Join The Community

Premium WordPress Themes

Bajak Laut Kertapati 02

Bajak Laut Kertapati

Jilid 2

Kertapati terus berenang di bawah permukaam air dan ketika ia muncul kembali, ternyata ia telah berada di tepi yang jauh dari terup itu, lalu melompat ke darat di mana terdapat banyak penonton. Akan tetapi, para opsir itu masih menembakkan senjata api mereka ke arah tempat itu dan dua orang penonton roboh terkena peluru, sedangkan Kertapati lenyap diantara penonton yang banyak!

Tentu saja hal ini menimbulkan keributan dan geger. Semua penonton berlari cerai-berai, takut terkena tembakan yang nyasar dan yang lepas dengan ngawur itu. Ketika tempat itu sudah bersih dari para penonton, ternyata Kertapati telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas! Para punggawa masih mencari kesana kemari dengan hati kebat-kebit karena ketakutan, akan tetapi yang dicari telah lenyap, entah ke mana perginya!

Perbuatan Kertapati yang amat berani ini mendatangkan kesan mendalam pada semua orang. Para opsir Belanda makin membencinya dan menggangapnya sebagai pengacau yang kurang ajar, terutama sekali Raden suseno merasa amat marah dan juga cemburu sekali. Ia tidak puas akan sikap tunangannya yang memberikan tusuk kondenya kepada bajak laut jahat itu! Hanya di dalam dada seorang saja kertapati menimbulkan kesan yang luar biasa, yakni dalam dada Roro Santi sendiri! Gadis ini merasa demikian tertarik kepada pemuda baju hitam itu. Ia menganggap pemuda itu gagah berani, jujur, dan juga tidak menjilat-jilat seperti Raden Suseno atau lain-lain pemuda di hadapannya. Kekurangajaran dan kekasaran bajak laut itu menarik hatinya. Biarpun berkali-kali ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menganggap Kertapati sebagai seorang bajak laut yang kejam, pengacau yang penuh dosa, akan tetapi perasaan wanitanya berpendapat lain dan anehnya, bayangan pemuda dengan senyumnya yang manis dan tenang itu sukar sekali diusir dari alam pikirannya!

Opsir Belanda yang pertama-tama melepaskan tembakan ketika Kertapati muncul dalam keramaian di pantai Jepara itu, adalah seorang berusia kurang dari tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, berambut kekuning-kuningan dan matanya biru serta tajam sekali. Dia bukanlah seorang opsir biasa, karena sesunguhnya opsir ini yang namanya Dolleman, adalah seorang kepala pasukan rahasia atau mata-mata Belanda yang banyak disebar untuk menyelidiki keadaan dan pergerakan para pengeran di Mataram berhubung dengan pemberontakan-pemberontakan Trunajaya. Dolleman amat cerdik dan ia telah mempelajari bahasa daerah sehingga dapat bercakap-cakap alam bahasa itu cukup fasih, sungguh pun lidahnya masih terasa kaku untuk dapat mengucapkan kata-kata daerah yang asing baginya itu.

Telah banyak jasa yang diperbuat selama ia datang dari negerinya sehingga di kalangan Kompeni, ia mendapat kepercayaan penuh, bahkan ia mempunyai surat kuasa untuk menggerakkan semua pasukan Kompeni yang terdapat di mana saja, menurut perintahnya apabila terjadi sesuatu yang penting.

Selain mendapat tugas untuk mengawal Speelman yang mengunjungi Jepara dan mengadakan pertemuan dengan Sunan, iapun mendapat tugas pula untuk menyelidiki dan mencari sarang bajak laut Kertapati yang mengacau di sepanjang tepi Tegal sampai Jepara. Maka ketika Kertapati dengan beraninya muncul dalam keramaian di pantai itu, Dolleman segera mengerahkan seluruh pembantunya untuk disebar an melakukan penyelidikan di sekitar daerah Jepara. Ia merasa yakin bahwa bajak laut itu tentu berada di sekitar daerah itu dan bersembunyi di sebuah desa.

Dolleman mempunyai banyak sekali kaki tangan yang terdiri dari penduduk pribumi yang tela makan uang sogokannya, akan tetapi, ia tidak kenal betul kecerdikan Kertapati, dan tanpa disadarinya seorang diantara kaki tangannya adalah seorang anak buah bajak laut sendiri! Oleh karena itu, tentu saja kaki tangannya melakukan pengejaran dan penyelidikan, mereka tak berhasil menemukan bajak laut itu.

Di dalam rumah penginapan. Dolleman duduk di kamar, sudut bibirnya menjepit sebatang serutu dan kedua tanagnnya mempermain-mainkan sebatang tangkai pena. Pikirannya bekerja keras dan ia benar-benar merasa bingung menghadapi bajak laut kertapati yang amat cerdik itu. Peristiwa terbunuhnya sersan Zeerot dan keadaan empat kawan ponggawa yang pingsan di dalam perahu, membuat ia dapat menduga bahwa betapapun juga, sebagai seorang bajak laut, Kertapati masih melindungi orang-orang sebangsanya. Siapa lagi kalau bukan Kertapati yang menolong empat orang ponggawa itu sehingga mereka tidak mati tenggelam? Perbedaan nasib sersan Zserot dan empat orang ponggawa itu menimbulkan dugaannya bahwa Kertapati bukanlah bajak laut biasa dan Dolleman mulai menghubungkan keadaan bajak laut itu dengan pemberontakan Trunajaya. Adakah hubungan antara Kertapati dan Trunajaya?

Untuk mencari sesuatu yangmerupakan titik terang guna mencari jejak untuk penyelidikan, ia mulai mengenangkan lagi semua peristiwa yang terjadi di dekat pantai pada waktu keramaian itu.

Terbayanglah di depan matanya yang biru tajam itu ajah Roro Santi yang cantik jelita, pandang matanya yang amat manis itu.

Terbayang pula betapa Kertapati memandang puteri itu dengan mata penuh perasaan dan teringatlah ia akan pemberian tusuk konde itu. Tiba-tiba Dolleman menancapkan penanya di atas meja dan berseru.

“Bagus ……!!" akal inilah yang harus kugunakan!!“

Wajahnya yang cakap menjadi berseri gembira, matanya yang tajam bercahaya terang ia segera menukar pakaiannya dengan pakaian yang indah dan baru. Kemudian dengan langkah lebar dan bersiul-siul, ia berjalan keluar dari rumah penginapannya dan lagsung menuju ke gedung Adipati Wiguna.

Adipati Wiguna menyambutnya dengan ramah tamah dan tamunya duduk di ruang tengah. Diperintahnya pelayan untuk mengeluarkan hidangan bagi tamu itu, akan tetapi Dolleman lalu berkata sambil tersenyum.

“Jangan merepotkan diri, tuan Adipati! Saya hanya ingin bercakap-cakap sebentar dan karena yang akan saya bicarakan ini adalah suatu hak yang amat penting, harap tuan Adipati suka menyuruh semua pelayan mengundurkan diri agar percakapan kita takkan terganggu.“

Biarpun merasa agak heran, Adipati Wiguna lalu memerintahkan semua pelayannya mundur, kemudian ia menghadapi Dolleman yang duduk di depannya sambil bertanya, “Perkara apakah gerangan yang hendak kau bicarakan?“

Sebelum mulai bicara, Dolleman mengeluarkan sebungkus cerutu dan menawarkannya kepada tuan rumah, akan tetapi dengan halus Adipati Wiguna menampiknya sambil mengucapkan terima kasih. Dolleman mencabut sebatang cerutu dan menyalakannya, lalau menghisap asap cerutu itu dalam-dalam ke dadanya.

“Tuan Adipati Wiguna,“ katanya setelah menghembuskan asap itu keluar dari mulut dan hidungnya, “ telah lama saya mendengar nama tuan Adipati dan kalau tidak salah tuan Adipati berasal dari Demak, bukan?“

Adipati Wiguna mengganguk dan bangsawan ini cukup mklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang opsir penyelidik yang terkenal sekali, maka ia menanti dengan hati berebar akan kelanjutan dari percakapan ini. Karena tidak mungkin opsir ini datang sekedar untuk bercakap-cakap angin belaka.

“Memang saya sekeluarga berasal dari Demak, tuan Dolleman, “ jawabnya menekan debar jantungnya. “Belum lama saya dipindahkan ke Jepara dan menjabat pangkat disini.“

Dolleman mengangguk-angguk dan menyentil-nyentil cerutunya dengan jari sehingga abunya yang putih jatuh ke atas lantai. “Tuan Adipati, saya telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran, diantaranya pertempura melawan Trunajaya di Surabaya. Pertemuan saya dengan tuan Adipati mengingatkan saya akan seorang pemimpin pemberontak pembantu Trunajaya, oleh karena wajahnya mirip sekali dengan tuan Adipati.“

Biarpun Adipati Wiguna berusaha menetapkan hatinya, namun wajahnya tetap saja berubah pucat mendengar uapan ini. Ia tersenyum menutupi kegelisahannya dan berkata, “Kau aneh sekali, tuan letnan! Tentu saja diantara ribuan manusia di dunia, banyak yang mirip mukanya, apakah anehnya hal ini?“

Dolleman mengangguk-angguka kepalanya yang berambut kuning keemasan itu. “Saya tahu, saya tahu …… akan tetapi anehnya pula, orang inipun berasal dari Demak!“ Kemudian letnan itu mendekatka kepalanya kepada tuan rumah danmatanya memandang tajam sekai, seakan-akan berusaha hendak menembus mata Adipati Wiguna an menjenguk ke dalam hatinya. “Dia itu bernama Wiratman, kenalkah kau kepadanya, tuan adipati?“

Wajah Adipati Wiguna makin pucat dan ia tidak dapat menjawab untuk beberapa lama. Ia maklum bahwa letnan Belanda itu telah mengetahui hal ini dan iamerasa seakan-akan ia berada dalam cengkraman tangan tamunya ini.

Melihat kebimbangan tuan rumah, letnan Dolleman tersenyum dan menarik napas panjang tanda kepuasan hatinya. “Tuan adipati, jangan kau gelisah. Sesungguhnya saya sudah tahu belaka bahwa Wirataman itu adalah adik kandungmu! Akan tetapi, sekali saja janagn kau berkuatir, tuan Adipati. Biarpun hal ini apabila diketahui oleh Sunan akan merupakan hal yang hebat dan bahaya akan mengancam keluargamu, akan tetapi hal ini yang mengetahui hanya saya seorang, dan saya tah betul bahwa tuan Adipati tidak sama dengan adik kandung yang menjadi pemberontak itu!“ Kembali Dollemon menghisap cerutunya dan menyadarkan tubuhnya pada kursinya.

“Tuan letnan Dolleman, terima kasih atas kepercayaanmu. Dan …… dan apakah kiranya yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan budimu ini?“

Melihat sikap dan mendengar ucapan Adipati Wiguna yang langsung itu, Dolleman tertawa bergelak, memperlihatkan giginya yang besar dan putih.

“Ha, ha, tuan Adipati. Saya suka melihat tuan yang bersikap terus terang dan langsung ini! Memang harus begini laki-laki menyelesaikan sesuatu persoalan. Terus terang pula saya menyatakan kepadamu bahwa setelah bertemu dengan puterimu Roro Santi pada keramaian di pantai kemarin dulu, saya merasa suka kepadanya. Dengan setulus hati aya, saya mengajukan pinangan untuk puteri tuan adipati itu!“ Sambil berkata demikian, kembali sepasang mata Dolleman memandang tajam.

Bukan main terkejutnya hati Adipati Wiguna mendengar pinangan yang pernah diduga-duganya itu. Dia adalah seorang Islam demikian pun semua keluarganya, dan sungguh pun ia berselisih faham dengan Wiratman yang membela Trunajaya sedangkan ia tetap bersetia kepada sunan Amangkurat II, namun ia tetap seorang umat islam yang beribadat dan teguh iman. Bagaimana ia dapat menikahkan puterinya kepada seorang Belanda, seorang kafir? Lagipula, puterinya itu telah dipertunangkan dengan Raden Suseno, putera bupati di Rembang.

“Tuan letnan, hal ini tak mungkin dapat kuterima! Puteriku telah bertunangan dengan putera Bupati Randupati di Rembang dan pula, sebagai seorang Islam, kami tak mungkin menikahkan puteri kami kepada seorang yang bukan umat Islam! Harap kaumengerti akan hal ini dan mintalah saja yang lain.“

Dolleman tertawa lagi dan sikapnya masih tenang. “Kalau begitu tiada jalan lain bagi saya selain membuka rahasiamu kepada Sunan, biarkan Sunan sendiri yang menetapkan akibatnya!“

Tiba-tiba Dolleman tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak memperlihatkan sikap melawan atau meraba senjata apinya.

“Adipati Wiguna, simpan kembali kerismu itu. Aku hanya main-main saja. Ketahuilah, di negeri Belanda akupun telah mempunyai seorang isteri yang manis dan seorang anak, apa kaukira aku benar-benar hendak menikah lagi! Ha, ha, ha,!

Adipati Wiguna memanang heran, menyimpan kembali kerisnya dan duduk sambil berkata. “ Tuan letnan Dolleman, jangan kau main-main. Apakah maksudmu yang sesungguhnya? aku sudah tua, jangan kau memprmainkan perasaanku. “

Dolleman membuang putung cerutunya ke dalam tempolong yang berada di bawah meja, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh.

“Tuan Adipati Wiguna, pinanganku ini hanya merupakan siasat untuk memancing bajak laut Kertapati, agar aku mendapat jalan untuk menangkapnya!“

“Saya tidka mengerti maksudmu, bentangkanlah yang jelas.“

“Begini tuan Adipati. Pada waktu bajak laut itu muncul di panggung dan berhadapan dengan puterimu, saya dapat melihat dengan jelas bahwa bajak itu jatuh cinta kepada puterimu! Hal ini kuketahui baik-baik dan sungguh pun saya berani menyatakan bahwa puterimu juga tertarik kepadanya, akan tetapi aku yakin betul bahwa penjahat itu suka kepada Roro Santi! Oleh karena itu saya mendapat akal. Kalau dia mendengar bahwa Roro Santi akan menjadi isteri saya, tentu ia akan marah dan akan menghalanginya dan demikian, kita mendapat kesempatan untuk menawan atau membunuhnya!“

“Jadi …… tuan hendak menggunakan puteri saya sebagai umpan untuk memancing dia keluar ……??“ tanya Adipati Wiguna dengan muka pucat.

“Benar! Akan tetapi jangan kuatir, kami akan menjaga keras agar puterimu itu tidak mengalami sesuatu. Juga dengan pengurbanan ini, berarti Adipati dan puterinya telah menunjukkan jasa besar terhadap Mataram. Bukankah bajak laut itu selain musuh Kompeni, juga merupakan musuh Mataram yang selalu mengacau dan menggangu lalu lintas di laut?“

Adipati wiguna mengerutkan kening dan berpikir, kemudian berkata ragu-ragu. “ Akan tetapi …… bagaimana dengan Bupati Randupati dan puteranya? Saya rasa mereka akan keberatan!“

Dolleman tersenyum. “Kalau kita jelaskan bahwa pinangan dan penyerahan puterimu kepada saya ini hanya sandiwara belaka, mengapa mereka berkeberatan? Saya akan memberitahukan hal ini kepada atasan saya, juga kepada Sunan, tidak mau membantu, bukankah berarti bahwa dia membela dan melindungi bajak laut? kertapati? Apakah dia berani menolak?“

“Akhirnya, karena berada di dalam kekuasaan Dolleman yang cerdik itu. Adipati Wiguna! Sekali-kali jangan kau ceritakan kepada Roro Santi, karena hal ini amat berbahaya. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tentu bajak laut Kertapati akan mendengar dan tidak mau membiarkan dirinya masuk perangkap!“

Adipati Wiguna mengangguk-angguk mklum dan mereka berdua lalu pergi ke Rembang guna berunding denga Bupati Randupati di Rembang. Juga Bupati ini terpaksa menurut, sedangkan Raden Suseno yang tadinya merasa keberatan, ketika mendengar bahwa hal ini dilakukan untuk memancing keluar bajak laut Kertapati yang amat dibencinya, lalu menyatakan persetujuannya!

“sekarang harap tuan Adipati Wiguna suka menyiarkan berita bahwa pertunaga antara puterimu dan Raden Suseno dibatalkan dan kemudian menyiarkan berita bahwa puterimu telah ditunangkan dengan seorang letnan Kompeni. Kita sama-sama lihat apakah hal ini belum cukup kuat untuk memancing keluar Kertapati. Kalau belum cukup kuat, barulah kita bertindak lebih jauh, yakni mengirimkan puterimu dengan perahu Kompeni ke Semarang! Sementara itu, aku akan berusaha menyelidiki di mana sebenarnya sarang Kertapati itu!“

Demikian Letnan Dolleman membari pesan terakhir kepada Adpipati wiguna.

***

Dua hari kemudian, seorang laki-laki berkumis panjang melarikan kudanya menuju ke barat. Laki-laki ini datang dari Jepara dan ketika ia tiba di batas kota, ia ditahan oleh beberapa orang penjaga. Akan tetapi laki-laki itu mengeluarkan sehelai kartu yang ada tanda cap dua singa. Membaca kartu keterangan itu, para penjaga membiarkan ia pergi tanpa berani menganggu, oleh karena kartu ini adalah tanda bahwa orang ini adalah seorang mata-mata kaki tanagn Kompeni! Memang benar, orang ini bernama Jiman, seorang kaki tangan dari Letnan Dolleman. Akan tetapi, sebenarnya Jiman adalah seorang anak buah bajak laut Kertapati yang dengan cerdiknya telah mendapat kepercayaan dari Letnan Dolleman, bahkan telah dijadikan mata-mata dari letnan itu!

Setelah melalui pos penjagaan dengan selamat, Jiman terus membalapkan kudanya menuju ke barat an akhirnya ia memasuki sebuah dusun di pantai laut, kurang lebih empat puluh kilometer dari Jepara. Di luar dusun nampak beberapa orang pemuda nelayan yang menjaga an melihat kedatangan Jiman, mereka lalu mengantarkan mata-mata itu ke sebuah rumah bambu besar. Di dalam rumah itu nampak kurang lebih dua puluh orang laki-laki sedang duduk di atas tikar, agaknya sedang mengadakan rapat. Inilah tempat berkumpulnya kawanan bajak laut yang dikepalai oleh Kertapati memang mempunyai banyak tempat-tempat pertemuan di sepanjang pantai, dan ia mendapat dukungan sepenuhnya dari penduduk dusun yang tahu akan perjuangan!

Perlu diketahui bahwa sebenarnya, Kertapati adalah seorang pejuang yang aktip dari pemberontakan Trunajaya! Sungguhpun ia bukan langsung menjadi anak buah Trunajaya, akan tetapi sebagai seorang yang bersimpati kepada pemberontakan Trunajaya, ia merupakan pembantu sukarela yang telah banyak berjasa. Semenjak Trunajaya masih bertahan di Surabaya, Kertapati telah banyak membantunya dengan pengiriman-pengiriman senjata yang dapat dirampasnya dari perahu-perahu Belanda, atau harta benda yang dapat dirampoknya dari perahu-perahu yang menjadi kurbannya.

Melihat kedatangan Jiman, Kertapati berdiri menyambutnya dan mempersilakan orang itu duduk.

“Jiman, kau membawa berita apakah?“ tanyanya dan semua mata dari mereka yang duduk disitu ditujukan kepada pendatang itu.

“Kertapati,“ kata jiman yang telah kenal baik kepada bajak itu, “tidak ada berita yang penting. Dolleman agaknya telah berputus asa dan tidak mengirim orang-orangnya untuk mencari jejakmu lagi. Akan tetapi ada sebuah berita aneh yang membuat aku masih binggung memikirkannya.“

“Apakah itu?“

“Aku mendengar berita bahwa Adipti Wiguna telah membatalkan pertunangan puterinya dengan putera Bupati Randupati! Hal ini memang tak ada gunanya kuberitahukan kepadamu, karena mungkin sekali ini terjadi karena peristiwa dengan kau dulu itu. Akan tetapi ada berita yang amat aneh mengejutkan, yaitu Adipati Wiguna setelah membatalkan pertunangan puterinya itu, lalu mempertunangkan anaknya dengan Dolleman!“

“Apa ……??“ Kertapati terkejut sekali sehingga ia bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi, ketika melihat betapa semua kawannya memandangnya dengan heran, ia lalu menekan perasaannya dengan muka merah.

“Ah, biarlah, Hal itu apakah sangkut pautnya dengan kita?“ Akan tetapi, sambil berkata demikian, di luar tahunya semua orag, diam-diam ia meraba saku bajunya di mana tersimpan tusuk konde emas yang pada malam hari sering dikeluarkan dan dikaguminya itu.

“Semenjak pertunangan itu diumumkan, Dolleman nampak tenang-tenang saja dan seakan-akan lupa kepada perkerjaannya. Jarang ia keluar pintu dan berdiam saja di rumah tempat ia menginap,“ Jiman melanjutkan ceritanya. “ Oleh karena itu, kami yang menjadi pembantunya, tidak mempunyai pekerjaan sesuatu dan aku berkesempatan datang kemari. Selain itu, ada sebuah berita lagi. Rombongan Tumenggung Basirudin akan datang besok pagi dengan perahu dari Semarang. Kabarnya selain membawa isteri dan anaknya, tumenggung ini membawa banyak barang-barang berharga.“

Berita ini disambut dengan girang oleh kawan-kawan Kertapati, sungguhpun kepala bajak itu sendiri nampak tidak begitu gembira, karena hatinya masih penuh dengan berita tentang pertunagan Roro Santi dengan Dolleman tadi.

“Aku tak dapat lama berdiam di sini, kuatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan.“

“Baik, kau kembalilah ke Jepara, Jiman, dan perhatikan kalau-kalau ada perubahan dari fihak Dolleman, “ kata Kertapati. Jiman lalu keluar dan menunggang kudanya kembali, lalu melarikan kudanya pulang ke Jepara.

“Saudara-saudara, “ kata Kertapati kemudian kepada kawan-kawannya,“ seperti telah kuceritakan tadi, sungguhpun Raden Trunajaya dan semua pegikutnya yang gagah berani telah dikalahkan oleh Kompeni, akan tetapi, berkat bantuan para saudara yang bersatu hati, kini Raden Trunajaya berhasil menduduki Mataram. Betapapun juga, hal ini belum berarti bahwa bencana telah lenyap sama sekali. Saudara semua tahu bahwa kedatangan Kompeni yang mengadakan perundingan dengan Sunan bukanlah hal yang tidak ada artinya."

Tentu mereka bersepakat untuk sama-sama menggempur Mataram dan merampasnya kembali dari Raden Trunajaya. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan sebanyak senjata api dari Belanda, dan juga mengumpulkan harta benda untuk membiayai pertahanan Raden Trunajaya. “

“ Hasil-hsil kita di laut tidak berapa besar, apakah artinya bagi Raden Trunajaya?“ kata seorang anggota.

“Karena inilah maka kita harus bekerja keras, dan kalau perlu kita akan serang Jepara dan merampas harta benda dari para hartawan an bagsawan di sana!“

“Itu berbahaya sekali!“ seru seorang anak buahnya.

Kertapati tersenyum. “ Apakah artinya bahaya?“

Orang yang ebrseru tadi tertawa geli. “ Bahaya artinya gembira!“ katanya karena memang ucapan ini merupakan semboyan mereka sejak dulu!

“Kalau kita atur sebaliknya, apakah susahnya menyerbu kota seperti Jepara?“

Demikianlah, dibawah pimpinan Kertapati yang cerdik itu, mereka mengatur siasat untuk menyerbu Jepara, kemudian ditetapkan bahwa sebelum penyerbuan itu, mereka lebih dulu akan merampok perahu yang adatang dari Semarang, yakni perahu yang membawa keluarga Tumenggung Basirudin.

***

Bersambung ke Bagian 3

Nomor Sebelumnya: 01 |

0 comments: