Join The Community

Premium WordPress Themes

Badik Buntung 03. Kakek Buntung Berambut Merah

Badik BuntungBADIK BUNTUNG

Karya: Chin Tung

Saduran: Gan K. H

03. Kakek Buntung Berambut Merah

Dalam pada itu, begitu melihat Badik Buntung meluncur tanpa pikir panjang serta melihat keadaan sekelilingnya Hun Thian-hi lantas melesat mengejar, syukur tangannya masih sempat meraih dan digenggamnya kencang, sementara itu badannya lantas meluncur turun. Tapi karena kabut sedemikian tebal pandangan menjadi gelap. Begitu tubuhnya meluncur turun terasa badannya kok terus melayang jatuh tanpa menyentuh tanah, keruan hatinya menjadi gugup, tanpa merasa ia lantas menjerit dengan kaget!

Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan tubuh untuk jumpalitan mumbul ke atas ngarai, tapi pandangan sekelilingnya remang-remang semuanya serba putih gelap. Begitulah badannya terus melayang ke bawah, kini hatinya diliputi hawa amarah, sungguh tidak terkirakan olehnya baru pertama terjun ke gelanggang kericuhan dunia persilatan dirinya lantas masuk jebakan.

Samar-samar di depannya sana menyongsong dekat sebuah bayangan hitam besar, sekilas pandang saja Hun Thian-hi lantas tahu bahwa itulah sebatang pohon besar yang menjolor keluar dari batu-batu gunung di tengah kabut, keruan bukan kepalang girang hatinya. Sontak bangkit semangatnya tenaga dalamnya juga lantas bergairah keseluruh badan, cepat-cepat ia ulurkan tangan untuk meranggeh, ternyata usahanya tidak sia-sia dengan kencang ia kena menyekap sebatang pohon sehingga sesaat luncuran tubuhnya menjadi membal bergelantungan, baru saja hatinya kegirangan tak kira mendadak terdengar suara “krak!” dahan pohon terlalu kecil tak kuat menahan berat pantulan badannya, seketika badannya terjungkal pula ke bawah.

Hun Thian-hi terperanjat, nurani untuk tetap mempertahankan hidup masih menyadarkan pikirannya, sekuatnya ia mengendalikan badan dengan kesempatan dahan pohon patah dan meluncur jatuh, kedua tangannya kuat-kuat menekan ke bawah, sehingga tubuhnya lantas membal ke atas.

Dengan kencang ia berhasil sikap batu gunung untuk menahan badannya, suara gemuruh dari jatuhnya pohon besar tadi terus kumandang di bawah jurang sana, dengan saksama ia mendengarkan agak lama kemudian baru terdengar pohon besar itu jatuh menyentuh tanah.

Thian-hi menghela napas lega, hatinya bersyukur dan memanjatkan doa akan kebesaran hati Tuhan yang mulia. Jikalau pada batang pohon sebagai penangsang tubuhnya tadi, pasti dirinya sudah terbanting hancur lebur didasar jurang sana.

Sebentar ia mengheningkan cipta lalu angkat tangan mengamat-amati Badik Buntung di tangannya, terlihat olehnya Badik Buntung itu berkilau memancarkan cahaya hijau yang cemerlang, hawa dingin meresap tulang. Dengan hati-hati ia masukkan Badik Buntung ke dalam sarungnya, sejenak ia berpikir lalu pelan-pelan merambat turun ke dasar jurang.

Setelah susah payah menghabiskan banyak tenaga akhirnya ia berhasil mencapai dasar jurang, didapati bahwa dasar jurang ini merupakan sebuah lembah subur akan semak belukar banyak batu-batu gunung yang berserakan pula, disebelah sana malah kelihatan onggok demi onggok tulang-tulang putih manusia.

Dengan jijik dan penuh kelelahan Hun Thian-hi berjalan menyusuri pinggir jurang terus merambat maju ke arah kiri sana. Kira-kira ia berputar setengah lingkaran. Tiba-tiba di depan sana dilihatnya sebuah gua besar. Dari dalami gua besar ini terbaur keluar hawa amis yang memuakkan, diam-diam mencelos hati Hun Thian-hi, ia menjadi kuatir dan was-was kalau gua besar ini menjadi sarang binatang buas atau berbisa yang sangat ganas sekali, itu akan membuat dirinya berabe.

Karena kesangsiannya ini segera ia menghentikan langkahnya, baru saja ia hendak berputar tinggal pergi, mendadak dari dalam gua sana terdengar suara orang bertanya, “Siapa itu!”

Hun Thian-hi tersentak kaget, sungguh di luar sangkanya bahwa gua besar ini ternyata dihuni oleh manusia. Legalah hatinya, maka dengan tertawa lebar segera ia beranjak mendekati ke arah gua besar itu, ingin ia melihat orang macam apakah kiranya yang tinggal dalam gua berbau busuk ini!

Baru saja kakinya melangkah sampai di ambang gua, terdengar suara dengusan keras dari dalam, sejalur benang hitam terus melesat datang menerjang dirinya, Lagi-lagi Hun Thian-hi terperanjat dibuatnya, secara gerak reflek sebat sekali ia merogoh keluar Badik Buntung terus diayunkan keluar memapas maju.

Dimana sinar hijau berkelebat lewat bayangan hitam itu seketika putus menjadi dua terus terpental jatuh di atas tanah. Waktu ia menunduk ke bawah kiranya itulah seekor ular.

Berkat ketajaman matanya dengan cermat Hun Thian-hi memandang ke dalam, samar-samar terlihat olehnya di atas sebuah batu besar duduk bersila seorang tua, berambut panjang warna merah, demikian juga jenggotnya berwarna merah, sepasang sinar hijau bening dari sorot matanya menembus keluar dari aling-aling rambutnya yang awut-awutan menutupi mukanya, dengan seksama ia awasi Badik Buntung di tangan Hun Thian-hi. Di sekitar kakinya dimana ia duduk melingkar-lingkar banyak macam ular-ular aneh besar kecil.

Sinar mata hijau bening dari orang tua berambut merah beralih dari Badik Buntungnya kemuka Hun Thian-hi, biji matanya memancarkan rasa gusar dan kebencian yang meluap-luap.

Hun Thian-hi sendiri menjadi menjublek ditempatnya, hatinya tengah dirundung kecemasan.

Mendadak si orang tua berambut merah mendengus hidung, tubuhnya mendadak mumbul ke atas terus terbang maju dengan tetap bergaya duduk langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.

Bertambah kejut lagi hati Hun Thian-hi, orang tua berambut merah ini tanpa bergaya atau bergerak ternyata bisa mencelat tinggi terus meluruk datang, betapa tinggi kepandaiannya agaknya sudah mencapai Sia-ki-hwi-hing (Terbang Menghimpun Hawa), kepandaian hebat begitu rupa bukan saja dirinya bukan tandingan, seumpama suhunya sendiri Seruling Selatan berhadapan secara langsung juga takkan mungkin dapat menandinginya.

Tahu ia bahwa aksi orang tua berambut merah ini tentu mempunyai tujuan yang tertentu, cepat-cepat ia bergerak mundur ke belakang seraya berseru, “Nanti dulu!”

Pedulipun tidak akan seruan Hun Thian-hi ini, si orang tua berambut merah tetap melesat tiba.

Terpaksa Hun Thian-hi mengayun tangan kanan, dengan jurus Jian-hong-in-long Badik Buntungnya menyapu ke arah si orang tua berambut merah, Tampak si orang tua berambut merah mengebutkan lengan baju tangan kanan, kontan Hun Thian-hi merasa seluruh lengannya pegal, jalan darah pergelangan tangannya tertutuk, sudah tentu Badik Buntung tak kuasa dipegangnya lagi langsung jatuh ke atas tanah. Tangkas sekali orang tua berambut merah menyamber dengan tangan kiri meraih Badik Buntung itu. Sedang tangan kanan menjinjing tubuh Hun Thian-hi terus mencelat balik ke atas batu besar lagi. Dalam sejurus saja Hun Thian-hi teringkus oleh lawan. hatinya menjadi uring-uringan, dua jari tangan kirinya segera diulurkan untuk mencolok kedua biji mata si orang tua.

Tidak kalah lihai dan sebatnya tahu-tahu Badik Buntung sudah mengancam ditenggorokan Hun Thian-hi. Baru sekarang Hun Thian-hi merasa bagaimana juga dirinya bukan menjadi tandingan si orang tua berambut merah ini, sudah terang kalah main licik pun tak unggulan. Akhirnya ia tertawa lebar sambil menurunkan tangan kirinya.

Dengan tajam si orang tua berambut merah memincingkan mata memandangi mukanya, sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kejut2 aneh, sejenak kemudian ia me buka suara, “Apa yang kau tertawakan?”

Dengan pandangan aneh Hun Thian-hi juga pandang si orang tua berambut merah ini, sahutnya, “Apa? Tak boleh tertawa?”

Si orang tua merenung sebentar. lalu katanya, “Badik Buntung berada di tanganmu, kau tahu cara bagaimana aku akan menghadapimu?”

Sebetulnya tengkuk Hun Thian-hi sudah merinding melihat sorot pandangan si orang tua yang bengis mengandung hawa membunuh, tapi mulutnya tetap bandel, “Itu kan urusanmu, buat apa aku main tebak?”

Orang-tua berambut merah mendehem keras-keras, ujarnya, “Kau akan kujadikan umpan ular, supaya kau mati pelan-pelan.” — sambil berkata sinar matanya berkilat-kilat lalu sambungnya lagi, “Tapi jika kau minta ampun padaku, aku boleh memperingan hukumanmu!”

Hun Thian-hi tertawa dengan angkuhnya, ujarnya, “Minta ampun? Selamanya aku belum pernah minta ampun kepada siapapun juga!”

Pandangan si orang tua berambut merah berubah beringas penuh kemarahan, katanya sesaat kemudian, “Apa betul?”

Terasa oleh Hun Thian-hi kelima jari si orang tua berambut merah mencengkram semakin kencang, sampai pergelangan tangan kanannya sakit bukan main seperti tulang-tulangnya hancur luluh. Tapi akhirnya ia tetap bersikap keras kepala dan adem-ajem malah dengan congkaknya ia tersenyum simpul seperti tidak merasakan sakit sedikit pun.

Akhirnya pandangan si orang tua berambut merah menjadi guram putus asa, mulutnya terdengar menggumam, “Bocah yang keras kepala!” — lalu ia menundukkan kepala, sesaat kemudian ia angkat dagu memandang muka Hun Thian-hi, wajahnya mengulum senyum sadu.

Dengan pancaran sinar yang bersifat congkak dan berani Thian-hi bersiap menerima siksaan kedua dari si orang tua berambut merah.

Ternyata pelan-pelan si orang tua berambut merah melepas pergelangan tangan Thian-hi. Sekilas dilihatnya Seruling Batu Pualam yang tergantung di pinggangnya, hidungnya lantas mendengus hina, pancaran matanya sekarang berganti penuh kemarahan dan bermusuhan.

Hun Thian-hi tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh si orang tua berambut merah, tapi dari sinar matanya yang penuh kebencian dan bermusuhan ini tak perlu dijelaskan lagi, hatinya sudah membadek (menebak) cara bagaimana si orang tua rambut merah ini hendak menjadikan dirinya bulan-bulanan. Apakah mungkin aku kuat menerima siksaan berat demikian, ia membatin.

Setelah berkilat-kilat sebentar si orang tua berambut merah berkata, “Cara bagaimana kau turun kemari?”

Hun Thian-hi tercengang, hatinya menjadi heran kenapa si orang tua berbalik menanyakan hal ini, sejenak ia ragu-ragu dan curiga, akhirnya ia tertawa tawar, ujarnya, “Kau tak perlu tahu.”

“Karena digasak oleh musuh besarmu?” tanya si orang tua rambut merah tak acuh.

Thian-hi semakin heran akan perubahan sikap si orang tua yang menjadi sabar dan kalem, sejenak ia tatap mata orang tanpa membuka suara.

Si orang tua rambut merah tertawa aneh, ujarnya lagi, “Akupun digasak terjungkal kesini oleh musuhku, untung tidak sampai menemui ajal, sayang kedua kikiku ini buntung, jadi tak berdaya pula untuk dapat keluar dari tempat terkurung ini!”

Sejenak ia berhenti, matanya memandang Hun Thian-hi, melihat orang tetap membisu lalu ia menyambung lagi, “Aneh, dengan bekal kepandaianmu ini, jatuh dari ngarai curam sedemikian tinggi tidak mati ini sudah cukup untung dan besar rejekimu, tapi kenapa sedikit luka saja tidak kau derita?”

Hun Thian-hi tertawa, lebar dengan takabur, katanya, “Kau sangka aku digasak jatuh kesini? Tidak, hanya karena kebodohankulah sehingga aku tertipu jatuh kemari!”

Si orang tua berambut merah menjengek dingin; ujarnya, “Jangan kau terlalu membanggakan dirimu sendiri. Kena tipu? Apakah kau tidak merasa malu?”

Kontan mendidih darah Hun Thian-hi bagai dibakar, raut muka merah padam saking menahan gusar, namun mulutnya tetap terkancing tiada alasan untuk main debat.

Kata orang tua rambut merah lagi, “Apa kau ingin naik ke atas pula?”

Hun Thian-hi menjadi melenggong, pikirnya, “apakah orang tua rambut merah ini sudah merubah maksudnya semula? Kenapa nada perkataannya berubah begitu besar? Karena berpikir demikian ia lantas tertawa riang, katanya, “Masa kau sendiri tidak ingin naik?”

Si orang tua menengadah memandang puncak gua, tiba-tiba ia tertawa aneh lagi, katanya, “Ya, benar-benar. Aku tidak ingin naik, tapi aku dapat membantumu naik!”

Kini berbalik Hun Thian-hi mengerut kening, hatinya was-was, hidungnya mendengus tanpa bicara.

Orang tua itu menepekur sebentar lalu berkata lagi, “Tapi setelah kau naik ke atas, dengan bekal ilmu silatmu sekarang, apa pula yang dapat kau kerjakan?” habis berkata ia tertawa geli penuh nada menghina.

Hun Thian-hi pun tidak mau kalah congkaknya, debatnya, “Walaupun ilmu silatku sekarang belum cukup tinggi tapi usiaku masih muda, kau sendiri kau sudah tua bangka dan reyot, tinggal menunggu ajal saja masa kau tahu kalau kepandaianku tak bisa menandingi kau?”

Terpancar rasa bangga dan puas dalam pandangan mata si orang tua rambut merah, katanya kemudian, “Punya pambek! Tapi kalau tidak berjodoh juga akan sia-sia belaka.”

Lama, dan, lama sekali Hun Thian-hi mengamat-amati si orang tua berambut merah tanpa membuka suara. Dia merasa heran kenapa si orang tua rambut merah ini tidak marah lagi, dan yang lebih menbuatnya tak habis mengerti kenapa orang tua ini tidak menyinggung lagi tentang Badik Buntung dan Seruling Batu Pualamnya? Kedua benda pusaka ini hakikatnya seperti mempunyai sesuatu hubungan erat dengan orang tua renta aneh ini, kenapa ia tidak menanyakan perihal kedua benda ini lebih lanjut?

Ujar si orang tua, “Aku dapat mengangkatmu menjadi seorang tokoh silat nomor satu di seluruh kolong langit ini!”

Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa menunjukkan sesuatu reaksi.

“Jangan kau mengejek,” ujar si orang tua, “Ketahuilah jika dulu aku jadi melancarkan jurus tunggalku, yang terjatuh ke dalam jurang sini tentu bukan aku. sebaliknya adalah mereka berdua.”

“Nah, kenapa tidak kau lancarkan?” cemooh Hun Thian-hi.

Si orang tua terkekeh dua kali, ujarnya, “Mungkin kelak kau akan tahu sendiri!”

Hun Thian-hi menebak-nebak dalam hati, tapi ia tidak mau banyak tanya lagi.

Si orang tua angkat tangan kirinya yang menyekal Badik Buntung, katanya, “Badik pusaka tiada tandingan di kolong langit ini, ditambah dengan jurus tipu ilmuku yang kunamakan Jan-thian-ciat-te (Pencacat Langit Pelenyap Buana), kiranya cukup untuk menjagoi di seluruh dunia persilatan!” Lalu ia tertawa nyengir penuh misterius, tiba-tiba ia lempar Badik Buntung itu ke arah Hun Thian-hi.

Dengan gugup Hun Thian-hi menampani Badik Buntung itu, hatinya penuh tanda tanya….

Setelah mengerling ke arah Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul si orang tua mengambil sebatang pedang dari bawah batu, katanya, “Lihat dengan cermat jurusku Jan-thian-ciat-te ini!”

Setelah berkata tubuhnya lantas bergerak melejit tinggi, berbareng pedang panjangnya melingkar terayun membuat setengah bundaran di tengah udara, seketika bayangan sinar pedang berkilau laksana bentuk gunung, berputar dan bergerak gesit laksana tebaran bintang-bintang di langit, hawa pedang berkembang dingin membeku laksana ular emas melingkar yang menari menjadi gambaran abstrak di tengah udara.

Lima tombak sekelilingnya dilingkupi samberan deras hawa pedang, terdengar suara “plak-plok” ledakan lirih di tengah udara berulang kali sampai memekakkan telinga!

Hun Thian-hi sendiri juga terdesak mundur keterjang angin lesus yang berputar cepat sampai terhujung beberapa tindak, diam-diam hatinya mencelos, batinnya dengan kehebatan ilmu pedang yang tiada taranya ini, ucapan si orang tua berambut merah memang bukan omong kosong belaka.

Si orang tua menarik permainan pedangnya, sekilas ia melirik ke arah Hun Thian-hi, air mukanya lagi-lagi mengunjuk senyum misterius penuh arti, tanpa bertanya dulu pada Hun Thian-hi secara tekun dan pelan-pelan ia terangkan intisari pelajaran jurus tipu Jan-thian-ciat-te ini kepada Hun Thian-hi.

Sambil memberi keterangan dengan pelan secara terperinci sekali lagi ia praktekkan secara lamban supaya dapat diselami oleh Hun Thian-hi. Dengan tekun dan cermat Hun Thian-hi berdiri diam saja mendengarkan.

Terdengar orang tua rambut merah bertanya, “Masih adakah yang belum kau paham?”

Hun Thian-hi mandah tertawa-tawa saja, Badik Buntung di tangan kanannya tiba-tiba bergerak sekitar tubuhnya menjadi terang benderang disinari oleh cermerlangnya cahaya hijau pupus yang menyilaukan mata….

Terunjuk sedikit perubahan pada air muka si orang tua rambut merah, sekilas biji matanya memancarkan hawa membunuh yang menyala-nyala, tapi hanya sebentar saja lantas hilang lagi. Sungguh tidak terduga olehnya bahwa Hun Thian-hi sedemikian berbakat dan pintar. Hampir-hampir ia tidak berani percaya akan penglihatannya sendiri.

Sambil memasukkan Badik Buntung ke dalam kerangkanya, Hun Thian-hi berkata tawar, “Apakah begitu cara mainnya?”

Orang tua rambut merah mendengus dongkol, matanya berputar lalu katanya, “Sungguh tak kuduga ternyata kau berbakat benar-benar, mengandal jurus tipu pedang tadi ditambah dengan Badik Buntungmu itu, aku berani pastikan di seluruh kolong langit ini kau tiada tandingan. Kau dapat turun dengan selamat menggunakan Badik Buntung itu pasti juga kau dapat naik, bolehlah kau segera berangkat!”

Hun Thian-hi menjadi bimbang, katanya kepada orang tua rambut merah, “Bukankah katamu semula hendak menjadikan tubuhku sebagai umpan ular, kenapa sekarang kau lepas aku?”

Lagi-lagi orang tua rambut merah menampilkan mimik wajahnya yang aneh dan lucu, serunya sambil gelak tawa, “Kelak kau akan tahu”

“Kalau kau juga ingin keluar, mari kubantu kau!” demikian ajak Hun Thian-hi.

Orang tua aneh itu tercengang, matanya memancarkan cahaya aneh, dengan tajam ia pandang muka Hun Thian-hi, sebentar kemudian baru ia membuka mulut, “Kalau aku mau keluar, siang-siang aku sudah manjat ke atas, buat apa kau harus bantu aku!”

Hati Hun Thian-hi diliputi pertanyaan yang tak terjawab, heran ia kenapa orang tua ini tidak mau diajak naik ke atas, diam-diam ia menimang, pernah Suhunya memberitahu bahwa tokoh silat kosen di seluruh kolong langit yang pernah diceritakan itu agaknya tiada seorang seperti orang tua berambut merah ini.

Sementara itu, pandangan si orang tua juga teralih ke kempat lain. Hun Thian-hi coba-coba hendak mengorek keterangan, “Tapi kau mengajari jurus lihai itu kepadaku, aku tidak sudi terima budimu secara gratis, adakah sesuatu urusanmu yang perlu kulaksanakan?”

Orang tua rambut merah berpaling, ujarnya, “Kau merasa hutang budi? Karena aku mengajar sejurus ilmu pedang itu?” sampai disini ia bergelak tawa sekian lamanya, lalu sambungnya, “Kenapa aku menurunkan sejurus ilmu pedangku ini kelak kau akan maklum sendiri, sekarang silakan kau pergi!”

Sekian lama Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu dan tak enak hati, akhirnya menjadi kewalahan katanya, “Kalau begitu baiklah aku pergi!” sambil berkata ia putar tubuh terus keluar.

Memandang punggung Hun Thian-hi orang tua rambut merah menyengir seram dan menyeringai dingin, seolah-olah ia sudah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang sangat menyenangkan hatinya.

Sampai di ambang mulut gua, mendadak Hun Thian-hi memutar badan dan bertanya, “Tapi siapakah namamu?”

Berubah airmuka orang tua rambut merah, jawabnya mendengus tak sabaran, “Dalam kelanamu di Bulim kau akan tahu siapa aku ini. Sudahlah berangkat jangan cerewet!”

Hun Thian-hi memutar tubuh terus keluar gua, tak jauh kemudian ia duduk bersila memusatkan pikiran menghimpun tenaga, lalu dikeluarkan Badik Buntung, dengan senjata ampuh inilah ia selangkah demi selangkah merambat naik ke atas tebing yang curam itu.

 

Badik Buntung

01 | 02 | 03 | 

0 comments: