Join The Community

Premium WordPress Themes

Badik Buntung 005. Panggilan Medali Puti Pualam

Badik BuntungBADIK BUNTUNG

Karya: Chin Tung

Saduran: Gan K. H

005. Panggilan Medali Puti Pualam

Bulan purnama tengah memancarkan sinar redup memutih perak menerangi seluruh jagat raya, tampak seorang pemuda tengah bergoyang gontai berjalan menyusuri jalan raya yang dipagari pohon-pohon rindang. Ditimpah sinar bulan nan menyejukkan jelas kelihatan muka si pemuda yang murung seperti dirundung kemalangan entah kekisruhan apa yang tengah membelit hatinya. Sinar kemilau bergoyang-goyang dari sebatang Seruling Batu Pualam yang tergantung di pinggangnya.

Pelan-pelan ia angkat kepala memandang ke arah bulan nan jauh di cakrawala, tak terasa kakinya berhenti melangkah entah apa yang tengah dipikirkan, tak lama kemudian ia mulai beranjak lagi ke depan dengan langkah berat.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat keluar dari dalam rimba di pinggir jalan, persis hinggap di tengah jalan raya dan mencegat di hadapannya….

Segera si pemuda menghentikan langkahnya, pelan-pelan ia berpaling ke arah hutan gelap di pinggir kanannya lalu berputar menghadapi orang di hadapannya ini.

Kiranya itulah seorang Lama yang mengenakan jubah kuning tua, dari penerangan sinar bulan jelas kelihatan, lama jubah kuning ini tak lain tak bukan adalah musuh besar gurunya dulu, yaitu Sam Kong Lama.

Agak lama Sam Kong Lama memicingkan mata mengawasinya, baru ia membuka mulut, “Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?”

Mendengar pertanyaan ini si pemuda rada bimbang, sesaat baru ia menyahut, “Ya, betul!”

Sam Kong Lama bergelak tawa sekeras-kerasnya, ujarnya, “Sungguh besar nyalimu. Sebetulnya tiada niat aku mencari kau, tapi kudengar kau sekaligus telah membunuh puluhan tokoh-tokoh silat kenamaan, malah mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun Cu Wi, apakah berita itu benar adanya?”

Hun Thian-hi meragu, “Benar!” Akhirnya ia mengakui dengan lantang.

Sam Kong Lama menyeringai dingin, jengeknya, “Sungguh tak duga Seruling Selatan punya murid muda yang berhati kejam telengas melebihi kebuasan binatang. Terang dia tak mampu mendidik muridnya, biarlah aku saja yang memberi hajaran!”

Hun Thian-hi tersenyum sombong, ujarnya, “Lebih baik aku bunuh diri di hadapan guruku daripada menerima hajaranmu. Ketahuilah sepak terjang murid Seruling Selatan selamanya tak sudi dikekang orang lain.”

Sam Kong Lama menyeringai dingin, katanya, “Cukup gagah dan besar nyalimu, tak malu menjadi murid Lam-siau. Tapi sepak terjangmu hari ini seumpama Lam-siau sendiri hadir disini, beliau takkan berani merintangi aku untuk menghajar adat kepadamu.”

Berubah air muka Hun Thian-hi, ia maklum bahwa jurus serangan yang dilancarkan itu terlampau ganas dan besar akibatnya. Tak heran orang tua berambut merah tak membunuhnya malah mengajarkan ilmu yang hebat ini, kiranya mempunyai maksud-maksud tersembunyi. Dengan peristiwa yang telah dialaminya ini, terasa betapa menderita pukulan batin yang menimpa dirinya rasanya lebih besar derita yang menimpa dirinya dari pada dibunuh oleh si orang tua berambut merah….

Akhirnya ia tertunduk tanpa bicara, sementara Sam Kong Lama langkah demi langkah menghampiri semakin dekat.

“Tidak!” mendadak Hun Thian-hi angkat kepala dan berteriak tegas.

Sam Kong Lama terhenyak.

Dalam benak Hun Thian-hi tengah membatin, sakit hati orang tua masih belum terbalas betapapun aku tidak sudi dikekang orang lain, apalagi peristiwa ini terjadi bukan karena disengaja.

Maka kata Hun Thian-hi lantang, “Tidak, betapapun aku tidak rela menerima cercah kalian.”

Raut muka Sam Kong Lama berkerut-kerut menampilkan rasa gusar, katanya, “Semakin kau berkukuh dosamu semakin tak berumpun, akan kuseret kau kehadapan gurumu, coba kulihat cara bagaimana dia akan mendidikmu sekali lagi!”

Hun Thian-hi menanggalkan serulingnya sembari tertawa panjang, ujarnya, “Kalau kau mampu membekuk aku, dengan senang hati aku ikut kepadamu.”

Sam Kong Lama terbahak dua kali, ujarnya, “Dua puluh tahun yang lalu aku pernah bergebrak dengan gurumu, akhirnya sama-sama terluka berat. Aku harus mengakui secara pribadi gurumu adalah seseorang tokoh kenamaan yang sangat kuhormati, sungguh tak duga dia punya murid macam kau yang tak bisa mengurus diri!”

Berkilat mata Hun Thian-hi desisnya dengan kukuh, “Urusan ini tak perlu kau turut campur.”

Saking murka Sam Kong Lama bergelak tawa menggelegar, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul laksana seekor burung elang yang menyamber mangsanya langsung menubruk ke arah Hun Thian-hi.

Hun Thian-hi tahu bahwa Sam Kong Lama ini merupakan tokoh nomor satu di luar perbatasan, seorang tokoh yang tidak boleh diganggu usik, melihat sedemikan hebat terjangan orang, gesit sekali ia melompat mundur, pikirnya hendak meluputkan diri dari jurus serangan pertama ini. Tak kira badan besar Sam Kong Lama tiba-tiba jumpalitan dan berputar cepat di tengah udara tahu-tahu kedua kakinya sudah menyapu datang ke arah Hun Thian-hi….

Hun Thian-hi menggeser ke samping berbareng serulingnya melintang mengetuk jalan darah Yung-cwan-hiat di mata kaki Sam Kong Lama.

“Bagus!” Sam Kong Lama berseru memuji, disusul tubuhnya bergerak lurus seperti berhenti di tengah udara, secepat kilat kedua telapak tangannya sudah menepuk datang kedada Hun Thian-hi.

Bercekat hati Hun Thian-hi, diam-diam ia kagum dalam hati akan keanehan dan kecepatan perubahan jurus tipu serangan Sam Kong Lama ini. Dalam saat-saat genting ini tiada waktu untuk banyak berpikir, tangkas sekali ia bergerak memutar meluputkan diri. “Trang”, tahu-tahu Badik Buntung sudah digenggam di tangan kirinya, berdiri tegap menghimpun semangat ia nantikan gebrak selanjutnya.

Baru pertama kali ini Sam Kong Lama menyaksikan Badik Buntung, maka ia menjadi was-was tak berani sembarangan menyerang, lama dan lama sekali ia menatap wajah Hun Thian-hi tanpa bergerak.

Hun Thian-hi sendiri juga tegak berdiri bersiaga tanpa berani sembarangan bergerak.

Rada lama kemudian baru Sam Kong Lama berkata lirih, “Tak malu kau menjadi murid Lam-sia!” Hilang suaranya laksana geledek menyamber mendadak ia menubruk maju lagi seraya menyerang dengan dahsyat.

Hun Thian-hi bersuit nyaring, gerak tubuhnya pun tak kalah cepatnya menyongsong maju, tangan kanan membalingkan Seruling pualam mengembangkan ilmu Thian-liong-jhit-sek mengombinasikan Badik Buntung di tangan kiri merangsak dengan berani ke arah Sam Kong Lama.

Kedua belah pihak tengah meluncur cepat saling terjang di tengah udara, dalam sedetik itu mereka sudah saling serang sebanyak lima jurus baru meluncur turun dan hinggap di atas tanah.

Tampak Sam Kong Lama menampilkan rasa kagum dan keheranan, katanya, “Betul-betul murid Lam-sia yang gagah perkasa!”

Sebaliknya Hun Thian-hi mematung ditempatnya tanpa bergerak dan bicara. Dalam kejap lain rona wajah Sam Kong Lama berubah putus asa dan murung, sekonyong-konyong tubuhnya mencelat lagi menerjang ke arah Hun Thian-hi.

Meski lahirnya Hun Thian-hi berlaku tenang dan wajar, sebenar-benarnya susah payah tadi ia menyambut lima kali serangan lawan secara keras lawan keras, dadanya terasa bergetar dan sakit sehingga napas rada sesak.

Kini melihat lawan menerjang lagi, maka kapok sudah ia, tak berani main kekerasan, cepat-cepat ia membuang diri ke samping.

Tapi betapa luas pengalaman tempur Sam Kong Lama, sembari mendengus hidung kedua tangannya bergerak menyilang satu di belakang dan yang lain di depan saling susul menghantam ke arah Hun Thian-hi.

Terpaksa Hun Thian-hi menyapukan Seruling pualam setengah lingkaran di tengah udara terus mengepruk ke depan. Begitu serulingnya saling bentur dengan telapak tangan lawan seketika tergetar hebat badan Hun Thian-hi, tak kuasa ia tersurut dua langkah, seketika wajahnya menjadi pucat.

Sementara serangan susulan Sam Kong Lama sudah melandai tiba pula. Dalam keadaan gawat ini tanpa disadari Badik Buntung di tangan kirinya lantas bergerak memutar siap hendak melancarkan jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumi yang ganas itu.

Untung baru saja jurus sakti itu akan dilancarkan mendadak bergolak darah dalam rongga dadanya, nuraninya bekerja, secara reflek akan keganjilan hajat di luar kesadarannya, maka cepat-cepat ia berusaha menguasai diri sembari menghentikan aksinya, untung masih keburu menarik kembali serangan dahsyat yang bakal dilancarkan itu.

Akan tetapi serangan Sam Kong Lama pun sudah melandai tiba, telak sekali sebuah pukulan mengarah pundak kirinya, untuk menghindar agaknya sudah terlambat. Dalam keadaan krisis inilah bintang penolong telah tiba.

Mendadak di tengah udara terdengar pekik nyaring seekor burung, disusul suara seorang gadis berkata, “Siau Hong — Benar-benar itulah orangnya, coba kau turun dan bekuk dia kemari!”

Seiring dengan merdu suaranya tampak dari tengah udara melayang turun seorang gadis berbaju hijau, pakaian yang lazim dikenakan oleh seorang dayang, dengan tangan tunggalnya tepat dan persis benar-benar ia tangkis pukulan Sam Kong Lama itu, di lain saat ia sudah berdiri tegar di atas tanah sambil tersenyum simpul. Terhindarlah Hun Thian-hi dari ancaman maut.

Dayang berbaju hijau ini mendehem dengan puas dan bangga, katanya kepada Hun Thian-hi, “Mari ikut aku!”

Sejenak Sam Kong Lama menatap dayang baju hijau itu lalu tanyanya, “Siapa kau?”

Dayang baju hijau mendengus hidung, tiba-tiba tangannya bergerak melemparkan sebuah medali putih dari batu pualam. Begitu melihat medali putih batu pualam ini seketika berubah hebat air muka Sam Kong Lama, mulutnya terkancing tak berani banyak bicara lagi, diam-diam ia menguatirkan keselamatan Hun Thian-hi.

Sementara itu dengan seksama Hun Thian-hi sudah mengamati dayang kecil berusia kira-kira 15-16-an, iapun tahu siapa pemilik dari medali putih pualam itu, namun toh ia tersenyum sombong dan berkata, “Kau kira aku sudi ikut kau?”

Sedikit berubah rona wajah si dayang kecil ini, alisnya bertaut dalam, katanya menjengek, “Besar benar-benar nyali anjingmu, apa kau tidak kenal medali putih pualam ini?”

Pucat wajah Hun Thian-hi, namun sikapnya tetap angkuh, sahutnya tertawa, “Bu Bing Loni merupakan tokoh aneh yang kenamaan, aku Hun Thian-hi toh tidak berbuat dosa terhadap beliau. Kalau kau mampu silakan kau ambil kepalaku persembahkan kepadanya!”

Dayang itu bersungut, katanya, “Kapan kau dengar orang yang dipanggil dengan medali putih pualam boleh sembarangan saja dibunuh?”

“Nanti dulu!” tersipu-sipu Sam Kong Lama berseru.

Dayang cilik itu menjadi murka, semprotnya jengkel, “Ada apa lagi yang perlu kau katakan!”

Ragu-ragu sejenak akhirnya Sam Kong Lama berkata, “Untuk apa Bu Bing Loni memanggilnya dengan medali putih pualam itu?”

Sebetulnya ia tak berani sembarang buka mulut, namun serta melihat Hun Thian-hi berani main debat, dirinya seorang angkatan yang lebih tua masa harus unjuk kelemahan di hadapan murid Lam-siau? Apalagi diam-diam timbul kecurigaan dalam benaknya, masakan dengan kepandaian yang dimiliki oleh Hun Thian-hi sekarang, mungkinkah kabar yang tersebar luas di kalangan Kangouw itu benar-benar kenyataan?

Sementara itu Dayang kecil itu semakin uring-uringan, ujarnya, “Kalau mau tanya silakan pergi tanya langsung kepada pemilik medali putih pualam itu!”

Berubah air muka Sam Kong Lama, tapi ia tertawa gelak-gelak untuk membesarkan nyalinya, dijemputnya medali putih pualam itu, katanya, “Baik, apapun yang hendak kau lakukan silakan. Tapi sebelum kau katakan sebab musababnya tak kuberi izin kau menyentuhnya.”

Dayang kecil itu semakin gusar, bentaknya, “Besar benar-benar nyali anjingmu!” seiring dengan bentakannya tubuhnya bergerak bagai angin lesus menerjang kepada Sam Kong Lama, dimana tangan kanannya bergerak tahu-tahu cakarnya Sudah mengancam muka Sam Kong.

Sam Kong juga bergerak tidak kalah cepatnya, namun ia harus lancarkan empat serangan balasan baru berhasil membendung sejurus serangan lawan, keruan basah bajunya oleh keringat dingin.

Sungguh di luar dugaannya bahwa kepandaian silat dayang kecil ini begitu lihai, dilihat naga-naganya, apa yang dinilai orang lain tentang betapa tinggi kepandaian Bu Bing Loni memang bukan omong kosong.

Melihat jurus serangannya tak membawa hasil dayang kecil itu berjingkrak murka, mukanya merah padam, tahu-tahu tubuhnya bergerak lebih cepat dan tangkas menyerang pula kepada Sam Kong.

Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton tenang-tenang, sekilas pandang saja lantas diketahui olehnya bahwa Sam Kong Lama terang bukan menjadi tandingan dayang kecil ini.

Tak tahu dia untuk keperluan apa Bu Bing Loni memanggilnya dengan medali putih pualam itu. Pernah didengar dari cerita orang bahwa Bu Bing Loni merupakan tokoh nomor satu di seluruh Bulim, namun sifatnya kejam dan telengas melebihi para gembong-gembong iblis yang paling jahat. Dulu waktu masih remajanya pernah patah hati, namun secara kebetulan menemukan sejilid buku pelajaran silat yang sekaligus telah mengangkat dirinya menjadi tokoh nomor satu tiada tandingan di seluruh kolong langit.

Konon kabarnya empat puluh tahun yang lalu di puncak Hoa-san ia tempur puluhan tokoh-tokoh silat kelas wahid, semuanya kena dibunuh tanpa ketinggalan satu pun yang hidup, cara turun tangannya kejam dan sadis sekali tiada bandingannya. Para penonton menjadi bergidik dan tak tega, sebaliknya sedikit pun tak berubah airmukanya.

Meski kejadian itu sangat menggemparkan, nanum para korban itu memang bukan orang baik-baik dari golongan sesat. Apalagi memang ilmu silat Bu Bing terlalu tinggi maka tiada seorangpun yang berani tampil ke depan, maka untuk selanjutnya dimana medali putih pualam ini muncul tiada seorangpun yang berani menolak.

Akan tetapi sebetulnya untuk urusan apakah, kenapa sekarang menimpa giliranku? “Hai, berhenti!” tiba-tiba ia berseru mencegah.

Tangkas sekali dayang kecil baju hijau itu jumpalitan balik, di tengah udara badannya berputar indah sekali terus meluncur turun dengan kaki menginjak tanah lebih dulu, tanyanya, “Keperluan apa pula. yang perlu kau katakan?”

Pelan-pelan Hun Thian-hi berpaling mengamati Sam Kong Lama, mulutnya menyung ging senyum tawar katanya kepada. dayang kecil itu, “Urusan ini tiada sangkut paut dengan dia. Marilah kita selesaikan sendiri.”

Tak kira Dayang kecil dan Sam Kong Lama berseru berbareng tanpa berjanji, “Tidak!”

Sejenak mereka saling pandang lalu Dayang kecil itu mendengus ejek, ujarnya, “Setiap kali medali putih pualam muncul siapa yang berani membangkang?” — sejenak ia berhenti mengawasi Hun Thian-hi berdua bergantian lalu sambungnya, “Memang lain dia lain kau, tapi persoalan ini bisa dibereskan bersama, silakan kamu berdua maju bersama!”

Sam Kong Lama bergelak tawa, serunya, “Bagus! Hari ini terpaksa aku harus belajar kenal betapa, tinggi ilmu silat murid didik Bu Bing Loni!”

“Sombong benar-benar,” jengek Dayang kecil baju hijau, Mengandal kemampuan kalian masa ada. harganya belajar kenal dengan kepandaiian silat dari aliran Bu Bing loni? Aku saja yang maju sudah cukup berharga memandang kalian!”

Sam Kong Lama menjadi dongkol dipandang enteng begitu rupa, dilandasi kemarahan segera kirim sebuah pukulan kencang ke arah Dayang cilik itu.

Terdengar Dayang kecil itu tertawa dingin, sebat sekali meloncat terbang lempang ke depan, kedua ujung sepatunya menendang bergantian mengarah kedua biji mata Sam Kong Lama, betapa cepat dan tepat serangan berani ini benar-benar sangat hebat dan menakjubkan. Namun dengan suatu gerak yang sangat cepat Sam Kong Lama meloncat mundur menjauhi.

Sementara Hun Thian-hi juga tidak tinggal diam, laksana kilat iapun sudah bergerak membuntut tiba, dimana seruling pualamnya bergerak langsung ia menutuk jalan darah mematikan di punggung Dayang kecil. Hebat benar-benar kepandaian Dayang kecil baju hijau ini, seperti tumbuh mata saja belakang kepalanya, mendadak membalik sebuah tangannya, sekali raih ia mencengkram seruling Hun Thian-hi yang menutuk datang.

Keruan bukan kepalang kejut Hun Thian-hi, cepat Badik Buntung di tangan kirinya mengiris ke bawah langsung membabat pergelangan tangan Dayang kecil itu.

Dilain pihak Sam Kong Lama juga tak kalah kejutnya, tergopoh-gopoh ia lancarkan sebuah pukulan ke arah Dayang kecil untuk menolong Hun Thian-hi.

Dayang kecil itu menggeram lirih, tiba-tiba tangan kanannya digentakkan kuat-kuat, sehingga tergetar tangan kanan Hun Thian-hi, kontan badannya mencelat ke tengah udara karena hentakan yang kuat dari gentakan tenaga Dayang kecil itu. Seiring dengan gerakannya itu, lincah sekali dayang kecil itu berputar selicin belut meluputkan diri dari pukulan Sam Kong Lama, tangannya merangsang ke belakang lengan membelakangi penyerangnya, namun cukup lihai tipunya ini karena telak sekali jalan darah pelemas Sam Kong Lama tertutuk, kontan ia terjungkal roboh dengan badan lamas tak mampu bergerak lagi.

Sementara itu, Hun Thian-hi yang mencelat ke tengah udara beruntun jumpalitan dua kali baru mendarat turun di atas tanah.

Sembari tersenyum ejek Dayang kecil mengawasi Hun Thian-hi, sedikit kerahkan tenaga Seruling Batu Pualam yang dirampasnya itu seketika dipotes menjadi dua.

Berubah hebat rona wajah Hun Thian-hi. Maklum Seruling pualam itu sudah puluhan tahun malang melintang mengikuti gurunya, Akhirnya diturunkan kepadanya sampai sekarang.

Melihat perubahan air muka Hun Thian-hi, Dayang kecil itu malah tertawa riang, ejeknya menggoda, “Apa, tidas terima?”

Terpancar sinar kilat aneh dalam biji mata Hun Thian-hi, dengan mengertak gigi ia mengayun Badik Buntung sekeras-kerasnya, sejalur cahaya hijau pupus kelihatan menari bergelombang di tengah gelanggang disertai suara mendesis yang semakin nyata terus menungkrup ke arah dayang kecil baju hijau.

Semula dayang kecil perdengarkan tawa menghina langsung ia terbang maju memapak serangan lawan. Dimana jurus Jan-thian-ciat-te dilancarkan gelanggang pertempuran menjadi seperti dicekam dalam suasana yang menusuk perasaan, begitu kedua belah pihak saling sentuh si dayang kecil lantas merasa sesuatu yang luar biasa bakal terjadi, berubah air mukanya, sejalur cahaya hijau pupus langsung menyamber ke arah lehernya.

Secara gerak reflek segera ia angkat kedua kutungan seruling di tangannya untuk menangkis. Terdengar sentuhan yang lirih nyaring, dengan pesona ia memandangi dua kutungan seruling di kedua tangannya, sekarang kedua kutungan itu telah terpapas lagi menjadi empat kutungan, dua yang lain jatuh di tanah, seruling di tangannya terpapas licin dan rajin sekali.

Waktu ia angkat kepala terlihat muka Hun Thian-hi bersemu merah kehitaman, ujung mulutnya melelehkan sealur daran segar, susah payah ia menguasai dirinya untuk tetap berdiri.

Dayang kecil itu semakin dibakar kemarahan, sambil menggertak nyaring ia menyerbu lagi.

Sekonyong-konyong terdengar suara merdu seorang gadis dari tengah udara, “Siau Hong. Kembali, hari ini ia telah melepas jiwamu, kitapun melepasnya sekali ini, marilah pulang!”

Dayang kecil yang bernama Siau Hong itu segera menghentikan aksinya, dengan seksama ia mengawasi Hun Thian-hi, diam-diam hatinya sangat menyesal dan mendelu, keadaan Hun Tnian-hi ini terang berusaha hendak menarik dan mengendalikan serangan ganas tadi sehingga tenaga murni sendiri membalik menerjang jantung sampai terluka dalam yang berat. Ia tahu bahwa dengan bekal yang dimiliki Hun Thian-hi terang takkan mampu melukai dirinya. namun demikian tak urung ia menjadi terharu dan merasa terima kasih.

Seekor burung besar berbulu hijau terbang rendah, pelan-pelan dayang kecil bernama Siau Hong itu lantas melompat tinggi naik ke atas punggungnya, sebentar saja burung besar berbulu hijau itu sudah menjulang tinggi ke tengah angkasa sambil berpekik nyaring dan panjang, dalam kejap lain sudah menghilang dari pandangan mata.

Mengantar menghilangnya burung besar itu Hun Thian-hi bengong sekian lamanya, lalu duduk bersila bersemadi mengembalikan tenaga dan semangatnya, setelah pikiranya jadi jernih kembali bergegas ia berdiri terus membetulkan tutukan jalan darah Sam Kong Lama.

Pelan-pelan Sam Kong Lama merayap bangun, rona wajahnya menunjukkan rasa yang malu yang tak terhingga, lambat-lambat dijemputnya medali putih pualam itu lalu katanya pada Hun Thian-hi, “Jurus yang kau lancarkan tadi itu belajar dari mana, aku tidak tahu dan belum pernah mengenalnya?”

Hun Thian-hi bungkam tak bicara. Agak lama kemudian ia angkat kepala berkata sambil tersenyum, “Bukankah lebih kau tidak mengetahui saja?”

Lalu ia melangkah maju menjemput potongan kecil seruling pualamnya yang kutung terpapas oleh Badik Buntungnya sendiri, kutungan seruling yang lain dibawa pergi oleh dayang kecil tadi, memandangi kutungan dua seruling di tangannya Hun Thian-hi menjublek di temparnya seperti patung.

Kata Sam Kong Lama, “Medali putih pualam itu sudah berada di tanganku maka aku harus segera kembali. Aku percaya akan martabatmu, mungkin kau terdesak oleh peristiwa ini. Sekarang kau sudah bentrok dengan pihak Bu Bing Loni, kalau kau mau marilah kita pulang bersama. Ketahuilah ilmu silat di kolong langit ini hakikatnya bukan Bu Bing Loni saja yang paling tinggi.”

Hun Thian-hi angkat kepala pandangannya menampilkan rasa haru yang tertekan, sahutnya, “Terima kasih, tapi aku tak ingin pergi!”

Sam Kong Lama terlongong sesaat lama, katanya tersenyum, “Seharusnya aku tahu kau takkan sudi ikut aku. Tapi kau harus ingat Bu Bing Loni bukan sembarang tokoh yang dapat dibuat main-main. Jangan sampai kau mengorbankan jiwa secara sia-sia.”

Bertaut alis Hun Thian-hi, menggelengkan kepala.

Sam Kong Lama menghela napas, ujarnya: “Perangaimu rada sama dengan sifat gurumu, akupun tak perlu banyak membujuk kau. Hari ini kau sangat banyak membantu kepadaku, jikalau kelak kau memerlukan bantuan, silakan datang ke tempatku. Setelah keluar dari perbatasan, jejakku akan gampang kau temukan asal kau bertanya sembarang orang disana.”

Hun Thian-hi tersenyum pahit, ia menganggukkan kepala.

Biji mata Sam Kong berkilat mengawasinya, ia menggeleng kepala dan berkata, “Sayang kau tak sudi ikut aku, kau sia-siakan kesempatan paling baik ini.” Setelah menghela napas panjang ia putar tubuh.

Mengantar punggung Sam Kong Lama yang semakin jauh itu, Hun Thian-hi menghela napas panjang.

Tengah ia terlongong mendadak dari dalam hutan sebelah kiri sana terdengar gelak tawa orang yang keras nyaring. Sigap sekali Hun Thian-hi memutar tubuh sembari menghardik, “Siapa itu?”

Namun suasana hutan di depannya sangat hening lelap, gesit sekali badannya meluncur menuju ke arah dimana suara gelak tawa tadi terdengar, namun meski ia sudah bergerak begitu cepat, bayangan seorang pun tak terlihat olehnya.

Badik Buntung

01 | 02 | 03 | 04 | 05 |

0 comments: