Join The Community

Premium WordPress Themes

Bajak Laut Kertapati 05

Bajak Laut Kertapati | Bagian 5

"Kau … … pemuda yang berahlak rendah! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri!" Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan, jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan.

Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.

"Sudah cukupkah? atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti datang giliranku!" jawabnya sambil tersenyum dan Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak.

"Kau pemuda tidak tahu malu! Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri! Kau membajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu?"

Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk ayahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah!" Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata!

"Sudah cukupkah?" kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. "Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah!"

"Apa katamu?? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah?"

"Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri!"

"Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku … … aku tidak sudi!"

"Akan tetapi kau tidak melawan kehendak ayahmu. pertunanganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi!"

"Aku … … aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan … … dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?" kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.

"Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi … … kau!"

"Kalau aku mengapa!"

"Kau …… kau …… aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku tak rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau … … jodoh siapa saja!!"

"Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian?"

"Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya!"

Roro Santi memandang denagn mata terbelalak. "Apa maksudmu ……?”

Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanay mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu. "Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu … … kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri!"

"Tidak …….! Bohong …… Tak mungkin aku menyita seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih …… seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri!"

"Diam!" Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. "Dengarlah, Gadis ……! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir! Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat?"

Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis!

Melihat air amata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala dan dada orang yang dikasihinya itu ke dada! Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Santi menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.

"Kalau saja …… kau bukan bajak laut Kertapati …… dan aku ……. Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati …… " bisiknya perlahan.

Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapannya.

Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat, "Tidak …… tidak!! Ini tidak mungkin! Kertapati kaudengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kaukira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni! akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku … aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak … pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa!"

"Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni!" kata Kertapati gemas.

"Apa kaukira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanay untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku!" Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya ang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati.

"Santi, alangkah gagahnya kau! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi!"

"Akan tetapi ayahku …."

"Ayamu membela fihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi!"

Roro Santi memandang marah. " Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cinta kasih antara orang tua dan anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak! Agaknya kau …… kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karena itu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok!"

Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan, "Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni di Banten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya?"

"Oh …… maafkan aku, Kertapati, " kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.

"Jangan kaukira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi …… " Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.

"Kertapati ……. Kertapati …… " kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. " Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, ……. Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat …… membantumu …….!"

"Santi ……!" Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatiku bulat-bulat terhdap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu.

Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan, " Kertapati!"

Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.

"Masuklah, Karim!" kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.

Seorang pemuda bertubuh kecil masuk dan matanya mengerling ke arah Roro Santi yang memandangnya dengan tenang. Kalau Karim memiliki mata tajam, tentu ia akan melihat betapa mata gadis itu berbeda sekali dengan kemarin nampak sedih dan amrah, kini nampak berseri-seri dan seakan-akan cahaya baru timbul dari manik matanya!

"Kompeni mengumumkan bahwa kelima orang kawan kita yang tertawan, akan dibebaskan apabila kita megembalikan puteri Adipati ini. Kompeni mengajak bertukar tawanan, satu lawan lima!"

"Baik." Kertapati mengangguk. "Siapkan kudaku!"

Karim keluar lagi dengan muka girang karena kawan-kawannya yang tertawan akan dibebaskan kembali. Setelah Karim pergi Kertapati duduk dengan muka muram dan kening dikerutkan, sikap yang belum pernah nampak pada diri anak muda ini sebelum Roro Santi masuk ke lubuk hatinya! Pemuda ini biasanya berani, tabah, gembira dan tak pernah menyusahkan sesuatu, akan tetapi sekarang, baru saja ia bertukar kasih dengan Roro Santi, ia sudah menderita kekawatiran, kesedihan dan kebingungan karena perpisahan dari kekasihnya ini!

Dalam hal ini, ada betulnya juga kata setengah orang bahwa penderitaan laki-laki datang dari wanita! Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa segala kebahagiaan laki-laki timbul dari wanita pula!

Roro Santi mklum akan jalan pikiran Kertapati, maka ia lalu mendekat dan menaruhkan tangannya ke atas pundak kepala bajak yang duduk di atas bangku itu.

"Kertapati, kedudukan dan kebaktian kita merupakan jurang yang lebar dan dalam yang memisahkan kita. Akan tetapi, jangan kau gelisah. Sebagaimana yang telah kau katakan tadi, orang macam Dolleman atau laki-laki yang manapun juga, hanya akan dapat menjamah tubuhku yang sudah menjadi mayat!"

Kertapati berdiri dan memegang tangan gadis itu. Sepuluh jari tangan mereka saling genggam erat-erat merupakan sumpah atau janji bisu yang tak terdengar oleh telinga akan tetapi telah mengukir di dalam hati masing-masing.

"Santi, kau memberi kekuatan kepadaku untuk melanjutkan tugasku, bahkau kau menjadi penambah semangat bagiku! Karena aku tahu bahwa sungguhpun kau berdiri di seberang sana, akan tetapi hatimu berada di dekatku selalu. Jangan kuatir, kekasihku, siapapun orangnya yang berani mengganggumu, akan berhadapan dengan Kertapati, dan akan merasakan pembalasan tangan Kertapati! Kita pasti akan, bertemu kembali Santi!"

Sambil menekan tangan pemuda itu Roro Santi berkata dengan air mata berlinang. "Pasti Kertapati, akupun yakin akan hal ini!"

Kuda telah dipersiapkan dan Kertapati berkata kepada kawan-kawannya yang berada di depan rumah itu.

" Kawan-kawan, aku sendiri akan mengantarkan puteri ini kembali ke Jepara, untuk ditukar dengan lima orang kawan-kawan kita!"

" Akan tetapi, baagaimana kalau ini merupakan suatu perangkap untukmu, Kertapati?" kata seorang kawannya.

Pemuda itu tersenyum. " Mereka takkan mencelakakan puteri ini, dan kalian tahu bahwa aku tak begitu bodoh untuk mudah saja masuk dalam perangkap seperti seekor tikus!" Dengan sigapnya, ia lalu membantu Roro Santi naik ke atas kudanya yang berbulu dawuk (kelabu) kemudian ia melompat di belakang gadis itu dan membalapkan kudanya yang berlari congklang.

"Alangkah senengnya hidupku apabila setiap hari aku dapat bersama kau menunggang kuda seperti sekarang ini!" kata Kertapati sambil menghela napas. Mendengar ucapan ini, Roro Santi juga menarik napas panjang.

Setelah tiba di luar pintu gerbang, Kertapati menahan kudanya.

"Hati-hati Kertapati, aku kuatir kalau-kalau Kompeni akan menipumu, " berkata Roro Santi dengan tubuh gemetar.

Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul sepasukan penjaga dan beberapa orang serdadu yang dikepalai oleh Dolleman sendiri. Mereka mengiringkan lima orang kawan-kawan Kertapati yang dibelenggu dengan rantai panjang pada lengan mereka.

"Kertapati!" Dolleman berseru dari jauh. " Kau lepaskan tunanganku dan aku akan membebaskan lima orang kawan-kawanmu!"

Bukan main mendongkolnya hati Kertapati mendengar Dolleman menyebut Roro Santi sebagai tunangannya. Akan tetapi ia menahan marahnya dan tertawa menghina.

" Siapakah yang sudi mempercayai omongan palsu yang keluar dari mulut Kompeni? Kaukira aku tidak tahu bahwa begitu puteri ini tiba ditempatmu, kau dan kaki tanganmu akan menembak kami berenam? Ha, mukamu menjadi makin merah! Tak perlu kau merasa malu karena rahasia hatimu telah kuketahui. Lebih baik kau lekas pergi, aku tak sudi berurusan dengan Kompeni. Puteri ini adalah anak dari Adipati Wiguna, maka biarlah Adipati Wiguna sendiri yang berurusan dengan aku dan mengadakan pertukaran tawanan ini!"

Marahlah Dolleman mendengar ini " Kertapati, kau menghina Kompeni! Akan tiba masanya kau dan seluruh gerombolanmu mampus ditangan Kompeni!" kata Dolleman.

" Ha, ha, Dolleman, bagi kami, ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Kompeni tak berharga sedikitpun juga. Lekas kau pergi dan biar Adipati Wiguna sendiri menjemput puetrinya!" Kertapati mengusir pula.

Setelah menyumpah-nyumpah karena merasa terhina sekali, akhirnya Dolleman mengalah dan menarik mundur pasukannya. Tak lama kemudian, Wiguna sendiri datang dan mengiringkan lima orang anggota bajak laut itu. Adipati Wiguna merasa terharu sekali melihat puterinya, maka ia lalu berlari-lari menghampiri Kertapati dan puterinya.

" Santi ……!" ayah yang merasa bahagia ini lalu memeluk puterinya dan menatap wajahnya seperti orang menyelidik. " Bagaimana, Santi? Kau tak apa-apa, nak?"

Roro Santi atersenyum dan menggelengkan kepalanya. " Kertapati bukanlah penjahat yang suka mengganggu wanita seperti para pangeran muda ayah. Saya diperlakukan baik sekali. …… "

" Syukur ….. dan terima kasih, Kertapati. " Akan tetapi kertapati tak memperhatikan mereka, karena sedang sibuk untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan kelima kawannya setelah menerima kuncinya dari tangan Wiguna.

" Kertapati, kau hati-hatilah, " kemudian terdengar Adipati Wiguna berbisik, " mungkin sekali perjalananmu pulang akan dicegat oleh Dolleman!"

Mendengar ini, pucatlah wajah Roro Santi, dan Kertapati memandang dengan tajam kepada Adipati Wiguna seakan-akan hendak menjenguk isi hati orang tua itu.

" Pernah kau mendengar nama Wirataman yang membantu Trunajaya? Dia adalah adik kandungku! Kau berlaku baik terhadap anakku!" Setelah mengeluarkan ucapan singkat ini kepada Kertapati yang mendengar dengan muka terheran, Adipati Wiguna lalu manrik tangan anaknya, diajak kembali ke dalam kota. Beberapa kali Roro Santi menengok, akan tetapi Kertapati yang merasa kuatir kalau-kalau terdahului oleh Dolleman, telah memberi perintah kilat kepada lima orang kawannya. Mereka berunding sebentar, lalu enam orang itu berlari cepat memasuki hutan dengan terpencar! Oleh karena ini, biarpun Dolleman dan pasukannay telah mencegat perjalanan kertapati, mereka tidak menjumpai enam orang itu, hanya melihat seekor kuda tanpa penunggang yang berlari cepat bagaikan setan! sekali lagi Dolleman menympah-nyumpah karena merasa telah dipermainkan oleh Kertapati.

Semenjak pertemuannya dengan Roro Santi, kawanan bajak laut Kertapati makin mengganas, dan kini sasaran penyerbuan mereka semata-mata hanyalah perahu-perahu Kompeni. Perahu-perahu kecil panjang yangberwarna hitam dan berlayar hitam pula itu, muncul di mana-mana bagaikan setan-setan laut. Memang, Kertapati mendapat benyak pengikut yang setia dan kini ia melakukan operasi dengan berpencar menjadi tiga kelompok. Dan tiga kelompok inilah yang selalu mengganggu di sepanjang pantai, dan kini daerah mereka diperpanjang sampai Tuban.

Pada waktu itu, semenjak mengadakan janjian dengan Sunan Amangkurat II untuk membantu usaha Sunan itu merampas kembali Mataram dari tangan Trunajaya, Kompeni lalu mengumpulkan kekuatan balatentaranya. Sudah menjadi siasat dan kelicikan Kompeni untuk mempergunakan tenaga orang lain, mengadu domba penduduk pribumi sendiri, mengadakan pengaruh " uang sogokan " yangebrasal dari perasan bumi Indonesia sendiri! Demikianlah, maka mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang besar jumlahnya yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yakni diantaranya orang-orang Mardika, Melayu, Makasar, Ambon, dan sebagainya. Orang-orang Belanda sendiri yang ikut dalam pasukan itu tentu saja menjadi opsir-opsirnya! Pasukan-pasukan ini didatangkan dari luar Pulau Jawa untuk disatukan dengan pasukan-pasukan dari Amangkurat II sendiri dan kemudian untuk dipimpin melakukan penyerbuan besar-besaran ke Mataram!

Pada waktu itulah maka Kertapati menjalankan perjuangan yang hebat. Perahu-perahu Kompeni yang membawa pasyukan-pasukan ini, seringkali mendapat gangguan hebat. Penyerangan para bajak laut itu memang dahsyat dan mengerikan. Pada waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba diserang oleh panah-panah api yang meluncur dari sekelilingnya. Mereka sukar sekali membalas oleh karena perahu-perahu bajak itu hitam dan tidak memakai api penerangan.

Pada saat tembakan ditujukan ke arah tempat dari mana meluncur panah api, perahu itu dengan cepatnya telah pergi ke lain bagian. Tiap kali panah api dilepas, perahu bajak yang ringan, runcing dan panjang itu bergerak maju cepat-cepat sehingga peluru-peluru Kompeni hanya mengenai air kosong apabila perahu Kompeni itu telah mulai terbakar layar-layarnya dan semua anak perahu terpaksa melompat ke dalam air!

Dengan cara demikian, tidak kurang dari enam buah perahu kena dihancurkan oleh anak buah bajak laut. Kertapati, dan entah berapa banyak pasukan yang mampus karena terbakar atau tenggelam!

Dalam penyerangan-penyerangan ini. Kertapati selalu berada di depan dan serngkali pemuda ini melakukan perbuatan-perbuatan berani luar biasa yang amat menggumkan. Pernah ia menyamar sebagai seorang nelayan tua yang menjala ikan dan ketika perahu Kompeni lewat, ia memberi tanda bahwa ia melihat adanya bajak laut! Tentu saja ia lalu dinaikkan ke perahu untuk ditanya lebih jelas.

"Tadi hamba melihat lima buah perahu berlayar ke barat, " demikian katanya dengan tubuh gemetar dan bibirnya yang keriputan menggigil. " perahu-perahu kecil panjang berwarna hitam …… "

Dan ketika kapten belanda datang mendekatinya secepat kilat Kertapati menangkapnya, mengancam dengan keris di lambung kapten itu dan menyeretnya ke kamar mesin! Tak seorangpun diantara penumpang perahu berani menyerang atau menembak, kuatir kalau-kalau akan mencelakai kapen Belanda itu. Kemudian, sambil mempergunakan kapten itu sebagai perisai, kertapati membakar kamar mesin lalu menyeret kapten itu ke geladak dan bersama-sama melempar diri ke dalam air!

Ketika anak buah kapten itu sibuk hendak menolong kaptennya, tiba-tiba api yang dilepas oleh Kertapati telah menjalar menyabar bahan bakar sehingga perahu itu meledak dan terbakar hebat! Kertapati sendiri telah selamat dan di angkat oleh kawan-kawannya yang telah menanti-nanti dengan hati berdebar menyaksikan perbuatan pemimpin mereka itu dari jauh!

Masih banyak hal-hal yang luar biasa dan penuh keberanian dilakukan oleh Kertapati dan anak buahnya. Bahkan mereka pernah mencoba untuk membakar sebuah kapal Kompeni yang amat besar dan diperlengkapi dengan meriam-meriam. Kapal itu sedang berlabuh di pelabuhan Semarang yang besar dan terdapat banyak penjaga, nemun bajak laut Kertapati tak kenal takut dan berani mencobanya!

Biarpun mereka hanya berhasil membakar layarnya saja dengan api karen akeburu datang serbuan dari para penjaga sehingga seorang anak buah Kertapati tewas kena tembak, namun perbuatan ini membuat nama bajak laut itu makin ditakuti.

Dolleman makin merasa benci dan marah kepada Kertapai oleh karena kegagalannya untuk menangkap atau membunuh bajak laut itu membuat ia mendapat teguran hebat dari atasannya di Semarang.

"Percuma saja kau menyebut dirimu sebagai mata-mata dan penyelidik yang terpandai an tercakap di seluruh Hindia, " atasannya itu menegurnya " Baru menghadapi seorang bajak laut kecil seperti Kertapati saja kau tidak berdaya! Tahu-tahu kau bahwa Dewan Hindia telah menegurku karena gangguan-gangguan Kertapati itu? Mulai sekarang kau harus kembali ke Semarang, tiada gunanya kau tinggal berbulan-bulan di Jepara kalau tidak mampu membekuk Kertapati. Biar aku menugaskan kepada lain orang!"

Marah, malu, dan mendongkol mengaduk-aduk pikiran dan hati Doleman ketika ia mendengar teguran ini.

"Berilah aku ketika barang sebulan lagi," katanya memohon, " kalau dalam sebulan aku tidak dapat menangkapnya, lebih baik aku dikirim kembali ke Negeri Belanda!" Akhirnya atasannya memberi waktu sebulan kepadanya dan dengan hati mendongkol lalu kembali ke Jepara. Ia maklum bahwa biarpun pada waktu itu Kertapati tidak berada disekitar Jepara karena seringkali bajak laut itu muncul di daerah Semarang, akan tetapi ia tahu bahwa di daerah Jepara banyak terdapat mata-mata dan anak buah bajak laut sendiri bukan kawan-kawan atau anak buahnya? Buktinya Jiman yang ditembaknya dulu, yang menjadi orang kepercayaannya, ternyata juga menjadi anak buah bajak laut Kertapati!

Sehari semalam Dolleman tidak keluar dari kamarnya, memeras otak dan mencari siasat. Ia teringat kepada Adipati Wiguna. Dapatkah adipati itu dipercaya? Ia mulai merasa curiga kepada Adipati Wiguna semenjak Roro Santi dikirim kembali oleh Kertapati. Siapa lagi kalau bukan Adipati Wiguna yang membuat Kertapati dan kawan-kawannay tahu bahwa ia dan pasukannya mencegat jalan pulangnya? akan tetapi masih ada kemungkinan –kemungkinan lain, misalnya memang mungkin bajak laut yang cerdik itu sengaja berpencar karena merasa curiga dan berlaku hati-hati, atau boleh jadi yang emmbocorkannya adalah orang lain, seorang diantaranya para penjaga sendiri misalnya! Ah, ia menjadi binggung dan mulai merasa curiga kepada semua orang! Bahkan kepada Roro Santi ia menaruh curiga! Setidak-tidaknya gadis itu pernah berdua dengan kepala bajak itu dan ia tahu pula betapa gagah dan tampannya Kertapati sehingga melihat pandang mata mereka ketika duduk diatas kuda berdua, ah …… siapa tahu?

Akhirnya ia mengambil keputusan. "Tidak ada jalan lain yang cukup menguntungkan aku!" katanya kepada diri sendiri. "Dengan akal ini, seandainya aku tak berhasil menangkap Kertapati sebagai gantinya aku akan mendapatkan Roro Santi …… " ia meramkan matanya dan membayangkan bentuk tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu, "cukup menarik untuk menghibur kedukaanku apabila aku gagal dalam pekerjaan ini!"

Setelah mengambil keputusan yang agaknya memuaskan, hatinya ini, Dolleman lalu melempar tubuhnya di atas tempat tidur dan mendengkurlah dia seperti babi disembelih.

" Dia terlalu jahat! Sukar sekali untuk menangkapnya, maka tidak ada jalan lain, tuan Adipati, akal ini harus dijalankan!" Dolleman mendesak.

Adipati Wiguna mengerutkan kening dan sebetulnya ia tidak setuju sekali. " Akan tetapi, tuan Letnan, kalau mereka menyerbu perahumu, anakku akan berada dalam bahaya. Pula, bukankah pertunangan itu hanya sekadar memancing kertapati belaka? Bagaimana dengan pertunangan anakku dengan putera Bupati Randupati? Juga, anakku tentu akan merasa keberatan, karena namanya akan cemar, menjadi ejekan orang …… "

" Mengapa, tuan Adipati? Aku tidak bermaksud buruk. Hanya pura-pura saja puterimu ikut aku ke Semarang untuk menjalankan upacara pernikahan. Kau dan yang lain-lain boleh mendahului ke Semarang dengan jalan darat dan menjemput puterimu di pelabuhan Semarang. Aku hanya membutuhkan puterimu di atas perahu saja, sepanjang pelayaran dari Jepara ke Semarang. Muncul atau tidaknya ertapati, pasti puterimu akan tiba di Semarang dengan selamat. Aku menjamin!"

Bersambung ke Bagian 6

Nomor Sebelumnya: 01 | 02 | 03 | 04 |

0 comments: