Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 02 - Manusia Dalam Almari

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

 

2. Manusia dalam almari

Hanya dalam waktu sekejap orang itu sudah lenyap di tengah kerumunan orang banyak. Sewaktu Ong Siau-sik menoleh lagi ke tengah arena, ia saksikan beberapa orang lelaki kekar dan perempuan kasar itu sedang memberesi peralatan senjata dan barang-barangnya untuk meninggalkan arena dengan tergesa-gesa, para penonton yang semula mengerubung di seputar arena pun sudah mulai bubar.

Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat kembali dengan kata bisikan tadi, “Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, urusan besar jadi terbengkalai”. Apa maksud bisikan itu?

Setelah berpikir sejenak, dia berkeputusan akan menguntit rombongan akrobatik itu lebih dulu, dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rombongan itu berjalan menelusuri jalan besar kemudian memasuki lorong kecil, sepanjang jalan sering berpapasan dengan orang banyak, tapi mereka berjalan amat santai, menelusuri jalan sembari bicara kasar, malah seringkali mereka meng-hadiahkan cambukan atau tendangan ke tubuh orang cebol dan manusia cacad itu.

Cara mereka menempuh perjalanan tidak mirip manusia yang melakukan perjalanan bersama, tapi lebih mirip seorang peternak yang sedang menggiring binatang peliharaannya, mirip juga seorang majikan yang sedang menggiring budak belian, mereka membentak, mencambuk untuk memamerkan kewibawaannya.

Ong Siau-sik teramat murka menyaksikan kejadian ini, hampir saja dia mengumbar kemarahannya, ketika secara tiba-tiba ia saksikan munculnya seseorang yang jangkung dan kurus kering dari kejauhan sana.

Orang jangkung itu mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, wajahnya putih memucat seakan sudah lama tidak bertemu sinar matahari. Di punggungnya kelihatan sebuah bungkusan besar, tua, kuno dan berat tergantung di situ.

Tak selang berapa lama kemudian orang itu sudah berjalan semakin mendekat. Suasana pun sesaat menjadi hening, rombongan penjual akrobatik mulai berdiam diri sambil mengawasi gerak-gerik orang itu. Makin lama orang itu berjalan semakin dekat.

Ong Siau-sik dapat merasakan betapa tegangnya kawanan penjual akrobat itu hingga susah bernapas, malah ada di antara mereka mulai gemetar kakinya, nyaris melarikan diri meninggalkan tempat itu.

Di tengah sorotan sang surya yang lembut, hembusan angin musim gugur terasa dingin, di antara guguran daun kering yang beterbangan di udara, lamat-lamat terdengar suara alunan seruling yang menggema terputus-putus.

Siapa yang meniup seruling di tengah udara seperti ini?

Dalam pada itu orang tadi sudah berjalan lewat, berpapasan dengan rombongan penjual akrobatik, jangankan berhenti, melirik atau berpaling sekejap pun ternyata tidak.

Kini rombongan itu baru bisa menghembuskan napas lega, beberapa orang di antaranya malah sempat berpaling untuk melirik orang itu sekejap, memandang dengan sorot mata ketakutan.

Sekarang orang itu sudah berjalan mendekati Ong Siau-sik. Anak muda ini bisa merasakan hawa dingin yang memancar dari wajah orang itu begitu menggidikkan hati, dingin beku bagai bongkahan salju yang sudah terkubur ribuan tahun, tapi hawa dingin yang terpancar dari bungkusan yang berada di punggungnya terasa jauh lebih menyayat hati.

Orang itu berjalan terus ke depan, sewaktu hampir ber-papasan dengan Ong Siau-sik, tiba-tiba ia mendongakkan ke-pala, dengan sinar mata setajam kilat, ia melotot ke arah anak muda itu sekejap.

Ong Siau-sik merasa hatinya tercekat.

Orang itu sudah berjalan lewat, berjalan terus ke depan menjauhi tempat itu.

Tapi Ong Siau-sik kembali menemukan suatu kejadian yang sangat aneh. Ia lihat dari ujung jalan, paling tidak dari lima enam arah yang berbeda, bermunculan belasan orang, ada yang berlagak seperti sedang pesiar, ada yang berlagak sebagai penjaja makanan kecil, ada yang menjadi tukang ramal, ada pula kongcu yang membawa sangkar burung, di antara orang-orang itu ada yang tua ada pula yang muda, dandanan serta pakaian mereka berbeda, gerak-gerik juga berbeda, namun Ong Siau-sik dapat mengenali kungfu yang dimiliki orang-orang itu sangat tangguh, sedang tujuan kedatangan mereka pun hanya satu, menguntit manusia jangkung itu!

Lalu siapakah lelaki ceking yang bertubuh jangkung itu? Mengapa kemunculannya menarik perhatian begitu banyak orang?

Rasa ingin tahu Ong Siau-sik makin terusik, dia ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sementara itu rombongan pemain akrobatik tadi sudah memasuki sebuah rumah penginapan, segera Ong Siau-sik pun mengingat-ingat nama penginapan itu.

Ketika berpaling lagi, ia lihat lelaki kurus jangkung itu sudah berjalan memasuki sebuah lorong kecil yang sepi, sedang belasan orang dengan dandanan yang berbeda itu turut memasuki lorong itu.

Ong Siau-sik segera mengambil keputusan dengan masuk ke rumah penginapan lebih dulu, melihat rombongan akrobatik itu sudah memasuki kamarnya masing-masing, dia pun mencatat kamar mana saja yang mereka gunakan.

Baru saja akan berbalik meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia lihat lelaki kekar yang sempat menegur kasar kepadanya tadi sedang naik ke loteng sambil mengawasinya dengan pandangan gusar.

Ong Siau-sik tak ingin mencari gara-gara dalam suasana begini, sambil melempar senyuman dia beranjak keluar dari penginapan dan langsung menyusul ke arah lorong tadi dengan kecepatan tinggi.

Dia tahu, rombongan akrobatik itu tak mungkin kabur dalam waktu singkat, justru lelaki jangkung itu yang mesti diperhatikan lebih dulu, tapi siapa pula lelaki jangkung itu? Apa yang bakal terjadi dengan orang-orang itu?

Segera Ong Siau-sik menyusul ke lorong sepi itu.

Hembusan angin musim gugur terasa menyayat wajah, lamat-lamat hawa membunuh menyelimuti jagad.

Tiba di ujung tikungan jalan, Ong Siau-sik seketika dibuat terbelalak dengan pemandangan yang terbentang di hadapannya. Di ujung lorong tumbuh sebuah pohon besar, dahan dan ranting yang tumbuh merentang ke empat penjuru kini dalam keadaan gundul karena sebagian besar daunnya sudah berguguran ke tanah. Di belakang pohon gundul itu, yang terlihat hanya darah dan kematian. Belasan orang penguntit itu kini sudah roboh terkapar di atas tanah, terkapar tumpang tindih, tak seeorang pun dalam keadaan hidup.

Lelaki jangkung kurus kering tadi tidak nampak di antara tumpukan mayat. Ketika Ong Siau-sik mengejar masuk ke dalam penginapan kemudian berlari keluar ke lorong itu, selisih waktu sebenarnya teramat singkat, tapi kenyataannya belasan orang penguntit itu sudah mati semua dalam keadaan mengenaskan, jangan lagi ada yang hidup, yang menghembuskan napas pun tak ada.

Siapa yang telah turun tangan secepat itu? Apakah di antara mereka terikat dendam kesumat sedalam samudra?

Menghadapi situasi seperti ini, hanya dua pilihan yang dihadapi Ong Siau-sik, kabur atau meneruskan penyelidikan. Ia putuskan untuk melanjutkan penyelidikan!

Dengan gerakan yang teramat cepat, dia periksa belasan sosok mayat itu satu per satu, kemudian menarik tiga kesimpulan:

Pertama, tidak dijumpai luka lain di tubuh belasan sosok mayat itu kecuali sebuah lubang. Lubang darah persis pada jantungnya, siapa yang tertusuk nyaris tak mungkin bisa hidup.

Kedua, ketika menemui ajalnya, belasan orang itu tak sempat berteriak minta tolong. Di luar lorong adalah jalan raya besar, banyak orang berlalu lalang di situ, asal ada yang berteriak minta tolong, dapat dipastikan banyak orang akan memburu ke situ, tapi kenyataan belasan orang itu tewas tanpa sempat bersuara, hal ini semakin membuktikan kalau menjelang ajalnya mereka tak mempunyai kesempatan untuk minta tolong.

Ketiga, pada ikat pinggang belasan orang itu sebagian be-sar membawa lencana perintah (leng-pay), surat tugas maupun surat perintah, hal ini membuktikan orang-orang itu kalau bukan opas kenamaan, pastilah petugas kepolisian atau petugas pengadilan yang sedang melacak suatu kasus, atau bahkan bisa jadi kawanan jago dari istana.

Tapi kenyataan sekarang belasan jago tangguh itu telah tewas secara mengenaskan di situ.

Ong Siau-sik tak sempat memeriksa lebih teliti lagi, karena tiba-tiba ia mendengar suara jeritan seorang wanita.

Rupanya ada seorang wanita bersama kekasihnya melewati lorong itu, sebetulnya mereka berencana akan berpacaran di tempat yang sepi itu, siapa sangka di sana mereka melihat mayat yang berserakan. Bukan cuma mayat yang berserakan, di situ malah ada seorang hidup yang sedang memeriksa tumpukan mayat itu.

Menanti jeritan kedua muda-mudi itu menarik perhatian orang banyak serta kehadiran dua orang opas, dalam lorong itu hanya tertinggal mayat-mayat yang bergelimpangan. Menyaksikan mayat-mayat korban pembunuhan, dengan muka hijau karena marah, kawanan opas segera menegur, “Mana pembunuhnya? Bukankah kalian melihat sang pembunuh masih di sini?”

“Benar!” sahut sang pria, “sebenarnya dia masih ada di sini, tapi kemudian ... entah kemana perginya.”

“Aku melihat dia ....” sambung sang gadis.

“Dia kabur kemana?” tukas sang opas.

“Tadi dia melompat ke atas pagar rumah itu, kemudian melompat sekali lagi dan ....”

Kedua opas itu segera berdiri terbelalak dengan mata melotot, sudah dua puluh tahun mereka bekerja sebagai opas di Lak-san-bun, tapi belum pernah mendengar cerita sehebat itu: Melompati pagar pekarangan setinggi dua tombak? Melompat dalam sekali lompatan.

Dalam pada itu si lelaki kurus jangkung berbaju abu-abu itu kelihatan berdiri pula di antara kerumunan orang banyak, cuma saja hawa dingin yang menyelimuti wajahnya nampak jauh lebih tebal dan berat.

oooOOooo

Ong Siau-sik melompat ke atas atap rumah dengan gerakan seringan daun kering, ia menggelantung di atas wuwungan rumah dengan mengaitkan sepasang kakinya di atas emperan, tubuhnya kelihatan bergoyang ketika tertiup angin, ringan dan lembut seperti selembar daun.

Saat itu ia sudah mendekam di atas atap rumah penginapan dimana rombongan akrobatik itu menginap. Dengan membasahi ujung jarinya ia mencoba melubangi kertas yang menutupi daun jendela, kemudian mengintip ke dalam.

Dalam ruangan tampak tujuh delapan orang lelaki kasar dan tiga empat orang perempuan kekar sedang berduduk santai, mereka bukan lain adalah rombongan penjual akrobatik itu.

Rombongan manusia cacad yang dipotong lidah dan anggota badannya, lelaki kekar yang melarang dia mencari berita, manusia yang berbisik memberi peringatan kepadanya, lelaki tampan yang menerobos di tengah kerumunan orang banyak, lalu lelaki jangkung yang membuat rombongan akrobatik itu ketakutan dan terakhir mayat yang bergelimpangan dalam lorong.

Sebenarnya apa yang terjadi? Ong Siau-sik memutuskan untuk menyelidiki peristiwa ini, dia akan mulai mencari jejak rombongan orang-orang ini. Sama sekali tak ada pertanda apapun yang didapat.

Beberapa orang lelaki dan wanita kasar itu hanya duduk berkumpul dalam kamar, wajah mereka nampak tegang dan serius, tak seorang pun yang membuka suara maupun berbicara. Beberapa orang lelaki di antaranya kadang kala nampak berdiri sambil menghela napas panjang, mereka hanya menggosokkan kepalannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Malam semakin kelam, angin barat laut berhembus makin kencang. Tentu saja Ong Siau-sik tak ingin menderita dalam cuaca yang begini dingin, pikirnya, “Kelihatannya tak ada berita yang bisa kucari dari mereka.”

Baru saja dia bersiap meninggalkan tempat itu, tiba-tiba satu ingatan melintas. Perlahan-lahan dia mencongkel selembar genteng, lalu menekan dengan tangannya, sebelum genteng itu terjatuh ke dalam ruangan, dengan kecepatan bagaikan elang menyambar kelinci dia sudah melayang turun ke bawah, lalu bersembunyi di sisi pintu.

“Braak!”, diiringi suara nyaring, genteng itu terjatuh ke lantai dan hancur berantakan.

Kawanan lelaki kekar yang ada dalam ruangan segera membentak nyaring, ada yang langsung menerobos keluar lewat jendela, ada pula yang membuka pintu sambil mencaci maki.

Ketika itu Ong Siau-sik sudah bersembunyi di sisi pintu, menggunakan kesempatan di saat beberapa orang itu berlari keluar secara bergerombol, dia menyelinap masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan diri dalam sebuah almari kayu.

Begitu menyelinap masuk, cepat dia merapatkan kembali pintu almari itu, tapi mendadak ia merasa bulu kuduknya berdiri.

Ia mendengar ada suara napas seseorang, suara napas manusia yang berasal dari sisinya. Dengus napas itu sangat lirih dan teratur, napas orang awam tak mungkin selembut dan sehalus ini, kecuali seseorang yang sedang terlelap tidur sangat nyenyak, apalagi kalau ada orang menyelinap secara tiba-tiba, dengus napasnya sudah pasti sangat kalut dan agak terengah, tapi dengus napas itu sangat tenang dan lembut. Ini menunjukkan ada seseorang telah bersembunyi dalam almari itu sejak tadi!

Tapi siapakah dia?

Tanpa sadar Ong Siau-sik bersiap menghadapi segala ke-mungkinan. Sementara itu di luar almari sudah terjadi kegaduhan, disusul suara tanya jawab antara orang di luar kamar dengan rombongan akrobatik itu.

“Ada apa? Apa yang terjadi?”

“Tidak ada apa-apa, rasanya ada orang membuat gara-gara!”

“Ada orang membuat gara-gara?”

“Benar, ada orang sengaja melempar genting dari atas atap, untung kami cepat menyingkir, kalau tidak, pasti ada yang terluka.”

“Melempar genting? Bukankah genting tersusun rapi di atas atap? Mana mungkin bisa jatuh sendiri?”

“Darimana aku tahu, justru karena itu maka aku ingin mencari tahu sebabnya.”

“Kami sudah tiga belas tahun membuka usaha, belum pernah satu kali pun terjadi peristiwa seperti ini,” kata pemilik losmen cepat, ia tahu kawanan manusia yang membawa golok itu adalah orang yang paling susah dihadapi.

“Apa maksud perkataanmu itu? Kau anggap kami sedang mencari gara-gara? Katakan, kenapa kami mesti cari gara-gara?”

“Bukan ... bukan begitu maksud kami ... mungkin atap itu sudah kendor karena lama tak dibetulkan hingga jatuh sendiri, baiklah, maaf, maaf ... kami segera akan memperbaikinya ....”

Lociangkwe si pemilik losmen sadar bahwa manusia bengis macam begitu paling susah dilayani, maka dia mencari selamat dengan cepat minta maaf. Dengan uring-uringan ketujuh delapan orang lelaki kekar itupun balik kembali ke kamarnya.

Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah balik, para wanita kasar yang semula berjaga di tepi pintu dan jendela baru merapatkan kembali pintu dan jendela, mereka lalu berkumpul di depan meja.

“Maknya sialan ....” umpat lelaki beralis tebal itu sambil meletakkan goloknya di meja, “coba kalau bukan lagi ada urusan, akan kubacok habis orang itu ....”

Sambil menahan napas, Ong Siau-sik tetap bersembunyi di dalam almari. ‘Manusia’ yang sudah bersembunyi dalam almari sejak tadi pun tidak melakukan reaksi apa pun.

Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara serius dan nyaring, “Sim-jit, kau jangan mencari gara-gara, malam ini para jago dari kantor pusat perkumpulan Lak-hun-poan-tong (Enam Setengah Bagian) segera akan berdatangan, kau boleh saja mencari onar dan tak ingin hidup, tapi rekan yang lain masih ingin mati secara utuh. Hmmm, lihat saja ulahmu tengah hari tadi, nyaris berkelahi dengan beberapa orang, aku lihat tabiatmu makin tak terkendali, lebih baik ingat baik-baik, jangan mencari gara-gara buat kita semua!”

Ong Siau-sik coba mengintip lewat celah almari, ia lihat orang yang sedang berbicara itu adalah seorang lelaki tua yang bermata tajam dengan senjata penggaris baja tersoreng di pinggangnya, di samping lelaki tua itu berdiri seorang wanita berwajah garang dan bermata licik.

Ketika kedua orang itu berdiri di sana, ternyata kawanan manusia yang lain tak ada yang berani mengambil tempat duduk.

Lelaki beralis tebal itu menundukkan kepala, meski kepalannya yang segede mangkuk dikepal kencang, namun ia sama sekali tak berani membantah terhadap teguran kakek itu.

Lewat sesaat kemudian seorang lelaki berkepala kecil bermata tikus baru menimbrung, katanya, “Lo-jit, selama ini memang kau yang salah, coba lihat ulahmu membuat Li Ya jadi sewot setengah mati, memangnya kau sudah kebanyakan menghirup hawa kentut!”

Lelaki beralis tebal itu tetap membungkam, tak sepatah kata pun berani membantah, tapi tinjunya dikepal makin kencang, nampak otot-otot hijau menonjol keluar.

Terdengar kakek she Li itu berkata lagi setelah menyapu wajah semua yang hadir dengan sorot matanya yang tajam, “Kalian anggap berhargakah kita mengusik rumput mengejutkan ular hanya gara-gara urusan orang yang tak penting? Li Ya, sudah kau kirim orang untuk mengawasi ketiga buah kamar itu?”

“Baru saja aku mengajak beberapa orang melakukan perondaan di sekitar sana,” sahut lelaki berkepala kecil bermata tikus itu dengan hormat, “setiap kamar dijaga dua orang saudara kita, hingga detik ini tidak ada kejadian apa pun.”

“Hmm! Paling bagus memang begitu,” dengus kakek Li ketus.

Menggunakan peluang itu, Li Ya, si lelaki bermata tikus itu berkata lagi, “Dalam wilayah tiga sungai besar enam propinsi, siapa yang telah makan nyali beruang hingga berani mengusik Liong-tau (ketua) perkumpulan akrobatik Li Tan, Li Ya? Apalagi kali ini Li-ji-nio pun ikut terjun sendiri ke dunia Kangouw, manusia busuk mana yang ingin cari apes?”

Mendengar pembicaraan itu, Ong Siau-sik seketika teringat kembali beberapa tokoh termashur dalam dunia persilatan saat itu. Banyak perkumpulan dan partai termashur yang berdiri dalam dunia persilatan, di antara sekian banyak organisasi, ada di antaranya merupakan organisasi sempalan yang disebut Pay-kau. Hampir semua yang bergabung dalam Pay-kau memiliki sedikit kemampuan yang dapat diandalkan, mereka pandai mengikuti arus, pandai pula memotong arus.

Di antara sekian banyak organisasi sempalan, di antaranya terdapat organisasi yang didirikan oleh para tabib, para peramal, pedagang maupun petani. Dari tujuh puluh dua organisasi sempalan ini masing-masing dipimpin oleh seorang Liong-tau yang berkuasa mengatur jalannya perkumpulan itu.

Li Tan adalah salah satu Liong-tau organisasi sempalan itu, dia memimpin organisasi kaum akrobatik, bersama adik perempuannya, Li Ciau-hong, memiliki kungfu yang hebat, berhati keji dan telengas, mereka sangat termashur namanya di seputar wilayah Ouw-pak. Entah karena urusan apa saat ini berkumpul di situ?

Sementara orang yang disebut Sim-jit tadi adalah Ko-san-hou, si Macan Gunung Sim Heng, sedang orang yang disebut Li Ya adalah seorang begal yang selama ini beroperasi di seputar wilayah Hong-hok-lau, orang memanggilnya Hau-cian-hu (Manusia Berwajah Macan Berhati Rase).

Ong Siau-sik memiliki daya ingat yang sangat baik, setiap kali tiba di suatu daerah, dia selalu mencatat dan mengingat baik-baik nama serta kelebihan yang dimiliki setiap tokoh yang dijumpai. Entah mengapa, dia selalu berpendapat suatu hari nanti semua bahan catatannya itu akan sangat berguna baginya. Mungkinkah ada hari seperti yang dia duga?

Ong Siau-sik tidak tahu. Dia hanya tahu satu hal, hampir semua partai dan perkumpulan yang ada di kolong langit, sebagian besar berada dalam kendali dan perintah organisasi Lak-hun-poan-tong ini. Hampir semua jago dan tokoh hebat tunduk serta takluk pada organisasi Lak-hun-poan-tong ini.

Selama ini mereka selalu menyerahkan tiga setengah bagian yang dimiliki kepada organisasi Lak-hun-poan-tong, namun bila menjumpai suatu masalah atau kesulitan, maka organisasi Lak-hun-poan-tong akan mengerahkan enam puluh lima persen kekuatannya untuk mendukung dan membantu mereka.

Organisasi Lak-hun-poan-tong ini dipimpin oleh seorang Congtongcu yang bernama Lui Sun, sementara orang gagah di kolong langit menyebutnya sebagai Lotoa.

Mungkin satu-satunya kekuatan lain yang bisa menandingi kemampuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanyalah perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau (Loteng Angin Emas Hujan Gerimis).

Sedangkan jagoan yang bisa menandingi kehebatan serta ketenaran Lui Sun di kota Kayhong pun hanya ketua atau Locu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau ini, Ang-siu-to (Golok Baju Merah) So Bong-seng seorang.

Begitulah situasi dalam dunia persilatan waktu itu, kawanan jago yang tidak bergabung dalam partai besar hampir semuanya bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena Perkumpulan Angin Emas Hujan Gerimis didukung oleh pemerintah kerajaan, sedangkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong ditopang para jago dari golongan rimba hijau.

Itulah sebabnya beredar satu pepatah yang berbunyi: Enam bagian adalah Lui, empat puluh laksa milik So. Artinya paling tidak ada empat puluh laksa orang yang bergabung dengan So Bong-seng, tapi bila diperbandingkan secara benar, maka terbukti ada enam puluh persen kekuatan persilatan berada dalam kendali Lui Sun.

Dalam pada itu wanita bertubuh kekar yang berdiri di samping Li Tan telah tertawa terkekeh-kekeh sambil berkata, “Li Ya, tak heran kau bisa hidup makmur di wilayah seputar sini, mulutmu benar-benar pandai merayu hingga membuat muak hati orang, kelihatannya di kemudian hari aku mesti mengangkat dirimu menjadi Liong-tau Lotoa dari organisasi kaum akrobatik wilayah sini.”

“Ji-nio tak usah menggoda aku,” Li Ya turut terkekeh, “Liong-tau Lotoa bukan jatahku, sebab jabatan itu butuh ke-mampuan yang tangguh, aku hanya memiliki selembar bibir, jadi kalau ingin jadi Lotoa, mending aku banyak berdoa dulu pada Thian.”

Li Tan mengernyitkan dahi rapat-rapat, dengan kerutan wajah yang makin mengencang dan tak sekilas senyuman pun yang menghiasi bibirnya ia bertanya, “Siapa saja dari organisasi Lak-hun-poan-tong yang akan hadir di sini? Kenapa sampai sekarang belum nampak batang hidung mereka?”

“Menurut apa yang kuketahui, paling tidak ada tiga orang jago yang datang kemari, malah langsung dipimpin sendiri oleh Tongcu kedua belas, Tio Thiat-leng!” sahut Li Ya dengan nada hati-hati.

“Hah? Dia pun ikut datang?” hampir berbareng Li Tan dua bersaudara berseru tertahan.

Li Ya manggut-manggut.

“Benar, aku rasa dari pusat akan menyerahkan sebuah tugas besar kepada kita,” sahutnya dengan mata berbinar.

“Aku justru sedikit rada kuatir,” Li Ciau-hong menggeleng.

“Apa yang kau kuatirkan?”

“Dulu kita tak lebih hanya penjual silat yang mengembara dalam sungai telaga, kalau tak cocok dengan suatu masalah, kita bisa main tebas memenggal kepala lawan, kalau ketemu musuh tangguh paling kabur sembari mencari sedikit keuntungan. Tapi hari ini kita mesti menangkap bocah-bocah yang tak tahu urusan, harus memotong anggota badan mereka, menyambung anggota badan orang yang satu dengan tubuh orang lain, memaksa mereka untuk bersetubuh dengan hewan, akhirnya mereka jadi manusia cebol, manusia aneh, makhluk setengah manusia setengah hewan, pekerjaan macam ini kelewat keji, kelewat kejam dan sama sekali di luar peri kemanusiaan. Kita toh bukannya tak sanggup bermain senjata, bukan manusia tempe yang tak mampu merampok atau membegal, bertarung melawan puluhan orang juga masih sanggup, tapi kalau harus terus menerus menyiksa bocah-bocah yang tak berdosa, ai ... aku Li Ciau-hong betul-betul tak tega. Kakak, jelek-jelek kita masih punya sedikit nama dalam dunia persilatan, kenapa harus melakukan jual beli semacam ini? Kalau sampai terjungkal di tangan orang, bukankah nama kita bakal ikut hancur dan rusak? Jika kantor pusat memerintahkan kita untuk melakukan pekerjaan semacam ini lagi, aku dengan tegas akan menolak!”

Berubah hebat paras semua orang setelah mendengar perkataan itu, dengan wajah serius Li Tan segera menghardik, “Adikku, kau sudah gila? Mengapa mengucapkan perkataan seperti itu?”

Dibentak kasar di hadapan orang banyak, kontan Li Ciau-hong bertambah sewot, dengan suara yang makin nyaring, teri-aknya, “Memangnya aku salah bicara? Sekarang putra tunggal Bun Sin-hu pun sudah kita culik, bila sampai pecah peristiwa besar, memangnya kita semua bisa cuci tangan dari masalah ini? Sampai waktunya, dengan cara apa kakak akan menjelaskan kepada orang luar?”

Paras muka Li Tan berubah jadi hijau memucat, saking gusarnya seluruh badan gemetar keras.

Tapi orang yang paling kaget dan terkesiap di antara yang hadir tak lain adalah Ong Siau-sik yang bersembunyi dalam almari. Ternyata manusia cacad yang patut dikasihani itu tak lain adalah hasil perbuatan kelompok manusia ini!

Kenapa mereka begitu tega melakukan perbuatan sekeji ini? Mungkinkah semuanya ini atas perintah organisasi Lak-hun-poan-tong? Mengapa perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini melakukan perbuatan keji yang sangat terkutuk ini?

oooOOooo

Bersambung ke bagian 03

Golok Kelembutan: 01 | 02

0 comments: