30. Laron Penghisap Darah menari di udara.
DARI balik sela-sela jari tangan Si Siang-ho mendadak terlihat beberapa titik cahaya tajam berkelewat lewat.
Senjata rahasia. Ternyata di antara pukulan telapak tangannya, dia sertakan pula serangan dengan senjata rahasia.
Tu Siau-thian sangat terkesiap, belum sempat menjerit kaget, beberapa bagian dari tubuhnya sudah berlumuran darah segar.
Serangan amgi (senjata rahasia) memang susah dihindari, apalagi dilancarkan dari jarak sedekat itu.
Keadaan Tu Siau-thian benar-benar sangat berbahaya, dalam keadaan normal saja sudah sulit baginya untuk menghindari serangan senjata rahasia sebanyak ini apalagi sekarang goloknya sudah berbelit pedang lawan.
Kekuatan serangan senjata rahasia itu benar benar mengerikan, begitu menembusi pakaian dan terbenam dalam daging tubuhnya, dalam waktu singkat Tu Siau-thian telah berubah jadi manusia darah.
Tujuh delapan macam senjata rahasia yang menghujam dalam tubuhnya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa, seluruh badannya nyaris mengejang keras, jangan lagi tubuh yang terdiri dari darah daging, manusia baja pun tidak akan mampu menahan siksaan seperti itu.
Dengan sekali sentakan tangan kanannya, golok milik Tu Siauthian sudah mencelat keudara, meluncur di tengah "kegelapan malam" dan menancap di tengah "langit nan gelap"
Tu Siau-thian tidak mampu berkutik lagi, dia hanya bisa berdiri termangu bagaikan sebuah patung, masih untung senjata rahasia itu tidak menghajar di bagian tubuhnya yang mematikan sehingga dia tidak sampai roboh ke tanah.
Dengan mata terbelalak lebar, dia awasi wajah Si Siang-ho tanpa berkedip.
Berada dalam keadaan seperti ini, seandainya Si Siang-ho mau mencabut nyawanya maka hal ini bisa dia lakukan segampang membalikkan telapak tangan.
Si Siang-ho tidak melancarkan serangan lagi, dia hanya berdiri di atas meja batu itu dengan pedang melintang di depan dada dan ibu jari memegang di ujung senjata, dia mengawasi lawannya dengan senyuman dikulum, senyum penuh ejekan dan hinaan.
Sorot mata Tu Siau-thian sendiripun sangat kalut, dia tidak tahu harus ketakutan, tercengang atau marah.
Paras mukanya telah semakin memucat, pakaian yang dikenakan telah berubah jadi merah, basah oleh cucuran darah segar yang menembusi pakaiannya.
Tampaknya kawanan Laron Penghisap Darah yang beterbangan di udara pun seakan sudah mengendus bau darah, seekor demi seeekor mulai beterbangan mendekati Tu Siau-thian dan hinggap di tubuhnya.
Darah segar memang merupakan daya tarik yang amat besar bagi kawanan makhluk tersebut.
Apa yang dikerjakan kawanan Laron Penghisap Darah itu? Apakah mereka hingga di tubuh Tu Siau-thian sambil menghisap darahnya yang meleleh keluar?
Tu Siau-thian tidak menggubris, dia bahkan tidak merasakan apa-apa, dia seakan tidak tahu kalau kawanan Laron Penghisap Darah itu sudah hinggap di atas tubuhnya.
Mimik muka Si Siang-ho nampak sangat aneh, dia memang sebelumnya sudah nampak aneh.
Kini Tu Siau-thian sendiripun tampil dengan wajah sangat aneh, mulutnya ternganga seakan hendak mengucapkan sesuatu namun tidak sepatah kata pun yang terucap keluar.
Akhirnya Si Siang-ho menbuka suara lebih dulu, tanyanya, "Apa kau anggap aku takabur?"
"Tidak" jawab Tu Siau-thian, suaranya tidak lagi senyaring tadi.
Bila seseorang sudah kehilangan banyak darah, masih bisa bercakap pun sudah luar biasa.
Kembali Si Siang-ho berkata, "Sekarang kau sudah tidak bersenjata lagi, tubuhmu pun sudah terhajar senjata rahasiaku, apa lagi yang bisa kau perbuat?"
"Menunggu mati!"
Saat ini dia memang hanya bisa menunggu mati.
Kontan Si Siang-ho tertawa tergelak.
"Hahahaha... tapi kau tidak usah kuatir, kujamin kau tidak akan mati dengan sengsara, karena aku tidak pernah melumuri senjata rahasia ku dengan racun," katanya.
"Aku tahu!" tiba-tiba muncul penderitaan yang mendalam diatas wajah Tu Siau-thian, "biarpun senjata rahasiamu tidak beracun, namun hatimu benar benar kelewat beracun!"
"Hahahaha ... kalau tidak beracun bukan lelaki namanya!"
"Aku sama sekali tidak menyangka ...."
"Banyak sekali kejadian yang tidak kau sangka."
Sambil menghela napas Tu Siau-thian manggut-manggut, kembali tanyanya, "Sebenarnya kenapa kau berbuat begini?"
"Kau sudah hampir mampus, buat apa banyak bertanya?"
"Justru karena aku hampir mati maka harus kutanya sejelas jelasnya, aku tidak ingin mati dalam keadaan tidak jelas."
"Aku cukup memahami maksud hatimu" Si Siang-ho menghela napas panjang. "Sayang jalan pemikiranku sama sekali bertolak belakang dengan jalan pikiranmu."
"Bagaimanapun juga aku toch tetap akan mati, apa salahnya kalau kau jawab berapa pertanyaanku?"
"Sebetulnya aku tidak keberatan, sayang saat ini sudah tidak banyak waktu lagi."
Tu Siau-thian menghela napas panjang, kali ini helaan napasnya pun kedengaran begitu lemah dan tidak bertenaga.
Paras mukanya telah berubah semakin pucat, pucat bagaikan mayat, tubuhnya mulai gontai.
Benda yang berada di sekelilingnya seakan sedang melayang di tengah udara, setiap benda seolah sudah terbelah jadi dua, termasuk juga Si Siang-ho.
Tu Siau-thian tahu dirinya sudah kehilangan banyak darah, kesadaran otaknya mulai kabur, pandangan matanya mulai kabur.
Cepat dia menggigit bibirnya hingga berdarah.
Cucuran darah segar meleleh keluar dari ujung bibirnya, tapi dia sudah tidak merasakan apa-apa, sedikitpun tidak merasa sakit.
Dengan kesadaran yang sedikit pulih dia mencoba mengangkat wajahnya, tapi apa yang terlihat kembali membuat hatinya tercekat.
Rupanya Si Siang-ho sudah mengangkat pedangnya kembali!
"Sreeet!" cahaya pedang secepat sambaran petir melesat ke depan.
Tu Siau-thian hanya bisa menyaksikan datangnya sambaran pedang itu tanpa berkedip, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Bukan saja dia sudah tidak mengerti bagaimana harus berkelit, dia pun sudah tidak sanggup lagi untuk menghindarkan diri.
Tapi dia berusaha keras untuk mengendalikan gejolak emosinya, mempertahankan tubuhnya agar tidak roboh, dia hanya bisa mengawasi lawannya dengan pandangan putus asa.
Sebab dia tahu kendatipun bisa lolos dari serangan pedang yang pertama belum tentu bisa lolos dari serangan yang ke dua, pada akhirnya dia akan tewas juga di ujung senjata Si Siang-ho.
Itulah sebabnya dia sama sekali tidak meronta, dia sudah pasrah seratus persen.
Si Siang-ho tidak menggubris, dia pun tidak menghentikan gerak serangannya, jelas ia sudah mengambil keputusan, Tu Siau-thian harus dibantai.
Pedang menyambar datang dengan kecepatan bagaikan kilat, langsung menusuk ke dada Tu Siau-thian, percikan darah berhamburan ke mana mana walau dalam jumlah yang lebih sedikit.
Cairan darah yang tersisa di dalam tubuh Tu Siau-thian memang sudah tinggal tidak seberapa, sudah banyak mengalir keluar semenjak tadi.
Dalam waktu singkat dia merasa dadanya seolah tertusuk oleh sebuah balok salju yang amat dingin, sedemikian dinginnya membuat darah yang mengalir dalam tubuhnya seakan mulai membeku.
Kemudian kesadarannya mulai menurun, pandangan matanya mulai kabur, namun dia belum juga merasakan kesakitan, rasa sakit akibat tusukan seolah sudah diwakili oleh kobaran amarah yang masih membara dirongga dadanya.
Kemudian dengan suara parau dia menjerit keras, "Biar matipun aku mati tidak merana!" Kemudian tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
Si Siang-ho sudah mencabut keluar pedangnya, sejak tadi Tu Siau-thian masih bisa berdiri karena dia tertahan oleh pedang Si Siang-ho, maka begitu pedang tersebut dicabut keluar, badannya langsung roboh terjungkal.
0-0-0
Tu Siau-thian tidak langsung mati, dia masih bernapas.
Tusukan pedang dari Si Siang-ho memang tidak ditusukkan ke bagian tubuhnya yang mematikan.
Apakah pada detik terakhir dia telah berganti haluan? Tiba-tiba tidak ingin melihat Tu Siau-thian mati tidak meram maka dia urung mencabut nyawanya? Apakah dia berniat memberitahukan seluruh rahasianya?
Tu Siau-thian tersadar kembali setelah waktu berjalan cukup lama, dia tersadar oleh rangsangan perasaan hatinya yang penuh amarah dan penasaran.
Walaupun sudah peroleh kembali kesadarannya, namun dia masih berbaring dengan mata terpejam rapat, serunya dengan suara parau, "Dimana sekarang aku berada? Apakah sudah berada dalam neraka?"
Sebuah suara segera muncul dari sampingnya, suara yang dingin dan ketus, "Berada dalam neraka atau bukan, kenapa tidak kau periksa sendiri dengan membuka matamu?"
Tu Siau-thian memaksakan diri untuk membuka mata. Sekarang kondisi tubuhnya sudah amat lemah, bahkan tenaga untuk membuka matapun nyaris sudah tidak punya.
Ketika dia membuka matanya maka yang terlihat adalah kegelapan malam yang dihiasi sebuah rembulan yang pucat.
Daya ingatannya sama sekali belum luntur, dia masih punya kesan yang sangat mendalam terhadap semua peristiwa yang menimpanya sebelum pingsan tadi.
Dia segera tahu kalau dirinya masih berada dalam penjara bawah tanah, masih ada di rumah penginapan Hun-lay.
Tentu saja dia pun tahu kalau langit yang gelap sesungguhnya hanya langit buatan, rembulan yang bersinar pucat pun tidak lebih hanya cahaya dari lampu kristal.
Ini berarti dirinya masih hidup di dunia, dengan paksakan diri dia berpaling, menoleh ke arah mana berasalnya suara itu. Dia pun menyaksikan Si Siang-ho.
Si Siang-ho masih berdiri disitu dengan tubuh kaku, di tangan kirinya dia memegang sebuah kotak besi yang berbentuk kecil memanjang, sementara tangan kanannya sedang menggenggam sebatang jarum perak sepanjang lima enam inci.
Jarum perak itu membiaskan cahaya yang berkilauan, ujung jarum nampak sangat aneh karena bentuknya besar dan mengerikan.
Apa kegunaan jarum perak itu? Buat apa Si Siang-ho menggunakan jarum perak?
Dengan mata melotot Tu Siau-thian awasi wajah Si Siang-ho, sorot matanya dipenuhi rasa curiga, keheranan dan rasa ingin tahu.
Tiba-tiba Si Siang-ho mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, gelak tertawanya amat menyeramkan, membuat bulu kuduk pada bangun berdiri.
Tu Siau-thian ingin sekali bangkit dan duduk, tapi sayang dia tidak mampu berbuat begitu, jangan lagi duduk, ingin mendongakkan kepalanya pun terasa amat susah.
Pada saat itulah dia merasakan sekujur badannya mengejang dan kaku, ternyata cairan darah yang ada di dalam tubuhnya sedang dihisap keluar, mengalir keluar terus dengan amat derasnya.
Ke mana perginya puluhan ekor Laron Penghisap Darah yang semula beterbangan di tengah "angkasa" itu?
.... Apakah kawanan laron itu sedang hinggap di tubuhnya? Sedang menghisap darah dalam tubuhnya?
Dengan menggunakan segenap sisa tenaga yang dimiliki Tu Siauthian mendongakkan kepalanya.
Ternyata benar! Seluruh Laron Penghisap Darah itu sudah hinggap memenuhi tubuhnya, tubuh yang hijau pupus bagai pualam dengan mata yang merah bagaikan darah.
Selain itu, tubuhnya juga sudah dipenuhi oleh berpuluh-puluh batang jarum perak yang bentuknya persis sama seperti jarum perak yang sedang digenggam Si Siang-ho saat itu.
Dari ujung jarum yang berbentuk bulat besar itulah darah segar dari tubuhnya menyembur keluar.
Pucat pias selembar wajah Tu Siau-thian, sekuat tenaga dia berusaha meronta, dia ingin mencabuti semua jarum perak yang menancap di tubuhnya itu, dia tidak ingin mati mengenaskan dalam keadaan seperti ini.
Tapi sayang keinginannya tidak mungkin bisa terkabulkan, kecuali menggerakkan kepalanya, sepasang tangan maupun sekujur tubuhnya seolah sudah tidak mau menuruti perintahnya lagi, seluruh bagian tubuhnya sudah kaku dan hilang kontrol.
Begitu juga dengan pinggul, dada serta kakinya, bahkan untuk membalik badannya pun tidak bisa.
Dalam keadaan begini dia hanya bisa menghela napas, berulang kali menghela napas panjang.
"Ooh, jadi kau tidak ingin mampus dengan cara begini?" tegur Si Siang-ho setengah mengejek.
"Hanya cucu kura-kura yang pingin mampus dengan cara begini." jawab Tu Siau-thian dengan napas terengah.
"Padahal tidak ada jeleknya untuk mati dalam keadaan begini, ku jamin tidak ada siksaan dan penderitaan yang akan kau alami."
"Mengapa kau tidak biarkan aku mati secara utuh?"
"Ooh, jadi kau pingin mati secepatnya?"
"Hanya itu saja harapanku, harapan yang terakhir."
Si Siang-ho termenung sejenak, kemudian katanya, "Kalau mendengar perkataanmu tadi, seakan kalau tidak kukabulkan permintaanmu itu, aku jadi rada kebangetan?"
"Lebih baik cepatlah turun tangan!" kini wajahnya mulai mengejang, begitu hebatnya mengejang hingga nyaris tidak berbentuk wajah manusia.
Darah yang dihisap keluar secara perlahan-lahan bukan sesuatu yang enak untuk dirasakan, betul kematian secara begini tidak akan tersisa dan menderita, namun tidak bisa dikatakan sebagai kematian yang nyaman.
Si Siang-ho mengawasi wajahnya sekejap, tiba-tiba ia tertawa.
"Kalau kuturuti keinginanmu, maka jadi tidak mirip."
"Mirip apa?"
"Mirip korban yang tewas gara-gara dihisap darahnya oleh Laron Penghisap Darah," jawab Si Siang-ho sambil mengawasi kawanan makhluk itu.
Seakan baru sadar apa yang terjadi Tu Siau-thian segera berseru, "Jadi itulah sebabnya kau menghisap keluar darah dari tubuhku?"
"Benar!" ternyata Si Siang-ho tidak menyangkal.
"See... sebenarnya apa rencana mu?"
"Tidak ada rencana apa-apa, aku hanya ingin orang lain percaya bahwa kematianmu disebabkan darah dalam tubuhmu habis dihisap oleh kawanan Laron Penghisap Darah."
Tu Siau-thian segera menghela napas panjang, sesaat kemudian katanya lagi sambil tertawa pedih, "Aku rasa darah dalam tubuhku saat ini sudah tinggal tidak seberapa, kenapa kau tidak segera turun tangan?"
Kembali Si Siang-ho memandangnya sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa, "Baiklah, aku kabulkan permintaanmu!" Tangan kanannya segera diayunkan, jarum perak yang berada dalam genggamannya itu segera meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Jarum itu melesat di udara, menembusi kegelapan malam, langsung menghajar kening Tu Siau-thian.
Sebuah sambitan yang langsung merenggut nyawa!
Tu Siau-thian sama sekali tidak menghindar, sekulum senyuman justru menghiasi bibirnya, dia menyongsong datangnya kematian dengan senyuman dikulum.
Berada dalam keadaan seperti ini, bisa mati lebih awal justru merupakan satu kejadian yang patut disyukuri, paling tidak bagi dirinya.
Dia tidak memejamkan matanya, dia biarkan matanya melotot besar, hanya sayang biji matanya sudah tidak memiliki hawa kehidupan, yang tersisa hanya sorot mata yang bikin hati bergidik dan perasaan muak.
Si Siang-ho sama sekali tidak terpengaruhi oleh pemandangan itu, dia malah mengawasi wajah Tu Siau-thian dengan mata melotot, dia malah tertawa tergelak.
"Hahahaha.......bukankah aku sudah kabulkan permintaanmu? Kenapa kau masih saja tidak pejamkan matamu?"
Tu Siau-thian sama sekali tidak bereaksi. Orang mati mana yang bisa memberikan reaksi? Yang nampak saat itu hanya selapis hawa putih yang seakan keluar dari lubang hidungnya.
Apakah hawa putih itu adalah sukmanya? Entahlah!
0-0-0
Angin masih berhembus kencang, hujan masih turun deras.
Ketika Siang Huhoa, Tan Piau dan Yau Kun balik ke kantor pengadilan, hujan sudah semakin mereda.
Mereka bertiga segera menelusuri jalan setapak langsung masuk ke ruang utama.
Ko Thian-liok dan Nyo Sin sudah menunggu dalam ruangan itu, bahkan selain mereka hadir pula tiga orang yang lain.
Dua orang berbaju perwira, mereka adalah pengawal pribadi Ko Thian-liok yang berdiri di sisi kiri kanannya, sementara yang seorang lagi berdandan seorang kongcu dengan pakaian yang halus terbuat dari sutera.
Dipandang dari sudut mana pun orang itu tidak mirip petugas pengadilan, dia pun tidak mirip seorang tamu terhormat.
Tidak ada tamu yang duduk dalam ruang utama dengan mengenakan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu.
Orang itu mengenakan sebuah topi caping dari anyaman bambu yang amat besar dan lebar, bahkan sekeliling topi capingnya dikerudungi pula dengan selembar kain sutera.
Karena wajahnya tersembunyi di balik kain cadar itu maka sulit bagi orang ain untuk melihat dengan jelas bagaimana bentuk wajah aslinya.
Siapakah dia? Apakah orang ini adalah Liong Giok-po?
Sementara Siang Huhoa masih mengawasi raut wajah orang itu, tampaknya orang itupun sedang mengawasi Siang Huhoa.
Terdengar Ko Thian-liok menyapa seraya menjura, "Saudara Siang, cepat amat kehadiranmu."
"Tidak cepat-cepat, maaf kalau kalian harus menunggu lebih lama."
"Tidak usah sungkan, silahkan duduk."
Siang Huhoa tidak sungkan lagi, dia pun duduk disebuah kursi yang persis saling berhadapan dengan orang berkerudung itu, sekali lagi dia awasi wajah orang itu lekat-lekat.
Terdengar Ko Thian-liok kembali berkata, "Saudara Siang, dialah Liong Giok-po Liong kongcu!"
"Benarkah?" dari nada suaranya kelihatan kalau dia merasa sangsi.
Ko Thian-liok segera berpaling ke arah Liong Giok-po, ujarnya pula, "Apakah Liong kongcu masih mempunyai kesan terhadap saudara Siang?"
Liong Giok-po mengangguk.
"Aku selalu memiliki daya ingat yang baik, khususnya terhadap orang kenamaan, kecuali tidak ada kesempatan untuk bersua, kalau tidak aku pasti akan menaruh perhatian secara khusus."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Apalagi saudara Siang adalah orang ternama di antara orang kenamaan lainnya!"
"Aku rasa begitu pula dengan saudara Liong" cepat Siang Huhoa menimpali sambil tertawa.
"Aaah ... masa betul?"
"Betul, hanya sayangnya saat ini ...." mendadak Siang Hu-hoa menghentikan kata-katanya.
"Saat ini aku mengenakan topi lebar dan berkerudung kain sehingga saudara Siang tidak merasa yakin?"
"Benar."
"Sekalipun kulepas topi lebar ini, belum tentu saudara Siang dapat mengenali diriku."
"Aku percaya daya ingatanku tidak kalah dengan daya ingatmu."
"Masalahnya sama sekali tidak menyangkut soal daya ingat."
"Lalu karena alasan apa?"
"Raut wajahku sekarang sudah bukan raut wajah yang dulu lagi."
"Oya?" Siang Huhoa berseru keheranan.
Liong Giok-po tahu kalau orang itu tidak percaya, pelan-pelan dia melepaskan topi dan kain kerudung dari wajahnya.
Siang Huhoa memperhatikan terus gerak-gerik Liong Giok-po, khususnya pada tangan yang sedang memegang topi lebar itu.
Pelan-pelan topi dan kain kerudung itupun terlepas, raut muka Liong Giok-po segera muncul di bawah cahaya lentera.
Mendadak Siang Huhoa merasa jantungnya seakan berhenti berdetak, dia merasa tubuhnya seolah dicambuk orang keras-keras sehingga seluruh badannya mengejang keras.
Yau Kun berseru tertahan, nyaris kata "setan!" melompat keluar dari mulutnya.
Raut wajah Liong Giok-po yang muncul di bawah cahaya lentera sudah tidak mirip lagi dengan wajah manusia, tapi tidak mirip juga dengan wajah setan.
Kalau orang bilang wajah setan itu menyeramkan, maka wajah setan yang menyeramkan itu paling tidak jauh lebih menarik sepuluh kali lipat daripada wajah orang ini.
Selembar wajahnya mirip sekali dengan sebuah semangka yang sudah membusuk, kalau semangka itu berwarna merah maka wajah itu berwarna putih. Putih pucat yang mendirikan bulu roma, putih pucat yang sangat memuakkan, bikin hati siapa pun bergidik, tubuh siapa pun gemetar.
Wajah itu tidak memiliki alis mata, tidak punya kumis maupun jenggot, matanya tidak sama besarnya, ujung kelopak mata kirinya merekah seperti daging yang meletup, tergantung ke bawah dan membentuk sebuah celah yang dalam, di balik celah yang dalam itu terlihat tulang tengkoraknya yang berwarna putih pucat.
Biji mata kanannya mirip mata manusia, sebaliknya biji mata yang sebelah kiri lebih mirip seperti sebutir batu.
Dia tidak memiliki batang hidung karena yang terlihat hanya dua buah lubang besar, bibirnya sebagian besar menggulung ke atas, sementara bibir kirinya terkoyak hingga kehilangan daging segumpil, dari koyakan itu terlihat giginya yang menyeramkan.
Gigi itu berwarna kuning keabu-abuan, sebagian besar sudah rontok atau patah dan tidak merata.
Di atas batok kepalanya terdapat pula sebuah celah dalam yang seakan akan bakal merekah ke kedua belah samping, setengah bagian yang menjorok ke muka masih tersisa beberapa helai rambut.
Kalau bentuk kepala orang ini masih disebut sebagai batok kepala seorang manusia, mungkin orang yang menyebutkan begitu rada tidak waras otidaknya.
Semua orang berdiri terperana, siapa pun tidak menyangka kalau di dunia ini ternyata masih ada manusia dengan bentuk wajah yang begitu aneh. Tidak terkecuali Siang Huhoa.
Sambil membelah celah yang ada di atas batok kepalanya Liong Giok-po berkata, "Sebetulnya celah ini pingin kujahit agar merapat jadi satu, tapi biniku bilang, kalau tidak dijahit malah nampak lebih menarik, maka akupun urungkan niatku untuk menjahitnya."
"Oya?" Siang Huhoa menyahut hambar, sementara hatinya semakin bergidik.
"Wajah yang saudara Siang lihat tempo hari tentunya bukan wajah seperti ini bukan?" kembali Liong Giok-po bertanya sambil tertawa.
Kalau tidak tertawa, wajahnya masih nampak mendingan, begitu tertawa maka seluruh daging wajahnya seolah tersusun menjadi satu yang setiap saat bakal mengelupas dari tempatnya, sungguh mengerikan hati.
Siang Huhoa tidak tega untuk melihat hal ini, sahutnya sambil menghela napas, "Yaa, memang bukan"
"Berarti saudara Siang sudah tidak mengenali wajahku lagi?"
Siang Huhoa tidak menyangkal.
"Berarti saudara Siang tetap menaruh curiga, benarkah aku adalah Liong Giok-po yang asli?" kembali ia bertanya.
"Rasanya hal ini memang sukar untuk dihindari."
"Untung aku masih punya cara lain untuk membuktikan identitasku yang asli," kembali Liong Giok-po tertawa.
"Bagaimana caranya?"
"Di atas tubuhnya terdapat tatto tiga ekor naga!" mendadak Nyo Sin menyela dari samping.
Belum sempat Siang Huhoa mengucapkan sesuatu, Liong Giok-po sudah membuka baju bagian atasnya hingga terbuka sampai bagian pinggang.
Benar juga di bagian dadanya terdapat tatto yang melukiskan tiga ekor naga.
Sambil mengawasi tattonya, Liong Giok-po berkata lagi, "Karena aku berada pada urutan ke tiga, maka orang persilatan menyebutku sebagai Liong sam-kongcu."
"Masalah ini sudah pernah kudengar."
"Justru karena itu aku khusus mencari orang untuk membuatkan tato berlukiskan tiga ekor naga di atas dadaku, aku pribadi memang suka sekali dengan naga."
"Soal inipun pernah kudengar" Siang Huhoa manggut-manggut.
"Tato ini merupakan hasil karya dari Yu-hujin dari kotaraja, sementara lukisan naga itu hasil rancanganku sendiri."
"Yu hujin memang amat termashur di kotaraja, kepandaiannya membuat tatto memang sudah mencapai pada puncak kesempurnaan."
"Itulah sebabnya aku pergi mencarinya."
"Dengan kemampuannya yang luar biasa, caranya membuat tatto memang jauh lebih cermat dan teliti, hasil karyanya jauh lebih hidup."
"Ooh ... kau takut dia pun membuatkan tatto tiga ekor naga di tubuh orang lain?" Liong Giok-po bertanya.
"Kemungkinan semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi."
Liong Giok-po manggut-manggut.
"Kekuatiran seperti ini memang sangat masuk di akal" katanya, "tapi ada satu hal kau pun mesti mengerti dulu secara jelas."
"Soal apa?"
"Tidak lama setelah Yu hujin membuatkan tatto tiga ekor naga di tubuhku, sepasang tangannya lumpuh dan tidak pernah bisa digunakan lagi untuk membuat tatto, ketiga ekor naga ini merupakan hasil karyanya yang terakhir, sedang aku pun merupakan langganannya yang paling buncit."
"Oya?" "
"Oleh sebab itu kau tidak usah kuatir, di kolong langit tidak nanti akan kau temukan tiga ekor naga seperti tatto ku ini muncul di tubuh orang ke dua!"
"Yang kau maksud tidak lama setelah selesai membuat tatto dirimu itu sebetulnya berapa hari?"
"Tiga hari"
"Apakah kejadiannya di saat kau masih muda dulu?"
"Peristiwa itu mungkin terjadi pada tujuh delapan tahun berselang."
"Kau tampaknya tidak terlalu yakin?"
"Siapa yang bisa yakin dengan kejadian yang telah berlangsung tujuh delapan tahun berselang?"
"Lalu kenapa kau begitu yakin ketika menyebutkan selama tiga hari?" tanya Siang Hu-hoa keheranan.
Liong Giok-po hanya tertawa tanpa menjawab.
0-0-0
Laron Penghisap Darah >> Bersambung ke 31
0 comments:
Post a Comment