Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
3. Orang Ketiga
Li Tan menarik napas panjang, berusaha menahan hawa amarahnya yang meledak, kemudian ujarnya, “Adikku, dari tiga puluh enam cabang darat dan tujuh puluh dua cabang air, kalau bukan tunduk di bawah perintah So-kongcu, tentu tunduk kepada Lui-tongcu, kita berdua meski bisa menancapkan kaki di wilayah seputar telaga Se-ouw, tapi terhitung jagoan macam apa di mata orang banyak? Saudara Li, saudara sekalian yang hadir, mohon maaf yang sebesar-besarnya atas perkataan adikku tadi, tolong masukkan perkataan tadi melalui telinga kiri dan kelu-arkan lewat telinga kanan, jangan sebar luaskan di depan umum. Untuk itu aku orang she Li pasti akan membalas budi kebaikan sahabat sekalian di kemudian hari.”
“Lotoa tak usah kuatir,” sahut Sim-jit cepat, “kami semua malah tidak mendengar terlalu jelas apa yang telah dikatakan Cici kedua tadi.”
“Benar, benar,” sahut rekan lainnya, “kami memang tak mendengar jelas apa yang Cici katakan tadi.”
Setelah memutar biji matanya, Li Ya ikut bicara, katanya, “Perkataan semacam ini memang tidak sepantasnya diutarakan secara terbuka.”
Rupanya ia telah melihat sorot mata semua yang hadir telah tertuju ke wajahnya, sadar bahwa dirinya merupakan satu-satunya ‘orang luar’ di tempat itu, maka untuk menghindari kecurigaan orang, dia mesti menunjukkan keseriusannya menjaga rahasia. Dia pun tahu kawanan manusia yang hadir dalam ruangan saat ini merupakan jago kawakan dunia persilatan, mereka terhitung manusia yang bisa membunuh tanpa berkedip, bila sampai menunjukkan niat untuk berkhianat, niscaya jiwanya segera akan terancam.
Maka setelah menarik napas panjang, kembali ujarnya dengan wajah serius, “Untuk membuktikan ketulusan hatiku, baiklah, biar aku bersumpah di hadapan Thian, jika aku Li Ya sampai membocorkan ucapan Ji-nio sepatah kata saja, biarlah aku orang she Li mati secara mengenaskan di pinggir jalan bagaikan tikus selokan yang mati digebuk orang ....”
Tampaknya dia masih ingin mengucapkan sumpah yang lebih berat lagi, tapi Li Ciauhong sudah tak sanggup menahan diri, selanya, “Kau tak usah meneruskan sumpahmu, kau memang si tikus jalanan, setiap orang akan menggebukmu sampai mampus.”
“Ah, Ji-nio suka bergurau,” sahut Li Ya tersipu-sipu, namun dalam hati ia merasa lega sekali.
Setelah menghela napas panjang, kembali Li Ciau-hong bertanya, “Kakak, benarkah kita akan berbuat jahat terus?”
Li Tan tak sanggup mengendalikan emosinya lagi, sambil menggebrak meja bentaknya gusar, “Tutup mulutmu, kau tidak kuatir pihak pusat akan menurunkan perintah pembunuhan? Kau boleh saja bosan hidup, tapi jangan sampai menyusahkan saudara kita yang lain!”
Baru saja Li Ciau-hong ingin membantah lagi, tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang dua kali suara lolongan anjing yang amat keras. Berubah hebat paras muka kawanan jago yang ada dalam ruangan, tapi setelah diamati sejenak, dengan wajah berseri Li Ya berseru, “Ah, jangan panik, orang sendiri.”
Li Tan berkerut kening, hawa pembunuhan memancar keluar dari sorot matanya. “Aku rasa dia datang dengan membawa teman,” katanya.
“Benar,” sahut Li Ya sambil tertawa paksa, “kali ini yang menjadi komandan adalah Ku-toacongkoan dari pesanggrahan Yan-mo-cay, ia datang bersama Ting-tauke dari grup akrobatik.”
Sementara itu terdengar suara dua kali tepukan tangan dari bawah loteng.
“Apa? Mereka juga ikut hadir?” seru Li Ciau-hong.
“Aku telah menyebar mata-mata di luar sana, tebakanku tak bakal keliru.”
Mendadak terdengar lima kali suara ketukan pintu disusul dengan terbukanya pintu ruangan. Ketika Li Ya membukakan pintu, masuklah dua orang diikuti dua orang di sebelah kiri dan kanan, mereka menempel terus di belakang kedua orang itu secara ketat, seakan takut ada orang yang akan mencopet duit mereka.
Empat orang yang mengintil di belakang, dua di antaranya berdandan pelajar, tapi sorot matanya bukan kelembutan, namun penuh dengan hawa pembunuhan. Kedua orang ini melindungi seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju halus, lelaki itu berkumis tipis dengan wajah cerah, persis seperti seorang saudagar.
Di sisinya mengikut seorang pemuda berwajah bulat telur dengan kulit badan yang putih bersih, di belakang pemuda ini mengikut pula dua orang lelaki yang menempel terus bagaikan bayangan setan, di sisi ikat pinggangnya tergantung sebuah kantung kulit ikan, siapa pun yang melihatnya segera akan tahu kalau mereka berdua adalah jago menggunakan senjata rahasia.
Begitu bertemu dua bersaudara Li, kedua orang itu segera menjura seraya menyapa, “Li-lotoa, Ji-moaycu, baik-baikkah selama ini?”
Dua bersaudara Li lekas menyahut dengan beberapa kata sungkan. Menanti Li Ya mempersilakan tamunya duduk, Li Tan baru berkata, “Kelihatannya hari ini kantor pusat akan mengadakan pertarungan akbar, kalau tidak, masa sampai merepotkan ketua pesanggrahan Yan-mo-cay, Ku Han-lim serta Toa-tauke dari kelompok akrobatik, Ting Siu-hok.”
“Mana, mana ...” sahut Ku Han-lim yang berdandan seperti saudagar itu sembari menjura, “aku tak lebih hanya pemeran pembantu, justru saudara Li, Ji-moaycu dan Ting-lote yang merupakan orang paling top dalam perkumpulan kita.”
“Dalam persoalan malam ini, ada baiknya kita bersikap lebih hati-hati,” sela Ting Siu-hok Tauke dari kelompok akrobatik tanpa basa-basi, “baru saja aku mendapat laporan, katanya Si Say-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau juga telah muncul di wilayah seputar sini.”
“Ah, ternyata memang dia!” seru Li Tan bersaudara serentak.
“Jadi kalian pun telah bersua dengan mereka?”
“Benar,” kata Li Ciau-hong, “tadi ketika kami sedang bebenah untuk balik kemari, di tengah jalan kami telah bertemu dengan seseorang, orang itu mirip sekali dengan manusia tangguh yang kau maksudkan!”
Senyuman yang semula masih menghias bibir Ku Han-lim, kini lenyap seketika, gumamnya, “Si Say-sin ... Si Say-sin ... jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sampai menurunkan Malaikat Sakti dari Langit Barat, urusan jadi sedikit berabe, tidak gampang buat kita untuk turun tangan.”
“Ehmm, jika Si Say-sin benar-benar sudah datang, berarti kasus pembunuhan terhadap kedua belas orang opas di lorong belakang rumah keluarga Han siang tadi kemungkinan besar adalah perbuatannya,” kata Ting Siu-hok murung, biar agak masgul namun nada suaranya masih terdengar lembut dan jelas.
“Dua belas lembar nyawa roboh berserakan hanya dalam sekali tebasan, kungfu semacam itu memang menakutkan, seolah dia sedang merontokkan dedaunan saja.”
“Hmmm, tapi kita semua bukan bangsa dedaunan,” de-ngus Li Tan.
“Sekalipun bukan dedaunan, rasanya juga tak selisih jauh,” sambung Ting Siu-hong hambar.
“Apa maksud perkataanmu itu?” teriak Li Tan sewot.
“Kalau cuma untuk menghadapi kita beberapa orang, rasanya tak perlu merepotkan Malaikat Sakti dari Langit Barat!”
“Lalu kedatangannya untuk menghadapi siapa?” tanya Li Ciau-hong.
“Aku tidak tahu, aku hanya tahu perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang bertarung ketat melawan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena itu ada seseorang yang menyusul kemari, khusus untuk menghadapi Si Say-sin.”
“Tio Thiat-leng, Tongcu kedua belas maksudmu?” tanya Li Tan kaget.
Ting Siu-hok menggeleng.
“Bukan, bukan dia, tapi Tongcu kesembilan, Ho Tong!”
“Ho-kiutongcu?” dua bersaudara Li menjerit serentak.
“Benar, malah aku dengar selain dia datang pula dua orang yang lain, Tio Thiat-leng dan ....”
“Siapa orang kedua?”
Belum sempat pertanyaan itu dijawab, dari luar ruangan kembali terdengar suara gonggongan anjing, kali ini suara gonggongannya jauh lebih keras dan nyaring. Paras muka semua orang yang hadir dalam ruangan segera berubah makin serius, seakan-akan sedang menghadapi datangnya serangan musuh tangguh.
“Rasanya orang-orang pusat yang datang,” bisik Li Tan sambil bangkit berdiri untuk membukakan pintu.
“Tunggu, belum tentu mereka,” cegah Ting Siu-hok.
Sejak awal, Li Tan sudah merasa tak senang dengan orang ini, tapi dia enggan mengumbar amarahnya karena orang-orang Lak-hun-poan-tong segera akan tiba, karena itu dia hanya melotot sekejap ke arahnya dengan perasaan mendongkol.
“Aku pun mempunyai mata-mata di sekitar sini,” kata Ting Siu-hok kembali. Dari kejauhan terdengar suara katak berkumandang, begitu mendengar suara itu, Ting Siu-hok baru berkata dengan perasaan lega, “Ah, ternyata memang orang kita yang datang.”
Ia bangkit berdiri siap membukakan pintu, sikapnya bahkan sangat menghormat, jauh melebihi sikap Li Tan tadi.
Mendadak Ku Han-lim merentangkan tangannya menghalangi. Dua orang pelajar yang berada di belakangnya segera menyelinap ke depan jendela, membuka daun jendela itu kemudian menyalakan korek api dan diayunkan beberapa kali, tak lama kemudian dari balik kegelapan di kejauhan sana melintas juga cahaya api balasan.
“Ehmm, memang benar orang kita yang datang,” kata Ku Han-lim sambil mengangguk.
“Hmmm!” Li Tan mendengus dingin, “tampaknya memang Ku-toacongkoan dan Ting-tauke punya banyak mata-mata di sini.”
“Ah, mana, mana ... oleh karena orang yang akan datang malam ini adalah utusan dari kantor pusat, mau tak mau kita mesti bertindak lebih hati-hati.”
Li Tan menarik napas panjang berusaha menenangkan hatinya, kemudian tanyanya, “Tadi kau menyebut ada tiga orang yang akan datang, siapa orang ketiga itu?”
“Kemungkinan besar adalah ....” belum selesai Ting Siu-hok menjawab, dari bawah loteng kembali terdengar suara tepukan tangan, suara tepukan itu muncul sangat mendadak sehingga bukan saja membuat semua orang keheranan, bahkan Ong Siau-sik yang sedang bersembunyi dalam almari pun dibuat tercengang.
Sebetulnya tujuan kedatangannya ke sana adalah untuk mencari tahu masalah manusia-manusia cacad itu, di luar dugaan, bukan saja ia telah mendengar satu kejadian besar yang bakal terjadi dalam dunia persilatan, bahkan manusia tersohor macam Tio Thiat-leng dan Ho Tong pun sebentar lagi akan muncul di depan mata.
Dalam pada itu dari luar pintu kembali terdengar lima kali suara ketukan pintu, ketukan itu sebentar perlahan sebentar cepat dan sangat tidak beraturan. Li Tan bersaudara, Ku Han-lim maupun Ting Siu-hok sekalian serentak melompat bangun sambil berdiri di depan pintu, sedang pintu kamar dibuka oleh Li Ya.
Pintu telah terbuka lebar, namun tak nampak seorang pun.
“Aneh, kenapa tak ada orang ....” gumam Li Ya keheranan.
Ong Siau-sik mencoba mengintip keluar lewat celah almari, ia lihat di antara goyangan cahaya lilin tahu-tahu di dalam kamar telah bertambah dengan tiga sosok manusia, mereka melayang masuk lewat jendela dengan gerakan yang amat enteng, cepat dan sama sekali tidak menimbulkan suara. Tiga orang manusia.
Orang pertama adalah seorang kakek berkepala botak, alis matanya keperak-perakan dengan jenggot berwarna putih, sepasang tangannya disembunyikan di balik pakaian, seolah sedang memegang benda mestika yang tak ingin diperlihatkan kepada orang lain.
Orang kedua adalah seorang lelaki sedingin dan sebeku baja, ia mempunyai wajah persegi empat dengan perawakan kotak, bahkan tangannya pun berbentuk segi empat, ia mirip sekali dengan sebuah kotak. Sebuah kotak baja!
Orang ketiga, begitu masuk ke dalam ruangan, sorot matanya dengan lagak sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah tempat persembunyian Ong Siau-sik, kebetulan anak muda itupun sedang menatap ke arahnya sehingga sorot mata mereka saling beradu. Ong Siau-sik segera merasakan hatinya bergetar keras, bukankah orang ini adalah lelaki yang dijumpainya siang tadi? Lelaki yang berdiri di lapangan sambil mendongakkan kepala memandang langit?
Saat ini tentu saja ia tidak memandang ke arah langit. Yang dia awasi kini adalah cahaya lilin. Cahaya lilin berkilat di balik sorot matanya, membuat sorot mata orang itu bertambah terang, bertambah cemerlang.
Begitu badannya berdiri dalam ruangan, seluruh cahaya lilin seakan hanya khusus menerangi tubuhnya, namun seakan juga cahaya itu tak mampu menerangi pakaiannya. Siapakah orang ini?
Dalam pada itu seluruh jago yang ada dalam ruangan telah mengetahui kemunculan ketiga orang itu, serentak mereka maju sambil menyapa.
“Tio-tongcu!”
“Ho-tongcu!”
Tak seorang pun yang menyapa orang ketiga, karena memang tak ada yang tahu siapakah orang itu. Orang itupun berdiri santai, tidak menyapa juga tidak menggubris, seakan dalam ruangan hanya ada dia seorang.
Perlahan-lahan Tio Thiat-leng mengambil tempat duduk, kemudian dengan suara yang parau basah ujarnya, “Hari ini kantor pusat sengaja mengumpulkan kalian di tempat ini, karena ada tiga persoalan yang hendak disampaikan, kalian ditugaskan untuk menyelesaikan tiga persoalan.”
“Silakan Tongcu memberi perintah,” sahut Li Tan sekalian dengan hormat.
“Li Tan,” ujar Tio Thiat-leng, “bukankah kusuruh kau menangkap semua orang yang namanya tercantum dalam daftar dan mengubah bentuk tubuh mereka? Apakah telah kau lakukan?”
“Dalam daftar tercatat empat puluh dua orang, sembilan belas orang di antaranya sudah berhasil diculik, ada yang telah dikebiri, ada yang telah dipotong, secara garis besar kami telah melaksanakan sesuai dengan perintah Tongcu dan mengubah mereka jadi manusia cebol atau makhluk jelek lainnya, jangankan orang tua mereka tak bakal mengenal lagi, bahkan mereka sendiri pun kujamin tak akan kenal dengan diri sendiri.”
“Bagus sekali, apakah putra tunggal Bun Sin-hu juga telah berhasil ditangkap?”
“Telah kami tangkap,” Li Tan segera mengangguk.
“Kalau begitu kirim utusan dan katakan kepada orang she Bun itu, jika dia masih saja condong membantu pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, maka kami akan menjadikan putranya sebagai anggota topeng monyet untuk mencari duit dalam rombongan akrobatikmu dan menjadi tontonan orang banyak!”
“Cari duit tidak penting, aku hanya tahu melaksanakan perintah dari Tongcu,” lekas Li Tan menimpali.
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
“Hmm, mencari duit pun merupakan urusan penting, bukankah untuk menambah ragam permainan dalam tontonanmu, kau pun sering mencelupkan tubuh orang ke dalam air panas agar melepuh, bukankah kalian pun sering mengikat tangan dan kaki mereka jadi satu, atau sengaja mematahkan tulang pinggang mereka agar tak bisa berdiri, lalu menjuluki mereka sebagai si bocah plastik, si manusia bola, tujuannya hanya mencari simpati orang, agar penonton melemparkan lebih banyak uang sedekah? Aku sudah kelewat banyak menyaksikan permainan busuk macam begitu! Tapi, tahukah kau, kenapa aku menyuruh kau yang melaksanakan tugas ini?”
“Silakan Tongcu menjelaskan.”
“Tadi adalah persoalan pertama yang ingin kutanyakan kepadamu, dan sekarang aku beritahukan persoalan pertama yakni soal hukuman peringatan!”
Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah setiap orang yang hadir dengan pandangan cepat, kemudian melanjut-kan, “Dulu, orang tua bocah-bocah itu kebanyakan adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang, lantaran perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau mendapat dukungan dari pemerintah, mereka beramai-ramai menyeberang dan mendukung pihak lawan, itulah sebabnya sebelum kami turun tangan menghabisi orang-orang itu, kami ingin mereka menyaksikan dulu bagaimana anggota keluarganya yang paling disayang telah berubah jadi manusia tak mirip manusia, setan tak mirip setan, agar setelah kita kembalikan mereka di kemudian hari, orang-orang itu biar merasakan penyesalan yang bukan kepalang.”
“Apalagi manusia yang bernama Bun Sin-hu itu, hmm, hanya lantaran sedikit top posisinya di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, dia berani menangkap orang-orang kita. Hmmm, sekarang putra tunggalnya berhasil kita bekuk, akan kulihat apakah dia masih berani berulah terhadap kita.”
Bicara sampai di sini, kembali dia menyapu sekejap wajah orang-orang itu, kemudian menambahkan, “Aku ingin tahu, apakah masih ada yang berani berkhianat!”
Tak ada yang menjawab, tak ada yang memberi tanggapan, suasana dalam ruangan itu sangat hening.
“Ting-tauke! Pengurus Ku!” kembali Tio Thiat-leng ber-seru.
“Siap!” sahut Ting Siu-hok dan Ku Han-lim berbareng.
“Aku perintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan orang-orang berbakat, apakah dalam hal ini sudah ada beritanya?”
“Aku telah menaruh perhatian khusus,” sahut Ku Han-lim cepat, “memang ada beberapa orang yang berkemampuan hebat dan bercita-cita tinggi, hal ini memang akan kulaporkan kepada Tio-tongcu.”
“Dari kalangan akrobatik juga terdapat beberapa orang pesilat yang berbakat,” Ting Siu-hok segera menimpali, “malah ada dua orang di antaranya merupakan bekas Piausu yang pindah haluan, aku telah menahan mereka dalam rombonganku.”
“Bagus, saat ini pihak perkumpulan memang sedang membuka pintu untuk menerima orang-orang berbakat. Jika kita tidak segera menarik orang berbakat, jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sampai keburu menguasai pihak ekspedisi dan sekolah tinggi, maka kita tak akan kebagian orang pintar lagi, makanya kalian mesti berusaha sedapat mungkin merekrut orang. Tahu? Nah, inilah persoalan kedua yang hendak kusampaikan kepada kalian.”
“Bila dapat berbakti untuk perkumpulan, mesti mati pun kami tak akan menyesal,” seru Ku Han-lim segera.
“Benar, merupakan satu kehormatan dan kebanggaan bagi kami karena dapat menyumbangkan sedikit tenaga demi perkumpulan,” sambung Ting Siu-hok.
“Hmm, kami toh tidak menyuruh kalian pergi mampus, apa urusannya dengan kehormatan atau kebanggaan? Asal tugas dapat kalian selesaikan dengan baik, pangkat dan posisi dijamin pasti akan naik, sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas, hukuman yang setimpal akan menanti kalian semua. Hal ini merupakan peraturan perkumpulan dan berlaku terhadap siapa pun.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Tio Thiat-leng melanjutkan, “Tahukah kalian, ada seorang yang bernama Si Say-sin telah tiba di sini?”
“Selama beberapa hari terakhir ini, banyak laporan yang telah kuperoleh, kami tahu memang ada manusia seperti itu yang telah tiba di wilayah Ouw-pak,” sahut Ku Han-lim.
“Belakangan, kami malah sempat berpapasan dengannya,” sambung Li Tan segera, “apakah perlu mengirim orang untuk meringkusnya?”
“Aku malah tahu dia tinggal di dalam kuil Ho-song-an dekat jalan Mo-jong-ka,” kata Ting Siu-hok, “tapi selama ini tidak banyak melakukan tindakan, kami masih menunggu perintah Tongcu.”
Tiba-tiba Tio Thit-leng tertawa tergelak.
Ho Tong ikut tertawa.
Mereka berdua saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa tergelak, Tio Thiat-leng menepuk bahu seorang pemuda yang ada di belakangnya sembari berseru, “Lote, menurut kau menggelikan tidak?”
“Menggelikan, sangat menggelikan!” sahut pemuda itu sambil tersenyum, senyuman yang mengandung keangkuhan dan sinis, kemudian kepada para jago lainnya ia berkata lagi, “Tahukah kalian, Si Say-sin adalah orang berkedudukan cukup tinggi di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, orang kesayangan So Bong-seng, So-kongcu. Memangnya kalian bisa berbuat apa terhadapnya? Justru kedatangan Ho-tongcu kali ini adalah khu-sus untuk menghadapi manusia she Si itu, nah, persoalan inilah merupakan persoalan ketiga yang ingin disampaikan kedua orang Tongcu kepada kalian.”
Li Tan, Li Ciau-hong, Ting Siu-hok, Ku Han-lim, Li Ya maupun Sim-jit sekalian hanya bisa tertawa paksa, sementara air muka mereka nampak agak tersipu.
Ho Tong ikut tertawa tergelak, mendadak serunya sekata demi sekata, “Hei orang yang bersembunyi, sudah cukup belum menguping? Ayo, cepat menggelinding keluar dari tempat per-sembunyianmu!”
Semua orang merasa terkesiap bercampur heran, mereka tak mengira Ho Tong telah menemukan seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka.
Ong Siau-sik turut terperanjat, apakah Ho Tong telah me-ngetahui jejaknya?
Baru saja ia bersiap menampakkan diri dari tempat persem-bunyian, tiba-tiba terlihat Ho Tong mencabut keluar sepasang tangannya dari balik baju, ia mencabut keluar tangannya seolah sedang mencabut sepasang senjata andalan.
Ternyata dia memiliki sepasang tangan yang sangat aneh, sepasang tangan berwarna emas.
Sambil menggebrak meja ia hisap permukaan meja itu kuat-kuat, kemudian sambil membalik tangan, dia lemparkan meja itu ke atas atap rumah. Semua perubahan itu terjadi secepat sambaran petir, selain Ong Siau-sik yang sempat melihat jelas sepasang tangan anehnya itu, para jago yang lain hanya menyaksikan meja itu tahu-tahu sudah melayang ke atas atap bangunan rumah bagaikan burung rajawali, sementara lilin yang ada di meja jatuh ke permukaan tanah, jatuh berjajar secara rapi di lantai tanpa ada sebatang pun yang padam apalagi patah.
“Braak”, diiringi suara gemuruh yang keras, meja itu menjebol atap rumah dan menembus keluar.
Menyusul kemudian tertampak sekilas cahaya golok melintas. Cahaya golok itu berkilau bagaikan untaian berlian yang dikenakan seorang gadis cantik, cahaya golok yang amat menyilaukan.
Di antara kilatan cahaya tajam dan desingan angin, meja kayu itu hancur berantakan dan menyebar ke empat penjuru, di antara hancuran serbuk kayu, tampak sesosok bayangan manusia melayang turun dengan entengnya.
Baru pertama kali ini Ong Siau-sik menyaksikan kilauan cahaya golok seperti ini, cahaya golok yang menghancurkan sebuah meja hingga remuk berkeping.
Terdengar Ho Tong membentak keras, kembali sepasang tangannya menggebrak permukaan tanah. Kali ini yang mencelat ke udara adalah enam batang lilin yang semula berada di lantai, enam lilin dengan kecepatan bagaikan burung walet meluncur ke muka dan menghantamtubuh orang itu.
Sekali lagi cahaya golok berkelebat, dimana sinar golok menyambar, cahaya lilin seketika padam dan lenyap tak berbekas. Hanya sebatang lilin tetap utuh, sebatang lilin tetap memancarkan cahayanya. Lilin itu berada dalam telapak tangan orang itu, seperti seekor capung kecil yang hinggap di daun teratai.
Cahaya golok memantulkan sinar lilin dan menyinari wajahnya yang lembut, cahaya golok menyinari pula biji matanya yang bening dan indah. Ia melayang turun bagaikan bidadari, indah, lembut dan menawan hati. Inilah kali pertama Ong Siau-sik berjumpa dengan Un Ji (Kelembutan).
Ketika ia memandang wajah Un Ji, di kolong langit hanya ada sebatang cahaya lilin yang menerangi wajahnya. Sebatang cahaya lilin yang berasal dari lilin di telapak tangannya. Anehnya. Dalam suasana seperti ini, di kala Ong Siau-sik belum sempat melihat raut wajah orang itu dengan jelas, tiba-tiba ia teringat akan seseorang. Orang itu tak lain adalah pelajar berbaju sutera yang berdiri di tengah kerumunan orang banyak sambil menengadah memandang angkasa.
Dia tahu orang itupun sedang bersembunyi di balik kegelapan, tentunya dia pun sedang mengawasi cahaya golok itu, mengawasi orang yang melayang turun sambil membawa sebatang lilin.
oooOOooo
Bersambung ke bagian 04
0 comments:
Post a Comment