Join The Community

Premium WordPress Themes

Pedang Keramat Thian Hong Kiam 06

PEDANG KERAMAT THIAN HONG KIAM

Karya: Kho Ping Hoo

“Liong-ko, kau sungguh terlalu. Pandai sekali berpura-pura bodoh dan telah mempermainkan aku,” berkata Yang Giok di tengah perjalanan ketika mereka duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka makan rumput.

Nyo Liong memandangnya. “Siapa yang mempermainkan engkau, saudara Yang Giok? Aku hanya mempunyai sedikit kemampuan yang tidak ada artinya.”

“Telah berkali-kali kau menolongku, akan tetapi kau berpura-pura tidak mengenalku. Mengapa kau menyembunyikan diri dan tidak mau mengaku bahwa kau sebenarnya adalah tuan penolongku?”

“Kau ini aneh sekali adikku. Aku belum pernah menolongmu.”

“Liong-ko, untuk apa kau berpura-pura lebih lanjut? Bukankah kau sebenarnya Sasterawan Berkedok Hitam?”

Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepala. “Dia adalah kawanku dan sedikit kepandaian yang kumiliki dapat kupelajari dari dia!”

Yang Giok mengerutkan jidat. Benarkah ini? Ia masih ragu-ragu dan kebandelan Nyo Liong ini membuatnya kecewa dan mendongkol. Awas kau, pikirnya, pada suatu waktu tentu akan kubuka rahasiamu.

Malam harinya mereka bermalam di sebuah kuil tua dan pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san.

Benar sebagaimana ucapan Nyo Liong dahulu, dengan mengambil jalan menerobos hutan-hutan, dalam waktu dua puluh hari mereka telah tiba di daerah Go-bi-san yang luas. Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk pegunungan dan mendapat tahu bahwa kuil Thian-hok-si berada di lereng gunung dan di luar dusun Cun-leng-koan.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di susun Cun-leng-koan, akan tetapi karena hari telah malam, mereka tidak melanjutkan perjalanan ke kuil Thian-hok-si, akan tetapi bermalam di dalam sebuah rumah penginapan yang sederhana. Karena rumah penginapan ini hanya mempunyai tiga buah kamar dan yang dua buah sudah ditempati orang, terpaksa Nyo Liong dan Yang Giok menyewa kamar ketiga. Di dalam dusun itu tidak terdapat rumah penginapan lain.

“Nah, akhirnya kita terpaksa bermalam sekamar,” kata Nyo Liong menggoda hingga wajah Yang Giok menjadi merah.

“Cis, tak tahu malu!” katanya sambil mendelik.

Nyo Liong tertawa, “Yang Giok, kau ... . lucu sekali kalau sudah bersikap seperti ini.”

“Biar aku tidur di luar saja.”

“He? Di luar? Apakah kau tidak takut masuk angin?”

“Tidak, lebih baik duduk di luar dari pada tidur sekamar dengan orang yang suka mendengkur, “kata Yang Giok.

“Eh, eh, saudara Yang Giok, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku mendengkur dalam tidurku?”

Akan tetapi Yang Giok tidak menjawab, dan dengan merengut ia benar-benar membawa selimut keluar dan mengambil keputusan hendak duduk di luar kamar semalam itu.

Menjelang tengah malam terdengar suara Nyo Liong mendengkur perlahan, tanda bahwa ia telah tidur pulas. Yang Giok menganggap bahwa saatnya telah tiba untuk ia mencoba membongkar rahasia anak muda itu. Karena pintu kamar memang tidak terkunci, ia lalu masuk dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Dengan meraba-raba ia menghampiri buntalan pakaian Nyo Liong dan hendak memeriksa dan mencari-cari kalau-kalau ia akan berhasil mendapatkan kedok hitam yang biasa digunakan oleh Sasterawan Berkedok Hitam. Akhirnya ia berhasil dan sebuah kedok hitam terpegang olehnya. Yang Giok cepat mengambil kedok hitam itu dan ia tidak merasa kuatir karena dengkur Nyo Liong masih tetap terdengar dan tidak berubah, tanda bahwa pemuda itu masih tidur.

Akan tetapi, ketika ia hendak keluar dari kamar itu dengan kedok di tangan, tiba-tiba terdengar angin menyambar dan tahu-tahu kedua tangannya telah dipegang kuat-kuat dari belakang oleh Nyo Liong.

“Liong-ko, lepaskan tanganku!” katanya lirih sambil mencoba untuk memberontak. Akan tetapi pegangan itu kuat sekali.

“Tidak,” jawab Nyo Liong, “Takkan ku lepaskan sebelum kau mengaku terus terang siapa sebenarnya engkau ini!”

“Liong-ko, kau mimpi. Bukankah kau sudah tahu bahwa aku adalah Kwee Yang Giok?”

“Hm, kau kira hanya kau seorang saja yang cerdik dan dapat menduga siapa sebenarnya aku ini? Kau kira aku tidak tahu dan mataku buta bahwa kau adalah seorang ... gadis muda?”

Yang Giok terkejut sekali dan ia memberontak hingga pegangan tangan Nyo Liong terlepas.

“Apa ... ... apa maksudmu?” tanyanya gagap.

“Gadis, kalau kau anggap aku keterlaluan karena menyembunyikan diriku yang sebenarnya, kau lebih terlalu lagi! Kau seorang gadis muda yang tabah, berani luar biasa, keras hati, dan nakal. Siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Pangeran Liu dan puterinya?”

“Kau ... ... kau selidiki sendiri!” jawab Yang Giok, dan Nyo Liong dapat mendengar suara yang menggetar itu. Ketika Yang Giok hendak melompat keluar kamar, cepat sekali Nyo Liong sudah dapat menangkap sebelah tangannya lagi. Nyo Liong lalu menggunakan sebelah tangan untuk membesarkan sumbu lampu yang masih menyala kecil di atas meja hingga keadaan menjadi terang. Ia melihat betapa gadis itu menjadi merah mukanya dan nampaknya bingung sekali.

“Kau sudah mengetahui rahasiaku, maka aku takkan melepaskanmu sebelum kau mengaku siapa sebenarnya dirimu!”

“Aku ... aku ... ah ...,” Yang Giok tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ketika dengan sia-sia ia hendak menarik tangannya, tak terasa pula kedua matanya mengucurkan air mata.

Melihat ini Nyo Liong menjadi tidak tega lalu melepaskan pegangannya.

“Nona,” katanya dengan halus, “tidak salahkah dugaanku bahwa kau ... kau adalah ... puteri Pangeran Liu sendiri? Tidak salahkah terkaan ku bahwa kau adalah ... Liu-siocia sendiri?”

Ketika Yang Giok tidak menjawab, Nyo Liong lalu berkata pula dengan suara tetap halus. “Nona, kalau kau benar-benar Liu-siocia, mengapa kau permainkan aku ... tunanganmu sendiri? Apakah sebenarnya yang telah kau alami dengan ayahmu ...?”

“Semua yang kuceritakan dulu itu memang sebenarnya,” jawab Yang Giok sambil tunduk, “hanya mengenai diriku ... ... ah, bukankah kau ... kau membenci tunanganmu yang buruk ...?”

“Aku membenci tunanganku, akan tetapi aku tidak membenci kau !” jawab Nyo Liong, “kau tahu betul akan hal ini!”

Yang Giok tidak menjawab, akan tetapi dengan bangga dan malu ia lalu berlari keluar sambil mengeluarkan suara isak tercampur tawa karena hati hatinya merasa tidak keruan di saat itu.

Moi-moi, tidurlah di dalam, biar aku yang menjaga di luar!” kata Nyo Liong sambil mengejar keluar. Ia mendapatkan Yang Giok duduk di bangku luar, maka iapun lalu duduk di dekat gadis itu. Untuk beberapa lamanya mereka hanya duduk tak bergerak, hanya kadang-kadang saling lirik dan main senyum.

“Adikku, sebenarnya siapa namamu? Alangkah baiknya kalau namamu tetap Yang Giok, karena nama ini manis dan sesuai benar dengan orangnya,” akhirnya Nyo Liong berkata.

Yang Giok mengerling tajam dan tersenyum malu. “Ah kau memang suka sekali menggoda orang!” katanya. “Memang namaku Yang Giok, habis mau dirobah apa lagi?”

Keduanya lalu bercakap-cakap dan saling menuturkan pengalaman masing-masing, hingga malam itu mereka lewatkan dengan bercakap-cakap mesra dan lupa akan tidur hingga tahu-tahu fajar telah menyingsing dibarengi suara ayam jantan berkokok.

Ko-ko bagaimana kau bisa menduga bahwa aku adalah seorang wanita?” tanya Yang Giok.

“Mudah saja, pertama karena tak mungkin seorang pemuda mempunyai gerak-gerik sehalus gerak-gerikmu, dan watakmu yang keras dan manja menimbulkan dugaan bahwa kau adalah seorang gadis manja dan cantik. Kemudian, ketika diam-diam aku memeriksa pakaianmu dan mendapatkan barang-barang perhiasan wanita dan di antaranya terdapat satu stel pakaian wanita, maka tak salah lagi bahwa kau tentu seorang gadis. Hanya aku masih belum yakin betul siapa sebenarnya dirimu, hanya ada dugaan bahwa kau tentu puteri Pangeran Liu Mo Kong, karena Pangeran itu adalah seorang gagah perkasa, maka tak heran bahwa puterinya pun demikian pula.”

“Ah, kau mengejek! Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, hanya kaulah yang berkepandaian benar-benar tinggi. Lain kali aku harus menambah pengertian ilmu silat yang kau miliki.”

Setelah saling mengetahui rahasia masing-masing, perasaan kedua anak muda itu makin mesra dan tanpa mengucapkan kata-kata mereka dapat mengetahui hati masing-masing yang saling mengasihi hingga mereka berbahagia sekali.

Ketika telah berganti pakaian, Nyo Liong yang menanti di luar kamar berdiri bengong dan memandang ke arah gadis yang keluar dari kamar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ternyata bahwa Yang Giok telah mengenakan pakaian wanita yang memang telah tersedia di dalam buntalan pakaiannya. Setelah mengenakan pakaian wanita nampak demikian cantik jelita hingga Nyo Liong menjadi merasa seakan-akan berada dalam mimpi.

“Moi-moi ...” hanya demikian mulutnya dapat mengeluarkan kata-kata, sedangkan matanya menyatakan pujian dan kekaguman yang lebih berarti daripada seribu kata.

“Liong-ko, jangan kau pandang aku demikian rupa!”

“Mengapa, adikku yang manis?”

“Aku ... . . aku malu!” Yang Giok benar-benar merasa malu dan seluruh mukanya menjadi kemerah-merahan.

Nyo Liong tertawa gembira dan keduanya lalu tertawa sambil saling pandang dengan penuh hati mencinta.

Pada saat itu terdengar suara kaki kuda di depan rumah penginapan dan ketika keduanya memandang, ternyata yang datang itu adalah serombongan orang-orang yang berpakaian sebagai petani, tetapi nampak sangat gagah dan di punggung mereka nampak gagang pedang hingga Nyo Liong dan Yang Giok dapat menduga bahwa mereka ini tentu bukan petani-petani biasa. Akan tetapi rombongan ini tidak berhenti, hanya memandang ke arah Nyo Liong dengan mata tajam, kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kaki kuda mereka menimbulkan debu mengebul di pagi hari itu.

“Kalu tidak salah, mereka adalah perwira-perwira kerajaan,” Nyo Liong berbisik.

“Mereka tentu tak bermaksud baik,” kata Yang Giok khawatir.

Mendengar suara gadis itu yang mengandung kekhawatiran, Nyo Liong berkata, “Jangan khawatir, moi-moi, betapapun juga, kita berdua akan dapat melawan mereka.”

Dengan tabah dan tenang Nyo Liong lalu mengajak Yang Giok melanjutkan perjalanan setelah membayar uang sewa kamar. Mereka tidak memperdulikan pandangan pengurus rumah penginapan yang merasa heran dan kagum melihat Yang Giok. Ia tak pernah menyangka bahwa pemuda yang kemarin itu kini telah berubah menjadi seorang gadis luar biasa cantiknya.

Kuil Thian-hok-si berada di luar dusun itu dan hanya terpisah paling banyak sepuluh lie, maka mereka lalu menjalankan kuda dengan perlahan. Akan tetapi, setelah berada di luar dusun, benar saja mereka melihat rombongan petani yang mencurigakan tadi telah berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka berjumlah delapan orang dan kuda mereka dilepas di pinggir jalan dan sedang makan rumput sambil menggoyang-goyangkan ekornya.

Nyo Liong dan Yang Giok menahan kuda mereka dan dengan tenang turun dari kuda. Karena Yang Giok telah menjadi seorang gadis, maka yang menghadapi mereka adalah Nyo Liong, sedangkan gadis itu lalu membawa kuda mereka ke sebuah pohon dan mengikatkan kendali pada pohon itu.

“Cuwi sekalian menghadang di tengah jalan ada keperluan apa?” tanya Nyo Liong dengan halus.

Tiba-tiba di antara orang itu maju seorang yang bertubuh tinggi kurus dan sambil menuding kepada Nyo Liong, ia berkata. “Kawan-kawan, benar, inilah Sasterawan Kedok Hitam yang dulu membantu para pemberontak. Tangkap pemberontak ini!”

Sambil berkata demikian, si kurus itu mencabut pedangnya, diikuti oleh tujuh orang kawannya. Akan tetapi Nyo Liong masih bersikap tenang. “Kalian ini bukankah para perwira istana yang telah kalah? Mengapa masih berani menjual lagak? Aku memang benar Sasterawan Berkedok Hitam, dan kalian mau apa?”

Tiba-tiba seorang perwira lain memandang Yang Giok dan berseru, “Eh, bukankah kau ini Liu-siocia, puteri dari Pangeran Liu Mo Kong?”

Yang Giok yang mendengar bahwa Nyo Liong dianggap pemberontak menjadi heran dan terkejut sekali, sekarang setelah seorang perwira mengenalnya, ia makin bingung. Ia tidak menjawab pertanyaan perwira tadi, hanya memandang ke arah Nyo Liong dengan wajah mengandung pertanyaan. Benarkah tunangannya ini membantu pihak pemberontak?

“Harap kalian jangan mengganggu kami,” terdengar Nyo Liong menjawab pertanyaan perwira tadi. “Dia memang Liu-siocia, akan tetapi sekarang tidak mempunyai hubungan pula dengan segala perwira kerajaan yang telah terjatuh dan kalah. Berilah jalan dan jangan mencari penyakit sendiri!”

“Kawan, inilah mereka yang kita cari!” Si kurus tadi berseru lagi. “Pedang yang dicari ada padanya dan sekarang sekali pukul kita akan dapat dua pahala. Merampas kembali Thian Hong Kiam dan membalas dendam kawan-kawan kita yang telah terjatuh dalam tangan pemberontak!”

Tanpa banyak cakap lagi kedelapan orang itu maju menyerang Nyo Liong.

“kalian mencari bencana sendiri!” Nyo Liong berseru dan ia lalu mencabut keluar Thian Hong Kiam yang tergantung di pinggang dan yang selalu tertutup oleh baju sasterawannya yang panjang.

“Nah, itu dia pedang yang kita cari!” Seorang perwira berseru ketika ia mengenali pedang pusaka itu di tangan Nyo Liong.

Nyo Liong tersenyum. “Ha, ha, bukankah sekarang lebih mudah lagi? Pedang dan orang yang kau cari telah berada di sini dan menjadi satu, kalian majulah!”

Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Perwira-perwira ini adalah jagoan-jagoan kelas satu dari kerajaan dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dan sekarang mereka maju berbareng, dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mereka. Juga senjata-senjata yang berada di tangan mereka bukanlah senjata sembarangan karena hampir semua perwira kerajaan memiliki senjata yang ampuh dan tajam. Dari gerakan mereka ketika menyerang, Yang Giok dapat mengetahui bahwa kepandaian mereka rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka tentu saja ia diam-diam merasa gelisah dan cemas. Ia merasa serba salah. Hendak membantu, kepandaiannya terlampau rendah. Tidak membantu, hatinya tidak puas dan tidak tenteram. Maka ia hanya berdiri dengan dada berdebar menonton pertempuran yang hebat itu.

Pertempuran yang terjadi kali ini berbeda dengan ketika Nyo Liong dikeroyok oleh kawanan Jian-jiu-pai, karena para perwira ini memang sengaja datang mencari Nyo Liong dan mereka tahu bahwa selain harus menghadapi Sasterawan Berkedok Hitam yang hebat, juga masih ada pihak Jian-jiu-pai yang hendak merampas pedang, maka di pihak mereka lalu mengutus delapan orang yang berkepandaian tinggi dan merupakan jago-jago pilihan dari istana.

Akan tetapi, ilmu silat Pat-kwa Im-yang yang telah dipelajari oleh Nyo Liong itu benar-benar hebat dan luar biasa sekali. Biarpun dikeroyok oleh delapan orang jago-jago pilihan dari istana, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan dengan pedangnya yang juga merupakan senjata ampuh dan pusaka tua, ia dapat membuat delapan orang lawannya bermain silat dengan kacau karena pergerakannya sungguh cepat dan luar biasa. Dengan menggunakan ilmu silat pedangnya yang istimewa, Nyo Liong dapat bergerak sedemikian rupa hingga delapan orang itu tidak mendapat kesempatan untuk maju berbareng. Gerakan Nyo Liong lincah sekali dan sinar yang ditimbulkan oleh putaran pedangnya sangat kuat dan sukar diduga perubahan dan gerakannya.

Yang Giok benar-benar merasa kagum sekali. Baru sekali ini ia mendapat kesempatan untuk melihat kepandaian Nyo Liong yang sangat hebat itu. Ia menghela napas dan harus ia akui bahwa ilmu kepandaian tunangannya ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ayahnya sendiri. Akan tetapi ada sedikit perasaan kecewa dan ragu-ragu di dalam hatinya, karena bukankah para perwira tadi mengatakan bahwa pemuda ini adalah seorang pembantu pemberontak?

Di antara kedelapan orang perwira itu terdapat tiga orang saudara seperguruan yang memiliki kepandaian paling tinggi. Mereka ini dijuluki Bu-tong Sam-houw atau Tiga Macan dari Bu-tong, karena mereka ini memang anak murid Bu-tong-san. Ketika melihat betapa hebatnya Nyo Liong, mereka lalu berpencar menjadi segi tiga dan maju menyerang Nyo Liong dari tiga jurusan. Mereka tidak mau merobah kedudukan dan tetap menyerang dari tiga jurusan hingga tidak dapat dibikin kacau oleh perubahan gerakan Nyo Liong. Menghadapi tiga orang ini, diam-diam Nyo Liong berlaku hati-hati karena ia maklum bahwa apabila lawan-lawannya tidak terkacau oleh ilmu silatnya, maka berarti bahwa ia harus menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, karena mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan dapat mempertahankan diri dengan baik, maka kalau ia harus bertahan mengadu tenaga dan keuletan, mana ia dapat melawan delapan orang?

Oleh karena itu, Nyo Liong lalu mengerahkan semangat dan tenaganya dan ia lalu mencampur gerakan silatnya dengan pelajaran dari Li Lo Kun, hingga pedangnya bergerak makin ganas dan hebat. Benar saja, serbuannya ini membuat semua pengeroyoknya terkejut dan mereka mempertahankan diri sambil mundur. Nyo Liong mengerti bahwa kalau ia tidak mau menurunkan tangan kejam dan berlaku terlalu hati-hati dan kasihan, maka pertempuran ini akan berjalan lama sekali dan akhirnya ia akan kalah karena kehabisan tenaga. Maka ia maju terus mendesak dengan hebat dan sengaja menyerang bertubi-tubi kepada dua orang perwira yang agak berlaku lambat hingga terdengar pekik kesakitan dan dua orang perwira itu roboh, pundak dan lengan mereka luka.

Para pengeroyok itu terkejut sekali dan mereka berpencar menjauhi Nyo Liong, dan pada saat itu terdengar suara yang nyaring tapi halus. “Hebat sekali!”

Ketika semua orang memandang, tahu-tahu di tengah medan pertempuran itu telah berdiri seorang tua yang berjubah biru. Tosu ini kurus dan tinggi, kulit mukanya putih dan halus seperti muka anak-anak.

Ketika ketiga harimau dari Bu-tong melihat tosu ini, dengan girang lalu maju berlutut dan berkata, “Suhu!”

Ternyata bahwa pendeta tua ini tidak lain ialah Kim Kong Tosu seorang tokoh Bu-tong-pai kenamaan karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Tosu ini adalah guru dari pada Ketiga Harimau dari Bu-tong-pai, maka tentu saja semua perwira girang sekali melihat kedatangannya.

Ketika melihat gerakan tosu yang cepat itu Nyo Liong maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendeta yang berilmu tinggi, maka dengan hormat sekali ia menjura.

Sebaliknya, Kim Kong Tojin memandang Nyo Liong dengan kagum sekali, lalu katanya “Anak muda yang gagah perkasa, siapa kau dan dari manakah kau memperoleh ilmu kepandaian yang hebat itu?”

“Teecu bernama Nyo Liong dan suhu adalah Li Lo Kun. Tidak tahu siapakah losuhu yang telah menahan teecu dan dengan maksud apa losuhu menghalangi teecu menempur semua perwira ini?”

Tosu itu memandang heran. “Kau murid Li Lo Kun? Ah, kalau begitu, ternyata Li Lo Kun telah maju pesat sekali kepandaiannya. Kalau muridnya sudah sehebat ini, tentu ia telah mencapai tingkat tinggi sekali. Aneh, aneh! Ketahuilah, anak muda, pinto adalah Kim Kong Tojin dari Bu-tong-pai. Ketiga orang perwira yang bodoh itu adalah murid-muridku, dan mengapakah kau bertempur dengan mereka?”

“Suhu, dia adalah Sasterawan Kedok Hitam yang membantu pemberontak. Bahkan sekarang ia telah berani membela pencuri pedang kerajaan, Thian Hong Kiam!” berkata seorang dari pada Harimau Bu-tong itu.

Pandangan mata Kim Kong Tosu menjadi dingin ketika mendengar laporan muridnya ini. “Ah, kiranya kau adalah seorang anggota pemberontak, Sayang, sayang sekali!”

Nyo Liong juga merasa tidak senang mendengar ucapan ini, maka ia membantah, “Losuhu, sungguh heran bahwa kau tidak mengetahui betapa buruknya kerajaan Tang memerintah negeri kita. Sudah selayaknya kalau rakyat memberontak dan menghancurkan pemerintah yang pandainya hanya memeras rakyat jelata itu, dan sudah menjadi kewajibanku sebagai putera ibu pertiwi untuk membela bangsa!”

“Hm, kau anak kecil hendak memberi pelajaran kepada pinto?” jawab Kim Kong Tojin tidak senang. “Dengarlah anak muda. Kaisar adalah seorang yang telah mendapat anugerah dewata dan sudah ditakdirkan menjadi orang yang tertinggi kedudukannya dan yang harus ditaati oleh semua rakyat. Tidak sembarang orang bisa menjadi kaisar, dan kewajiban kita sebagai rakyat hanyalah taat dan menghormat semua perintahnya. Kalau kau memberontak terhadap kaisar, itu berarti bahwa kau memberontak melawan takdir. Daripada kau memberontak dan mengambil jalan sesat, lebih baik kau membantu usaha kaisar untuk mengusir pemberontak dan memulihkan kembali keamanan di dalam negeri untuk menebus dosamu. Kita tidak boleh menyimpang dari pada tugas sebagai rakyat dan tidak boleh menjadi hakim sendiri atas kesalahan seseorang. Andaikata benar bahwa kaisar telah melalaikan tugasnya dan melakukan kesalahan, tidak semestinya kalau rakyat bertindak sendiri melakukan hukuman.”

Mendengar ucapan yang penuh nafsu ini, Nyo Liong tersenyum.

“Maaf, losuhu, jadi kalau menurut pendapatmu, rakyat harus tinggal diam dan menerima saja diperas, ditindas, dan dicekik lehernya? Jadi rakyat harus bersabar saja dan menerima hidup penuh sengsara dan derita sedangkan kaisar dan semua pembesar durjanah hidup serba mewah dan penuh kesenangan?”

“Kalau memang demikian halnya, tentu dewata yang adil tidak akan tinggal diam, dan siapa bersalah akan mendapat bagiannya. Ini adalah hukum alam yang tak dapat dielakkan lagi,” kata Kim Kong Tojin.

“Kalau begitu, pandanganmu masih picik sekali, losuhu. Aku yang muda terpaksa tidak dapat menyetujui dan aku tetap membenarkan pemberontakan yang terdorong oleh kesengsaraan rakyat,” jawab Nyo Liong.

Kim Kong Tojin berkata kepada murid-muridnya, “Yang manakah yang kau katakan pencuri pedang tadi?”

Murid-muridnya menuding ke arah Yang Giok. “Nona itu adalah puteri dari Liu Mo Kong dan Pangeran itu serta puterinya yang mencuri pedang kerajaan. Sekarang Pangeran Liu itu juga bersekutu dengan para pemberontak di kota raja!”

“Bohong! Ayahku tidak pernah bersekutu!” jawab Yang Giok marah. “Ayah telah tertawan ketika hendak melarikan diri bersamaku!”

Kim Kong Tojin memandang kepada Yang Giok dan berkata dengan senyum sindir. “Nona, kau adalah puteri bangsawan, mengapa sekarang kau bersahabat dengan seorang pemberontak?”

“Aku ... aku tidak tahu bahwa ia seorang pemberontak!” jawab Yang Giok gagah.

“Dan pedang Thian Hong Kiam pun kau berikan kepadanya. Sekarang kembalikan pedang milik kaisar itu!”

“Tidak! Biarpun ayahku bukan seorang pemberontak, namun beliau tidak suka melihat pedang itu kembali ke tangan kaisar yang lalim! Kaisar tidak berhak memegang pedang itu!”

“Eh, eh, kalau begitu kau juga seorang pemberontak! Walaupun lain sifatnya dengan pemberontak barisan jembel dan tani itu!” kata Kim Kong Tojin marah.

“Tutup mulutmu, tosu kurang ajar!” Yang Giok balas membentak karena gadis ini sedikit pun tidak takut kepada tosu itu dan hatinya yang keras tidak mengizinkan ia disebut pemberontak tanpa balas membentak.

“Kau harus dilenyapkan dulu!” kata Kim Kong Tojin dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berkelebat dan tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangan dan digunakan untuk menyerang Yang Giok.

Gadis ini tidak berdaya menghadapi serangan Kim Kong Tojin yang memiliki gerakan cepat, maka ia hanya memejamkan mata menanti datangnya serangan. Pedang Kim Kong Tojin berkelebat ke arah leher Yang Giok dan “trang!” terdengar suara nyaring karena pedang tosu itu telah beradu dengan sebatang pedang lain. Pertemuan tenaga ini demikian hebat hingga bunga api memercik keluar, sedangkan Kim Kong Tojin sendiri terhuyung ke belakang. Ternyata Nyo Liong dengan cepat dan tepat sekali telah berhasil menolong Yang Giok dari pada bahaya maut.

Kim Kong Tojin adalah seorang tokoh besar dari Bu-tong-pai, maka tenaga dan kepandaiannya telah mencapai tingkat tinggi. Maka tidak heran bila ia merasa gemas dan marah sekali.

“Bagus, anak muda, mari kita main-main sebentar!” ia berkata halus karena berusaha menekan perasaannya yang menggelora. Orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi maklum bahwa nafsu amarah mempunyai pengaruh melemahkan dan berbahaya sekali apabila menghadapi seorang lawan tangguh dalam keadaan marah. Oleh karena itu, seberapa dapat ia menahan nafsunya untuk menghadapi pemuda yang berkepandaian tinggi ini.

Akan tetapi Nyo Liong tinggal berdiri dengan tenang dan menjawab. “Ingat, losuhu, bukan aku yang menghendaki pertempuran ini. Kalau kau orang tua tetap hendak turun tangan mengganggu, silakan!”

Sebetulnya kalau ia tidak sedang dipengaruhi oleh rasa dendam dan marah, Kim Kong Tojin tentu dapat melihat sikap mengalah dan tenang dari pemuda ini dan maklum bahwa sebenarnya pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan sedikit pun tidak jerih terhadapnya. Akan tetapi, karena ia merasa kecewa dan malu, apalagi di situ terdapat tiga orang muridnya dan perwira-perwira lain yang menjadi saksi, ia menjadi nekad dan lupa akan kewaspadaan.

“Baik, kalau begitu, waspadalah terhadap pedangku!” Tosu ini lalu menyerang bagaikan kilat menyambar. Ia mengeluarkan ilmu pedang Bu-tong-pai yang hebat dan ganas. Nyo Liong tidak mau berlaku semberono dan ia menghadapinya dengan tenang dan hati-hati sekali. Berkat ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab Pat-kwa Im-yang Coan-si memang sebuah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini, maka ia dapat melawan serangan tosu itu dengan baiknya, bahkan ia masih dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.

Mengetahui bahwa ia sama sekali tidak dapat mendesak pemuda itu dengan pedangnya, Kim Kong Tojin menjadi heran dan kagum sekali. Belum pernah seumur hidupnya ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini, padahal ia telah mengalami banyak sekali pertempuran dan boleh dibilang ia telah mengenal semua gerakan ilmu pedang. Akan tetapi kali ini benar merasa malu karena ia sama sekali tidak mengenal ilmu pedang Nyo Liong. Menghadapi ilmu pedang yang sama sekali gelap baginya, tentu saja ia menjadi bingung, apalagi kalau yang memainkan memiliki kepandaian khikang dan ginkang sehebat Nyo Liong.

Sebenarnya Nyo Liong telah banyak mengalah dan sengaja tidak mau mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk merobohkan lawan karena ia tidak mau menjatuhkan namanya di depan murid-muridnya. Kalau saja Kim Kong Tojin tidak begitu gemas dan marah, tentu ia akan tahu pula akan hal ini dan menyudahi pertempuran. Akan tetapi tosu ini bahkan menjadi murka sekali dan menyerang dengan nekad.

Menghadapi serangan yang dilakukan secara mati-matian oleh Kim Kong Tojin yang berkepandaian tinggi, terpaksa Nyo Liong tak dapat tinggal bertahan saja, karena kalau ia bertahan terus, tentu ia akan mendapat celaka. Maka ia segera merobah gerakan pedangnya dan kini gerakannya menjadi ganas dan cepat sekali hingga dalam beberapa jurus saja Kim Kong Tojin terdesak hebat. Mereka telah bertempur seratus jurus lebih dan sekarang mereka tidak menjadi lambat, bahkan makin cepat hingga merupakan dua gulung sinar yang saling menyambar.

Beberapa puluh jurus lagi telah berlalu dan tiba-tiba pedang tosu itu terpental ke udara hingga terputar-putar tinggi sekali dan ketika pedang itu meluncur turun, Kim Kong Tojin melompat dan menyambutnya dengan tangan. Wajahnya pucat sekali dan mulutnya tersenyum pahit.

“Anak muda she Nyo, kau benar-benar hebat sekali.”

Nyo Liong menjura. “Totiang, kaulah yang hebat dan telah mengalah terhadap aku yang muda.”

“Anak muda, kalau kau suka memandang mukaku dalam tiga hari lagi aku hendak bertemu kembali denganmu.”

Nyo Liong maklum bahwa tosu yang keras kepala ini masih belum mau mengaku kalah dan masih mengandung dendam, maka ia merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, terpaksa ia menjawab juga.

“Totiang, yang memulai adalah kau sendiri, maka selanjutnya terserah kepadamu untuk memutuskan. Aku yang muda tak dapat menanti lebih lama lagi karena aku hendak pergi bersama kawanku ini ke kuil Thian-Hok-si.”

“Apa? Kau hendak pergi menemui Kok Kong Hwesio di Thian-hok-si? Ada hubungan apakah kau dengan Kok Kong Hwesio?” tanya Kim Kong Tojin.

“Dia adalah sucouwku!” jawab Yang Giok.

Kim Kong Tojin mengerling ke arah gadis itu. “Hm, jadi Pangeran Liu adalah murid Kok Kong Hwesio? Pantas, pantas! Gurunya berjiwa pemberontak, tentu muridnya sama saja! Baiklah, anak muda she Nyo, tiga hari lagi, aku akan datang mencarimu di Thian-hok-si!” Setelah berkata demikian, Kim Kong Tojin lalu mengajak murid-muridnya dan perwira lain untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Bersambung ke bagian 07

Pedang Keramat Thian Hong Kiam: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06

0 comments: