Join The Community

Premium WordPress Themes

Badik Buntung 007. Jaminan Hidup Satu Tahun

Badik BuntungBADIK BUNTUNG

Karya: Chin Tung

Saduran: Gan K. H

007. Jaminan Hidup Satu Tahun

Selepas pandangan mata panorama di atas puncak pegunungan ini adalah putih bersalju melulu, pohon siong dan pek sudah berselimutkan bunga salju, selayang pandangan dunia sekelilingnya seperti dibuat dari keramik yang memutih berkilau.

Waktu sang surya pertama kali mengintipkan sinar kemuning menembus tabir gelapnya seluruh jagat raya ini, Hun Thian-hi seorang diri sudah beranjak naik menuju ke gunung salju mencari Soat-san-su-gou.

Tak terasa pagi hari itu ia sudah mencapai setengah perjalanan di lamping gunung, disini ia berhenti sebentar menghirup napas segar, pemandangan ciptaan alam yang indah molek yang terbentang di hadapannya betul-betul merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas kesadarannya sehingga sekian saat ia menjublek di tempatnya.

Puncak tertinggi dari gunung bersalju sudah terbentang di hadapannya, semangat Hun Thian-hi tambah berkobar dan hatinya menjadi girang sekali, segera kakinya bergerak semakin cepat menempuh berbagai aral rintang berbahaya, namun toh semua itu dapat diatasi berkat bekal lwekang dan ilmu ringan tubuhnya yang cukup sempurna.

Lain dari keadaan di bawah gunung, puncak. tertinggi dari gunung bersalju ini justru serba hijau dan bersih sama sekali dari bunga salju, di mana-mana bertabirkan batu hijau seluas tiga lima puluh tombak. Waktu Hun Thian-hi memanjat ke atas batu hijau itu didapatinya di tengah-tengah sana duduk bersila jajar empat orang tua yang semuanya sudah beruban dan berjenggot memutih salju pula. Mereka duduk memutar setengah lingkaran, semuanya tengah memejamkan mata bersamadi, sekali pandang membuat orang timbul rasa hidmat dan hormatnya.

Tersipu-sipu Hun Thian-hi maju berlutut serta sembahnya, “Tecu Hun Thian-hi menghadap para Cianpwe!”

Seorang tua yang duduk paling ujung membuka mata meng-angguk-angguk kepada Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul. Baru sekarang Hun Thian-hi melihat tegas orang tua ini bukan lain si orang tua beruban yang memberi petunjuk kepadanya di dalam gua itu.

Beruntun orang ketiga juga membuka mata mengamati Hun Thian-hi sekian saat, lalu ujarnya, “Omongan Si-te memang tidak salah, bocah ini bertulang mas punya bakat yang luar biasa, benar-benar seorang tunas yang punya harapan dan masa depan yang gemilang. Sayang sifat congkak dan sombongnya terlalu besar melibatkan dirinya.”

Orang kedua lantas membuka mata dan tertawa gelak-gelak, serunya, “Hal itu tidak menjadi halangan, bukankah waktu masih muda dulu kita lebih nakal dan brandalan?”

Diam-diam Hun Thian-hi menjadi girang dalam hati, sungguh tak terkirakan olehnya bahwa Soat-san-su-gou sangat menghargai dirinya.

Orang ketiga mengerutkan kening, ia tetap menyanggah, “Tapi sifat congkak dan takabur selalu pasti menjadi rintangan kemajuan.”

Tanpa perduli sanggahan saudaranya, orang kedua itu berkata kepada Hun Thian-hi, “Kudengar Si-te memujimu, sebelum ini aku belum percaya, hari ini dengan mataku sendiri kusaksikan baru aku mau percaya. Memang tidak salah pujiannya.”

“Terima kasih akan pujian para Cianpwe!” — diam-diam Thian-hi menjadi heran akan sikap orang pertama dari Su-gou yang tetap samadi tak bergerak atau membuka mata.

Tanya si orang tua Kepada Thian-hi, “Waktu kau kemari apa kau bersua dengan Ham Gwat?”

Hun Thian-hi manggut-manggut, segera ia ceritakan pertemuan hari itu sejelasnya.

Si orang tua manggut, sebaliknya orang tua kedua mendengus hidung, ujarnya, “Bu Bing Loni terlalu takabur, sepak terjangnya sangat keterlaluan.”

Baru sekarang tiba-tiba orang tua pertama membuka mata, dua biji matanya yang ditaungi kedua alisnya yang memutih panjang itu berkilat tajam, tersentak kaget benak Hun Thian-hi melihat ketajaman sinar pancaran mata orang.

Orang tua beralis putih ini berkata lambat-lambat, “Ji-te, Sam-te dan Si-te!” suaranya terdengar rendah namun mengandung wibawa yang besar dan angker.

Tiga, orang tua lainnya segera bungkam dan menunduk.

Sambung orang tua beralis putih kalem, “Kita jangan terlalu bangga dan percaya akan kekuatan sendiri, aku kuatir dengan gabungan kekuatan kita berempat pun masih belum bisa menandingi Bu Bing Loni!”

Orang tua kedua tak tahan lagi lantas menyeletuk, “Apakah ucapan Toako ini tidak terlalu tinggi menilai Bu Bing Loni?”

Kata orang tua beralis putih kepada Thian-hi, “Nak, kau bangunlah!”

Sembari mengawasi orang tua beralis putih ini pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, orang tua pertama ini rada punya sikap yang angker dan agung dari ketiga saudaranya, setiap patah kata yang diucapkannya mempunyai pertimbangan yang masak dan masuk di akal.

Orang tua beralis putih manggut-manggut memberi tanda supaya ia maju mendekat. Thian-hi menurut melangkah maju ke hadapan orang.

Dari jarak yang dekat ini si orang tua beralis putih mengamati Hun Thian-hi dengan seksama, rada lama kemudian baru ia menghela napas, ujarnya, “Kebesaran dan kejayaan Bulim kelak bakal tercekam di tangan bocah ini!” Lalu ia menunduk terpekur lagi.

Berempat semua diam tenggelam dalam pikiran masing-masing, lahirnya ia memuji akan bakat dan rejeki Thian-hi yang besar, namun helaan napas panjang itu betul-betul membuat perasaan semua orang menjadi tertekan dan berat.

Dilain saat orang tua beralis putih angkat kepalanya berkata kepada Hun Thian-hi, “Mungkin kau harus tinggal beberapa hari disini, tunggulah setelah segala sesuatu mengenai urusan ini dapat dibikin beres baru kau boleh tinggal pergi, apakah kau sudi?”

Hun Thian-hi manggut-manggut dengan melongo, tak tahu ia entah apa yang dimaksud dengan kata-katanya itu. Seperti disengat kala, ketiga orang tua lainnya berpaling kaget.

“Toako!” seru orang tua keempat lirih dan tertekan perasaannya.

Mendadak orang tua beralis putih unjuk senyum riang, katanya, “Kalian tahu ilmu silat apa yang paling diandalkan oleh Bu Bing Loni?”

Tiga yang lain menyahut berbareng, “Kita sama tahu, dia menggunakan sebilah pedang!”

Orang tua alis putih manggut-manggut, ujarnya, “Bukankah ilmu pedangnya yang dinamakan Hui-sim-kiam-hoat menjagoi di seluhuh jagat ini!” sampai disini ia merandek sebentar lalu sambungnya, “Kalau kita berempat secara langsung menghadapi Hui-sim-kiam-hoat ini cara bagaimana mengatasinya?”

Ketiganya tenggelam dalam pikirannya tak bersuara, akhirnya orang kedua buka bicara, “Menggunakan Gin-ho-sam-sek (Tiga Jurus Sungai Perak)!”

Orang tua alis putih menganggukan kepala, ujarnya, “Ucapan Ji-te memang tepat, menggunakan Gin-ho-sam-sek (tiga jurus sungai perak) untuk menyerang dan bertahan!”

Sekonyong-konyong dari jauh di ufuk langit Sana terdengar pekik burung yang bersahutan.

Mendengar itu orang tua beralis putih lantas unjuk senyum lebar sembari manggut. Dia memberi tanda kepada Hun Thian-hi untuk menyingkir dan duduk di samping sana.

Hun Thian-hi menurut perintah, ia menyingkir ke samping orang tua alis putih terus duduk bersila.

Sementara kedua ekor burung besar yang bentuknya seperti merak yaitu yang dinamakan burung dewata berbulu hijau pupus sudah terbang mendatang semakin dekat. Kini Hun Thian-hi sudah semakin jelas, kedua ekor burung besar itu terbang jajar mendatangi dengan cepat. Di lain kejap kedua ekor burung ini sudah meluncur turun dan hinggap di atas batu hijau tanpa mengeluarkan sedikit pun suara.

Hun Thian-hi melihat ke atas punggung burung besar itu, yang mendarat lebih dulu ditunggangi dua orang, yaitu dayang kecil yang bernama Siau Hong, seorang lain adalah gadis berpakaian serba hitam.

Thian-hi kesima mengawasi wajah gadis baju hitam, kulit wajah gadis remaja ini kelihatan putih halus, sepasang matanya bening dan hitam bersinar tajam, setelah slorot turun dari punggung burungnya hanya sekilas memandang ke arah Soat-san-su-gou, hakikatnya ia seperti tidak melihat akan kehadiran Thian-hi disitu.

Sementara itu, begitu loncat turun dayang kecil atau Siau Hong itu lantas sembunyi di belakang gadis baju hijau itu, lehernya diulur tinggi sembari jinjit-jinjit. Sepasang matanya yang jeli melotot lebar mengintip dari belakang pundak si nona ke arah Hun Thian-hi.

Dalam pada itu, burung dewata yang lainnya pun sudah mendarat, ditunggangi oleh seorang Nikoh tua yang mengenakan jubah keagamaan warna abu-abu. Pelan seperti malas-malasan ia turun dari punggurg burung dewata itu, matanya terpicing mengawasi Soat-san-su-gou ganti berganti, mendadak kelihatan biji matanya terpentang lebar memancarkan napsu membunuh yang tebal.

Dilain pihak Soat-san-su-gou tetap berduduk samadi memejamkan mata tak bergerak, seperti tidak mengetahui akan kedatangan mereka.

Kelihatan Bu Bing Loni mengayun tangan kanan, dari dalam lengan bajunya ia melemparkan sebatang tongkat putih ke hadapan si orang tua pertama beralis putih itu.

Tongkat sepanjang tiga kaki yang terbuat dari batu pualam itu melesak masuk seluruhnya ke dalam tanah, tanpa mengeluarkan suara.

Perlahan-lahan orang tua alis putih angkat kepala menatap ke arah Bu Bing Loni.

Terdengar Bu Bing Loni tertawa dingin, ujarnya, “Kedatanganku hanya untuk minta orang, pengajaran dari kalian yang menamakan diri sebagai Soa san-su-gou, betapa tinggi dan ada keanehan apa dari ilmu kepandaian kalian?”

Orang tua alis putih beragu sebentar, katanya dengan suara rendah, “Ketahuilah dia bukan murid dari Ang-hwa-lo-mo itu, malah….”

Tak menanti orang bicara habis, Bu Bing Loni segera menyela, “Segala sepak terjangku sejak dulu siapa yang berani tanya kenapa?”

Sesaat orang, tua alis putih merenung, lalu katanya kalem, “Apa tidak lebih baik kau pertimbangkan sekali lagi?”

Bu Bing Loni mendengus gusar, ia berpaling ke arah gadis baju hitam serta berkata, “Ambil pedangku!”

Cepat-cepat gadis baju hitam itu mengangsurkan sebilah pedang panjang, pelan-pelan Bu Bing Loni melolos pedang itu dari sarungnya.

Orang tua alis putih mandah tertawa tawar, sebelah tangannya diulur mencabut keluar tongkat yang amblas dalam tanah di depannya terus dilontarkan kepada orang keempat, serempak mereka lantas mengeluarkan sebatan tongkat putih pula.

Dengan angker Bu Bing loni melintangkan pedangnya di depan dada, lambat-lambat ia memutar tubuh menghadapi Soat-san-su-gou dengan sikap dingin.

Berbareng Soat-san-su-gou bangkit berdiri. Selama hidup ini baru pertama kali ini Thian-hi bakal menyaksikan pertunjukan adu silat tingkat tinggi, tak terasa jantung berdebur keras dan tegang, tersipu-sipu iapun berdiri menyingkir ke samping. Diam-diam ia melirik ke arah gadis baju hitam itu, orang tengah memusatkan perhatiannya ke tengah gelanggang, sedikit pun tidak hiraukan kepadanya.

Hun Thian-hi menjadi malu sendiri, iapun segera menaruh perhatian akan pertarungan dahsyat yang bakal terjadi ini.

Sementara itu Soat-san-su-gou sudah mencari kedudukannya masing-masing, Bu Bing Loni terkepung diantara mereka berempat. Pelan-pelan Bu Bing Loni angkat dan menggerakkan pedang di tangannya, sikapnya yang angkuh dan menyungging senyum ejek hakikatnya tidak memandang sebelah mata pada keempat lawannya.

Pedang panjangnya itu bergerak lamban melancarkan jurus serangan, setelah berputar-putar setengah lingkaran di tengah udara langsung menutul ke tenggorokan orang tua alis putih.

Menghadapi musuh besar yang diagulkan sebagai tokoh jahat nomor satu di seluruh jagat ini sedikit pun Soat-san-su-gou berempat tak berani berlaku ayal-ayalan, serempak cepat tongkat pualam mereka bergerak saling silang terbang serabutan melancarkan jurus pertama dari Gin-ho-im-sek yang dinamakan Gin-poh-tam-tam-gi (Gelombang Perak Mengalun Berderai), tabir sinar putih perak laksana percikan alunan air gelombang melandai ke arah Bu Bing Loni dari berbagai penjuru.

Dimana Bu Bing Loni menggoreskan pedangnya, tiba-tiba terasa pedangnya menjadi berat seperti tertahan maju, sementara ujung pedangnya laksana disedot oleh sesuatu kuatan yang hebat, sehingga kurang leluasa bergerak lagi. Keruan kejut sekali hatinya, diam-diam ia menyedot hawa mengerahkan tenaga, pedang panjangnya digerakkan kembali lebih cepat merangsak ke arah Soat-san-su-gou.

Mendadak gerak gerik tongkat para tokoh dari Soat-san itu membaling putar balik secara tiba-tiba, kontan pedangnya Bu Bing Loni kena terkurung dan dituntun ke samping hingga menusuk tempat kosong.

Gabungan ilmu tongkat Soat-san-su-gou memang cukup hebat, perubahannya sukar diraba sebelumnya, dari menjaga diri bisa berubah menyerang dengan dahsyat, apalagi dengan kepungan dari empat penjuru ini, serempak empat batang tongkat pualam itu menutuk lempang ke seluruh badan Bu Bing Loni.

Bu Bing Loni sudah diakui sebagai tokoh silat nomor satu yang tiada bandingannya di kolong langit, ilmu pedangnya yang bernama Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang paling digdaya dan malang melintang di seluruh Bulim, masa begitu gampang ia mandah dikalahkan?

Begitu tusukan pedangnya mengenai tempat kosong lantas ia tahu akan akibat apa yang bakal dialaminya, maka dengan mendengus keras-keras, pedang panjangnya ditarik sertakan tenaganya…. Ting, ting, ting! Beruntun terdengar suara benturan nyaring yang menusuk telinga, dengan ketangkasan’permainan pedangnya sekaligus ia tangkis kembali keempat batang tongkat kemala putih Soat-san-su-gou yang menyerampang tiba.

Dengan serangan gabungan dari empat penjuru ternyata Soat-san-su-gou masih tidak mampu mendesak Bu Bing Loni setapak kaki pun, dan betul-betul luar biasa keruan mereka bercekat dan kaget dalam hati, untuk babak selanjutnya mereka tak berani gegabah main serang lebih dahulu serempak mereka loncat mundur dan berdiri menempati kedudukan semula.

Bu Bing Loni berdiri tegar dengan muka beringas meskipun secara gampang ia berhasil membendung dan menghalau serangan gabungan lawan, namun hakikatnya selama hidupnya ini kapan ia pernah terdesak di bawah angin sedemikian rupa? Matanya berkilat memancarkan sinar biru mengandung nafsu membunuh yang berkobar.

Tersapu oleh pandangan cahaya mata Bu Bing Loni yang menyeramkan itu, tanpa terasa melonjak keras jantung Hun Thian-hi, tak kuasa matanya lantas melirik ke arah si gadis berbaju hitam itu. Kelihatan sikap orang tetap seperti waktu datang tadi, sedikit pun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, matanya menatap tajam dalam gelanggang. Sebaliknya Siau Hong membelalak kedua biji matanya tengah mengawasi Hun Thian-hi.

Memang di luar dugaan Bu Bing Loni bahwa kepandaian silat Soat-san-su-gou kiranya memang hebat di luar perhitungannya semula. Begitulah sekali lagi ia menggetarkan pedang panjangnya mengembangkan lagi Hui-sim-kiam-hoat yang telah menjagoi di seluruh kolong langit. Setitik sinar putih kemilau yang menyilaukan mata berkelebat laksana seekor ular hidup terbang menari di tengah angkasa terus membeliti dan menerjang keempat penjuru menyerang kepada musuhnya.

Soat-san-su-gou memusatkan seluruh perhatiannya. Sekali lagi mereka lancarkan jurus Gin-poh-tam-tam-ki (Gelombang Perak Mengalun Berderai), jurus ini memang peranti untuk menjaga diri tanpa balas menyerang.

Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu gemblengan hasil pemikiran Soat-san-su-gou selama hidup ini. Betapapun tinggi kepandaian Bu Bing Loni yang sudah diagulkan sebagai jago nomor satu di seluruh jagat ini, dengan satu lawan empat dalam sementara waktu agaknya sukar dapat mengambil kemenangan dan memecahkan kepungan yang ketat itu.

Begitulah tanpa menggeser kaki tangan Bu Bing Loni terus bergerak gesit dan tangkas sekali memutar dan menarik pedang panjangnya menyerang dahsyat kepada empat lawannya, sebentar saja ratusan jurus sudah berlahu.

Saking hebat pertunjukan yang disaksikan ini Hun Thian-hi sampai melongo dan menjublek di tempatnya, darahnya berdesir semakin cepat. Pertunjukan adu kepandaian yang dilihatnya ini betul-betul belum pernah disaksikan selama hidup ini, kecepatan permainan pedang Bu Bing Loni yang banyak perubahannya betul-betul sukar diikuti dengan pandangan matanya. Sebaliknya meskipun Soat-san-su-gou selalu hanya melancarkan jurus-jurus pertamanya tadi, namun perubahannya yang kokoh kuat itu sulit pula dapat diselaminya.

Semakin bertempur hati Bu Bing Loni semakin was-was, baru sekarang diinsafi olehnya bahwa Soat-san-su-gou merupkan lawan tertangguh selama hidupnya. Kalau tadi ia berseru angkuh dengan berdiri diam ditempatnya, sekarang mulai kelihatan kakinya bergerak maju mundur, gerak badannya mengikuti tarian kelebat sinar pedangnya, mendadak tampak permainan pedangnya berubah lagi, kabut pancaran cahaya putih kemilau beterbangan memenuhi angkasa raya.

Cara perlawanan Soat-san-su-gou sebetulnya adalah dengan ketenangan menundukkan kekerasan, namun begitu permainan pedang Bu Bing Loni berubah, seketika mereka berempat merasakan tekanan tenaga dari luar semakin besar, batang pedang Bu Bing Loni kelihatan selincah naga terbang menari di tengah angkasa dan selulup timbul di tengah samudera raya, sudah beberapa kali hampir saja menerobos keluar dari kepungan.

Empat tongkat Soat-san-su-gou teracung tinggi-tinggi ke tengah begitu sedikit saling sentuh gesit sekali sebelum Bu Bing Loni sempat menerobos keluar gerak perubahan tongkat mereka sudah mendahului menghalanginya kembali.

Sekarang mereka pun mulai bergerak. Jurus kedua dari ilmu gabungan Gin-ho-sam-sek mereka mulai dilancarkan yaitu yang dinamaknn Gam-lian-hun-in-ho (Gabungan Panjang Awan dan Bayangan), empat batang tongkat pualam mereka seperti tergubat menjadi satu membentuk sejalur cahaya tonggak yang mengurung ketat Bu Bing Loni.

Terdengar Bu Bing Loni menggertak nyaring, permainan pedangnya bergerak semakin cepat, mereka berlima sudah mulai lancarkan seluruh kemampuan masing-masing, setaker dari seluruh kekuatan mereka sudah dikuras seluruhnya. Gelanggang pertempuran menjadi ribut, angin menderu seperti angin lesus, angkasa menjadi gelap. Gadis baju hitam yang menonton dipinggir gelanggang menjadi kesima dan prihatin menahan napas.

Adalah Hun Thian-hi terlongong di tempatnya berdiri, pertempuran dahsyat macam ini betul-betul merupakan totonan yang jarang dapat disaksikan.

Tak terasa pertempuran dahsyat ini berjalan semakin cepat dan hebat, dilain kejap ribuan jurus sudah lewat cuaca semakin terang, sinar bintang-bintang menjadi guram berkelap-kelip bertaburan di angkasa raya menyinari puncak tertinggi Soat-san ini.

Kini kelihatan jurus permainan Bu Bing Loni dari cepat berubah lambat, namun setiap jurus tipunya dilandasi kekuatan tenaga dalam yang luar biasa dahsyatnya, terus memberondong kepada empat lawannya.

Demikian juga Soat-san-su-gou terpaksa juga harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk bertahan dan megurung Bu Bing Loni.

Kelihatan Bu Bing Loni menyeringai dingin, tiba-tiba batang pedangnya bergerak berputar membuat lingkaran besar seperti lembayung menggubat ke arah empat musuhnya.

Langit di sebelah timur bertambah terang, selarik cahaya kuning yang terang benderang mulai timbul di ufuk timur di balik awan, pelan-pelan matahari mulai timbul dari peraduannya.

Terdengar Bu Bing Loni menggerung tertahan, cahaya sinar pedangnya mendadak menggelembung seperti lajur berkembang, itulah jurus Kek-hun-sau-liang (Di Balik Awan Menggubat Tonggak) salah satu jurus Hui-sim-kiam-hoat yang ampuh dan sakti, dimana sinar pedang berkelebat menembus tinggi ke angkasa, terdengar pula suara nyaring lirih menembus kesunyian alam pegunungan. Terlihat tubuh tinggi besar Bu Bing Loni menjulang tinggi ke angkasa menerobos keluar dari kepungan Soat-san-su-gou, di tengah udara ia jumpalitan dengan gaya yang indah terus meluncur turun hinggap di tanah dengan enteng tanpa mengeluarkan suara.

Sambil berdiri tegap wajahnya mengunjuk senyum sinis yang dingin, pedang melintang di depan dada.

Sementara itu Soat-san-su-gou juga bergerak cukup gesit, serentak mereka loncat mundur terus berdiri sejajar bersentuh pundak.

Sesaat orang tua beralis putih merenung, lalu katanya kepada Bu Bing Loni, “Memang hebat, kita berempat mengaku kalah!”

Biji mata Bu Bing Loni memancarkan cahaya aneh, sekelebat saja lantas lenyap. Benar-benar di luar dugaannya dengan ketenaran Soat-san-su-gou, begitu terdesak di bawah angin lantas berani terang-terangan mengaku kalah, apalagi mereka selama ini mengetahui pribadinya.

Bu Bing Loni hanya mendengus saja, tak tahu cara bagaimana ia harus menjawab.

Sekilas menyapu pandang keseluruh gelanggang, orang tua beralis putih borkata lagi, “Secara jujur harus kita akui, kalau pertandingan ini diteruskan pasti kita berempat tak kuat melawan kehebatan Hui-sim-kiam-hoat!”

Bu Bing Loni menyeringai dingin, tanyanya, “Kau ada permintaan apa?”

Orang tua beralis putih berpikir sebentar lalu katanya sungguh-sungguh, “Ya, hari ini kita empat saudara mengaku kalah, malah kita rela untuk bunuh diri. Tapi kau harus melulusi dalam satu tahun ini melepaskan Hun Thian-hi!”

“Tidak mungkin!” jengek Bu Bing Loni ketus,

“Kalau tidak setuju,” kata orang tua alis putih, “kukira kau sendiri lebih tahu, setelah pulang dari sini sedikitnya kau harus menghadap dinding sepuluh tahun, apalagi kita berempat, betapapun tinggi kepandaian silatmu, jangan harap kita mandah menyerah begitu saja.”

Pandangan Bu Bing Loni memancarkan cahaya aneh dan tajam. Orang tua alis putih tahu hati orang sudah tergerak, maka segera ia menambahi, “Satu tahun, hanya setahun saja. Masa dengan kedudukanmu yang teragung sebagai tokoh nomor satu di jagat ini takut menghadapi orang bocah yang masih hijau?”

Bu Bing Loni berpaling mengawasi Hun Thian-hi, “Baik”, sahutnya menjengek hina, “terpaksa kukabulkan sekali permintaan ini!”

Orang tua alis putih bersorak girang, matanya memancarkan cahaya terang, serunya lagi, “Kau, demikian juga mereka?”

Bu Bing Loni manggut-manggut.

Orang tua alis putih memutar tubuh menggapai kepada Hun Thian-hi, “Nak, kemarilah!”

Waktu mendengar percakapan orang tua alis putih dengan Bu Bing Loni tadi sesaat Hun Thian-hi menjadi kesima dan melongo, begitu mendengar panggilan pelan-pelan ia maju kehadapan orang tua alis putih. Dengan mematung ia bertanya kepada orang tua alis putih, “Locianpwe! Kenapa kau berbuat begitu?” Habis berkata tak tertahan lagi air mata lantas mengalir keluar.

Orang tua alis putih tersenyum manis katanya, “Kelak tentu kau akan tahu, tak perlu kau bertanya lagi!”

Kata Hun Thian-hi sambil membasut airmata, “Dengan keputusan kalian ini cara bagaimana aku bisa menerima….? Baru pertama kali ini aku berjumpa dengan kalian bukan?”

Tangan orang tua alis putih terulur mengelus kepala Hun Thian-hi, matanya memandang jauh ke ufuk timur memandangi sang surya yang mulai menongol keluar, katanya kepada Hun Thian-hi, “Coba apa kau sudah melihat matahari terbit itu, itulah lambang dirimu kelak!”

Raut muka Bu Bing Loni berkerut-kerut dan bergidik, namun sebentar saja, tanpa buka suara.

Pelan-pelan Soat-san-su-gou duduk bersila kembali, tersipu-sipu Hun Thian-hi berlutut di hadapan orang tua alis putih. Jiwa Soat-san-gu-gou berempat untuk menebus jiwanya sendiri selama setahun saja, sungguh perasaannya sangat tertekan dan haru sekali.

Orang tua alis putih menghela napas, tanyanya, “Nak kudengar kau masih mengemban tugas menuntut balas sakit hati ayahmu bukan?”

Hun Thian-hi manggut-manggut.

“Siapakah musuh besar itu?”

Mo-bin-su-seng (Pelajar Muka Iblis)!”

Orang tua alis putih terkejut melongo, mulutnya mendesis, “Oh kiranya dia?”

Sungguh orang tua alis putih tidak mengira bahwa Hun Thian-hi terikat permusuhan dengan dua tokoh lihai yang paling ditakuti di seluruh kolong langit ini. Bu Bing Loni merupakan tokoh paling ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi dan sepak terjangnya yang telengas. Sebaliknya Mo-bin-su-seng (Pelajar Muka Iblis) merupakan tokoh paling licik dan banyak akal muslihatnya.

Orang tua alis putih angkat kepala mengawasi Bu Bing Loni sebentar lalu berkata pula kepada Hun Thian-hi, “Nak, sepeninggalmu dari sini segera kau menujlu ke Tiang-pek-san, di Tiang-pek-san ada dua tokoh kosen aneh, jikalau kau dapat menerima anugerah mereka berdua, masa depanmu pasti gilang gemilang!”

Lagi-lagi terdengar Bu Bing Loni menjengek hina.

Orang tua alis putih berkata pula, “Kita empat saudara sejak dua puluh tahun yang lalu mengasingkan diri bersama mempelajari dan memperdalam ilmu Gin-ho-sam-sek, sampai detik ini belum sempat menerima, seorang murid pun, hari ini agaknya kita berjodoh maka pelajaran tunggal ini harus kuturunkan kepadamu.” – Lalu dari dalam bajunya dirogoh keluar sejilid buku kecil yang tersulam di atas kain sutra putih terus diangsurkan kepada Hun Thian-hi.

Hun Thian-hi menerima buku itu dengan kedua tangannya, katanya tertekan hampir sesenggukan, “Terima kasih akan perhatian dan kepercayaan yang diberikan kepada wanpwe!”

Orang tua alis putih tertawa tawar, ujarnya, “Mengandal bekal lwekangmu sekarang kau takkan mampu mempelajarinya, tapi boleh kau simpan kelak tentu dapat kau gunakan.”

Pelan-pelan Hun Thian-hi menyimpan buku catatan pelajaran Ghin-ho-sam-sek itu ke dalam kantong bajunya. Sementara itu orang tua alis putih angkat kepala memandang ke arah Bu Bing Loni katanya, “Tadi kau baru berkenalan dengan dua jurus pelajaran ilmu Gin-ho-sam-sek saja, kita berempat baru menggunakan dua jurus tapi cukup mengurung kau selama satu hari satu malam, ketahuilah perbawa jurus ketiga jauh berlipat ganda, dibanding jurus pertama dan jurus kedua. Sayang kita berempat belum selesai mempelajarinya, jikalau sudah tamat seluruhnya kutangggung kita takkan menderita kekalahan seperti ini, kau perlu selalu ingat akan peristiwa hari ini!”

Bu Bing Loni menjengek dengan nada hina tanpa mengeluarkan suara….

Sejenak orang tua alls putih terpekur lalu katanya kepada Hun Thian-hi, “Jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumi itu sekali-kali jangan kau lancarkan lagi. Ketahuilah Ang-hwat-lo-mo terlalu banyak dan mendalam mengikat permusuhan di kalangan Kangouw. Jikalau dia sendiri yang tampil ke depan mungkin para musuhnya takkan berani banyak tingkah, tapi menghadapi kau kukuatir dendam kesumat mereka akan seluruhnya ditimpahkan ke atas pundakmu, akibatnya tentu sangat berat dan menyulitkan bagi kau!”

Hun Thian-hi manggut-manggut dan menerima wejangan ini dengan patuh. Orang tua alis putih lantas bungkam dan memejamkan matanya.

Sungguh sedih dan rawan sekali perasaan Hun Thian-hi. Soat-san-su-gou rela mengorban kan jiwanya sendiri untuk mengganti jiwanya, budi teramat besar ini selama hidup ini agaknya sulit dapat membalasnya.

Segera ia berlutut dan menyembah empat kali di hadapan orang tua alis putih. Tiba-tiba orang tua alis putih membuka matanya lagi serta katanya, “Nak, sifat congkak dan takabur harus kau tindas ke akarnya. Kalau kau selalu dibawa akan adatmu sendiri susah kau dapat mencapai tingkatan seperti apa yang kita harapkan, maka kuharap kau tidak menyia-nyiakan pengharapan kita berempat!” — habis berkata lalu memejamkan mata lagi.

Rada lama Hun Thian-hi mengheningkan cipta lalu berturut-turut berlutut dan menyembah bergantian kepada empat orahg tua itu, mereKa duduk bersila memejamkan mata tanpa bergerak atau bersuara.

Waktu tiba giliran orang tua keempat, orang tua ini mendadak membuka mata dan berseri tawa katanya, “Nak, kudoakan kau selamat sepanjang jalan, semoga memperoleh rejeki besar!”

Tak tertahan bercucur deras air mata Hun Thian-hi….

Orang tua itu tersenyum manis, ujarnya, “Kenapa kau, waktu pertama kali kubertemu dengan kau, kemana pula sikapmu yang gagah perwira tak mengenal takut itu. Sikap congkak memang boleh asal bukan tulang congkakmu saja yang melandasi segala sepak terjangmu!”

Sejenak Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia menyeka air mata dengan tangan kanannya terus bergegas bangun dengan tangkasnya.

Orang tua itu tersenyum lebar, pelan-pelan memejamkan matanya lagi.

Sebaliknya orang tua alis putih membelalakkan kedua matanya, mulutnya menjebir dan bersuit panjang melengking, serempak mereka berempat duduk tegak menyilangkan tangan di depan dada, berbareng tangan kanan terayun kencang, empat tongkat pualam kontan melesat terbang menghilang, maka dilain saat jiwa mereka pun ikut melayang dengan duduk sempurna.

Sekian lama Hun Thian-hi termangu-mangu dengan mengembeng air mata, tiba-tiba ia membalik tubuh menghadap Bu Bing Loni dan membentak, “Sehari aku Hun Thian-hi masih hidup, sakit hati ini harus kubalaskan!”

Bu Bing Loni bergantian mengawasi empat orang tua yang sudah wafat itu, lalu melirik ke arah Hun Thian-hi dengan senyum ejek, waktu pandangannya teradu pandang dengan sorot mata Thian-hi tanpa terasa terkesiap hatinya. Terasa sorot pandangan Hun Thian-hi begitu tajam dan menakutkan, selama hidup dan malang melintang di dunia persilatan rasanya belum pernah ia merasa was-was dan kekuatiran yang luar biasa. Hatinya menjadi bertanya-tanya dan heran kenapa pancaran mata Hun Thian-hi bisa begitu tajam dan menakutkan, bukan saja mengandung rasa kebencian yang menggelora terasa pula tersembunyi kepintaran luar biasa yang sulit diraba.

Dengan mengkirik segera ia memutar tubuh ke arah gadis baju hitam serta serunya, “Gwat-ji, mari kita pulang.”

Dingin-dingin saja sekilas gadis baju hitam menyapu pandang ke arah Hun Thian-hi, lalu membungkuk tubuh memberi hormat kepada Bu Bing Loni, sahutnya, “Ya, Suhu!”

Dengan rasa takut-takut dan keheranan Siau Hong mengawasi Thian-hi lalu tersipu-sipu membalikkan tubuh mengintil di belakang nonanya, maka dilain kejap mereka bertiga sudah terbang makin tinggi di tengah angkasa menunggang burung dewata yang besar itu.

Entak berapa lama Thian-hi berdiri termenung seorang diri. Pandangan gadis baju hitam tadi meski hanya sekilas saja, terasa olehnya pandangan yang dibekali rasa dendam dan kebencian yang mendalam, entahlah apa dan kenapa gadis remaja itu begitu benci kepadanya.

Thian-hi mendelong mengawasi Soat-san-su-gou, suara mereka masih terkiang dalam kupingnya prihatin si orang tua alis putih serta belas kasihan si orang tua betul-betul berkesan dan takkan terlupakan olehnya. Walaupun mereka baru kenal sehari semalam, namun budi dan kebaikan yang telah tertanam akan dirinya tidaklah kalah besar dibanding gurunya sendiri Seruling Selatan Kongsun Hong yang telah mengasuhnya selama puluhan tahun.

Pelan-pelan ia menghela napas lalu mendongak mengawasi angkasa, bayangan Bu Bing Loni dan gadis baju hitam bertiga sudah menghilang diujung langit.

Diam-diam Thian-hi menerawang kemana tujuan selanjutnya. Siapakah dua tokoh yang dimaksud di Ting-pek-san itu? Sekian lama ia terpekur. setelah berlutut dan menyembah lagi kepada Soat-san-su-gou terus turun gunung.

 

Badik Buntung

01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 |

0 comments: