Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
4. Siapakah Dia Sebenarnya?
PENDATANG itu memegang golok di tangan kanannya dan membawa lilin di tangan yang lain, sinar lilin persis menyinari raut mukanya, dia bukan lain adalah pemuda yang nyaris bertumbukan dengan Ong Siau-sik tengah hari tadi di tengah lapangan. Wajah orang itu nampak lebih indah dan menarik, sorotan cahaya lilin membuat penampilannya lebih menawan hati.
Kini seluruh penerangan dalam ruangan telah padam, yang tersisa hanya pancaran sinar lilin yang berasal dari tangannya. Sementara pihak musuh berkumpul jadi satu di balik kegelapan bagaikan sebuah gentong, sorot matanya justru tetap bersinar terang dan berkilauan, hanya kegembiraan yang menghiasi wajahnya, sama sekali tak tersirat perasaan takut barang sedikit pun.
“Ooh, rupanya hanya seorang nona cilik, ilmu golok yang hebat!” hardik Ho Tong nyaring.
Orang itu nampak amat senang ketika mendengar ada orang memuji kehebatan ilmu goloknya, tapi alis matanya kontan bekenyit begitu mendengar ia disebut ‘nona cilik’. Dengan suara nyaring tegurnya, “Darimana kau tahu kalau aku adalah seorang nona cilik?”
Begitu perkataan itu diutarakan, semua jago yang semula masih tercengang oleh kehebatan ilmu goloknya, kini tak kuasa menahan rasa gelinya, semua orang tertawa terbahak-bahak.
Sambil menuding ke ujung hidung sendiri, Ho Tong bertanya seraya tertawa, “Menurut pendapatmu aku ini lelaki atau wanita?”
“Tentu saja lelaki,” sahut pemuda itu mendongkol, “memangnya manusia macam kau bisa seorang wanita?”
“Nah itu dia,” sahut Ho Tong sambil menirukan nada bicaranya, “kalau kau bukan perempuan, memangnya manusia macam kau bisa seorang lelaki.” Bicara sampai di situ ia segera menggerakkan tangannya membuat gerakan gundukan di depan dada sendiri.
Gadis itu amat jengkel, sambil mendepakkan kakinya ber-ulang kali ia maju selangkah sambil menenteng goloknya, kembali serunya, “Kalian manusia busuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong memang pintarnya melakukan perbuatan jahat! Membuat cacad anak-anak, menculik dan menipu bocah, hmmm! Akan kutangkap kalian semua untuk diserahkan ke kantor polisi!”
“Kau ingin menangkap aku?” Ho tong mundur selangkah sambil menuding ujung hidung sendiri.
“Bukan cuma kau, tapi akan kutangkap semuanya!”
Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan, semua orang tertawa geli karena ucapan itu. Sambil tertawa Ho Tong mengamati ujung golok lawan dengan matanya yang setengah terpicing, sementara dalam hati kecilnya ia tahu jelas bahwa bocah ini sama sekali belum berpengalaman dalam dunia persilatan meski ilmu goloknya cukup hebat.
“Kenapa tidak kubuat dia marah dulu, kemudian baru turun tangan?” demikian ia berpikir.
Mengimbangi pernyataan rekannya tadi, Ku Han-lim ikut bertanya sambil tertawa, “Buat apa kau menangkap kami semua?”
Sementara Ting Siu-hok sambil menjulurkan sepasang tangannya berseru pula, “Kau ingin menangkap aku bukan? Ayo, tangkaplah! Kalau bisa mati di bawah tangan bunga botan, jadi setan pun pasti setan romantis ... nona mau memberi hadiah, sudah sepantasnya kuterima pemberian itu. Silakan, silakan, silakan!”
Kembali semua orang tertawa tergelak, kali ini gelak tertawa mereka malah disisipi perasaan cabul dan jahat.
Hanya Li Tan seorang yang tidak tertawa, ia sadar bahwa semua perbuatan dan ulahnya yang memalukan telah diketahui lawan, kendati pun dia berbuat begitu karena perintah perkumpulan Lak-hun-poan-tong, namun bila berita itu sampai tersebar luas, dia bersama kelompoknya yang tetap harus menanggung rasa malu dan nama busuk. Oleh karena itu diam-diam ia mengambil keputusan, apapun jadinya, dia tak akan mengijinkan gadis itu berlalu dari situ dalam keadaan hidup.
Mendadak gadis itu mendengus dingin, paras mukanya berubah sedingin salju, menyusul kemudian tampak cahaya lilin bergetar keras.
“Hati-hati ...!” bentak Ho Tong keras.
Lekas Ting Siu-hok mundur ke samping, “Blaam, blaam!”, diiringi suara keras, kedua orang yang berdiri di belakangnya sudah terpental mundur dari posisi semula. Menanti ia berhasil berdiri tegak, tampaklah dua buah robekan besar muncul di jubah bagian pinggangnya.
Pucat pias selebar muka Ting Siu-hok, setelah memperhatikan sekejap robekan di atas jubah sendiri, dia mengawasi pula gadis itu sekejap, sadar akan kehebatan orang, dia tak berani lagi mendekati lawannya.
Bukan hanya dia seorang yang kaget, hampir semua jago yang hadir dalam ruangan ikut terpana dibuatnya, mereka tidak menyangka kalau si nona memiliki ilmu golok secepat ini, hanya tampak cahaya lilin bergetar, tahu-tahu tubuh Ting Siu-hok nyaris terbabat kutung jadi dua bagian, masih untung orang she Ting ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kalau tidak, entah apa jadinya.
Ho Tong mendengus dingin, wajahnya berubah amat serius, baru saja dia hendak turun tangan, tiba-tiba terdengar Tio Thiat-leng menegur, “Apa hubunganmu dengan So Bong-seng?”
Kali ini giliran gadis itu yang melengak, dia balik berseru, “Darimana kau tahu kalau aku dan Toa-suheng ....” Sadar kalau telah salah bicara, lekas ia tutup mulut.
Tio Thiat-leng manggut-manggut berulang kali, selanya, “Tak heran kalau kau pun pandai menggunakan ilmu golok bintang Seng-seng-to-hoat dari bukit Siau-han-san!”
“Haah, kalau begitu kau adalah si gadis sakti yang belakangan ini menggetarkan sungai telaga, Siau-han-san-yan (si Burung Walet dari Bukit Siau-han-san) Un Ji, Un-lihiap?” seru Ho Tong pula.
“Jika kau memang anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, jangan harap malam ini kau bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!” ujar Tio Thiat-leng kemudian, suaranya keras dan tegas bagaikan emas yang membentur cadas, sorot matanya setajam sembilu.
“Kau salah menduga,” dengan lembut gadis itu mendongakkan kepala, “aku bukan anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, kedatanganku ke kotaraja kali ini adalah untuk mencari tahu suatu masalah, ingin menanyakan satu hal kepada Toa-suheng, kenapa sih urusan jadi makin serius dan gontok-gontokan semakin parah. Cuma ... jangan kalian anggap lantaran menghadapi jumlah banyak lantas aku takut, justru aku datang untuk mencari tahu siapa biang keladi perbuatan keji ini, jadi kalian pun jangan harap bisa kabur dari sini dengan selamat!”
“Kami memang tak bermaksud kabur!” jengek Ho Tong sambil menyeringai seram.
Kawanan jago lainnya ikut tertawa tergelak, meski begitu, setiap orang diam-diam meningkatkan kewaspadaannya, mereka kuatir Un Ji melancarkan serangan lagi sehingga mereka yang teledor jadi korban.
“Kami justru merasa senang karena Un-lihiap mau mengantar diri,” kata Ku Han-lim pula sambil tertawa, “jangankan kabur, kami malah akan menyambut kedatanganmu dengan senang hati!”
“Ya. Jika Siau-moay dari So-kongcu tertawan, dapat dipastikan kejadian ini merupakan sebuah pahala besar yang jarang dijumpai dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong,” Ho Tong menambahkan.
Begitu ucapan ini diutarakan, serentak para jago merangsek ke depan untuk melakukan pengepungan, dalam waktu singkat situasi berubah jadi tegang, tampaknya setiap saat pertarungan bakal meletus.
Li Tan dan Li Ciau-hong tak mau ketinggalan, dengan penuh napsu mereka merangsek ke muka dan siap melancarkan serangan.
Di antara kawanan jago itu, Ting Siu-hok adalah jago yang paling bernapsu membekuk gadis itu, pertama karena dia ingin membalas sakit hati karena rasa malu yang dideritanya tadi, kedua karena dia memang seorang lelaki pemogoran yang suka pipi licin.
Belum sempat Li Tan, Li Ciau-hong dan Ting Siu-hok ber-gerak maju, Ku Han-lim yang berada di samping arena sudah turun tangan lebih dahulu. Bagi Ku Han-lim, hanya ada satu alasan mengapa harus segera turun tangan: Mencari pahala!
Dari perkataan Ho tong tadi, ia sadar kalau inilah ke-sempatan emas baginya untuk mencari pahala, maka tidak menunggu orang lain turun tangan, ia sudah merangsek lebih dulu ke depan, sepasang tangan dengan kesepuluh jari tangan-nya segera melancarkan tujuh totokan maut ke tubuh lawan, dia berniat menghabisi lawannya dalam satu gebrakan.
Kepandaian silat yang dimiliki Li Tan bersaudara serta Ting Siu-hok tidak selisih banyak dengannya, tentu saja mereka bertiga tak ingin ketinggalan dari rekannya, maka hampir pada saat bersamaan keempat orang jago tangguh itu menerkam ke arah Un Ji.
Walau sekilas pandang serangan itu dilancarkan berbarengan, namun kenyataan ancaman datang secara berurutan, karena Ku Han-lim yang menyerang duluan, maka dia juga yang pertama kali menghadapi ancaman cahaya golok.
Baru saja tubuhnya bergerak, cahaya golok telah meng-ancam tiba, dengan perasaan kaget, cepat dia mundur ke belakang dan cahaya golok pun ikut lenyap. Li Tan menjadi orang kedua yang melancarkan serangan, kungfunya memang setingkat lebih tinggi dari kepandaian Li Ciau-hong, karenanya kendati pun mereka menyerang secara berbarengan, namun ancamannya sedikit lebih cepat mengancam sasaran. Dengan demikian dia pun menjadi orang kedua yang menerima ancaman cahaya golok itu.
Serangan golok muncul sangat cepat, selain cepat juga amat ringan dan lembut, selembut hembusan angin semilir, sehalus cahaya rembulan di angkasa. Serangan yang datang dengan kekuatan dahsyat, bukan halangan bagi Li Tan untuk menghadapinya, tapi menjumpai ancaman golok yang begitu halus, begitu lembut dan enteng, dia jadi kelabakan dan tak tahu bagaimana mesti menghadapinya.
Dalam keadaan begini, mau tak mau dia harus mundur. Karena dia mundur, cahaya golok itu mengancam tubuh Li Ciau-hong. Perempuan itu sangat kaget, dia ingin menangkis tapi ter-lambat, mau menghindar juga tak sempat lagi, sebaliknya jika merangsek maju sama artinya dia akan termakan bacokan itu, dalam paniknya segera dia mundur sejauh tujuh langkah.
Kini cahaya golok itu menyongsong datangnya ancaman dari Ting Siu-hok. Tadi Ting Siu-hok sudah pernah menjajal keampuhan golok Un Ji, rasa ngeri segera muncul begitu melihat datangnya ancaman, tentu saja dia tak berani ayal lagi, melihat ketiga orang yang berada di depannya serentak mundur, tanpa memikirkan soal gengsi lagi dia ikut bergerak mundur ke belakang.
Kembali Un Ji mengobat-abitkan goloknya ke empat penjuru, kemudian baru ia menarik kembali serangannya. Golok masih berada dalam genggaman gadis itu, bahkan lilin pun masih berada di tangannya secara utuh.
Empat jago tangguh ingin mengerubutnya, siapa sangka hanya dalam empat tebasan golok, keempat orang itu sudah dipaksa mundur secara mengenaskan.
Berhasil menguasai keadaan, Un Ji kembali berpaling ke arah Ho Tong sambil tertawa cekikikan, nadanya penuh ejekan.
Ong Siau-sik merasa amat kagum dengan kehebatan gadis itu, semakin diperhatikan dia merasa semakin kesemsem, baru saja dia berniat memperhatikan lebih seksama, tiba-tiba sesosok bayangan menutupi celah di hadapannya.
Saat itulah ia mendengar seseorang berbisik lirih, berbisik persis di sisi telinganya, “Bila aku berteriak ‘bagus’ nanti, kau segera turun tangan, robohkan Li Tan bersaudara, sementara yang lain serahkan saja kepadaku.”
Ong Siau-sik tertegun. Bayangan punggung yang menutupi pandangan matanya itu ternyata tak lain berasal dari si pelajar yang dijumpai siang tadi, pemuda yang menggendong tangan sambil menengadah ke angkasa.
Dalam pada itu Tio Thiat-leng yang berada di ruangan telah berkata kepada Ho Tong dengan suara dalam, “Kiu-ko, kelihatannya kau tak bisa menyembunyikan ilmu Kim-jiu-eng milikmu lagi.”
Kedua orang itu saling mengangguk sambil perlahan-lahan bergerak ke depan, dengan membentuk satu garis lurus, satu di depan yang lain di belakang, mereka mulai bergerak mendekati gadis itu.
Un Ji dengan wajah dingin dan serius berdiri sambil melintangkan goloknya, setelah mendengus dingin, jengeknya, “Hmmm, kau anggap nonamu takut menghadapi kalian?”
Tio Thiat-leng maupun Ho Tong tidak menjawab, sekali lagi mereka saling bertukar pandang sambil tertawa keras.
“Engkoh Kiu,” ujar Tio Thiat-leng kemudian dingin, “kelihatannya kita mesti menangkap betina ini hidup-hidup, setelah itu biar kuserahkan dia kepadamu, ajari dia agar lebih jinak.”
“Hahaha, jangan kuatir, tapi kita mesti hati-hati, kelihatannya dia hebat juga.”
“Apakah sudah waktunya?” tanya Tio Thiat-leng sambil tertawa dingin.
Ho Tong tak langsung menjawab, ia berpaling ke balik kegelapan dan bertanya, “Bagaimana menurut pandangan saudara Pek?”
Terdengar pemuda pelajar yang berdiri menggendong tangan sambil memandang ke angkasa itu menyahut dengan santai, “Bukankah Ho-tongcu sudah memegang kendali? Kenapa mesti bertanya lagi kepadaku?”
Berkilat sepasang mata Ho Tong, tiba-tiba ia mengernyitkan alis matanya kemudian berseru, “Serang!”
Baru saja Un Ji merasakan jantungnya berdebar keras karena kaget, mendadak telapak tangannya terasa sakit, sedikit saja terpecah perhatian, secepat sambaran petir Ho Tong sudah mencengkeram golok dalam genggamannya.
Gadis itu membentak nyaring, golok Seng-seng-to yang tajamnya luar biasa itu segera diputar setengah lingkaran.
Menghadapi senjata mestika yang amat tajam ini, Ho Tong tak berani gegabah, dari pukulan, cepat sepasang tangannya diubah jadi jepitan, ia berusaha menangkap senjata itu.
“Bagus!” saat itulah pemuda pelajar itu menghardik nyaring.
Berbarengan dengan suara bentakan itu, Tio Thiat-leng melepaskan sebuah pukulan ke punggung Un Ji.
Bagaimanapun hebatnya gadis ini, sayang pengalamannya dalam menghadapi pertarungan masih sangat dangkal, rupanya Ho Tong sengaja mengulur waktu tanpa melancarkan serangan tadi, tak lain karena sedang menunggu lilin yang ada di tangan Un Ji habis terbakar, ketika cairan lilin yang meleleh menembus telapak tangan dan menyebabkan si nona kesakitan itulah dia manfaatkan kesempatan itu untuk merampas golok lawan.
Sementara Tio Thiat-leng yang banyak pengalaman pun tak tinggal diam, dia manfaatkan juga kesempatan itu untuk mencabut nyawanya. Dalam waktu singkat kepalan Tio Thiat-leng sudah tiba di depan dada Un Ji, tampaknya gadis itu segera akan terluka parah.
Sementara Un Ji terperanjat, tiba-tiba pukulan itu menyambar lewat dari sisi telinganya, kepalan kiri langsung menghantam wajah Ho Tong sedang kepalan kanan menghajar dadanya. Tak ampun wajah Ho Tong terhajar hingga retak, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya.
Un Ji menjerit ngeri, dia merasa kakinya lemas saking kagetnya, apalagi menyaksikan tulang wajah orang retak persis di hadapannya. Sungguh dahsyat tenaga pukulan itu, saking kerasnya deru angin serangan itu membuat api lilin padam seketika. Menanti lilin itu disulut kembali, tampak seseorang terjerembab jatuh di luar pintu, orang itu tak lain adalah Ku Han-lim.
Padahal api lilin hanya padam sejenak, namun perubahan yang terjadi dalam ruangan itu luar biasa besarnya. Kini lilin sudah berada dalam genggaman pemuda pelajar itu, dia masih tetap berdiri angkuh dan santai, seolah semua kejadian yang berlangsung di hadapannya sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Namun di atas lantai telah bertambah dengan beberapa sosok tubuh, orang-orang itu hampir semuanya roboh terpakar di lantai. Ku Han-lim, Ting Siu-hok, Li Tan, Li Ciau-hong, Ho Tong beserta seluruh orang yang dibawanya, kini sudah terkapar semua di tanah. Kalau ingin dibilang ada perbedaan di antara mereka, maka perbedaan itu terletak pada dua bersaudara Li.
Li Tan dan Li Ciau-hong hanya tertotok jalan darahnya, sementara kawanan jago yang lain telah kehilangan nyawa secara mengenaskan dalam kegelapan tadi.
Ho Tong telah tewas, dia tewas terhajar sepasang kepalan baja milik Tio Thiat-leng. Rupanya di saat Ho Tong sedang memusatkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi Un Ji tadi, rekan perjuangannya, Tio Thiat-leng justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabisi nyawanya.
Di saat Ho Tong roboh terjungkal ke tanah dan api lilin mendadak padam itulah, pemuda pelajar itu dengan gerakan tubuh yang luar biasa cepatnya menotok jalan darah Ku Han-lim, Ting Siu-hok serta dua belas orang jago lainnya. Di antara sekian jago, Ku Han-lim berusaha melarikan diri dengan membuka pintu kamar, tadi tengkuknya segera tersodok telak hingga roboh terkulai, sementara Ting Siu-hok berusaha kabur dengan menerobos jendela, tapi punggungnya ikut tersodok telak hingga separoh badannya terkulai lemas di atas daun jendela.
Kelompok yang semula memegang kendali akhirnya roboh terkapar secara mengenaskan, sebaliknya orang yang sama sekali tak terduga justru kini menguasai keadaan, bahkan yang lebih mengenaskan adalah pihak yang semula pegang kendali, kini justru tak sanggup berdiri tegak, malah banyak di antaranya yang harus kehilangan nyawa.
Memang begitulah dunia persilatan, seringkali menang kalah ditentukan hanya dalam sedetik.
Ong Siau-sik yang berada di kegelapan hanya sempat mendengar deru angin yang menyambar lewat, disusul suara manusia yang roboh ke lantai, menanti cahaya lilin bersinar kembali, ia lihat pemuda pelajar itu masih berdiri santai seolah belum pernah melakukan serangan.
Tapi Ong Siau-sik tahu, bukan saja dia telah turun tangan bahkan kepandaian silatnya sangat tangguh, justru dialah meru-pakan tokoh yang paling hebat di situ. Begitu ia mendengar pelajar itu berseru “bagus”, maka sesuai dengan bisikan yang diterimanya tadi, Ong Siau-sik langsung menerjang keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang orang yang berada paling dekat dengan posisinya.
Satu-satunya yang tidak dia lakukan adalah melakukan pembunuhan, karena itu dia hanya menotok jalan darah dua bersaudara Li hingga tak mampu bergerak. Kendati pun ia telah merobohkan dua orang lawan, hingga kini dia sendiri pun tidak tahu secara jelas kenapa Tio Thiat-leng tiba-tiba membunuh Ho Tong? Siapa pula pemuda pelajar itu? Apa hubungannya dengan si nona Un Ji yang muncul seolah turun dari langit?
Sementara dia masih termenung, Tio Thiat-leng sudah menepuk tangan seakan sedang membersihkan noda darah dari telapak tangannya, kemudian dengan sorot mata yang tajam dia menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu. Setelah yakin situasi telah teratasi, dengan nada puas ia baru berkata kepada pemuda pelajar itu, “Akhirnya semua telah beres.”
“Ya, semua telah beres!” sahut pelajar itu tertawa.
“Siapa dia?” tanya Tio Thiat-leng lagi sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik, menuding dengan jari tangan yang kaku, persis seperti tangan boneka kayu.
“Hingga sekarang aku pun belum tahu, tapi sebentar kita bakal tahu,” sahut pelajar itu sambil tersenyum.
“Ehm, kelihatannya dia sangat berguna,” seru Tio Thiat-leng dengan pandangan kagum.
“Orang yang berguna biasanya paling enggan digunakan orang lain.”
“Kalau orang berguna tak bisa digunakan, sama artinya dia tak berguna.”
“Kalau belum perlu, janganlah digunakan, bila sudah perlu, gunakanlah!”
“Sungguh menyesal saudara Pek,” ujar Tio Thiat-leng kemudian, “selama ini aku hanya bisa menggunakan orang yang berbakat macam kau untuk keperluan kecil, benar-benar menyia-nyiakan kemampuanmu.”
“Tapi hari ini, aku toh melakukannya demi uang seratus tahil perak,” sela pelajar itu sambil tertawa lebar.
“Jangan kuatir saudara Pek, aku akan menambah lima bagian untukmu,” seru Tio Thiat-leng sambil merogoh sakunya.
Pemuda pelajar itu menerima tiga lembar uang kertas, setelah diperiksa di bawah cahaya lilin, dia masukkan uang itu kedalam saku sambil serunya, “terima kasih banyak!”
Tiba-tiba terdengar Un Ji membentak nyaring, “He, siapa kalian? Mau apa kemari? Sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Gadis ini menjadi sewot karena semua yang hadir seakan tidak memperhatikan Tio Thiat-leng dan Ong Siau-sik, namun semua bersikap begitu acuh, seakan tidak menganggap kehadirannya disitu. Lama-kelamaan dia menjadi jengkel hingga akhirnya mengumbar amarah.
Tio Thiat-leng dan pelajar itu saling bertukar pandang sekejap, kemudian bersama mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Lain halnya dengan Ong Siau-sik, apa yang barusan ditanyakan Un Ji justru merupakan persoalan yang ingin dia ketahui.
Siapa mereka? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Siapa pula perempuan ini? Mau apa dia datang kesitu?
oooOOooo
Bersambung ke bagian 05
0 comments:
Post a Comment