semacam ini jelas bukan tempat yang cocok bagi Jui Pakhay, dia bukan termasuk jenis manusia yang bisa menikmati keindahan alam, terlebih kedatangan Jui Pakhay kali ini hanya seorang diri.
Jui Pakhay sedang mengawasi dirinya pula, dia menatap wajah rekannya dengan mimik muka yang sangat aneh, mimik muka istimewa.
Tu Siau-thian semakin keheranan, setelah menyapanya sambil tertawa, dia menegur, "Jadi kaupun menyukai tempat ini?"
"Tidak terlalu suka," jawab Jui Pakhay dengan sorot mata tidak tenang.
"Sungguh aneh, aku tidak menyangka bakal berjumpa dengan kau di tempat semacam ini," kembali Tu Siau-thian berseru sambil tertawa.
"Tapi aku dapat menduganya."
"Oya?" Tu Siau-thian tertegun.
"Aku telah berkunjung ke rumahmu, orang rumah yang mengatakan kalau kau berada disini."
"Ooh, jadi kau sengaja datang kemari karena ada keperluan denganku?" seru Tu Siau-thian seperti baru mengerti.
Jui Pakhay manggut-manggut pelan.
"Persoalan apa yang kau hadapi? Kenapa terburu-buru mencari aku?" kembali Tu Siau-thian bertanya keheranan.
"Aku khusus kemari karena butuh petunjukmu tentang satu hal," bicara sampai di situ, dia berbalik badan dan kembali berjalan menelusuri jalanan yang baru saja dilaluinya.
Dalam keadaan begini terpaksa Tu Siau-thian mengikuti dari belakang.
Sambil berjalan kembali Jui Pakhay berkata lagi, "Aku tahu kau sudah banyak mengembara di seantero jagad, pengetahuan dan pengalamanmu sangat luas, banyak kejadian, banyak wilayah yang mungkin tidak pernah diketahui orang, bagimu bukan satu kejadian yang aneh atau paling tidak sama sekali tidak ada bayangan."
"Sebenarnya apa masalahmu?" tidak tahan Tu Siau-thian menegur.
"Pernah tahu makhluk yang bernama Laron Penghisap Darah?" tanya Jui Pakhay sambil bersin beberapa kali.
"Laron Penghisap Darah?" Tu Siau-thian agak tertegun, "maksudmu Laron Penghisap Darah yang banyak hidup di dalam belantara hutan di wilayah Siau-siang?"
"Aaah, rupanya kau tahu juga tentang hal ini," seru Jui Pakhay kegirangan.
"Aku memang berasal dari wilayah Siau-siang."
"Bagus sekali...."
"Kenapa secara tiba-tiba kau menanyakan soal makhluk itu?" Tu Siau-thian bertanya lebih jauh.
Jui Pakhay tidak langsung menjawab, kembali dia bertanya, "Sebenarnya makhluk apakah itu?"
"Salah satu jenis laron," sahut Tu Siau-thian sambil berusaha menekan perasaan heran dan tercengangnya.
"Jadi sama persis seperti jenis laron pada umumnya?"
"Bentuk luarnya memang sama persis, tapi warnanya sangat berbeda."
"Apa warnanya?"
"Hijau muda." Tu Siau-thian menerangkan sambil tertawa, "hijau muda mendekati warna batu kemala hijau, matanya berwarna merah, pada kedua belah sayapnya terdapat pula guratan merah bermotif mata, sepasang mata itupun berwarna merah, semerah darah segar, sementara di sekeliling matanya dipenuhi serat-serat merah seperti guratan darah segar."
"Apakah karena sering menghisap darah manusia dan hewan, maka dia berubah menjadi bentuk seperti itu?"
"Ooh, jadi kaupun terpengaruh oleh cerita dongeng itu?" seru Tu Siau-thian sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Memangnya berita itu hanya sekedar berita angin?"
"Memang begitulah!" seru Tu Siau-thian sambil tertawa dan manggut-manggut.
"Kalau memang begitu, kenapa makhluk tersebut dinamakan Laron Penghisap Darah?"
"Ini disebabkan sepasang matanya yang berwarna merah darah, garis guratan mata yang merah darah serta garis-garis darah pada sepasang sayapnya, orang yang kurang tahu beranggapan bahwa merahnya mata tersebut lantaran kebanyakan menghisap darah manusia dan hewan, akhirnya semua orangpun menyebut laron tersebut sebagai Laron Penghisap Darah."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Orang bukan hanya menyebutnya sebagai Laron Penghisap Darah, malahan ada yang menyebutnya sebagai penyamun bermuka setan."
"Yaa, betul, jika dipandang dari punggungnya makhluk itu memang mirip sekali dengan selembar wajah setan," tanpa terasa Jui Pakhay mengangguk membenarkan.
Tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa tergelak, selanya, "Kapan sih kau pernah bertemu setan?"
Jui Pakhay melengak, sesaat kemudian dia menggeleng, "Belum pernah aku melihat setan."
"Lantas darimana kau bisa membayangkan tampang setan itu seperti apa?"
"Aku sendiripun kurang tahu, aku hanya berpendapat tampang manusia tidak mungkin sejelek dan seseram itu."
Tu Siau-thian kembali tertawa tergelak, terusnya, "Ada sementara orang menyebut makhluk itu sebagai Laron Bermata Burung Gereja, Laron Bermata Iblis, hal ini disebabkan pada sepasang sayapnya terdapat guratan merah bermotif mata darah."
"Apakah Laron semacam ini dapat menghisap darah?"
"Tentu saja tidak dapat, sebab guratan merah darah bermotif mata yang tumbuh di sayap makhluk itu sudah ada semenjak lahir."
"Kau yakin?"
Tu Siau-thian tidak menjawab, dia terbungkam.
Melihat itu, Jui Pakhay segera menatapnya lekat-lekat.
Ditatapnya wajah rekannya itu sekejap, kemudian setelah tertawa getir kembali Tu Siau-thian berkata, "Walaupun aku tidak berani mengatakan yakin, namun hingga detik ini belum satu kalipun menyaksikan ada laron yang bisa menghisap darah, bahkan mendengar cerita orang pun belum pernah."
"Siapa tahu orang yang benar-benar pernah melihatnya sudah pada mampus semua, mati karena badannya kering, mati karena cairan darahnya telah dihisap habis oleh si Laron Penghisap Darah itu."
Setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya, "Orang mati kan tidak mungkin bisa berbicara."
Tu Siau-thian tertawa getir, "Mungkin saja apa yang kau katakan itu benar, tapi menurut apa yang kuketahui, jenis Laron itu tidak suka darah."
"Siapa tahu ada pengecualian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya, "Hingga detik ini aku tetap berpendapat bahwa apa yang kau ucapkan itu hanya sekedar berita angin, isapan jempol, hanya sekedar dongeng!"
"Akupun berharap kesemuanya itu hanya sekedar berita isapan jempol belaka."
"Oya...?"
"Paling tidak, aku sudah tidak perlu menguatirkannya lagi," lanjut Jui Pakhay.
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan?" tanya Tu Siau-thian agak melengak.
"Aku kuatir ada Laron Penghisap Darah yang menghisap darah tubuhku hingga mengering."
Tu Siau-thian semakin tercengang, dengan perasaan tidak habis mengerti kembali tanyanya, "Kapan kau telah bertemu dengan Laron Penghisap Darah?"
"Kemarin malam."
"Kemarin malam?" Tu Siau-thian semakin tercengang.
"Walaupun aku pernah mendengar cerita dongeng mengenai Laron Penghisap Darah, namun selama hidup belum pernah berkunjung ke wilayah Siau-siang, akupun belum pernah melihat Laron Penghisap Darah, tapi kemarin malam...."
"Atas dasar apa kau yakin kalau makhluk yang kau jumpai semalam adalah Laron Penghisap Darah?" sela Tu Siau-thian cepat.
Jui Pakhay menghela napas panjang, "Karena Laron yang tiba-tiba muncul di dalam perpustakaan ku semalam, persis sama seperti Laron Penghisap Darah yang dilukiskan dalam cerita dongeng."
"Tapi wilayah Siau-siang selisih jauh sekali dari tempat ini, mana mungkin Laron Penghisap Darah bisa terbang melewati wilayah yang begitu luas hingga tiba disini? Belum pernah kudengar ada kejadian seperti ini," seru Tu Siau-thian semakin keheranan.
"Benar, aku sendiripun belum pernah dengar orang bercerita kalau di tempat ini bisa melihat kehadiran Laron Penghisap Darah."
"Mungkin juga lantaran ketidak sesuaian suasana dan hawa di tempat ini dengan daerah asalnya, walau begitu bukan berarti suasana dan hawa disini tidak mungkin bisa terjadi perubahan, juga tidak menutup kemungkinan ada Laron Penghisap Darah yang mampu terbang melintasi wilayah yang luas untuk tiba di sini."
Setelah tertawa dan berganti napas, kembali terusnya, "Padahal meskipun kau telah melihat munculnya seekor Laron Penghisap Darah disini, bukan berarti kau mesti kuatir setengah mati. Ketika masih berdiam di daerah Siau-siang dulu, akupun sering bertemu dengan Laron Penghisap Darah, tapi kenyataannya bukankah hingga detik ini aku masih bisa hidup segar bugar?"
"Tatkala kau bertemu dengan makhluk-makhluk tersebut tempo hari, bisa jadi mereka sudah kekenyangan sehingga tidak berniat menghisap darahmu lagi," ujar Jui Pakhay.
"Hahaha.. mungkin saja perkataanmu itu benar."
Jui Pakhay tidak ikut tertawa, wajahnya semakin murung, keningnya makin berkerut.
Tu Siau-thian merasa kurang leluasa untuk tertawa sendirian, maka sambil berhenti tertawa katanya lagi, "Aku lihat kau sudah dibikin ketakutan lantaran bertemu dengan Laron Penghisap Darah semalam."
Jui Pakhay tidak menyangkal, dengan mulut membungkam dia mengangguk berulang kali.
"Memangnya Laron Penghisap Darah yang kau jumpai semalam ada niat akan menghisap darahmu?" tanya Tu Siau-thian lebih lanjut.
Paras muka Jui Pakhay berubah hebat, sahutnya tegas, "Yaa, aku memang melihat kalau dia bermaksud demikian!"
"Kemudian, apakah dia sudah menghisap darahmu?" ejek Tu Siau-thian lagi sambil tertawa.
Bila dilihat dari lagaknya, dia seakan telah menganggap perkataan dari Jui Pakhay itu sebagai bahan gurauan.
Jui Pakhay masih tetap membungkam, tidak tertawa, pun tidak perduli dengan ejekan dari Tu Siau-thian, ujarnya bersungguh-sungguh, "Tidak, baru saja dia akan menerkam tubuhku, pedangku sudah melancarkan serangan maut ke tubuhnya."
Kali ini Tu Siau-thian nampak terperanjat, serunya tertahan, "Untuk menghadapi seekor Laron pun kau telah menggunakan senjata andalanmu?"
Jika ditinjau dari lagak serta logat bicaranya, dia seolah sedang menyindir Jui Pakhay karena membesar-besarkan sebuah masalah yang sesungguhnya kecil.
Jui Pakhay sama sekali tak menggubris, bahkan tambahnya, "Bukan hanya menggunakan senjata andalanku, bahkan senjata rahasia telah kugunakan juga."
"It kiam jit seng, satu pedang tujuh bintang?"
"Benar, hampir semuanya telah aku gunakan," jawab Jui Pakhay serius.
Kini Tu Siau-thian baru benar-benar terkesiap, akhirnya dia sadar bahwa apa yang diceritakan Jui Pakhay bukanlah cerita lelucon.
Jit seng toh hun, It kiam coat mia (tujuh bintang pembetot sukma, satu tusukan mencabut nyawa) merupakan kepandaian pamungkas andalan Jui Pakhay, tidak sembarangan jago yang mampu menghadapi nya, selama inipun kepandaian pamungkas ini tidak akan digunakan bila keadaan tidak terlampau gawat.
"Lantas, bagaimana hasilnya?" tanya Tu Siau-thian kemudian.
"Begitu aku lancarkan serangan dengan satu pedang tujuh bintang, tahu-tahu Laron Penghisap Darah lenyap tidak berbekas."
"Bagaimana lenyapnya?" desak Tu Siau-thian.
"Hilang lenyap dengan begitu saja, lenyap secara tiba-tiba bagaikan setan iblis."
"Apakah semalam kau mabuk berat?" tegur Tu Siau-thian kemudian sambil menatap rekannya lekat-lekat.
"Tidak, jangan lagi mabuk, minum arak setetespun tidak."
"Berarti kau tidur kelewat awal hingga bermimpi?" kata Tu Siau-thian lebih jauh.
"Waktu itu aku baru saja menghantar tamuku pulang, kemudian balik ke perpustakaan dan baru saja akan masuk ke dalam."
Tu Siau-thian membelalakkan matanya lebar-lebar, serunya cepat, "Kalau memang bukan mabuk kepayang karena pengaruh alkohol, juga bukan bermimpi karena kebanyakan tidur, berarti apa yang kau ceritakan merupakan kejadian yang beneran?"
Jui Pakhay menghela napas panjang, "Haai, masa sampai sekarang kau masih sangsi dengan perkataanku?"
Tu Siau-thian tertawa getir, "Kini kau sudah menceritakan semua kejadian dengan begitu nyata, biar masih sangsi juga aku harus mulai belajar menerima ucapanmu sebagai satu kenyataan."
"Padahal kalau bukan mengalami sendiri belum tentu aku percaya kalau peristiwa ini merupakan sebuah kenyataan," kata Jui Pakhay pula sambil tertawa getir.
"Kali ini kau datang mencari aku, apakah tujuanmu hanya ingin beritahukan kejadian ini saja?"
"Masih ada dua alasan lain."
"Apa alasanmu yang pertama?"
"Aku ingin tahu secara jelas, apakah benar terdapat makhluk yang disebut Laron Penghisap Darah?"
"Dan sekarang kau sudah jelas, lantas apa alasanmu yang kedua?"
"Minta petunjukmu, bagaimana cara menanggulangi serangan dari makhluk semacam ini."
Untuk sesaat Tu Siau-thian berdiri termangu, agaknya dia tidak menyangka kalau harus menghadapi permintaan semacam ini.
Terdengar Jui Pakhay berkata lebih jauh, "Sebenarnya cara apa yang paling tepat untuk menanggulangi serangan mematikan dari Laron Penghisap Darah? Benda apa pula yang paling dipantang Laron Penghisap Darah semacam ini?"
Tu Siau-thian berdiri melongo, lama kemudian dia baru tertawa getir sembari menggeleng, "Aku sendiri juga tidak tahu."
Seketika itu juga semangat Jui Pakhay surut kembali, dia jadi lemas dan tidak bernapsu untuk bicara lagi.
"Tapi kaupun tidak usah kelewat kuatir," buru-buru Tu Siau-thian menghibur, "aku rasa makhluk tersebut belum tentu sangat menakutkan seperti apa yang diceritakan orang."
Tiba-tiba Jui Pakhay berkata lagi, "Aku masih dengar ada orang bercerita demikian, laron pertama yang munculkan diri biasanya adalah utusan dari Raja Laron Penghisap Darah, ketika sang Raja Laron sudah memilih sasaran yang akan dijadikan korban penghisapan darah, dia akan mengirim utusannya, seakan hendak memberi kabar kepada orang tersebut bahwa dia akan terpilih menjadi korban, maka setelah kemunculan sang utusan, Laron Penghisap Darah baru akan muncul berikutnya, menanti sang Raja Laron sudah menampilkan diri, kawanan laron itu baru akan menyerang bersama-sama, setiap laron akan menusukkan tabung suntiknya ke tubuh sang korban lalu beramai-ramai menghisap cairan darah korbannya sampai mengering!"
"Benar, cerita yang beredar memang mengatakan begitu," Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Aku dengar Raja Laron baru akan muncul disaat malam bulan purnama."
"Konon memang begitu," kembali Tu Siau-thian mengangguk setelah termenung dan berpikir sejenak.
Menyusul kemudian ia berkata lebih jauh, "Malam ini baru tanggal dua, hingga tanggal lima belas berarti masih ada tiga belas malam."
"Tapi dengan cepat tiga belas malam akan berlalu dengan begitu saja."
"Kalau begitu selama berapa malam nanti cobalah lebih waspada dan berhati-hati, apabila Laron Penghisap Darah itu muncul kembali, rasanya belum terlambat bagi kita untuk mencari akal guna menghadapinya."
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia terbungkam dalam seribu bahasa.
"Berapa hari lagi, aku pasti akan datang berkunjung ke rumahmu," kembali Tu Siau-thian berjanji.
Jui Pakhay tetap membungkam tanpa menjawab, mendadak dia menghentikan langkah kakinya.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut menghentikan langkahnya sembari bergumam, "Mungkin apa yang kau tampak hanya gambar ilusi yang muncul sesaat, karena terpengaruh oleh ilusi tersebut maka kau kira ada Laron Penghisap Darah hendak menghisap darahmu."
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia baru menjumpai kalau sepasang mata Jui Pakhay sedang terbelalak lebar-lebar, dengan wajah tertegun dan mulut melongo dia sedang mengawasi sebuah dahan pohon liu yang tumbuh di tepi jalan.
Tanpa terasa dia mengikuti arah pandangan mata rekannya dan mengawasi pula dahan pohon itu.
Namun dengan cepat paras mukanya berubah hebat, ternyata di atas dahan pohon itu bertengger dua ekor laron.
Laron hijau yang tubuhnya mengkilat bagaikan batu kemala hijau, di atas sayapnya seakan dipenuhi garis-garis merah darah dengan sepasang mata yang merah membara.
Sepasang mata Laron yang tumbuh di atas kepalanya juga berwarna merah membara, begitu merahnya sehingga mirip dengan darah segar.
Laron Penghisap Darah!! Tu Siau-thian tertegun, matanya mendelong, wajahnya berubah hebat, setelah tertegun sesaat tiba-tiba dia melangkah maju, dengan satu gerakan cepat dihampirinya dahan pohon Liu itu.
Jui Pakhay mencoba menghalangi namun tidak berhasil, untuk sesaat dia jadi melongo dan tidak sepatah kata pun mampu diucapkan.
Ketika tiba di dekat pohon Liu itu, Tu Siau-thian memperlambat langkah kakinya, begitu dia berhenti melangkah, tangan kanannya secepat kilat menyambar ke depan, mencengkeram seekor Laron Penghisap Darah yang berada di situ.
Biarpun gerakan serangannya amat cepat, ternyata gerakan Laron Penghisap Darah itu jauh lebih cepat, belum sempat menyentuh makhluk tersebut, tahu-tahu ke dua ekor Laron Penghisap Darah itu sudah terbang ke angkasa.
Reaksi maupun kesensitifan Laron Penghisap Darah itu ternyata sama sekali tidak berada di bawah kecepatan reaksi kupu-kupu.
Gerakan tubuh Tu Siau-thian semakin cekatan, mendadak dia melambung ke tengah udara sambil melancarkan tiga kali sambaran, akhirnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil menangkap Laron Penghisap Darah itu.
Jangan dilihat gerakan tubuhnya sangat cekat dan kasar, ternyata kekuatan yang digunakan telah diperhitungkan dengan matang, hal ini menyebabkan Laron Penghisap Darah itu sama sekali tidak sampai tergencet mati walau telah berhasil dicengkeram olehnya, sepasang sayapnya masih bergetar tiada hentinya.
Bubuk Laron berwarna hijau kepucat-pu catan telah memenuhi telapak tangan Tu Siau-thian, melihat itu dia tertawa terbahak bahak.
Tampaknya Laron Penghisap Darah itu seakan sudah ketakutan setengah mati hingga mendekati gila, sepasang matanya yang merah kini bertambah merah tajam, bahkan seolah sudah mulai melelehkan darah segar.
Sambil tertawa Tu Siau-thian segera berpaling ke arah Jui Pakhay, kemudian ujarnya, "Bila Laron semacam ini benar-benar pandai menghisap darah, sekarang sudah seharusnya menghisapkan darahku...."
Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat.
Satu tusukan keras yang menimbulkan perasaan sakit yang luar biasa muncul dari ibu jarinya, dengan perasaan terperanjat dia berpaling.
Tampak olehnya sebuah tabung hisap berwarna merah darah dengan ujung jarumnya yang tajam telah menancap di ibu jari tangannya dan saat itu darah segar miliknya mulai dihisap oleh Laron Penghisap Darah itu.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur ngeri yang dialami Tu Siau-thian waktu itu, paras mukanya sampai berubah menjadi hijau membesi.
Ketika dia mulai merasa bahwa darah segar telah dihisap keluar melalui jari tangannya, saat itu pula dia berdiri termangu, benarkah apa yang sedang dialaminya saat ini merupakan sebuah kejadian nyata? Apakah bukan hanya sebuah ilusi? Untuk berapa saat dia jadi kebingungan dan tidak bisa membedakan secara jelas.
"Laron Penghisap Darah!!" dengan perasaan takut bercampur ngeri yang luar biasa dia menjerit.
Karena teriakan yang keras disertai perasaan kaget yang luar biasa ini, tanpa sadar genggamannya pada Laron Penghisap Darah itupun jadi mengendor.
"Sreeet!" diiringi desingan angin tajam, Laron Penghisap Darah itu meloloskan diri dari genggamannya dan terbang ke udara, langsung menyusup ke balik pepohonan Liu yang rindang.
Dalam pada itu, Laron Penghisap Darah yang ke dua pun sudah terbang lenyap entah ke mana.
Sorot mata Tu Siau-thian tidak pernah terlepas dari tubuh Laron yang sedang terbang ke balik rimbunnya pepohonan. Menanti bayangan tubuh makhluk itu sudah lenyap dari pandangan, dia baru mengalihkan kembali sorot matanya ke atas ujung jari telunjuk sendiri.
Tidak ada darah yang meleleh keluar, di ujung jari tangannya hanya tersisa setitik darah segar, namun hal itu sudah cukup membuat pandangan matanya terbelalak lebar.
Jui Pakhay ikut mengawasi ibu jari tangan Tu Siau-thian yang berdarah itu, paras mukanya kini telah memucat bagaikan selembar kertas.
Rasa takut, ngeri dan seram yang mencekam perasaan hatinya sekarang sediktpun tidak berada di bawah perasaan Tu Siau-thian.
Untuk berapa saat lamanya kedua orang itu hanya bisa berdiri termangu tanpa mampu melakukan suatu perbuatan apa pun.
Entah berapa saat sudah lewat, lama kemudian akhirnya Tu Siau-thian memecahkan kesunyian lebih dahulu, katanya, "Tidak disangka ternyata makhluk ini benar-benar mampu menghisap darah."
Dalam keadaan seperti ini, ternyata dia masih sanggup tertawa walaupun senyuman yang menghiasi bibirnya boleh dibilang sama sekali tidak mirip sebuah senyuman.
Terlebih Jui Pakhay, boleh dibilang dia tidak sanggup tertawa lagi, sambil mengamati ujung jari Tu Siau-thian yang berdarah, gumamnya lirih, "Kemarin malam hanya muncul seekor, hari ini sudah dua ekor, berapa banyak yang akan muncul besok malam?"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang sangat aneh, boleh dibilang sama sekali tidak mirip dengan suara aslinya.
Tu Siau-thian hanya mendengarkan dengan wajah tertegun, hatinya bergidik, bulu romanya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya ke atas wajah Tu Siau-thian, kemudian katanya lirih, "Begitu kau berhasil menemukan cara yang tepat untuk menanggulangi serangan makhluk itu, cepatlah beritahu kepadaku."
Begitu selesai berkata, ia segera beranjak pergi dari tempat itu dengan kecepatan luar biasa.
"Kau akan ke mana sekarang?" teriak Tu Siau-thian keras-keras.
"Aku akan mencari teman-teman yang lain, siapa tahu mereka punya cara untuk menghadapinya," ketika selesai mengucapkan perkataan itu, tubuhnya sudah berada jauh sekali.
Tu Siau-thian tidak mengejar, sekujur tubuhnya seolah sudah menjadi kaku dan membeku di tengah rimbunnya pepohonan.
Dia sebetulnya tidak mau percaya kalau kejadian semacam ini merupakan sebuah kenyataan, tapi sekarang mau tidak mau dia harus mempercayainya.
Menjelang tengah hari, kabut tipis makin menyelimuti tepi telaga, membungkus seluruh pepohonan Liu hingga tampak samar.
Dahan Liu bergoyang terhembus angin musim semi, bergerak naik turun di tengah gulungan kabut, sesungguhnya pemandangan saat ini sangat indah, namun dalam pandangan Tu Siau-thian justru terasa menyeramkan dan mendirikan bulu roma.
Dahan pohon Liu yang bergoyang, ibarat kerumunan Laron yang sedang menggeliat, Laron Penghisap Darah!
0-0-0
Bulan tiga tanggal tiga, senja telah menjelang tiba, hujan disertai angin membasahi seluruh jagad, membuat udara terasa dingin.
Jui Pakhay duduk termenung seorang diri di dalam ruang kamarnya, kemasgulan dan kemurungan jelas membekas di atas raut mukanya
Dia baru saja selesai bersantap, ketika sisa nasi dan sayur dibawa keluar, semuanya utuh seolah tidak satupun yang pernah disentuh olehnya, dalam dua hari belakangan selera makannya memang kurang begitu baik.
Kemarin malam, meski Laron Penghisap Darah tidak muncul lagi, namun kemunculan dua ekor Laron Penghisap Darah di tepi telaga siang tadi sudah lebih dari cukup untuk mempengaruhi selera makannya.
Menyaksikan mimik mukanya itu, Gi Tiok-kun ikut hilang selera makannya, jangan lagi bersantap, selera untuk berbicara pun ikut lenyap tidak berbekas.
Gi Tiok-kun bukan orang lain, dia adalah istri Jui Pakhay, usianya sepuluh tahun lebih muda dibandingkan usia suaminya.
Tiga tahun berselang, dia masih nampak bagaikan sekuntum bunga segar yang terhembus angin musim semi, segar dan bergairah sehingga memancing datangnya kupu-kupu dan serangga, cantik, segar dan menawan hati.
Tapi tiga tahun kemudian, dia nampak jauh lebih tua ketimbang Jui Pakhay.
Meskipun belum tampak kerutan dahinya namun masa remaja seakan sudah jauh meninggalkan dirinya, yang tersisa sekarang hanya sepasang matanya yang jeli, sepasang mata jeli yang masih membawa sebuah kehangatan dari masa remajanya.
Biji matanya yang berkilat ibarat dua gulungan bara api berwarna hitam, masih tetap berkialauan, masih tetap membara. Siapa pun yang pernah bersua dengannya, pasti dapat menduga kalau penghidupannya selama tiga tahun terakhir pasti kurang nyaman, pasti kurang bahagia.
Kehidupan yang serba kecukupan bukan jaminan dapat menghilangkan semua kemurungan, kemasgulan dan kesengsaraan perasaan hatinya.
Karena orang yang dinikahi sekarang bukanlah orang yang dia ingin nikahi.
Semenjak menikah dengan Jui Pakhay, kehidupannya seolah sudah mati separuh.
Walaupun sampai kini dia belum sampai mati, namun wajahnya, perasaan hatinya tidak berbeda dengan sekuntum bunga yang mulai layu karena tidak pernah mendapat siraman air segar.
Jui Pakhay sama sekali tidak bisa menyelami perasaan hati istrinya, berbeda dengan Gi Toa-ma, ibu angkatnya, orang tua ini sangat memahami perasaan hati anak asuhnya, hanya sayang Gi Toa-ma tidak pernah memikirkan persoalan itu ke dalam hatinya.
Apa yang dipikirkan Gi Toa-ma tidak lebih hanya semacam benda, semacam benda yang bisa digunakan untuk membeli apa-apa, duit!
Dulu, dia sengaja memelihara Gi Tiok-kun karena dia tahu perempuan ini adalah seorang perempuan cantik, setelah tumbuh dewasa nanti, dari tubuhnya dia bisa meraup duit dalam jumlah yang sangat besar.
Itulah sebabnya dia selalu memberikan hidangan dan pakaian terbaik untuk Gi Tiok-kun, melatihnya menyanyi, menari dan memainkan alat musik, dia paksa gadis itu menjual suara tanpa menjual badan, menemani orang minum arak tapi tidak menemani tidur, hal ini bukan dikarenakan dia sayang dengan perempuan ini, tapi ingin menunggu hingga munculnya sang pembeli yang ideal dan sesuai dengan kehendak hatinya.
Ketika tawar menawar mencapai satu angka kesepakatan, maka diapun serahkan Gi Tiok-kun kepada Jui Pakhay bagaikan menyerahkan sebuah barang pesanan saja.
Saat itulah Gi Tiok-kun baru tahu manusia macam apakah Gi Toa-ma dan apa maksud tujuannya, namun dia tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah.
Gi Toa-ma punya banyak anak buah dan begundal, terlebih Jui Pakhay, dia adalah seorang jagoan yang luar biasa, bila dirinya menolak perkawinan tersebut, bisa dipastikan hanya jalan kematian yang terbentang di depan matanya.
Tentu saja dia tidak ingin memilih jalan kematian, sebab usianya masih sangat muda, sewaktu dikawinkan dengan Jui Pakhay, usianya baru mencapai sembilan belas tahun.
Orang muda mana yang tidak menyayangi nyawanya sendiri? Apalagi seorang gadis yang baru berusia sembilan belas tahun.
Selama ini dia selalu beranggapan bisa menahan semua siksaan batin itu. Namun kenyataan membuktikan dia harus menerima kesemuanya itu dengan susah payah.
Biarpun dia tumbuh dewasa dalam lingkungan pelacuran, gadis ini tidak pernah tertular gaya hidup serta tingkah laku kaum pelacur.
Tapi kesemuanya itu bukan merupakan alasannya yang paling utama, alasannya yang terutama adalah karena hatinya sudah dimiliki orang lain.
Pada malam pertama dia menikah dengan Jui Pakhay, malam pengantin harus dia lalui bagaikan dalam malam siksaan, malam perkosaan, dia merasa bagaikan sedang dinodai orang, diperkosa orang lain, siksaan batin tersebut selalu tersimpan dalam lubuk hatinya hingga detik ini.
Dia tidak menjadi gila sudah merupakan satu mukjizat, bayangkan saja, perempuan mana yang bisa hidup tenteram dalam suasana seperti ini.
Tidak heran kalau kini raut mukanya berubah menjadi cepat tua. Meski penampilan mukanya hanya lebih tua sepuluh tahun, namun perasaan hatinya sudah lama mati, mati ketuaan.
Tidak seorang manusia pun yang memahami perasaan hatinya, bahkan Jui Pakhay sendiripun sama sekali tidak tahu.
Selama ini dia selalu menunjukkan sikap seakan dia amat mencintai Gi Tiok-kun, selalu berusaha dan berupaya untuk merebut hati perempuan itu, berusaha membuatnya senang, gembira....
Sayang dua hari ini sikapnya agak berubah, selama dua hari ini dia sama sekali tidak berselera untuk melakukan kebiasaan itu, dia sama sekali tidak punya semangat untuk melakukannya.
Kehadiran Laron Penghisap Darah telah membuat pikirannya kalut, membuat perasaan hatinya kacau balau.
Mengapa Laron Penghisap Darah selalu menampakkan diri di hadapannya? Apakah Raja Laron telah jatuhkan pilihannya terhadapnya?
Laron yang muncul pada malam tanggal satu bulan tiga, apakah dia adalah utusan dari Raja Laron? Apakah Laron Penghisap Darah itu adalah utusan khususnya?
Mengapa si Raja Laron justru jatuhkan pilihannya terhadap dia?
Bila seandainya kawanan Laron Penghisap Darah datang menghisap darahnya, apa yang harus dia lakukan? Tindakan apa yang harus dia ambil?
Setiap hari setiap waktu dia selalu memikirkan persoalan itu, tidak terkecuali pada saat sekarang.
Butiran air hujan sudah lama berhenti menetes, namun air masih mengalir dari luar jendela, butir air berkilauan ketika tertimpa cahaya lentera, sekilas lewat kemudian lenyap dari pandangan mata.
Dengan pikiran kusut Jui Pakhay mengawasi butiran air di luar jendela, pikiran dan perasaan harinya kusut sekusut tumpukan jerami, tiba-tiba cahaya lentera meredup lalu mati, kegelapan segera mencekam seluruh ruangan.
Bagaikan burung yang takut dengan anak panah, Jui Pakhay segera melompat bangun sambil memutar badannya secepat kilat, sorot matanya segera ditujukan ke atas lentera perak di atas meja kecil, tidak jauh di hadapannya sana.
Di atas penutup lentera perak itu bertengger empat ekor Laron Penghisap Darah, satu di sisi kiri, satu di kanan, satu di atas dan satu lagi di bawah, persis membentuk tanda salib.
Empat ekor Laron Penghisap Darah dengan empat pasang mata pada sayapnya yang berwarna merah darah, seakan-akan sedang mengawasi Jui Pakhay tanpa berkedip, mengawasinya di bawah sorot cahaya yang redup....
Tidak diketahui mereka datang dari mana, juga tidak terdengar suara sayap mereka sewaktu terbang memasuki ruangan itu, cahaya lentera hanya terasa redup bagaikan padam secara tiba-tiba lalu mereka telah muncul disana, muncul bagaikan kehadiran setan iblis.
Sepasang mata Jui Pakhay terbelalak semakin lebar, diawasinya ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu tanpa berkedip, kulit, otot dan daging wajahnya mulai mengejang keras lalu berdenyut tiada hentinya.
Tangan kanannya sudah menggenggam kencang pedang Jit seng coat mia kiam, peluh dingin membasahi seluruh jidatnya.
Biarpun senjatanya belum diloloskan, meskipun serangan belum dilancarkan, namun hawa pembunuhan telah menyelimuti seluruh udara.
Ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu seolah belum merasakan datangnya ancaman, mereka tidak bergerak, pun tidak menunjukkan reaksi apapun.
Justru yang dibuat terkejut oleh ulah dan tingkah laku Jui Pakhay adalah Gi Tiok-kun.
Sebenarnya dia sedang duduk terpekur di sampingnya, duduk sambil menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak memperhatikan Jui Pakhay, maka ketika suaminya melompat bangun secara tiba-tiba, bangku tempat duduk itu ikut dipukul balik oleh ulahnya.
"Blaaam!" di tengah keheningan yang mencekam, suara itu kedengaran amat nyaring dan memekikkan telinga.
Dengan perasaan terkesiap dia mendongakkan kepalanya, dengan cepat perempuan itu telah menyaksikan raut muka Jui Pakhay yang dicekam rasa takut, selembar wajah yang begitu ketakutan dan penuh diliputi rasa gelisah bercampur ngeri.
"Apa yang terjadi?" tanpa terasa dia menegur.
"Laron!" bisik Jui Pakhay dengan suara gemetar.
"Apa? Laron apa?" Gi Tiok-kun keheranan.
"Laron Penghisap Darah!"
"Laron Penghisap Darah?" Gi Tiok-kun semakin keheranan. Dia belum pernah mendengar nama itu, belum pernah tahu makhluk apakah itu.
"Yaa, empat ekor Laron Penghisap Darah!" ulang Jui Pakhay dengan nada parau.
"Di mana?"
"Itu, di atas penutup lentera!" seru Jui Pakhay sambil menuding ke depan.
Gi Tiok-kun segera menoleh dan memandang ke arah mana yang ditunjuk.
Tadi dia duduk persis di bawah lentera perak itu, sama sekali tidak merasa kalau di atas penutup lentera itu sudah bertengger empat ekor Laron Penghisap Darah, ketika cahaya lentera jadi redup tadi, dia pun seakan tidak merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu.
Kini, sorot matanya telah dialihkan ke atas penutup lentera itu, perasaan tercengang, keheranan dan tidak habis mengerti terlintas di wajahnya.
Hanya perasaan keheranan, sama sekali tidak terbias rasa takut, atau ngeri atau seram.
Dengan keheranan dia berpaling lagi memandang wajah Jui Pakhay, kemudian serunya, "Empat ekor Laron Penghisap Darah yang bertengger di penutup lentera? Mana? Kenapa aku tidak melihatnya?"
Jui Pakhay tertegun, dia tidak sanggup menjawab, sepasang matanya terbelalak semakin lebar.
Dengan sangat jelas dan nyata dia saksikan ada empat ekor Laron Penghisap Darah, bahkan sekarang pun masih bertengger di atas penutup lentera itu.
Kenapa Gi Tiok-kun tidak melihatnya? Jangan-jangan sewaktu dia berpaling tadi, ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu sudah menyembunyikan diri?
Dia membelalakkan matanya semakin lebar, serunya gelisah, "Coba perhatikan lagi dengan seksama!"
Gi Tiok-kun mengiakan seraya berpaling, kali ini dia sama seperti Jui Pakhay, membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar.
Biarpun ukuran badan ke empat ekor Laron Penghisap Darah itu lebih kecil dari lalat pun, sekarang, seharusnya sudah tidak bisa lolos dari pengamatan matanya.
Dia memeriksa dengan lebih seksama lagi, namun akhirnya tetap menggeleng, ternyata perempuan itu tetap tidak menyaksikan sesuatu apa pun.
"Sudah kau lihat?" tidak tahan Jui Pakhay bertanya.
"Belum" Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tapi.... aku melihat dengan jelas, ada empat ekor Laron Penghisap Darah!"
"Haai, tapi aku tidak melihatnya, walau hanya seekor pun" sahut Gi Tiok-kun sambil menghela napas panjang.
Dia tidak mirip lagi berbohong, atau jangan-jangan pandangan mata sendiri yang telah kabur?
Sambil mengucak matanya berulang kali kembali Jui Pakhay berpaling mengawasi penutup lentera itu.
0-0-0
0 comments:
Post a Comment