Join The Community

Premium WordPress Themes

Bajak Laut Kertapati 04

Bajak Laut Kertapati | Bagian 4

“Dengar, kawan-kawan. Kalian harap lekas membawa barang-barang ini ke tempat kawan-kawan kita yang lain. Adakah persiapan untuk penyerbuan kota jepara yang akan kulalukakn pada besok malam! Kerahkan semua kawan-kawan, bahkan tambahan balabantuan dari kampung-kampung yang ebrdekatan. Kita harus memberi pukulan keras dan mendatangkan hasil yang besar kali ini agar cepat dapat kita kirimkan ke Mataram! Kalian boleh berkumpul di gerbang berat, menanti tanda yang akan kuberi dengan panah api.“

“Kau sendiri bagaiamana akan dapat masuk ke Jepara? Wajahmu telah dikenal dan setelah perahu Tumenggung Basirudin itu tiba di Jepara, tentu penjagaan akan diperkuat!“ kata seorang kawannya.

“Mudah saja, aku sudah mempunyai “kunci masuk“ yang merupakan seorang gadis cantik.“

Kawan-kawannya memandang heran, akan tetapi kemudian mereka dapat menduga, maka terdengar suara ketawa disana-sini. Kertapati lalu mengatur siasat penyerbuan itu dan memberi pesan kepada semua kawannya bagaimana harus menyerbu Jepara pada besok malam. Kemudian ia berkata.

“Jangan lupa, kawan-kawan, karena mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengulang pesanan ini. Kelima ahli panah kita, Harjo, Wiro Mangun, Dibyo dan Kartiko, harus menyerang rumah penginapan Dolleman untuk menarik pertahanan kota di tempat itu. Serang sambil berpencar, tipu mereka dengan panah-panah kembar, dan jangan lupa bawa karung-karung pasir untuk tempat berlindung mereka.“

Setelah memberi pesan dengan teliti sekali, ia lalu berpaling kepaad seorang anggota bajak yang sudah agak tua, bertanya, “ Dirun, kau bawa perabot-perabotmu?“

“Ada, ada dalam saku bajuku, “ jawab orang itu.

“Nah, mari kaurobah mukaku, jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua, cukup saja untuk menarik kepercayaan seorang gadis tanpa menimbulkan jijik. Ia duduk di atas pasir dan Dirun mulai “merobah“ muka kepala bajak muda itu dengan jari-jari yang amat cekatan. Pekerjaan ini dilakukan hanya di bawah penerangan beberapa batang obor yang mereka nyalakan.

Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampung yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali. Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya! Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini.

Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu ….. terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya!

Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi …… mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku, siapa yang akan meyangka bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa ….. ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam! Aku benci padanya ….. benci! Ia menangis lagi.

Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.

Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang samapi bawah lutut, jga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.

Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia menjadi setengah tua berdiri bertindak menghampiri ia berkata.

“Pak tua ….. kau tolonglah aku ….“

Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.

“ Ya Jagat Dewa Batara ….!“ ia memuji. “Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak? Hai iblis! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu!“ Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa!

Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.

“Pak tua …… atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?“ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.

“ Bukan kuntilanak ……? Maaf …… kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?“ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.

“ Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau , pak? Apakah namamu Pak Sumpil?“

Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata. “ Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil (keong kecil), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri?“

Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ.

“ Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu!“

Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “ Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng, lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga. “

Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk , ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.

“ Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang ebrnama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?“

“ Bohong! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah denagn seorang puteri Adipati? Menggelikan! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan!“

Kakek itu nampak kaget. “Apa?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.“

“Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya?“

“Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning?“

Winarti menggeleng kepalanya. “ Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah!“

“ Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta …… “ kakek itu berkata perlahan, “ diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu. “

“ Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak!“

Kakek itu tertawa bergelak. “ Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan. “

“ Menurut pendapatku, pak, seorang gadus seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati!“

Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari! Gadis itu sama sekali tidka tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.

Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera datang menjemput puterinya Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.

Winarti menuturkan jasa Pak Sumpit yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian.

Pak Sumpit mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpit menyembah dan mengajukan permohonan.

“ Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota. “

Semua orang tertawa mendengar ini. “ Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang, “ jawab Tumenggung Basirudin ramah.

Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung.

Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara.

Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidka melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil. Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.

Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.

“ Bagus, Jiman!“ Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “ perisai “ atau “ kunci masuk “ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.

Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.

Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga. Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.

“ He, pak tua!“ Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “ Kau hendak pergi ke mana?“

Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata.

“ Aku …….. adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alagkah indahnya …… “ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.

Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu. Akan tetapi, alagkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tanagn itu kosong tak terisi apa-apa! Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali.

Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan. Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.

Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing!

Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam! Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api!

Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut. Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu!

“Setan jahanam!“ seru Dolleman marah sekali. “Bagaimana mereka dapat masuk ke kota?“

Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga!

Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa.

Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.

“Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?“ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.

Kertapati setelah berhasil mengabil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.

“Wiji! Kau terluka? Bagaimana kawan-kawan?“

“Celaka, Kertapati! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan!“ Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan?

Dengan depat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu. Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan!

“Keparat!“ seru Kertapati. “Beri tanda agar semua segera berlari keluar!“ Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna!

Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!

“Kertapati!“ terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.

“Diam dan jangan bergerak!“ Kertapati mengancam. “Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar!“ Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya. Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak.

“Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?“ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya!

Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauhm barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari!

Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini!

***

Bersambung ke Bagian 5

Nomor Sebelumnya: 01 | 02 | 03 |

0 comments: