Karya: ?
Saduran: Gan K. H
Kabut malam mulai menyelimuti seluruh kota Hangciu. Disebelah timur kota Hangciu terdapat sebuah bangunan gedung mentereng yang berdiri megah dan angker di kegelapan malam.
Dari dalam gedung yang megah dan angker ini lapat-lapat terdengar gelak tawa orang banyak.
Seorang pemuda mengenakan jubah panjang warna putih, seperti pemuda pelajar umumnya tengah beranjak cepat menuju ke arah gedung besar ini, pemuda itu berpaling menengadah melihat cuaca, memandang sang putri malam yang memancarkan cahayanya yang terang cemerlang. Ditimpah cahaya sang bulan purnama kelihatan sikap tegas dan watak keras dari wajah pemuda yang putih cakap itu.
Sejenak ia berhenti mengamat-amati gedung besar dihadapannya, ujung mulutnya mengulum senyum, sedikit pundaknya bergoyang gerak tubuhnya sudah terbang tinggi ke tengah udara langsung melesat ke atas wuwungan ruangan besar terus meluncur turun memasuki ruangan pesta itu.
Suara tawa dan percakapan ramai dalam ruangan besar seketika sirap. Dengan berputar tubuh pemuda itu menjelajahkan pandangannya keseluruh ruang besar itu. Penerangan terpasang terang benderang, meja besar perjamuan berputar tiga lingkaran. yang terletak paling tengah sana duduk seorang tua bermuka merah, dua lilin besar di belakangnya tengah terbakar menyala menerangi sebuah huruf “SIU” (panjang umur) yang besar dari kertas emas.
Semua mata memandang heran ke arah si pemuda. Mereka merasa takjub akan kepandaian silatnya begitu lihainya sampai sudah mendarat di dalam ruangan besar itu baru hadirin mengetahuinya.
Setelah berputar memeriksa keadaan seluruh ruangan pesta ini si pemuda langsung menghadap ke arah si orang tua bermuka merah itu, serunya sambil menjura, “Siautit Hun Thian-hi, mendapat perintah dari orangtua untuk menyampaikan salam panjang umur, setindak telah terlambat harap paman suka memberi maaf!”
Waktu Hun Thian-hi memperkenalkan diri si orang tua muka merah mengerutkan kening dan mengunjuk rasa heran dan curiga, dengan tajam ia awasi Hun Thian-hi. Bibirnya bergerak seperti hendak berkata apa, tapi urung diucapkan. Selanjutnya air mukanya lantas menunjukkan rasa kejut dan marah. Sekilas kedua biji matanya melirik keseluruh ruang, sekejap saja wajahnya berubah lagi menjadi beringas dan gusar.
Hun Thian-hi seakan tidak merasa dan tidak tahu akan segala perubahan air muka si orang tua muka merah, acuh tak acuh seperti anak kecil yang ketarik akan sesuatu yang memincut hatinya ia berputar dan celingukan menatapi itu persatu seluruh hadirin. Setelah sepasang mata tajam berkilat menerawang seluruh isi ruang pesta ini, ujung mulutnya lagi-lagi menampilkan senyum dikulum.
Mendadak berkelebat cahaya aneh dan mengejutkan terpancar dari kedua biji matanya tanpa merasa sebelah tangannya mengelus Seruling Batu Pualam di pinggangnya. Ternyata bahwa di kedua samping kiri kanan si orang tua merah duduk sepasang muda mudi, sorot pandangan mereka berdua juga berkilat mengandung ketajaman yang luar biasa, pandangan muda-mudi itu juga tertuju ke arah dirinya.
Dengan muka gusar si orang tua muka merah membentak kepada Hun Thian-ki, “Siapa kau? Berani kau mengaku sebagai putra Hun Siau-thian Hun-toako untuk menyampaikan salam hormat kepadaku?”
Seluruh hadirin yang terdiri dari orang-orang gagah persilatan terkejut, begitu mendengar nama Hun Siau-thian disebut. Harus diketahui bahwa Hun Siau-thian adalah tetua dari Bulim-sam-ciat pada dua puluh tahun yang lalu, dengan menggembol dan bersenjatakan Badik Buntung ia belum pernah mendapat tandingan di seluruh jagat. Selama dua puluh tahun terakhir jejaknya menghilang tak karuan paran. Sungguh di luar dugaan hari ini ada seseorang yang berhubungan dekat dengan beliau muncul disini menyampaikan salam hormat.
Hun Thian-hi mengulum senyum tawar, katanya pelan-pelan, “Jangan takut! Aku tidak akan menuntut balas, kedatanganku ini hanya mau minta balik Badik Buntung saja, apa kau minta bukti?” — dari dalam lengan baju tangan kanannya ia melolos keluar sarung pedang pendek sepanjang satu kaki entah terbuat besi atau emas, yang terang sarung pedang ini memancarkan cahaya terang terus diangsurkan ke depan orang tua muka merah.
Seluruh hadirin bertambah kejut dan heran lagi. Badik Buntung sudah menghilang ikut lenyapnya Hun Siau-thian selama dua puluh tahun tak duga bisa berada disini!
Merah Padam muka si orang tua, mendadak ia berjingkrak bangun terus membentak sambil menuding Hun Thian-hi, “Badik Buntung berada di tangan Hun Siau-hian, seluruh orang gagah di jagat ini mengetahui. Siapa kau sebenar-benarnya? Kau kira aku Hoan-thian-chiu Su Tat-jin gampang dihina dan dipermainkan?”
Baru lenyap suara Su Tat-jin, seseorang yang duduk disebelah samping kanannya sudah bergegas berdiri serta serunya, “Su Toako, biar kuberi hajaran kepadanya!”
Kalem saja Hun Thian-hi memutar tubuh menghadapi si orang pembicara ini, dengan seksama ia awasi orang ini. Kiranya seorang tosu pertengahan umur mengenakan jubah pendeta warna hijau mulus. Matanya juling seperti mata garuda menyorotkan sinar dingin mendelik ke arah dirinya.
Sekonyong-konyong wajah putih Hun Thian-hi menampilkan senyum tawa yang aneh. Seketika si Tosu itu berhenti dan berdiri melongo, matanya berkilat ragu-ragu, agaknya tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah melihat senyum tawa Hun Thian-hi yang penuh arti itu.
“Harap tanya siapakah gelaran Totiang ini?” tanya Hun Thian-hi dengan nada mengejek.
Tiba-tiba Tosu pertengahan umur ini tersentak kaget seperti sadar dari suatu lamunan, dimakluminya sekarang bahwa senyum tawa Giok-liong tadi hakikatnya mengandung sindiran dan memandang ringan dirinya, saking gusar selebar mukanya menjadi merah padam, teriaknya, “Hun-tiong-it-ho Ling-ci-cu itulah aku adanya!” habis berkata kakinya terus bergerak menubruk maju ke hadapan Hun Thian-hi disertai dengan mulutnya membentak, “Lihat pukulan!” sebelah tangannya tahu-tahu nyelonong menjotos ke dada Hu Thian-hi.
Hun Thian-hi sedikit menekuk dengkul lalu menggeser mundur, ringan sekali tubuhnya ikut berputar menghindar. Maka pukulan lawan dengan mudah sekali dapat dihindarkan menyamber lewat di samping dadanya terpaut seurat saja.
Ling-ci-cu menggerung murka, tangan kiri berputar menyusul tiba terus menepuk ke punggung Hun Thian-hi.
Sambil tetap mengulum senyum Hun Thian-hi menggoyangkan sedikit badan indah sekali ia bergaya berkelit dari serangan musuh. Gerak tubuhnya enteng laksana awan mengembang seperti air mengalir ia main mundur ke tengah ruangan. Dimana sepasang matanya berkilat menyapu pandang ke seluruh keadaan meja perjamuan dalam ruang pesta besar ini.
Diam-diam terkejut hati seluruh hadirin. Siapa yang tak kenal akan ketenaran nama Hun-tiong-it-ho Ling-ci-cu yang berkepandaian tinggi, dengan gerak tubuh serta bekal lwekangnya ternyata dua kali serangannya dengan mudah telah dihindarkan oleh pemuda pelajar ini. Ini betul-betul suatu hal yang luar biasa. Seandainya pemuda ini betul adalah anak kandung Hun Siau-thian, dengan usia yang masih muda betapapun latihannya takkan mungkin mencapai tingkat yang sempurna sekian baiknya.
Beruntun serangan berantainya dengan mudah kena kelit oleh lawan, hati Ling-ci-cu menjadi dongkol seperti dibakar, gesit sekali ia menerjang datang lagi sambil kirim serangan lebih gencar.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hun Thian-hi berseru menghentikan pertempuran.
Ling-ci-cu segera menghentikan aksinya, dengusnya, “Ada omongan apa lagi yang hendak kau katakan?”
Hun Thian-ki tertawa lebar, sekilas ia menyapu pandang ke sekelilingnya lalu berkata kepada Su Tat-jin, “Hari ini aku sudah datang kemari. Perihal Badik Buntung yang di tanganmu itu betapa juga pasti akan tersiar luas, dengan kemampuanmu kau takkan mungkin kuat melindunginya. Biarlah kutekankan lagi bahwa kedatanganku ini bukan hendak menuntut balas. Serahkan saja Badik Buntung itu kepadaku, segalanya beres!”
Belum lagi Su Tat-jin membuka suara Ling-ci-cu telah menyelak, “Nanti dulu.”
Pelan-pelan Hun Thian-hi memutar badan menghadapi Ling-ci-cu sambil memicingkan mata.
Kata Ling-ci-cu dengan gusar, “Bocah keparat jangan kau terlalu sombong, tak perlu dikatakan apakah benar-benar Badik Buntung itu berada disini. Seumpama betul ada disini, berani kau dihadapan kita sekalian hendak mengambilnya begitu gampang?”
Hun Thian-hi celingukan melihat reaksi seluruh hadirin, satu pun tiada yang berani bersuara. Terang bahwa mereka sudah setuju akan kata-kata profokasi dari Ling-ci-cu itu. Dengan sabar dan kalem ia hadapi Ling-ci-cu, lalu katanya acuh tak acuh, “Lalu bagaimana maksudmu?”
“Hatimu tahu sendiri,” jengek Li-ci-cu, “kenapa perlu tanya lagi!”
Alis lentik Hun Thian-hi terangkat tinggi, ujung mulutnya mengulum senyum manis, berturut-turut ia mundur dan mundur terus sampai di ambang pintu lalu dirogohnya keluar Seruling batu giok di pinggangnya langsung diangkat ke depan mulutnya.
Gadis yang duduk di sebelah kanan Su Tat-jin bergegas bangun, matanya memancarkan sinar tajam penuh kejut dan heran, tak kuasa mulutnya juga berteriak, “Lam-siau!”
Pemuda yang duduk di sebelah kiri juga tersentak bangun berdiri.
Seluruh hadirin juga sama terkejut, siapapun tak mengira bahwa Hun Thian-hi kiranya adalah murid Lam-siau (Seruling Selatan) salah satu dari Hwe-siang-ki (Sepasang Manusia Aneh Dalam Dunia). Tak heran dengan mudah dan seenaknya saja ia tadi berkelit dan menghindari serangan Ling-ci-cu yang cukup hebat itu.
Sejenak sorot mata Hun Thian-hi memancarkan rasa bimbang dan ragu, namun demikian mulutnya sudah mulai meniup serulingnya, dilain saat irama seruling yang merdu sudah kumandang mengalun di tengah udara.
Beramai-ramai seluruh hadirin mengerahkan tenaga murni dan lwekang untuk mempertahankan diri.
Hun Thian-hi sendiri juga prihatin dan penuh keseriusan, karena dia sendiri harus memusatkan pikiran dan mengerahkan seluruh kekuatan lwekangnya disalurkan ke dalam irama serulingnya untuk menundukkan musuh.
Selain kedua muda mudi itu, seluruh hadirin sudah mulai mandi keringat, mati-matian mereka tengah bertahan sekuat tenaga.
Sambil meniup serulingnya pandangan Hun Thian-hi menyapu ke seluruh ruangan besar, lagi-lagi matanya memancarkan rasa ragu dan bimbang, sejalur irama melengking tinggi memecah angkasa, dinding di empat penduru gedung ini terdengar bergetar dan mulai retak hampir roboh.
Pelan-pelan Hun Thian-hi menarik turun Serulingnya, pandangannya menyapu ke seluruh hadirin, nyata tiada satupun yang lolos semua telah tertutuk jalan darahnya oleh getaran irama serulingnya, sebentar ia menarik napas panjang terus tertawa lebar langsung ia melangkah menghampiri Su Tat-jin.
Pertama-tama ia bebaskan jalan darah Su Tat-jin yang tertutuk. Dengan penuh rasa kejut gusar dan takut-takut Su Tat-jin menyapu pandang ke seluruh tamu-tamunya. Dilihatnya kedua muda mudi itu juga telah tertutuk jalan darahnya, dengan penuh rasa murka dan hampir tak percaya ia tatap Hun Thian-hi.
Kata Hun Thian-hi tanpa menunjukkan expresi, “Su Tat-jin, semasa hidup ayahku betapa baik sikapnya terhadap kau. Tak duga, dalam keadaan beliau sedang sakit kau rebut Badik Buntung itu lalu melarikan diri menghilang!”
Sambil mundur ke dalam ruangan dalam, Su Tat-jin menyahut cepat, “Bukan aku, itulah Ling Ci-cu yang melakukan!”
Hun Thian-hi mendengus hina, katanya, “Sekarang aku tidak ingin tahu segala tetek bengek itu, serahkanlah Badik Buntung itu kepadaku!”
Su Tat-jin kempas-kempis berusaha mengendalikan pembawaannya, sikapnya ragu-ragu.
“Lekas!” desak Hun Thian-hi.
Su Tat-jin membuka pintu terus membawa Hun Thian-hi masuk ke rumah dalam. Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka tiba pada pada sebuah kamar. Sekilas Hun Thian-hi memeriksa keadaan kanan kirinya, mulutnya lantas berkata kepoda Su Tat-jin, “Jangan kau mengatur tipu daya, aku takkan bisa terjebak oleh tipu muslihatmu!”
Mata Su Tat-jin berjelilatan, akhirnya apa boleh buat ia menghampiri ke depan tempat tidur.
Dengan ketat Hun Thian-hi mengintil di belakangnya. Mendadak ia memutar tubuh sambil mengulur serulingnya menekan jalan darah di punggung Su Tat-jin lalu berpaling ke belakang ke arah pintu.
Di depan kamar tidur sana berdiri berendeng kedua muda mudi tadi, masing-masing tangannya menyoreng pedang panjang, dengan tajam dan gusar mereka tatap Hun Thian-hi….
Hun Thian-hi diam saja mengawasi mereka. Dalam hati ia menyesal kenapa waktu menutuk jalan darah mereka dengan irama serulingnya tadi tidak gunakan tenaga berat, sehingga begitu cepat mereka sudah bisa ikut mengintil datang.
Terdengar pemuda itu buka suara, “Hun Thian-hi, kau adalah murid Lam-siau, lepaskan pamanku, mari kita bicara di luar!”
Hun Thian-hi merenung sebentar, akhirnya ia menjawab, “Tidak! Suruh dia mengembalikan Badik Buntung kepadaku!”
Su Tat-jin menjadi gugup, serunya, “Anak Cin, jangan kau percaya omongannya, hakikatnya aku tidak menyimpan Badik Buntung apa segala.”
“Lalu kenapa kau bawa aku kemari?” jengek Hun Thian-hi menyeringai.
“Adalah kau yang mendesak aku begitu rupa!”
Hun Thian-hi mendengus hidung, sedikit menerawang hati-hati sekali mendadak sebuah kakinya menendang ke tempat tidur Su Tat-jin.
“Blang!” seketika ranjang kena ditendang terbalik dimana terdengar suara pegas berbunyi serentetan pisau terbang melesat keluar berseliweran, sigap sekali Hun Thian-hi jinjing tubuh Su Tat-jin melompat terbang keluar kamar.
Dengan selamat Hun Thian-hi mendaratkan kakinya di tanah, hidungnya mendengus hina.
Sekilas Su Tat-jin memandang ke arah muda mudi itu lalu berkata, “Memangnya Badik Buntung tidak berada di tanganku, terpaksa aku berbuat begitu!”
Berbareng muda mudi itu melolos pedang panjangnya terus menerjang ke arah Hun Thian-hi. Cepat sekali biji mata Hun Thian-hi menjelajah keadaan sekitarnya, tiba-tiba tangannya diayun ke belakang melemparkan tubuh Su Tat-jin keluar rumah sana, disusul tubuhnya sendiri juga ikut berkelebat keluar hinggap di pelataran luar.
Sebetulnya Su Tat-jin bukan kaum kroco, tadi sedikit pun ia tidak berontak karena di bawah ancaman Hun Thian-hi, sekarang setelah lepas dari tangan Hun Thian-hi seiring dengan luncuran tubuhnya ini tiba-tiba ia jumpalitan di tengah udara badannya terus membalik naik hinggap di atas dahan sebuah pohon besar.
Meski kepandaian Hun Thian-hi tinggi, pengalaman masih cetek sedikit gegabah ia lemparkan Su Tat-jin keluar, setelah ia melempar tubuh orang baru menyesal juga sudah kasep.
Begitu badan Hun Thian-hi melenting keluar, kedua muda mudi itu juga sudah terbang mengejar tiba, pedang panjang mereka sebat sekali menusuk tiba dari kanan kiri.
Mendadak Hum Thian-hi memutar tubuh di tengah udara, serempak tangannya dibalikkan ke belakang sambil menyapukan serulingnya dengan jurus Hoat-hi-pit-thian, sejalur kabut putih dari kekuatan tenaga dalamnya segera menyampok ke arah muda-mudi itu.
Baru tusukan sampai di tengah jalan sebelum pedang mereka dan seruling Hun Thian-hi saling sentuh, pedang sudah ditarik balik, disusul pedang dibalikkan berputar terus menusuk ke depan dari atas dan bawah, masing-masing mengarah tenggorokan dan perut Thian-hi.
Pancaran mata Thian-hi menampilkan rasa kejut dan heran, serulingnya diputar dan disurutkan mundur, berbareng lincah sekali tubuhnya menggeser terus hinggap di atas tanah. Saat itu juga kedua muda mudi itu juga sudah meluncur turun, sesaat ketiga orang ini saling tatap tanpa bicara.
Sejenak kemudian Hun Thian-hi baru membuka mulut, “Apakah kalian murid Pak-kiam?”
“Betul!” sahut si pemuda, “Aku bernama, Su Cin. Dan ini adikku bernama, Su Giok-lan.”
Su Giok-lan mencemooh, “Apakah kau murid Lam-siau?”
Hun Thian-hi manggut-manggut, ujarnya; “Kalau begitu lebih baik, harap kalian suka bujuk paman kalian untuk mengembalikan Badik Buntung itu kepadaku!”
“Kau punya bukti apa berani menuduh bahwa Badik Buntung itu berada di tangan pamanku.” semprot Su Giok-lan aseran.
“Dulu pamanmu menggunakan akal muslihat licik merebut Badik Buntung itu dikala ayahku terluka berat,” demikian Hun Thian-hi memberi keterangan, “Kalau nona benar-benar adalah murid Pak-kiam Siau-cianpwe tentu mengenal juga betapa pentingnya Badik Buntung ini, kuharap nona suka membujuk paman kalian untuk kembalikan Badik Buntung itu kepada aku yang rendah, kupandang muka kalian aku tidak akan menuntut segala peristiwa yang sudah lalu.”
“Enak benar-benar kau mengudal mulutmu,” jengek Su Giok-lan. “Ada bukti apa kau berani bicara begitu takabur?”
“Apakah murid Lam-siau juga bisa membual?”
“Apakah murid Pak-kiam bisa berlaku ceroboh?”
Berkobar hawa amarah Hun Thian-hi.
“Kau….” katanya berhenti, lalu sambungnya, “Kalau nona hendak mengetahui duduk perkara yang berbelit-belit itu silakan tanyakan kepada Hun-tiong-it-ho dan pamanmu itu, tentu kalian akan jelas segalanya.”
“Jangan kau kira kau ini paling pintar,” dengus Giok-lan, “apa hakmu menyuruh kami mengompes keterangan mereka. Murid Lam-siau punya kepandaian apa?”
Mendadak bercekat hati Hun Thian-hi, pikirnya, “Ooo, jadi begitu!” — mungkin karena tadi mereka kena tertutuk jalan darahnya oleh irama seruling jadi mereka uring-uringan.
Hun Thian-hi berdiri diam, bungkam seribu bahasa.
“Adik Lan!” Cegah Su Cin sambil berpaling ke arah adiknya.
“Kenapa engkoh bantu orang luar!” teriak Giok-lan keras, lalu ia menghadapi Hun Thian-hi lagi, ujarnya, “Jangan banyak mulut lagi, tiga hari kemudian jam empat subuh kita bertemu di Giok-hong-gay di gunung Sian-sia-nia. Kalau kau menang bagaimana juga kita berusaha mengembalikan Badik Buntungmu, kalau kau kalah sudah jangan cerewet lagi!”
Thian-hi berpaling ke arah Su Cin, melihat orang tidak membuka suara, lalu ia mengawasi pula ke arah Su Tat-jin, pelan-pelan baru ia berkata, “Begitupun baik, kita bertemu tiga hari kemudian!” Selesai berkata ia memutar tubuh terus berlari bagai terbang sekejap saja ia sudah menghilang.
Badik Buntung
01 |
0 comments:
Post a Comment