BADIK BUNTUNG
Karya: ?
Saduran: Gan K. H
Sebentar saja tiga hari sudah mendatang. Pagi hari itu cuaca masih gelap Hun Thian-hi sudah beranjak dari penginapannya, berlari cepat menuju ke Giok-hong-gay di gunung Sian-sia-nia.
Udara gelap dingin kabut masih tebal, dengan kepandaian dan latihan lwekang Hun Thian-hi yang sudah cukup sempurna juga tidak lebih hanya dapat melihat setombak jauhnya. Sejenak ia mengerutkan kening, sebentar ia berdiri di atas ngarai lalu memandang ke arah hutan sebelah sana.
Tak lama kemudian diantara kabut tebal muncul tiga bayangan orang, langsung berlari kencang menuju ke puncak ngarai ini. Itulah Su Tat-jin bersama Su Cin dan Su Giok-lan.
Melihat Hun Thian-hi sudah menunggu disitu, Su Giok-lan tersenyum ejek, ujarnya, “Kiranya kau bisa menepati janji?”
Hun Thian-hi menggendong tangan sambil angkat dahi tanpa bicara.
Kata Su Cin, “Hun Siauhiap! Sudah beberapa kali kutanyakan kepada pamanku, bahwa Badik Buntung memang tiada di tangannya, mungkin Hun Siauhiap salah duga!”
Hun Thian-hi berpaling menatap Su Tat-jin dengan tajam tanpa bersuara.
“Keluarkan Serulingmu!” tantang Su Giok-lan uring-uringan, “ingin aku belajar kenal kepandaian hebat apa yang dimiliki oleh murid Lam-siau yang diagungkan itu!”
Diam-diam Hun Thian-hi tengah menerawang dalam hati, ia tahu pasti bahwa Badik Buntung itu benar-benar berada di tangan Su Tat-jin, namun dengan adanya Su Cin dan Su Giok-lan sebagai pelindungnya urusan menjadi rada runyam. Bahwasanya Lam-siau (Seruling Selatan) dan Pak-kiam (Pedang Utara) sama tenar sama derajat, betapa juga ia tidak mungkin bermusuhan dengan mereka, sebaliknya Badik Buntung itu bagaimana juga harus direbut kembali.
Tengah ia berpikir Su Giok-lan sudah tidak sabaran lagi “sreng!” ia cabut keluar pedang panjangnya, katanya menuding Hun Thian-hi, “Bagaimana, apakah murid Lam-siau sedemikian pengecut?”
Hun Thian-hi menjadi dongkol pelan-pelan ia putar tubuh, ujarnya, “Apakah nona Su mendesak aku turun tangan?”
“Bukankah kau minta kembali Badik Buntung?” dengus Su Giok-lan, “Kalau mau minta kembali silakan keluarkan serulingmu!”
Dengan angkuhnya Hun Thian-hi menyeringai tawa, pelan-pelan dikeluarkan serulingnya. Tanpa banyak mulut segera Su Giok-lan menerjang maju sambil menusuk membabat dan membacok bergantian, beruntun ia lancarkan empat jurus serangan berantai.
Seenaknya saja Hun Thian-hi menggerakkan serulingnya, entah menyampok atau menangkis gampang saja ia punahkan seluruh serangan Su Giok-lan.
Melihat serangan gencarnya tak dapat mendesak lawan Su Giok-lan menjadi sengit, sambil menggertak pedang panjangnya mendadak menekan ke bawah tiba-tiba terus menukik ke atas menusuk lambung, kiranya ia sudah mulai kembangkan pelajaran tunggal yang diandalkan pihak Pak-kiam (Pedang Utara) yaitu ilmu pedang yang dinamakan Hian-thian-kiam-hoat badan dan pedang seakan bersatu padu bergerak lincah mengikuti gerak badan dan samberan pedang. Sejalur pelangi panjang menggubat dan melilit kencang ke arah Hun Thian-hi.
Dengan angkernya Hun Thian-hi tetap berdiri di tempatnya tanpa menggeser sesenti pun. Serulingnya terayun ke kiri menyampok ke kanan lalu menekan ke bawah bergantian sedikit pun tidak menjadi gugup atau terpengaruh oleh serangan gencar lawannya.
Meskipun Hian-thian-kiam-hoat yang dikembangkan Su Giok-lan mengandung banyak perubahan yang susah diraba, sayang lwekangnya setingkat lebih rendah, sedikit pun ia tak mampu menyentuh atau mendesak Hun Thian-hi yang berlaku tenang itu.
Sekejap saja kedua belah pihak sudah saling serang sebanyak lima puluh jurus. Dimana ayunan seruling Hun Thian-hi bergerak sekarang mulai mengambil inisiatif pertempuran dari banyak membela diri mulai melancarkan serangan balasan. Begitu lwekang dikerahkan seiring dengan ayunan serulingnya terpancarlah sinar cahaya putih bergerak lincah menari-nari terus menyerang lebih deras dan ketat ke arah Su Giok-lan.
Semakin lama Su Giok-lan terdesak di bawah angin, untuk membela diri saja menjadi kerepotan jangan kata balas menyerang.
Akhirnya Su Cin menjadi cemas dan kuatir, sreng! Pedangnya lantas dilolos keluar, teriaknya, “Adik Lan, kau mundurlah!” — lalu iapun berteriak ke arah Hun Thian-hi, “Hun Siau-hiap, biarlah aku pun belajar kenal dengan kepandaianmu!”
Sambil menyapukan pedangnya Su Cin terus menerjang maju. Su Giok-lan mendapat peluang dengan sengit dan gemes ia berteriak, “Aku belum terkalahkan, buat apa kau ikut maju?” seiring dengan kata-katanya, pedang panjangnya mendadak bergerak lincah, beruntun ia lancarkan lagi serangan ketat kepada Hun Thian-hi.
Su Cin menjadi serba susah, maju mundur menjadi sulit baginya, kedua belah pihak adalah murid perguruan ternama yang sejajar ketenarannya, bagaimana mungkin dirinya melawan orang dengan cara keroyokan. Tapi keadaan Su Giok-lan sudah di ambang bahaya, tidak bisa tidak aku harus maju membantu, terpaksa mengeraskan kepala ia terus menerjang maju.
Hun Thian-hi bergelak tawa lantang, dimana Serulingnya menari kencang mendadak tubuhnya terbang ke atas, di tengah udara jumpalitan terus mengembangkan Thian-liong-cit-sek atau Tujuh Gaya Naga Langit.
Jurus pertama yang bernama Liok-liong-wi-hian (Enam Naga Terbang Berputar) dikembangkan berpetalah bayangan seruling samar-samar seperti ada seperti tiada serentak meluncur ke arah dua sasaran.
Su Cin dan Su Giok-lan merupakan murid didikan Pak-kiam yang kenamaan apalagi dengan dua mengeroyok satu sudah tentu tidak gampang mereka dikekang dan terkepung. Serempak pedang panjang mereka silang menyilang di tengah udara ke kanan kiri inilah jurus Ban-liu-ing-hong (Dahan Pohon Liu Menyambut Angin) jalur sinar pedang terpancang menjadi pepat merintangi serangan melandai tiba.
Tapi di tengah jalan tubuh Hun Thian-hi mendadak melenting lebih tinggi lagi, Seruling Batu Pualam putihnya lagi-lagi meluncur dengan serangan yang dinamakan Gin-liong-jip-cui (Naga Sakti Masuk Air). Seruling batu itu menukik dari atas meluntiur seperti burung menyambar belalang langsung menutuk ke jalan darah Bi-sim-hiat Su Cin dan Su Giok-lan.
Sekali lagi pedang panjang mereka bekerja sama bersatu padu melancarkan tipu Loan-ciok-bing-hun (Batu Kalut Menerjang Awan), sinar pedang berubah setitik bintang menutul balik merangsak ke arah Hun Thian-hi lagi.
Hun Thian-hi tertawa tawar, lagi-lagi lawan bergabung menyerang dirinya, memang inilah yang sedang diharapkan. Tiba-tiba tubuhnya mengkerut turun, dimana seruling batunya terayun maju langsung memapak ke arah kedua batang pedang lawan yang terbang meninggi mengarah dirinya. Di tengah jalan jurus serangan Thian-hi ini lagi-lagi dirubah menjadi Hun-liong-pian-yu, bayangan seruling mendadak berubah menjadi beribu banyaknya, seperti menyerang tapi juga membela diri langsung menyapu ke depan.
Naga Terbang Menyapu Bayu yang dilancarkan Hun Thian-hi ini merupakan salah satu jurus dari ilmu Thian-liong-cit-sek yang paling banyak perubahan dan paling sulit di jajaki. Su Cin dan Su Giok-lan tidak mengira Hun Thian-hi bakal melancarkan jurus-jurus yang sangat lihai ini, keruan bercekat hati mereka, tak tahu mereka kemana juntrungan Hun Thian-hi melancarkan serangan berbahaya ini, tanpa merasa gerak-gerik mereka sedikit merandek.
Sementara serangan Hun Thian-hi ini sampai di tengah jalan mendadak juga memperlihatkan setitik kelemahan, dimana jurus serangan yang seharusnya menutuk maju rada-rada kelihatan sedikit lamban seperti hendak membela diri malah, karuan sedikit lubang kelemahan ini cukup ketahui oleh kakak beradik didikan Pak-kiam ini, keruan bukan kepalang girang hati mereka, tanpa berjanji seperti sudah terjadin ikatan batin saja mendadak pedang mereka berbareng membabat dan menyontek ke atas membabat kaki dan menusuk perut Hun Thian-hi.
Tak kira perbuatan Hun Thian-hi ini memang disengaja untuk memancing gerakan musuh, sedikit lamban mendadak Hun Thian-hi lincah sekali menyelonong maju, lenyap gaya membela diri semula mendadak berubah menjadi serangan telak, berbareng dengan gerak tubuhnya yang lincah lantas menyelinap ke tengah diantara mereka berdua, serulingnya menutuk pundak dan mengetuk batok kepala.
Karuan Su Cin berdua berjingkrak kaget seperti disengat kala. Berbareng mereka mundur kedua samping untuk menghindar.
Dengan tipu jurus yang indah Hun Thian-hi berhasil memisahkan kedua musuhnya, mendapat angin yang menguntungkan ini serulingnya bergerak semakin sebat lagi, jurus demi jurus tipu-tipu serangan serulingnya membadai tiada habisnya, dengan jurus Jian-hong-ing-long (Menuntun Angin Menyambut Gelombang) ia tumplek seluruh kekuatan untuk menyerang kedua lawannya.
Su Giok-lan dan Su Cin harus melompat mundur kesamping lagi, namun sambil berkelit ini tiba-tiba pedang panjang mereka menukik balik, dengan jurus Yau-ci-thian-lam (Jauh-Jauh Menuding Langit Selatan) pedang mereka tepat sekali memapaki kedatangan serangan Hun Thian-hi, begitu seruling dan pedang kedua belah pihak saling bentur, kontan Su Cin dan Su Giok-lan tergetar mundur satu langkah.
Gerakan Hun Thian-hi tidak berhenti sampai disitu saja, lagi-lagi serulingnya menyapu tiba dengan tipu Ci-ang-yau-sut (Pelangi Menggubat Saka) dimana sinar putih berkelebat masing-masing menutuk ke arah jalan darah Thian-to-hiat di atas tubuh Su Cian dan Su Giok-lan. Karena terdesak untuk membebaskan diri dari tutukan berbahaya ini terpaksa mereka mundur berulang-ulang.
Wajah Hun Thian-hi menampilkan senyum tawar. Seorang diri bukan saja dirinya mampu melawan keroyokan mereka malah mendesak mundur kedua musuhnya, betapa hatinya takkan senang.
Dalam pada itu dengan kesima Su Tat-jin menonton pertempuran seru ini dengan seksama, lambat laun berubah rona wajahnya, kedua biji matanya memancarkan rasa kebencian yang meluap-luap, samar-samar juga terunjuk rasa ragu sulit mengambil suatu keputusan.
Sementara itu, sinar putih kemilau dari seruling Hun Thian-hi terus berkembang berputar-putar di tengah gelanggang mengepung dua musuhnya.
Belum lama Su Cin serta adiknya kelana, baru pertama kali ini mereka menghadapi musuh tangguh, dalam waktu singkat mereka menjadi kelabakan dan keripuhan tak tahu cara bagaimana untuk bekerja sama menghadapi musuh karena kehilangan pegangan, maka gerak pedang mereka lambat laun juga menjadi tak terkontrol lagi, begitulah dalam suatu ketika mereka harus mengayun pedang untuk menangkis.
Melihat kedua musuhnya mengangkat pedang menangkis serangannya Hun Thian-hi tersenyum riang, tahu dia kalau pedang dan serulingnya saling bentrok tak ampun lagi pasti pedang kedua musuhnya bakal terpental terbang ke tengah udara terlepas dari cekalannya. Mereka adalah murid Pak-kiam yang sejajar dengan gurunya, hal inilah yang menjadikan penghambat gerak geriknya.
Semakin lama hati Su Tat-jin semakin berang dan kebat-kebit, pancaran matanya semakin buas dan mengandung hawa membunuh. Mendadak ia menghardik keras sekali, “Ni, sambutlah Badik Buntung!” sejalur sinar hijau melesat terbang dari tangannya langsung melayang lewat di samping gelanggang pertempuran tiga kaki tingginya.
Begitu mendengar bentakan, Hun Thian-hi sangat terkejut, sedikit pun tiada tempo untuk ia pikir, sebat sekali tubuhnya bergerak terus mengejar ke arah Badik Buntung yang meluncur itu.
Su Cin dan Su Giok-lan sendiri juga terperanjat, dengan muka merah padam mereka mengawasi Su Tat-jin.
Di tengah gelapnya kabut di sebelah sana terdengar pekik kejut yang tertahan, sinar hijau kelihatan berloncat dan terus melayang jatuh ke bawah jurang sana.
Su Cin serta adiknya berdiri terlongo tanpa membuka suara, wajah mereka menjadi pucat pias. Tak lama kemudian Su Giok-lan membuka mulut kepada Su Tat-jin, “Paman! Ternyata Badik Buntung itu betul berada di tanganmu!”
Su Tat-jin tertawa kering dua kali, ujarnya menyeringai, “Benar-benar! Badik Buntung berada di tanganku. Tapi kalian harus tahu bahwa perbuatanku tadi adalah demi untuk kebaikan kamu berdua. Kalau aku tidak bertindak cepat, kukuatir kalian bakal terjungkal di tangannya”
“Tapi paman,” sela Su Cin cepat, “seharusnya kau tidak boleh berbuat demikian, dia adalah murid tunggal Seruling Selatan….”
“Justru karena dia adalah murid tunggal Seruling Selatan, maka aku bertindak demikian.” Demikian sambung Su Tat-jin, “apa kalian sudah lupa bahwa kalian adalah murid Pedang Utara? Kalau kalian terkalahkan kemana muka guru kalian hendak ditaruh. Seruling Selatan dan Pedang Utara tergabung menjadi Hwe-siang-ki (sepasang manusia aneh di majapada) tapi hakikatnya mereka sendiri belum pernah saling jajal kepandaian masing-masing, apa kalian sudah tahu?”
Su Cin dan adiknya bungkam. Mereka insaf bahwa dengan kekalahan mereka berdua melawan Hun Thian-hi mungkin akan merupakan noda hitam bagi ketenaran nama baik Pedang Utara, bukankah sejak saat ini taraf antara Seruling Selatan dan Pedang Utara harus dibagi tingkatannya.
Kata Su Tat-jin pula, “Cin-ji! Lan-ji! Kalian harus tahu bahwa peristiwa pagi ini sekali-kali tidak boleh diketahui orang luar, kalau tidak bukan saja kalian aku pun terseret pula, bagaimana selanjutnya kita harus berkecimpung di kalangan Kangouw. Kukira guru kalian juga menjadi sulit untuk angkat kepala di dunia persilatan!”
Berbareng Su Cin dan Su Giok-lan angkat dagu memandang ke arah Su Tat-jin, hati mereka maklum bahwa kata-kata tadi merupakan ancaman halus terhadap mereka.
Dengan tajam Su Tat-jin juga tatap mereka berdua, apa boleh buat akhirnya mereka menundukkan kepala. Su Tat-jin tertawa kering lagi dengan puas akan kemenangan, sambungnya lagi, “Sudah tentu, kalau kalian tidak mengobral mulut aku pun tetap bungkam. Sudahlah, mari kita turun gunung,” habis berkata ia mendahului berlari-lari kecil ke bawah gunung.
Dengan lesu dan rawan Su Cin dan Su Giok-lan ikut turun gunung dengan langkah berat bergoyang gontai.
Badik Buntung
01 | 02
0 comments:
Post a Comment