Karya: Chin Tung
Saduran: Gan K. H
006. Gadis Penunggang Burung Besar
Bercekat hatinya. Batinnya kenapa hari ini beruntun aku bertemu dengan tokoh-tokoh kosen, jarak dirinya berdiri tidak lebih tiga tombak saja, dengan kesebatan gerak tubuhnya ternyata bayangan orang saja tak keliahatan olehnya.
Dengan dongkol ia celingukan ke sekelilingnya. Sekonyong-konyong gelak tawa tadi bergelombang keras seperti gema lonceng besar yang memekakkan telinga. Lagi-lagi Hun Thian-hi melesat cepat mengejar jejaknya ke arah sana namun ia meluncur turun bayangan setan pun tak terlihat olehnya.
Sebentar ia menerawang situasi sekelilingnya dengan ketajaman matanya, namun tak diketemukan sesuatu keganjilan apa-apa.
Meski gelak tawa tadi terdengar lagi, kali ini tak dihiraukan lagi, tanpa berpaling ia terus berlari keluar.
Tiba-tiba ia merasa tengkuknya terasa rada dingin, juga ada gatal-gatal, keruan kejutnya bukan main, secara reflek ia menggunakan tangannya untuk mengusap ke belakang, tampak seekor ulat menggelinding jatuh dari atas tengkuknya….
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, sungguh hatinya berang sekali, namun hakikatnya ia merasa kagum dan kaget dengan kepandaian orang telah begitu hebat mempermainkan dirinya.
Gelak tawa yang mengalun tinggi itu bergema pula dari dalam hutan.
Tak sabaran Hun Thian-hi membentak keras, “Siapa itu yang main sembunyi seperti pancalongok. Kalau kau manusia mari unjukkan tampangmu yang sebenar-benarnya.”
Setitik bayangan melesat dari dalam hutan langsung terbang ke arah Hun Thian-hi, cepat-cepat ia angkat tangan kanannya dengan kedua jarinya hendak menjepit bayangan kecil ini, tapi luncuran titik hitam itu mendadak bertambah cepat menerobos lewat dari celah-celah jari tangannya langsung melekat di bibir Hun Thian-hi. Hun Thian-hi berjingkrak merinding sembari mengusapnya jatuh dengan tangan kiri, lagi-lagi seekor ulat kecil.
Sungguh dongkol dan gemes benar-benar sampai tak mampu bicara, akhirnya Hun Thian-hi menjadi nekad terus mengejar semakin dalam ke hutan yang semakin gelap.
Gelak tawa itu selalu membayangi dirinya terus menerobos semakin jauh ke dalam hutan, Hun Thian-hi pun terus mengejar dengan berani, kejar punya kejar akhirnya sampai di depan sebuah gua, tiba-tiba gelak tawa itu berhenti.
Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu sebentar, namun ia nekad juga mengejar masuk ke dalam gua. Begitu ia melangkah masuk dilihatnya seorang tua yang mengenakan jubah panjang dari kain bagor tengah duduk semadi di dalam pojok gua sana. Orang tua ini berwajah merah, rambut dan jenggotnya sudah ubanan, wajahnya itu mengunjuk senyum ramah tamah, tempat dimana ia duduk dikelilingi sebuah garis bundaran sebesar tiga tombak. Tangannya kanan mencekal sebatang tongkat putih batu pualam panjang tiga kaki.
Hun Thian-hi ragu-ragu sejenak, tanyanya kepada orang tua itu, “Kaukah tadi yang menggoda aku?”
Orang tua itu tetap dalam keadaan samadinya tanpa bergerak, sedikit pun ia tidak hiraukan pertanyaan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mengerutkan kening, hidungnya mendengus lalu melangkah maju dengan uring-uringan. Namun baru saja kakinya menginjak masuk ke dalam arena garis bundaran itu, tampak tongkat di tangan si orang tua bergerak menutul ke depan, seketika ia merasa sejalur tenaga besar mendorong dirinya, tanpa kuasa karena tidak bersiaga sebelumnya Hun Thian terjungkir balik.
Sungguh kejut hati Hun Thian-hi bukan kepalang. Dengan bekal lwekangnya sekarang masa begitu gampang kena disengkelit orang dengan sekali tutul dari jarak jauh? Bergegas ia bangkit berdiri, dengan uring-uringan ia pandang si orang tua, namun orang tua itu tetap dalam gaya semadinya tanpa bergerak sedikit pun.
Pelan-pelan Hun Thian-hi coba-coba ulur kakinya ke dalam bundaran namun segera hendak ditarik kembali, namun belum sempat bergerak lebih jauh mendadak terasa kakinya terdorong naik oleh segulung tenaga besar yang tidak kelihatan. Cepat-cepat ia menghimpun tenaga dan mengendalikan pernapasannya, namun hawa murni seperti macet di tengah jalan, sementara itu tubuhnya sudah terangkat naik oleh dorongan tenaga besar itu, terpaksa ia harus jumpalitan di tengah udara baru meluncur turun ke tanah.
Orang tua itu tetap duduk di tempatnya seperti tak terjadi sesuatu.
Setelah hinggap di tanah Hun Thian-hi menjadi berdiri terlolong tak bersuara. Agak lama kemudian ia melangkah pelan-pelan memutar ke belakang si orang tua.
Si orang tua tetap tak bergerak. Setelah sampai di belakang orang, dijemputnya sebutir kerikil terus diselintikkan kepunggung si orang tua. Baru saja kerikil itu melesat sampai di tengah jalan, pandangannya seperti menjadi kabur oleh berkelebatnya selarik bayangan putih, disusul kerikil yang disambitkannya itu mendadak meluncur balik menerjang dirinya sendiri.
Tersipu-sipu Hun Thian-hi menyingkir ke samping, kerikil itu menyamber lewat di samping lehernya, “plok” amblas ke dalam dinding batu tanpa bekas.
Akhirnya Hun Thian-hi menjadi gemas dilolosnya keluar Badik Buntung, dengan nekad ia menubruk masuk ke dalam bundaran. Punggung si orang tua seperti tumbuh sepasang mata, mendadak tongkat putihnya terayun ke belakang menyapu kedua kaki Hun Thian-hi.
Sigap sekali Hun Thian-hi mengayun Badik Buntungnya hendak menangkis, namun lagi-lagi pandangan matanya serasa kabur oleh berkelebatnya sinar putih kemilau, kontan terasa Badik Buntung di tangan kanannya tergetar keras terlepas dari cekalannya terbang ke atas, sedang badannya sendiri juga terlempar keluar dari arena bundaran itu.
Begitu berdiri tegak lagi Hun Thian-hi menjadi kesima sekian lama, pelan-pelan dijemputnya Badik Buntung lalu dengan lesu ia berjalan keluar.
Tiba-tiba si orang tua membuka matanya, katanya, “Bocah, kiranya tidak punya tekad besar!”
Hun Thian-hi menghentikan langkahnya, lalu berpaling memandang ke arah si orang tua, sahutnya, “Betapa besar pun tekadku, aku tak mampu menerjang masuk.”
Si orang tua tercengang dilain saat mendadak bergelak tawa nyaring, serunya, “Benar-benar, ucapanmu memang betul!”
Teringat akan pengalaman yang aneh yang dialaminya selama ini tergerak hati Hun Thian-hi, lekas-lekas ia berlutut ke arah si orang ua sembari ujarnya, “Cianpwe menuntunku kemari, entah ada petunjuk apa yang berharga?”
Orang tua itu tertegun sebentar lalu bergelak tawa, katanya, “Ternyata cukup pintar.”
Rada girang hati Hun Thian-hi, tahu dia bahwa ilmu silat orang tua ini pasti sangat tinggi, jikalau bisa minta petunjuknya, perbekalan ilmu silatnya tentu akan bertambah maju.
Sekian lama si orang tua tenggelam dalam pikirannya, mendadak wajahnya tegang serius, tanyanya, “Jurus Jam-thian-ciat-te itu kau pelajari dari mana?”
Hun Thian-hi tertegun, sesaat ia menjadi kememek tak tahu bagaimana ia harus menjawab.
Orang tua itu mendengus hidung, tanyanya pula, “Ang-hwat-lo-mo itu apamu?”
Mendengar orang menanyakan orang tua aneh berambut merah itu, terperanjat hati Thian-hi sahutnya, “Aku tiada hubungan apa dengan beliau!”
“Bohong!” maki si orang tua, “Kalau kau tiada hubungan dengan dia bagaimana ia bisa mengajarkan Jan-thian thiat-te kepandaian tunggal yang ganas itu kepada kau!”
Semakin kejut hati Hun Thian-hi, tengkuknya terasa merinding, bermula ia merasa heran kenapa Bu Bing Loni, bisa mencari dirinya. Pula teringat kata-kata orang tua rambut merah yang berkata sendlap-sendlup tak keruan itu, kiranya tak lain memang bertujuan mengumpankan dirinya kepada Bu Bing Loni, bukankah kematian dirinya bakal lebih mengerikan.
Karena pikirannya ini tak terasa mulut Thian-hi menggumam, “Ternyata tujuannya utama adalah hendak mencelakai jiwaku!”
Si orang tua berubah air mukanya, mengerutkan kening tanpa bicara.
Hun Thian-hi angkat kepala mengawasi si orang tua. Hanya ia bercerita pengalamannya di dalam jurang dimana Ang-hwat-lo-mo bersemayam. Sambil mendengarkan orang tua manggut-manggut, setelah Hun Thian-hi habis bercerita ia berkata, “Begitu lebih baik, kau tak usah takut menghadapi Bu Bing Loni!”
Menatap tajam ke arah si orang tua berubah pikiran Thian-hi, ia mereka-reka, ia heran siapakah orang tua di hadapannya ini, seluruh tokoh-tokoh di Bulim ini siapa yang berani berkata bahwa dia tidak gentar menghadapi Bu Bing Loni!
Melihat sikap Hun Thian-hi ini agaknya si orang tua sudah dapat menebak isi hatinya. Mendadak ia bergelak tawa pula, tahu-tahu laksana angin lesus berputar tubuhnya melenting keluar gua, terdengar ia berkata, “Carilah aku di Tay-soat-san, jikalau Ham Gwat mencarimu lagi, ambillah ini serahkan kepadanya!” — lenyap suaranya tampak tongkat putih batu pualam itu terbang jatuh di bawah kaki Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi terpesona di tempatnya, sekian lama ia menjublek tak bergerak, dari mulutnya menggumam, “Soat-san-su-gou!”
Soat-san-su-gou juga merupakan tokoh-tokoh aneh dari kalangan persilatan, sudah puluhan tahun terakhir tak pernah berkecimpung di kalangan Kangouw. Sungguh tak duga hari ini berjodoh bisa bertemu dengan beliau, malah mengundang dirinya pergi ke Soat-san.
Hun Thian-hi menghela napas dengan riang, sungguh girang hatinya tak terkatakan. Dijemputnya tongkat putih pualam itu, mendadak mulutnya berseru tertahan, ujarnya, “Eh siapakah Ham Gwat itu?”
Nama Ham Gwat ini menjadi tanda tanya dalam sanubarinya, teringat olehnya akan dayang kecil berpakaian hijau yang bernama Siau Hong serta suara gadis remaja di tengah udara itu. “Mungkinkah….” Demikian ia bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya ia menjadi geli sendiri, lalu dengan langkah lebar ia keluar dari gua itu, kiranya hari sudah terang tanah, langit di sebelah timur bertambah terang, cahaya ungu suram bertambah lama bertambah kuning, dan kesudahannya timbul di balik awan luar yang bersusun matahari. Mula-mula sepotong, sebelah dan akhirnya bulat sebagai bulan digambaran berseri-seri laksana orang tersenyum memandang ke bumi.
Hun Thian-hi celingukan mengawasi keadaan sekelilingnya, panjang dan dalam-dalam ia menghirup hawa pagi lalu perlahan-lahan keluar dari lautan rimba raya.
Baru saja ia sampai di ambang hutan gelap itu, di tengah udara didengarnya pula pekik burung besar berbulu hijau, berdetak jantungnya, lekas-lekas ia mendongak memandang ke angkasa. Tampak seekor burung besar warna hijau melayang turun dari tengah angkasa, dalam kejap lain sudah mendarat di tanah.
Dengan tajam Hun Thian-hi menatap gadis kecil di atas punggung burung besar itu, itulah dayang kecil berpakaian hijau yang bernama Siau Hong itu.
Dayang kecil itupun memandang ke arah Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul.
Tanpa menunjukkan perubahan mimik wajahnya Hun Thian-hi terus menatap wajah orang tanpa buka suara. Entah untuk tujuan buruk atau demi kebaikanlah dayang kecil ini mencari dirinya lagi.
Seruling pemberian gurunya sudah dikutungi olehnya, ini merupakan suatu kesalahan yang tak terampunkan baginya.
Ragu-ragu akhirnya Siau Hong menundukkan kepala, namun dalam kilas lain sudah angkat kepala pula, katanya kepada Hun Thian-hi, “Nyalimu sungguh sangat besar. Kenapa tidak lekas pergi, sebentar lagi nonaku bakal tiba, beliau takkan melepasmu lagi.”
Hun Thian-hi masih sekian lama mengamati Siau Hong, melihat orang berkata setulus hati, namun ia masih segan dan tak sudi buka mulut.
Siau Hong menjengek, “Kau jangan anggap dirimu sangat jempolan, aku bermaksud baik datang kemari memberi kisikan kepadamu, kalau ganti orang lain aku takkan peduli!”
Berkerut wajah Thian-hi, katanya pelan-pelan, “Terima kasih akan maksud baikmu. Aku tak perlu takut menghadapi nonamu.”
Siau Hong mengejek lagi, ujarnya, “Sombong benar-benar kau. Sangkamu jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumimu itu tiada bandingannya di jagat ini? Ketahuilah, sangat jauh sekali dibanding dengan kepandaian nonaku!”
Siau Hong membanting kaki sembari berkata aleman, “Aku tak mau peduli lagi!”
Terdengar sebuah suara berkata pula di tengah udara, “Siau Hong apa yang tengah kau lakukan?”
Siau Hong angkat kepala dengan kaget dan takut, sahutnya tercekat, “Nona! Tidak apa-apa.”
Hun Thian-hi mendongak, tampak seekor burung berbulu hijau mulus yang besar sekali, di atas punggung burung besar ini samar-samar kelihatan duduk seorang gadis remaja.
Terdengar gadis di punggung burung besar itu berkata pula, “Siau Hong, ringkus Hun Thian-hi dan bawa pulang…. Suhu masih menunggu kedatangan kita!”
Siau Hong mengiakan, matanya memandang gugup dan gelisah ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi malah mandah tersenyum sinis, tanyanya, “Apakah nonamu itu yang bernama Ham Gwat?”
Siau Hong manggut-manggut. katanya, “Sekarang tiada jalan lain, biarlah aku berlaku sedikit ayal-ayalan, lekas kau bunuh diri, biar aku pulang mendapat hukuman saja.”
Hun Thian-hi tertawa-tawa tanpa bergerak.
Suara dari tengah udara berteriak mendesak, “Siau Hong, kenapa tidak lekas turun tangan?”
Hun Thian-hi menyurut mundur beberapa langkah ke belakang, tongkat putih batu pualam di tangannya diayun berputar setengah lingkaran terus dilontarkan miring ke tengah udara.
Tampak sesosok bayangan mencelat terbang dari punggung burung besar laksana bintang jatuh tangkas sekali meraih tongkat batu pualam yang melesat terbang meninggi itu, di tengah angkasa berputar satu lingkaran lalu seringan kapas meluncur pula ke atas punggung burung besar yang terbang berputar-putar di tengah udara itu….
Gerak gerik tubuhnya adalah sedemikian indahnya laksana bidadari yang menari gemulai di angkasa, kelihatannya jauh lebih ringan dan gesit dari burung camar. Sekian lama Hun Thian-hi terpesona sambil mendongak ke atas, hampir saja ia tidak mau percaya akan pandangan matanya sendiri. Selama hidup ini belum pernah ditontonnya ilmu kepandaian begitu tinggi dan menakjupkan.
Begitulah ia terlongong memandang ke angkasa. Dari bentuk bayangannya yang kelihatan sekelebat itu, dapatlah dibayangkan tentu ia seorang gadis remaja yang cantik molek berperawakan langsing menggiurkan, sayang tak terlihat jelas, sungguh besar harapannya gadis juwita itu bisa turun kemari untuk bertemu.
Gadis itu berteriak di tengah angkasa, “Siau Hong, hari ini batal saja, mari kita pulang.”
Siau Hong mengiakan, dengan pandangan ganjil ia awasi Hun Thian-hi lalu pelan-pelan naik ke punggung burung besar itu, sebentar saja mereka sudah menghilang di balik awan.
Hun Thian-hi mendelong mengawasi ujung langit, hatinya terasa kosong dan hampa, akhirnya ia menjadi geli sendiri akan sikapnya yang seperti kehilangan semangat itu, bergegas ia meninggalkan tempat itu.
Badik Buntung
0 comments:
Post a Comment