Karya: Chin Tung
Saduran: Gan K. H
004. Jurus Maut Membawa Petaka
Setelah susah payah kira-kira pada tengah hari baru ia sampai di atas, perut terasa lapar dan tenaga pun seperti terkuras habis, lagi-lagi ia duduk bersila memejamkan mata beristirahat, kira-kira setengah jam kemudian matanya terbuka lagi.
Sejenak ia menerawang keadaan sekelilingnya, dalam benaknya terbayang wajah Su Tat-jin, Su Cin dan Su Giok-lan, ujung mulutnya mengulum senyum ejek dan mendengus hidung, pelan-pelan ia bangkit terus berlari pesat turun gunung.
Setelah matahari tenggelam tabir kegelapan malam mulai menelan bumi, tampak dimana-mana sudah menyulut pelita, saat itu Hun Thian-hi beranjak pula menuju ke gedung Su Tat-jin yang megah dan angker itu.
Dimana tubuhnya bergerak melayang enteng ke arah samping sana seperti daun jatuh hinggap di atas wuwungan rumah, terus meluncur lagi turun ke dalam ruang besar perjamuan.
Keadaan ruang besar terang benderang suasana ramai bersuka ria, agaknya Su Tat-jin tengah merayakan kemenangannya dan menjamu para tamunya.
Begitu Hun Thian-hi melayang turun dalam ruang besar itu, seketika berubah hebat rona wajah Su Tat-jin, suasana yang riuh rendah tadi seketika menjadi sunyi senyap, begitu hening seumpama jarum jatuh juga bisa terdengar.
Pelan-pelan Hun Thian-hi menggerakkan kepalanya dengan pandangan menghina dan memincingkan mata ia tatap semua hadirin, akhirnya pandangannya berhenti pada wajah Su Cin dan adiknya. Rada lama ia tatap mereka bergantian, akhirnya tercetus jengek sinis dari mulutnya, “Bagus benar-benar sepak terjang murid Pedang Utara.“
Kakak beradik ini menundukkan kepala saking malu, namun dikejap lain tiba-tiba Su Giok-lan angkat kepala dengan mata mendelik ke arah Hun Thian-hi semprotnya, “Orang she Hun, jangan kau mendesak dan menghina orang, peristiwa itu bukan perbuatan kita berdua, apa maksudmu dengan murid Pedang Utara apa segala!”
Hun Thian-hi menyeringai sinis kepalanya berpaling ke arah Su Tat-jin, katanya, “Sebetulnya tiada niatku mencari perkara kepadamu. Tapi sekarang aku tak bisa melepasmu lagi, marilah perhitungan lama dan baru ini kita selesaikan sekarang.”
Su Tat-jin menyapu pandang kepara tamunya, matanya berjelilatan, katanya sembari bangkit dari tempat duduknya. “Banyak orang tahu, betapa besar budi Hun Siau-thian Hun-toako kepadaku laksana setinggi gunung. Meskipun aku Su Tat-jin tidak bisa membalas budi kebaikannya itu, tapi aku sudah bekerja sekuat tenagaku.”
Ia menundukkan kepala lalu merendahkan suara, sambungnya, “Waktu Hun-toako menghilang dulu aku sudah berdaya upaya dengan seluruh kemampuanku untuk mencari jejaknya, akhirnya….”
Mendadak ia angkat kepala serta bersuara keras, “Akhirnya aku tahu sebab musabab menghilangnya Hun-toa, beliau menghilang karena Badik Buntung yang menjadi miliknya itu. Tokoh-tokoh lihai dalam dunia persilatan ini, ada berapa banyak yang ilmu silatnya bisa mengungguli Hun-toako?”
Kata-katanya dilembari nada yang penuh keibaan, matanya dingin menyapu seluruh orang gagah yang hadir, akhirnya pandangan matanya berhenti pada wajah Hun Thian-hi.
Bercekat hati Hun Thian-hi, terang dengan kata-katanya ini Su Tat-jin bermaksud mengobarkan kemarahan hati seluruh hadirin, meski ia tidak takut menghadapi profokasi ini, namun ia harus menghindari salah paham dengan orang lain.
Maka cepat ia bergerak dan berseru lantang, “Ucapan Su Tat-jin ini hanya bualan belaka, jangan kalian percaya akan obrolannya ini.”
“Banyak orang tahu bahwa musuh besar Hun-toako adalah Sam Kong Lama,” begitulah cepat-cepat Su Tat-jin memainkan diplomasinya, “Untuk merebut Badik Buntung itulah maka ia mencelakai Hun-toako, dan Badik Buntung itu kini berada di tangannya. Coba kalian lihat, Badik Buntung itu kini berada di tangan bocah yang mengakui bernama Hun Thian-hi ini. Darimana ia bisa tahu sama yang hendak kukatakan? Darimana pula ia tahu kalau ucapanku ini bohong belaka?”
Hun Thian-hi membalik tubuh menghadapi Su Tat-jin, semprotnya gusar, “Diplomasimu memang cukup lihai, kau kira kau bisa bebas dari kematian?”
Su Tat-jin melirik ke arah Su Cin dan Su Giok-lan, mestinya mereka sudah menggerakkan mulut hendak bicara, namun lantas urung dan menundukkan kepala.
Kata Su Tat-jin kepada Hun Thian-hi, “Kau tidak memandang mata seluruh orang gagah disini bukan?” Demikian pancingnya sembari menyapu pandang keseluruh gelanggang.
Hun Thian-hi menggerung keras, gesit sekali ia bergerak terus menubruk ke arah Su Tat-jin.
Tapi dalan waktu yang sama tiba-tiba seseorang membentak keras di belakangnya, “Bocah she Hun jangan kau takabur dan menghina orang.”
Belum lenyap suara ini sepasang sumpit tahu-tahu meluncur kencang mengarah punggung Hun Thian-hi.
Laksana angin lesus sebat sekali badan Hun Thian-hi bergerak memutar dan mengacungkan kedua jari tangan kanannya tahu-tahu kedua sumpit terbang itu sudah kejepit di celah-celah jari tangannya.
Berkilat matanya memandang ke arah sana, ternyata penyerang gelap ini adalah seorang laki-laki pertengahan umur yang mendelik memandang dirinya.
Hun Thian-hi tidak tahu sikapnya yang sombong dan perbuatannya meniup seruling itu sudah menimbulkan rasa dongkol dan tak senang seluruh hadirin, kini dibakar dan diprofokasi lagi dengan ucapan Su Tat-jin yang tajam tepat menusuk ke lubuk hati mereka, semakin besar rasa benci seluruh hadirin terhadap dirinya.
Sesaat Hun Thian-hi menjadi melongo dan menjublek di tempatnya, tak tahu ia apa yang harus diperbuatnya atas laki-laki pertengahan umur ini.
Melihat sikap Hun Thian-hi yang acuh tak acuh itu, laki-laki pertengahan umur itu mengira Hun Thian-hi sengaja bersikap tidak memandang sebelah mata pada dirinya, maka hardiknya, “Seluruh orang gagah di kolong langit banyak yang hadir disini, seumpama kau betul adalah murid Seruling Selatan, kita tidak akan membiarkan kau bertingkah dan main gagah-gagahan disini.”
Hun Thian-hi coba berlaku sabar katanya pelan-pelan, “Kedatanganku hari ini bukan ingin mencari perkara dengan kalian. Tujuanku yang utama adalah Su Tat-jin.”
Selesai berkata pelan-pelan setindak demi setindak ia maju ke arah Su Tat-jin.
Su Tat-jin mandah menyeringai dingin, ia tahu sikap Hun Thian-hi ini tentu dapat mengobarkan kemarahan seluruh hadirin, maka untuk peristiwa selanjutnya dirinya boleh enak-enak duduk di tempatnya tinggal menonton pertarungan saja.
Salah besar dugaan Hun Thian-hi, sangkanya dengan sekedar penjelasannya tadi cukup menyelesaikan segala urusan. Tak disadarinya bahwa dengan perkataannya tadi justru lebih mempertebal keyakinan seluruh orang-orang gagah yang hadir akan sifatnya yang takabur dan memandang ringan seluruh hadirin. Maka begitu ia bergerak maju, lantas terlihat dua orang bangkit berdiri malah terus menerjang ke arah dirinya, yang satu menggablok punggung sedang seorang lain membabat pinggangnya.
Terpaksa Hun Thian-hi menggerakkan Serulingnya, tanpa membalik tubuh serulingnya menutuk dan menangkis serangan kedua musuh pembokong ini, untuk menolong diri terpaksa kedua penyerang ini melompat mundur.
Seluruh hadirin terbakar kemarahannya, serempak semua berdiri dan meluruk maju bersikap mengancam, bila perlu akan main keroyok tanpa pandang bulu lagi.
Su Cin dan Su Giok-lan menjadi gelisah, namun serta melihat Su Tat-jin tengah melirik dengan pandangan dingin ke arah mereka mencelos hatinya, kata Su Tat-jin sembari maju mendekat, “Hakikatnya Hun Thian-hi tidak percaya lagi pada kalian, buat apa kalian hendak menolong dia?”
Su Cin dan Su Giok-lan bungkam sembari menundukkan kepala, waktu angkat kepala lagi terlihat Hun Thian-hi tengah melancarkan ilmu Thian-liong-chit-sek. Seruling di tangannya berputar lincah gagah perwira ia tengah berkutet melawan sekian banyak pengepungnya, namun dasar kepandaiannya memang hebat setiap kali terlihat sinar putih berkelebat dan menutuk, satu persatu para pengepungnya terjungkir balik dengan jalan darah tertutuk.
Berubah air muka Su Tat-jin, katanya kepada Su Cin dan Su Giok-lan, “Sudah saatnya kita tinggal pergi.”
“Tidak….” sahut su Giok-lan beragu.
Su Tat-jin berpaling menatap ke arahnya, tanyanya, “Kau tak mau pergi?”
Su Giok-lan menunduk tanpa menjawab. Maka Su Tat-jin segera mendahului beranjak masuk ke belakang.
Dengan bekal kepandaiannya yang lihai sebetulnya Hu Thian-hi tidak perlu gentar menghadapi keroyokan sedemikian banyak orang, namun semakin banyak pengeroyoknya gerak-geriknya menjadi sedikit terhalang. Kini melihat Su Tat-jin hendak melarikan diri, tiba-tiba ia menghardik keras. Jurus-jurus Thian-liong-chit-sek lantas dilancarkan semakin kencang, dengan tipu Lui-thian-hwi-theng (Kilat dan Geledek Menyambar-Nyambar), seruling pualamnya berputar menyilang menyapu mundur para pengepungnya, badannya lantas mencelat terbang mengejar.
Sudah tentu para orang gagah yang mengeroyoknya itu tak tinggal diam, beramai-ramai mereka pun memburu dengan kencang.
Bukan kepalang gusar Hun Thian-hi, tahu-tahu serulingnya menutuk membalik telak sekali, seorang yang memburu paling depan kena tertutuk jalan darahnya kontan terjungkal dan diinjak-injak oleh para kawannya sendiri. Gerakan Hun Thian-hi masih tidak berhenti, tanpa hiraukan korbannya kakinya menjejak tanah terus meluncur mengejar ke arah Su Tat-jin. Di lain kejap ia sudah tiba di serambi panjang, sesudah memutar dua pengkolan terlihatlah ketiga orang buronannya, laksana seekor burung elang segera ia menubruk tiba.
Su Tat-jin terkejut, katanya kepada Su Cin berdua, “Kalian maju rintangi dia sebentar.”
Sejenak Su Cin “berdua” ragu-ragu, tapi akhirnya melolos pedang terus menghadang di depan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mengayun seruling mengembangkan tipu-tipuan ia mendesak mundur mereka berdua, mulutnya menjengek dingin, “Bukan kalian yang kucari!”
Su Cin berdua menjadi serba runyam tiada tempo buat mereka untuk menerangkan, apalagi mendengar sindiran Hun Thian-hi ini hampir-hampir Su Giok-lan melelehkan air mata, dengan mengertak gigi ia nekad merangsak maju menusuk ke arah Hun Thain-hi.
Ilmu seruling Hun Thian-hi memang cukup hebat. Terlihat sedikit bergetar tahu-tahu serulingnya menjungkit dan menyampok turun, sekaligus ia tangkis dan sampok miring pedang panjang lawan, sebat sekali tahu-tahu ia menerobos lewat diantara celah-celah kosong ini terus mengejar ke arah mana Su Tat-jin telah melenyapkan diri.
Dengan mengeluh tertahan Su Cin berdua kirim pukulan jarak jauh dengan kepalan tangan kiri untuk merintangi tindakan Hun Thian-hi, terpaksa ia merandek sejenak sembari dan menggerakkan serulingnya mendesak mundur mereka berdua.
Sedikit hambatan ini, sementara itu para orang gagah yang mengejar sudah tiba, tanpa kuasa Hun Thian-hi terkepung lagi dengan ketat….
Sinar pedang berkelebat menyambar-nyambar, namun bayangan seruling Thian-hi pun tidak kalah gesit bergerak, namun menghadapi sekian banyak serangan dari berbagai penjuru akhirnya Thian-hi terdesak juga di bawah angin. Apalagi dengan rangsekan Su Cin berdua yang berkepandaian cukup tinggi, semakin payah keadaannya.
Dalam pada itu bayangan Su Tat-jin sudah tidak kelihatan lagi, saking murka dada Hun Thian-hi terasa hampir meledak, dengan menggertak keras tangan kirinya tiba-tiba terayun, tahu-tahu Badik Buntung sudah tergenggam di tangannya, dimana sinar hijau pupus berkelebat dua batang pedang yang menyamber tiba kontan terpapas kutung menjadi dua.
Para pengepung menjadi kaget, serempak mereka menyurut mundur dengan ketakutan. Terpecik dalam benak mereka bahwa ucapan Su Tat-jin barusan memang kenyataan. Bukankah Badik Buntung sudah berada di tangan Hun Thian-hi….
Para pengepung itu hanya sedetik saja beragu lantas merangsek semakin hebat dengan kemurkaan yang berkobar.
Hun Thian-hi mandah tersenyum sinis sembari melirik ke arah Su Cin berdua.
Keruan hati Su Cin dan Su Giok-lan menjadi mendak seperti ditusuk sembilu, namun urusan sudah berkembang sedemikian larut terpaksa biarlah terus berlanjut tanpa berkesudahan.
Dengan bersenjatakan Badik Buntung di tangannya, Hun Thian-hi bertambah besar, seruling pualam di tangan kanan ditanggalkan di pinggangnya, sedang Badik Buntung dipindah ke tangan kanan, dengan menggerung keras segera ia terjang para orang-orang gagah yang mengepung itu.
Dimana sinar hijau pupus berkelebatan, para orang-orang gagah menjadi terdesak mundur tanpa berani melawan ketajaman senjata sakti ini, akhirnya mereka mundur-mundur terus sampai di halaman belakang.
Tapi bayangan Su Tat-jin memang sudah tak kelihan lagi entah sudah merat kemana, sudah tentu rasa dongkol dan kemarahannya lantas ditimpahkan kepada para pengepungnya, gesit sekali tubuhnya bergerak terbang menerobos serambi panjang terus menerjang ke dalam halaman tengah terus meluncur di tengah gelanggang.
Baru saja ia hinggap di tanah lantas ia merasa situ rada ganjil, didapatinya bahwa perhatian seluruh hadirin ternyata tidak dipusatkan kepada dirinya sebaliknya terus mendelong mengawasi satu jurusan.
Ia memutar tubuh memandang ke arah sana terlihat di atas tembok tinggi sana berdiri dua orang, itulah Su Tat-jin dan seorang tua yang mengenakan jubah hitam, dua mata orang tua jubah hitam ini tengah menatap tajam ke arah Hun Thian-hi.
Secara langsung Hun Thian-hi lantas merasa bahwa orang tua jubah hitam ini agaknya punya wibawa yang cukup angker, kalau tidak kenapa seluruh hadirin menjadi bungkam dan tak berani sembarangan bergerak, sedang Su Tat-jin sendiri juga kelihatan sangat tenang dan perhatian?
Sejenak Hun Thian-ki menyapu pandang sekelilingnya, sebaliknya orang tua jubah hitam di sampingnya itu lantas membentak dengan nada rendah, “Siapa kau? berani bertingkah dan kurang ajar di hadapanku?”
Hun Thian-hi menyeringai dengan jongkak, sahutnya, “Siapa kamu aku tidak perduli.”
Su Tat-jin berkata melengking, “Haha, kiranya masih bau kencur yang tidak tahu kebesaran nama Toh-bing-cui-hun Cu Hwi!”
Rada bercekat benak Hun Thian-hi ketenaran nama Cu Hwi sudah pernah didengarnya, bukan saja tinggi ilmu silatnya, terutama permainan senjata rahasia boleh dikatan menjagoi seluruh dunia persilatan tiada tandingan. Adalah senjata rahasia pribadinya lain dari yang lain pula, begitu dikembangkan memang bukan gertakan belaka dapat mengejar sukma mencabut nyawa.
Cu Hwi tertawa dingin jengeknya, “Sungguh tak kuduga martabat Seruling Selatan ternyata begitu rendah.”
Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan seringai sombong ia berkata menghina, “Aku juga tak menduga, Toh-bing-cui-hun yang kenamaan itu ternyata adalah berotak tumpul gampang diapusi bajingan tengik.”
“Memang sombong dan takabur sekali!” teriak Cu Hwi murka.
Kata Hun Thian-hi kepada Su Tat-jin, “Su Tat-jin, sungguh pintar akalmu, seluruh orang gagah di kolong langit ini gampang saja kau peralat untuk menjuai nyawa demi kepentinganmu.” Habis berkata ia mendesak maju lebih dekat.
“Berhenti disitu!” bentak Cu Hwi di atas tembok.
Hun Thian-hi tak menghiraukan. Cu Hwi lantas mengulur tangan kanan jari tengahnya menjelentik, terdengarlah suara mendengung nyaring, sebuah gelang hitam berputar-putar di tengah udara terbang memutar terus melesat ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mendengus hidung, tahu dia inilah satu senjata rahasia andalan Cu Hwi yang kenamaan dinamakan Gelang Pencabut Nyawa.
Hun Thian-hi tak berani memandang enteng, dengan gagap dan penuh prihatin ia menggerakkan Badik Buntung terus menutul ke arah Gelang Pencabut Nyawa yang menyamber tiba. Namun ia kecele.
Gelang hitam itu terbang melintang berputar-putar di tengah udara satu bundaran lalu terbang kembali ke tangan Cu Hwi.
Dengan senyum ejek dan dingin Cu Hwi menatap Hun Thian-hi.
Merah jengah muka Hun Thian-hi, terang ia sudah kalah dalam selintas jurus ini.
Alisnya bertaut dalam, tiba-tiba tubuhnya bergerak laksana burung manyar terus menerjang ke arah Cu Hwi.
“Bocah sembrono!” maki Cu Hwi, lagi-lagi tangan kanannya bergerak dua bilah pisau terbang meluncur memapak kedatangan Hun Thian-hi.
Begitu badan Hun Thian-hi meluncur cepat, Badik Buntung lantas disodokkan ke depan tepat sekali menyambut kedua pisau terbang ini, maka dilain saat ia sudah hinggap di atas tembok dimana tadi Cu Hwi berdiri.
Terdengar Cu Hwi mendengus keras, hatinya dongkol dan tak senang menghadapi sikap Hun Thian-hi yang berandal dan takabur. Namun demikian toh ia tidak gampang terjebak dalam tipu muslihat Su Tat-jin, tahu dia bahwa apa yang dikatakain Su Tat-jin belum tentu benar-benar, tapi juga kemungkinan ada betulnya, maka ia tidak segera ambil suatu kepastian total, yang pasti ia hanya ingin menyapu bersih sikap Hun Thian-hi yang sombong ini.
Tangannya membalik melolos pedang panjangnya terus meluncur menyerang ke arah Hun Thian-hi.
Terpaksa Hun Thian-hi juga membalikkan tangan untuk memapas pedang panjang di tangan Cu Hwi. Segera Cu Hwi kembangkan ilmu pedangnya yang lihai, seketika ia lancarkan serangan berantai lima enam jurus, maksudnya hendak mendesak Hun Thian-hi terjungkal ke tanah.
Hebat kepandaian Hun Thian-hi, sembari menggertak keras, Badik Buntung bergerak lincah balas menyerang, tapi serangan Cu Hwi juga cukup gencar sehingga Hun Thian-hi terdesak mundur berulang-ulang.
Terpaksa Hun Thian-hi merogoh keluar seruling pualamnya, dalam seribu kerepotannya menjaga diri segera dikembangkan ilmu Thian-liong-chit-sek terus memberondong ke arah Cu Hwi.
Cu Hwi pun tidak mau kalah wibawa, pedang di tangannya ditarikan secepat kitiran, namun toh terdesak dua langkah, hatinya menjadi kaget sekali. Sungguh di luar perhitungannya bahwa Hun Thian-hi kiranya membekal kepandaian silat yang begitu tinggi, dalam jangka dua tiga tahun mendatang mungkin tiada tandingannya di kolong langit.
Karena pikirannya ini serempak tangan kanannya dibolang-balingkan, selarik sinar putih berkilau meluncur bergantian saling susul, itulah pisau terbang yang disambitkan ke arah Hun Thain-hi.
Untuk menyelamatkan diri terpaksa Hun Thian-hi memutar dan menggerakkan seruling dan Badik Buntung bersama, namun timpukan pisau terbang musuh memang punya caranya sendiri, di tengah jalan mendadak luncuran pisau terbang itu berubah arah menukik ke bawah. Keruan kejut Hun Thian-hi bukan main, cepat-cepat ia menggeser kaki menyurut mundur ke samping, meski ia sudah berlaku sebat tak urung ketiga batang pisau terbang itu menembus lengan bajunya terus menancap di dinding di belakangnya…. Terdengar Cu Hwi tertawa dingin berulang-ulang.
Melihat Cu Hwi hanya main gertak belaka tiada tanda-tandanya hendak membunuh Hun Thian-hi, Su Tat-jin menjadi sengit segera ia berseru memberi aba-aba, “Hayo maju semua!”
Banyak diantara pengepung itu yang sudah merasakan kelihaian Hun Thian-hi, rasa dongkol dan penasaran belum sempat terlampias, kini mendengar aba-aba yang memberikan kesempatan untuk menuntut balas ini, segera mereka serabutan menerjang maju bersama secara membabi buta.
Hun Thian-hi menggembor keras dan panjang, tangan kanannya menarik sekuat tenaga “bret!” lengan bajunya yang kepanjangan sobek separo, disusul ia mengayun Badik Buntung melancarkan jurus Jan-thian-ciat-te yang ganas itu. Lima tombak sekitar gelanggang pertempuran seketika terkurung dalam jangkauan serangan jurus yang lihai ini, sinar hijau kemilau hanya berkelebat cepat laksana kilat terus lenyap tanpa bekas. Namun akibatnya adalah dahsyat sekali dan mengerikan.
Dalam gelanggang tampak mayat bergelimpangan, hanya Su Cin berdua dan Su Tat-jin serta Cu Hwi yang kehilangan sebelah lengannya saja yang masih ketinggalan hidup.
Hun Thian-hi terlongong-longong menjublek di tempatnya. Seperti patung kayu tak bergerak. Dengan dihantui kemarahannya ia melancarkan jurus pelajaran dari orang tua rambut merah, sungguh di luar tahunya bahwa akibat dari serangannya itu ternyata begitu mengerikan.
Begitu jurus ganas itu mulai dilancarkan lantas segulung tenaga yang begitu besar mengendalikan nuraninya sehingga tanpa kuasa Badik Buntung di tangannya terlanjur mengarah ke leher para musuhnya, dia sendiri sampai heran dan terkesima mengapa ia tak mampu mengendalikan diri lagi.
Dengan muka pucat pias Cu Hwi mendesis, “Kejam benar-benar! Asal aku Cu Hwi sehari masih hidup, akan datang saatnya pembalasanku!” Habis berkata ia terus berlari sipat kuping.
Demikian juga keadaan Su Tat-jin yang pucat pasi, terhuyung-huyung ia tersurut mundur terus mendoproh di kaki dinding dengar badan lemas lunglai tak mampu bergerak lagi.
Adalah Su Cin dan adiknya yang berdiri rada jauh di luar gelanggang selamat dari bencana mengerikan ini. Namun demikian menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini tak urung berubah pucat dan ketakutan, lama dan lama kemudian baru mereka saling pandang terus berlari sekencang-kencangnya.
Tinggal Hun Thian-hi yang kesima mengawasi mayat-mayat tak berkepala dengan muka pucat, seolah-olah ia tak sadar dan tak tahu apa yang telah terjadi barusan, yang masih terpercik dalam ingatannya hanyalah dengan jurus Jan-thian-ciat-te tadi sekaligus ia telah bunuh semua orang ini, tak tahu bagaimana ia bekerja dalam waktu sesingkat itu telah mengutungi sedemikian banyak kepala musuh, terasa pandangannya menjadi gelap otaknya seperti kosong hampa.
Agak lama kemudian baru tercetus gumam dari mulutnya, “Jurus sesat! Jurus sesat.” Sembari berteriak ia berlari sempoyongan dengan kedua tangan menutup mukanya….
Badik Buntung
0 comments:
Post a Comment