Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
5. Orang Membunuh Orang
“Di luar sana masih ada sedikit persoalan yang harus dibereskan, rasanya aku harus segera pergi dari sini?” terdengar Tio Thiat-leng berkata sambil tertawa dingin.
“Silakan Cap-ji Tongcu!” sahut pelajar itu tertawa.
Ketika melihat Tio Thiat-leng sudah tiba di luar pintu, tiba-tiba pelajar itu berkata lagi, “Ah keliru, seharusnya kusebut kau sebagai Tio-kiutongcu (Tongcu kesembilan)!”
Sekilas perasaan girang melintas di balik mata Tio Thiat-leng, tapi di luar ia merendah, “Itu kan susah dibilang, harus dibuktikan apakah aku memang bernasib jadi Tongcu kesembilan.”
Kini tinggal Un Ji dan Ong Siau-sik saling berpandangan dengan wajah melongo, kalau Ong Siau-sik merasa makin memandang gadis itu semakin menawan hati, sebaliknya Un Ji makin memandang wajahnya semakin tak habis mengerti.
Hanya pemuda pelajar itu yang tetap berdiri acuh tak acuh, sambil menggendong tangan dia tetap mendongak memandang angkasa, seakan kehadiran siapa pun di tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Sampai lama kemudian Un Ji baru berseru nyaring, “He!”
“Kau sedang memanggil aku?” tanya Ong Siau-sik sambil menuding ujung hidung sendiri.
“Tentu saja aku sedang memanggil kau.”
“Kau benar sedang memanggil aku?” sekali lagi Ong Siau-sik menuding ke dada sendiri.
Un Ji amat mendongkol melihat tingkah dungu yang diperlihatkan anak muda itu, teriaknya dengan wajah sewot, “Siapa kau? Siapa namamu? Mau apa kemari? Kelompok mana yang sedang kau bantu?”
“Aku ....” Ong Siau-sik tidak tahu pertanyaan mana yang mesti dijawab duluan, untuk ketiga kalinya dia menuding ke tubuh sendiri, “Aku ... aku pun tidak tahu.”
Dengan gemas Un Ji mengayunkan goloknya ke udara, sungguh hebat tebasan itu, Ong Siau-sik yang berada lima kaki di hadapannya pun ikut merasakan betapa tajamnya angin serangan itu.
“He, siapa sih kamu ini?” teriak nona itu marah, “berani amat kau permainkan nonamu!”
Ong Siau-sik tahu, jika ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, maka hanya pemuda pelajar itu yang bisa menerangkan, maka dia pun menghampiri orang itu, memberi hormat dan menyapa, “Heng-tay, selamat bersua.”
“Kau tak usah sungkan,” balas pelajar itu tersenyum.
“Boleh tahu siapa nama Heng-tay?”
Belum lagi pemuda pelajar itu menjawab, Un Ji sudah menyela, “Buat apa mesti ditanya lagi, dia dari marga Pek.”
“Oya? Jadi kau tahu aku dari marga Pek?” pemuda itu mengalihkan sorot matanya ke wajah si nona, “lantas siapa pula namaku?”
“Peduli amat kau bernama Pek apa,” sahut Un Ji sembari menyarungkan kembali goloknya, “pokoknya aku hanya ingin kau menjawab sejujurnya, kenapa kau membantai orang-orang itu? Apakah mereka satu komplotan denganmu?”
“Bukankah kau sudah tahu kalau aku dari marga Pek? Jadi banyak bertanya pun percuma,” pelajar itu tersenyum.
Lagi-lagi Un Ji naik darah, tampaknya dia akan melolos goloknya lagi.
Melihat itu segera Ong Siau-sik berseru, “Boleh aku tahu siapa nama Heng-tay?”
“Oh, aku she Pek bernama Jau-hui, boleh tahu siapa nama-mu?”
“Pek Jau-hui? Pek Jau-hui?” pikir Ong Siau-sik di hati kecil-nya, “semenjak terjun ke dunia persilatan, aku selalu memperhatikan tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan, tapi rasanya belum pernah kudengar nama ini, jangan-jangan dia adalah jagoan muda yang baru tampil? Kalau tidak, kenapa tak pernah ku-dengar namanya?”
Meski berpikir begitu, di luar segera dia memperkenalkan diri, “Oh, Cayhe dari marga Ong bernama Siau-sik, Ong dari kata raja, siau dari kata kecil dan sik dari kata batu.”
Sebetulnya Pek Jau-hui ingin menjawab “Selamat bertemu kembali”, tapi setelah merasa nama Ong Siau-sik belum pernah didengar sebelumnya, dia menelan kembali perkataan itu, ujarnya kemudian, “Cepat betul gerak seranganmu, hanya dalam waktu singkat dua bersaudara Li telah berhasil kau robohkan, tampaknya kungfumu bukan berasal dari perguruan besar di daratan Tionggoan.”
“Ah, saudara Pek terlalu memuji, justru kungfumu yang lebih hebat. Tadi aku memang sengaja tidak membunuh mereka, karena aku beranggapan kejahatan mereka belum sepantasnya diganjar dengan hukuman mati.”
Pek Jau-hui menghela napas panjang, “Ai, jika kita biarkan satu saja di antara mereka pulang dalam keadaan hidup, bukan cuma kau dan aku, bahkan Tio-kiutongcu pun akhirnya akan tewas di tangan orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong.”
“Tapi ... bukankah di antara orang-orang itu masih ada yang terhitung berhati baik, tidak berniat melakukan kejahatan, apakah orang semacam inipun harus dibunuh?”
“Bila aku tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhku, biar salah bunuh, kita tak boleh melepaskan mereka begitu saja, apalagi orang-orang itu sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, jadi dibunuh pun tidak keliru.”
“Kita manusia, mereka pun manusia, kita semua ingin hidup terus, begitu juga dengan mereka, bila hanya dikarenakan alasan itu lalu kita membunuhnya, bukankah di kemudian hari mereka pun bisa menggunakan alasan yang sama untuk membunuh kita? Entah bagaimana menurut pendapat saudara Pek?”
Pek Jau-hui kontan tertawa dingin. “Kita hidup dalam dunia yang kejam, siapa lemah dia tertindas siapa kuat dia pegang kekuasaan, bila suatu ketika kita yang terjatuh ke tangan mereka, sekalipun kita memiliki alasan yang kuat, alasan yang masuk akal pun, belum tentu mereka akan membebaskan kita. Aku rasa siapa yang harus dibunuh tetap mesti dibunuh, siapa yang sudah saatnya mati dia tetap harus mati.”
“Tapi bila kau tidak membunuhnya, dia pun tak ada alasan untuk membunuhmu, bukankah semua pihak dapat hidup secara aman damai?” seru Ong Siau-sik serius.
“Pendapatmu keliru besar,” bantah Pek Jau-hui serius, “asal di tempat itu ada manusia, asal manusia yang satu berkumpul dengan manusia yang lain, tak bisa dihindari kalau bukan kau yang membunuh aku, akulah yang akan membunuh kau, ada orang membunuh dengan darah berceceran, ada pula orang membunuh tanpa kelihatan darah. Ada orang membunuh sambil tertawa, membunuh sebagai satu kesenangan, ada pula yang membunuh dengan linangan air mata, membunuh karena terpaksa. Ada pula orang yang tak pernah membunuh sesamanya, tapi apa yang diperbuat jauh lebih menyakitkan daripada membunuh. Ada pula orang yang hidup karena menunggu dibunuh orang lain. Dunia yang kau bayangkan selama ini, sebenarnya hanya ada dalam hatimu sendiri, dunia luar jauh berbeda dengan bayanganmu.”
“Kenapa sih kalian meributkan terus soal bunuh membunuh,” sela Un Ji tiba-tiba, “kau anggap kita semua ini manusia atau bukan?”
Bersambung ke bagian 06
0 comments:
Post a Comment