Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
6. Secawan Arak, Tiga Nyawa
Un Ji amat sedih.
Selama hidup, belum pernah ia berjumpa dengan seorang lelaki yang begitu tidak menghormatinya, begitu tak memandang sebelah mata terhadapnya, tidak menganggapnya sebagai seorang tokoh, bahkan nyaris tidak menganggapnya sebagai manusia. Ia merasa sangat terhina, merasa amat sedih.
Melihat lelaki itu masih berdiri dengan sikap angkuh, acuh tak acuh dan jumawa, dia amat membencinya, makin dipandang makin sakit hati.
Pada saat itulah ia mendengar Pek Jau-hui kembali berkata, "Terlepas siapa pun orang itu, yang pasti dia adalah seorang tokoh yang tak boleh dipandang enteng!"
Tio Thiat-leng kembali berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya, "Aku lihat kau pun termasuk manusia yang tak boleh dipandang enteng, kemari dan bergabunglah, aku pasti akan menghargai tenagamu."
"Aku tidak ambil peduli tentang kesemuanya itu," Ong Siau-sik menggeleng, "mau pandang enteng tidak masalah, mau menghargai kemampuanku juga silakan, tapi yang jelas, aku tetap aku, aku tak nanti bersedia kau gunakan hanya lantaran kau menghargaiku, aku pun tak bakal melancarkan serangan hanya dikarenakan kau memandang enteng diriku. Bagiku, persoalan yang terjadi adalah perseteruan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, siapa menang siapa kalah bukan persoalanku dan aku pun tak ingin tahu. Yang kuingin ketahui saat ini hanya satu hal."
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah serius, "Apakah dikarenakan kau ingin merusak nama dan reputasi perkumpulan Lak-hun-poan-tong dalam dunia persilatan, maka kau sengaja memerintahkan kelompok akrobatik, kelompok pedagang dan penjual obat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?"
"Perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah perkumpulan besar, mereka harus menghidupi banyak anak buah, jadi apa yang mereka lakukan selama ini untuk menunjang kehidupan anggotanya, aku rasa hampir setiap orang tahu dengan jelas dan tak usah aku jelaskan lebih jauh. Tapi satu hal kau mesti tahu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai nama dan reputasi yang baik di seputar wilayah Ouw-pak, pengaruhnya sangat besar dan banyak orang gagah dunia persilatan yang bersedia bekerja untuk mereka. Bila aku tidak menggunakan siasat ini, bagaimana mungkin aku bisa mengubah pandangan dan haluan Sin-hu Tayjin yang selama ini selalu berkomplot dengan Lui Sun? Bagaimana mungkin aku bisa meminta dia untuk membuyarkan daya pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan berganti haluan bersekongkol dengan So-kongcu? Contohnya dua bersaudara Li, orang she Ting dan Ku Han-lim, selama ini mereka memang tak pernah melakukan perbuatan baik, bukankah gara-gara kejadian ini mereka malah bisa kita tumpas? Aku berharap kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong di wilayah Ouw-pak bisa diberantas seakar-akarnya."
"Apakah orang-orang itu sangat mempercayai dirimu?" tanya Ong Siau-sik lagi dengan kening berkerut. Dia saksikan paras muka Li Tan serta Li Ciau-hong yang tergeletak di tanah mulai mengunjuk perasaan murka.
Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Justru yang percaya penuh kepadaku adalah Lui Sun Lui-congtongcu, sementara orang-orang itu .... Hmm! Tak lebih hanya mengantar nyawa saja."
"Aku lihat perempuan ini baik hati dan masih mempunyai rasa peri kemanusiaan, kesalahannya belum pantas untuk dihukum mati," bocah muda itu coba membela.
Waktu itu, meskipun jalan darah Li Ciau-hong sudah tertotok, namun mulutnya masih bisa berbicara bebas, sambil mengertak gigi penuh amarah, mendadak ia mengumpat, "He, orang she Tio, kau memang bedebah! Aku tidak ambil peduli kau mau bermarga Si atau bermarga Tio, tapi yang pasti kau memang seorang bangsat sejati, bedebah yang berhati kejam, hanya manusia macam kau yang mampu melakukan perbuatan terkutuk, biar jadi setan pun aku tak bakal melepaskan dirimu!"
"Tutup mulutmu adikku!" hardik Li Tan cepat, lalu dengan nada setengah merengek terusnya, "Tio-tongcu, mohon kebesaran hatimu dengan mengampuni jiwa anjing kami bersaudara! Di kemudian hari, mau dijadikan kerbau atau kuda, kami siap menjalankan perintahmu dan tak akan membangkang."
"Hmmm, kalau ingin jadi kerbau atau kuda, lebih baik cepatlah menuju ke neraka, di sana pun kalian berdua bisa memperoleh jabatan," sahut Tio Thiat-leng ketus.
"Tio-tongcu," kembali Li Tan merengek, "kami berjanji tak akan membocorkan kejadian pada malam ini kepada siapa pun, jika kami sampai membocorkan kejadian ini, biar aku orang she Li mati disambar geledek, mati secara mengenaskan."
"Hmm! Kau memang bakal mati secara mengenaskan."
"Mau mati biarlah mati, kenapa mesti minta ampun!" jerit Li Ciau-hong tidak puas.
"Adikku," kembali Li Tan berseru dengan gugup. "Kau jangan bicara sembarangan, jika kau melakukan kesalahan lagi terhadap Tio-tongcu, aku tak akan mempedulikan dirimu lagi."
"Kakak, matikan saja pikiran semacam itu," tukas Li Ciau-hong lantang. "Malam ini, jangan harap kita berdua bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat."
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Li Ciau-hong," katanya, "percuma kau berteriak-teriak dengan suara keras, memangnya kau senang melihat urusan jadi semakin runyam? Sayangnya, semua penghuni rumah penginapan ini sudah ditukar dengan orang-orangku, mereka yang tidak berpihak kepadaku sudah bersih dibantai."
"Apa? Orang-orang cacad itupun sudah kau bunuh?" tanya Ong Siau-sik dengan wajah berubah.
"Hahahaha ... tidak sampai sesadis itu," Tio Thiat-leng tertawa tergelak, "justru orang-orang itu yang akan mendatangkan pahala bagiku, merekalah bukti nyata perbuatan terkutuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"
Ong Siau-sik baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, tanyanya kemudian, "Di dalam almari sana terdapat sebuah peti, apakah putra tunggal Sin-hu Tayjin yang disembunyikan dalam peti itu?"
"Justru dialah yang dijadikan acara pembukaan oleh Si Say-sin dalam kejadian ini, tanpa dia, Bun Sin-hu serta kawanan pejabat anjing lainnya belum tentu mau berganti haluan, kini pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berani mengusik putra tunggal Bun Sin-hu, sudah jelas para pejabat negara akan menjadi musuh bebuyutannya," Pek Jau-hui menerangkan sambil tertawa.
Sementara itu Tio Thiat-leng sudah berjalan menghampiri almari itu, dengan sekali bacok, dia jebol pintu almari, menyeret keluar sebuah peti, meremas kuncinya hingga hancur kemudian melayangkan sebuah tendangan untuk membuka peti itu.
Seorang bocah berwajah bersih, tampan dengan hidung mancung duduk melingkar dalam peti itu, dia seakan terlelap dalam tidur yang sangat nyenyak sehingga walaupun peti sudah terbuka dia masih tidur terus.
Sekilas pandangan Ong Siau-sik tahu kalau bocah ini sudah dicekoki obat pembius, bila dilihat bagian tubuhnya yang utuh, rasanya dia belum dicelakai orang. Sekarang ia baru menemukan jawaban, berasal darimanakah suara dengusan napas perlahan yang didengarnya ketika bersembunyi dalam almari tadi.
"Kali ini Sin-hu Tayjin dan Congkoan pasti akan merasa sangat puas," kata Tio Thiat-leng dengan perasaan lebih santai.
"Yang pasti So-kongcu akan semakin puas dengan sepak terjangmu," sela Pek Jau-hui.
Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Semua ini berkat bantuan dari saudara Pek, tapi masih ada satu urusan besar yang mesti kukerjakan, bila pekerjaan itupun berhasil kulakukan, semua tugasku baru bisa dianggap selesai."
"Omong kosong," tak tahan Un Ji menyela, "Toasuheng bukan manusia semacam ini, mustahil dia memerintahkan kau untuk melakukan perbuatan terkutuk semacam ini!"
Tio Thiat-leng tidak menanggapi perkataan itu, ia berpaling dan memandang Li bersaudara sekejap, kemudian katanya lagi kepada Ong Siau-sik, "Coba pertimbangkan sekali lagi tawaranku itu, selesai membereskan kedua orang ini, aku akan menunggu kabar baikmu."
"Tak usah dipertimbangkan lagi," tukas Ong Siau-sik.
"Oya?"
"Aku telah mengambil keputusan."
"Nah, begitu baru seorang pemuda tahu diri, masa depanmu pasti cerah," seru Tio Thiat-leng sambil tertawa, setelah, itu dia melangkah maju menghampiri Li Ciau-hong.
Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menghadang di hadapan Li Ciau-hong, teriaknya, "Hari ini sudah kelewat banyak orang yang tewas di sini, aku tak ingin melihat orang mati lagi, apalagi perempuan ini memang tidak seharusnya mati."
"Dia tidak pantas mati?" jengek Tio Thiat-leng dengan sorot mata berkilat, "sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, dia adalah seorang perempuan bedebah, apakah kau ingin menjadi pelindungnya?"
"Aku tak peduli apa katamu, seperti yang sudah kutegaskan tadi, hari ini aku tak akan membiarkan kau membunuh orang lagi."
Sambil mundur selangkah, Tio Thiat-leng mengawasi wajah anak muda itu lekat-lekat, akhirnya dia mengangguk tiga kali seraya berseru, "Bagus, bagus, bagus!"
Ong Siau-sik sama sekali tak ambil pusing, sambil mengerling ke arah Pek Jau-hui sekejap, tiba-tiba ujarnya, "Saudara Pek, aku ingin tahu, kau berpihak kemana?"
Sambil menggendong tangan Pek Jau-hui mundur sejauh tujuh langkah, sahutnya, "Malam ini adalah pertemuan kedua bagi kita, sementara aku sudah empat kali bertemu dengan Tio-tongcu, malah transaksi jual beli kami sudah berjalan mulus, artinya baik kau maupun dia, semua adalah sahabatku, aku tak ingin membantu pihak mana pun."
Dengan satu gerakan kilat Un Ji melompat ke sisi Ong Siau-sik, serunya cepat, "Aku berpihak padamu ..........."
Belum selesai gadis itu berbicara, Tio Thiat-leng sudah menerjang sembari menyodokkan sepasang kepalannya melepaskan satu pukulan, sementara kakinya menyapu tubuh Un Ji. Begitu tubuh Un Ji roboh terjungkal, kepalan itu langsung menyambar ke dada dan wajah Ong Siau-sik.
Serangan itu sangat tiba-tiba dan cepatnya bukan kepalang, tak sempat bagi Ong Siau-sik untuk menghindarkan diri.
Tio Thiat-leng segera sadar, dia bakal membunuh seorang lagi. Bagi dirinya, bagi pandangannya, saat ini Ong Siau-sik sudah ibarat sesosok mayat. Dia tidak kuatir ditegur So-kongcu, dia tak takut atasannya gusar karena ulahnya itu. Sebab sekarang dia sudah membuat jasa besar, bila ditambah aksi yang akan dilakukannya esok hari, maka jasa dan pahalanya akan luar biasa besarnya. Dia tahu So-kongcu selalu membedakan dengan jelas mana jasa dan mana dosa, sekalipun sekarang dia telah menyapu kaki adik seperguruannya hingga terjungkal, dia menganggap kejadian ini lumrah, apalagi dia toh tidak membunuhnya.
Justru sekarang dia merasa sedikit sayang, sedikit kecewa. Dia tahu, Ong Siau-sik adalah seorang anak muda yang berbakat, ia dapat melihat hal itu. Tapi kenyataan, bakat yang begitu bagus ternyata enggan berpihak kepadanya, daripada bakat bagus ini terjatuh ke tangan orang lain, dia putuskan lebih baik mengirimnya lebih dulu ke dalam peti mati!
Sekarang dia sedang menunggu suara tulang belulang Ong Siau-sik retak dan hancur. Suara tulang yang hancur bermacam-macam, suara tulang wajah yang retak beda sekali dengan suara tulang dada yang hancur, tulang wajah agak keras sementara tulang dada lebih lunak, bila dibandingkan suara tulang iga yang retak pasti lebih nyaring. Namun baginya, suara tulang wajah yang retak jauh lebih merangsang, jauh lebih menegangkan. Selama ini sudah terlalu banyak tulang dada orang yang hancur di tangan Tio Thiat-leng, oleh karena itu dia lebih suka menghajar wajah lawan.
Misalnya saat dia menghajar Ho Tong sehingga tulang wajahnya hancur. Ketika mendengar suara tulang wajah seorang sahabatnya yang sudah lama dikenalnya, sudah lama berjuang bersama hancur berantakan, lalu dapat pula menyaksikan sorot mata ragu dan tak percaya yang dipancarkan dari mata rekannya itu, bagi Tio Thiat-leng, kejadian ini amat merangsang napsu, dia merasa sangat menikmatinya.
Betul juga, dia segera mendengar suara tulang patah. Bukan tulang wajah, bukan pula tulang iga, tapi tulang pergelangan tangan. Suara retak itu berasal dari tulang pergelangan tangan kiri sendiri, suara retak yang amat nyaring.
"Kraaak!"
Tangan kanan Ong Siau-sik masih tetap menempel di atas gagang senjatanya. Gagang pedang itu panjangnya tujuh inci, berujung bulat dengan sarung yang antik, walaupun tubuh senjata tidak nampak namun gagang pedangnya kelihatan sangat nyata, sebuah gagang pedang berbentuk melengkung bagai bulan sabit, pada ujung lengkungan terlintas selapis cahaya berwarna hijau. Melihat bentuk senjata itu, setengah mirip sebilah golok, setengah mirip sebilah pedang, pedang yang tergabung dalam golok.
Selama ini Ong Siau-sik belum pernah melolos pedangnya. Dia pun tidak bermaksud menghindarkan diri. Sekalipun tubuhnya tidak berkutik, namun telapak tangan kirinya telah bergerak cepat, menelusuri sisi tubuhnya dia menghadiahkan sebuah babatan kilat ke atas pergelangan tangan lawan.
"Kraaak!", diiringi bunyi nyaring, pergelangan tangan itu segera terkulai lemas. Tidak berhenti sampai di situ, kembali Ong Siau-sik mementang kelima jari tangannya, kali ini dia berusaha mencengkeram kepalan kanan lawan.
Dalam keadaan begini buru-buru Tio Thiat-leng menarik kembali serangannya, dengan buas penuh amarah dia melototi musuhnya sekejap, kemudian sambil memegangi tangan kirinya yang lunglai lemas, ia membalik badan dan segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Ploook, plookk."
Suara tepuk tangan bergema di udara, ternyata Pek Jau-hui yang sedang bertepuk tangan.
"Kungfu yang hebat," puji orang itu dengan suara lembut, "aku tahu, kepandaian silatmu memang hebat, tapi tak kusangka ternyata kau pun sanggup melukainya tanpa harus mencabut pedang, sayang aku gagal mengetahui asal-usul perguruanmu, he sobat, aku lihat kau memang sengaja hanya melukai sebuah tangannya bukan? Kalau tidak, mungkin dia hanya memiliki dua kaki untuk kabur."
Un Ji tidak habis mengerti dengan perkataan itu, sebab dia memang tak sempat melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Gerak serangan itu dilakukan dalam waktu singkat, serangan yang kelewat cepat.
"Padahal apa yang kau lakukan akan sangat menguntungkan posisi Tio Thiat-leng," kembali Pek Jau-hui berkata, "coba bayangkan saja, jika dia pulang dalam keadaan utuh dan segar bugar, dengan kecerdasan Lui-congtongcu, masa dia tak curiga? Sekarang dia pulang dengan membawa luka, kejadian ini justru akan memperlancar usahanya memperoleh jasa dan pahala."
"Manusia macam dia termasuk seorang jago yang licik dan banyak akal, sekalipun tidak kulukai, dia tetap bisa mengatur siasat dan akal muslihat untuk memberikan alasan yang masuk akal," kata Ong Siau-sik, "tadi aku memang sengaja memberi pelajaran kepadanya, karena aku tak suka dengan wataknya, untuk mencapai tujuan, dia tak segan banyak membunuh, perbuatan macam begini jelas merupakan satu perbuatan yang biadab."
"Padahal kalau mau bicara sejujurnya, justru aku yang paling banyak membunuh pada malam ini," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "selanjutnya, kau bakal kubuat repot terus."
"Aku masih muda, aku tak peduli."
Un Ji yang membungkam terus, kini tak sanggup menahan diri, dengan sorot matanya yang bening dia mengawasi Pek Jau-hui sekejap, kemudian memperhatikan lagi Ong Siau-sik, setelah itu gumamnya, "Manusia aneh, manusia aneh, satu rumah penuh dengan manusia aneh, seluruh ruangan dipenuhi manusia aneh, sepasang manusia aneh."
"Kalau sudah tahu di sini ada manusia aneh, kenapa pula nona Un datang kemari?" tegur Pek Jau-hui dengan kening berkerut.
"Guruku dan orang tuaku minta aku berangkat ke kotaraja untuk membantu Suheng, tapi lantaran sepanjang jalan aku sering mendengar orang bercerita kalau di tempat ini sedang terjadi penculikan anak-anak, bahkan anak pembesar pun ikut diculik, maka dengan perasaan ingin tahu aku melacak kabar berita ini, akhirnya aku pun bersembunyi di atas wuwungan rumah sebelum akhirnya...."
"Akhirnya diseret keluar orang lain?" sela Pek Jau-hui lagi.
"Hmm, siapa yang berani menyeret aku?" teriak Un Ji gusar. "Nonamu …."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ong Siau-sik berteriak keras, "Hati-hati!"
"Nguuung... braaaak!"
Un Ji hanya merasakan seseorang menyambar lewat dari atas kepalanya, dengan perasaan kaget dia segera melepaskan tujuh delapan jurus serangan ke udara. Tampak orang itu merentangkan tangannya lebar-lebar, langsung memeluk tubuhnya dan merobohkannya ke lantai.
Cahaya lampu yang semula menerangi ruangan, kini padam secara tiba-tiba. Sesaat sebelum cahaya lentera itu padam, tampak seseorang membentak nyaring dan langsung menerjang ke atas atap rumah.
Un Ji tak tahu apa yang telah terjadi, dia hanya merasakan seseorang masih menindih di atas tubuhnya, dengus napas lelaki yang sangat kuat. Sebenarnya Un Ji berusaha meronta sambil bersiap mencaci maki, tiba-tiba dia seperti paham akan sesuatu, mulutnya segera terbungkam kembali dan tubuhnya tidak bergerak pula.
Dalam pada itu, orang yang semula melompat ke atas atap rumah tadi, kini bagai segulung asap telah melayang balik ke dalam ruangan, Un Ji dapat merasakan gerak tubuh orang itu sangat enteng dan cepat. Sedang orang yang semula mendekap tubuhnya, kini pun sudah melompat bangun. Dalam keremangan cuaca, gadis itu dapat melihat orang berbaju putih yang gesit gerak tubuhnya itu sedang menyulut lentera.
Malam ini, lentera di dalam kamar sudah padam sebanyak tiga kali. Kali pertama terjadi di saat Un Ji melayang turun dari atap rumah dan terjebak dalam kepungan orang banyak. Kali kedua terjadi di saat Tio Thiat-leng dan Pek Jau-hui bersamaan menyerbu masuk ke dalam ruangan disusul munculnya Ong Siau-sik. Dan kali ini adalah kali ketiga lampu lentera itu padam. Ketika cahaya api disulut kembali, di saat sinar mulai menerangi seluruh ruangan, pemandangan macam apa pula yang dijumpai?
Un Ji dapat merasakan bahwa setiap kali cahaya lentera disulut kembali, maka seolah selapis kabut mulai disingkap, seolah sedang membuka sebuah halaman baru, seperti malam yang lewat dan fajar mulai menyingsing. Pemandangan macam apa pula yang akan tampil kali ini?
ooOOoo
Cawan.
Ong Siau-sik sedang mengawasi sebuah cawan.
Sebenarnya cawan bukan sesuatu yang aneh, di atas lantai penuh berserakan cawan yang utuh maupun cawan yang telah hancur lebur. Tapi cawan yang ini sangat berbeda, cawan ini menancap di atas tiang penyangga bangunan. Hampir seluruh permukaan cawan terbenam di tiang itu, yang tersisa di luar hanya dasar cawan, itupun hanya sebagian kecil yang terlihat.
Sebetulnya cawan itu sangat biasa, tak ada keistimewaan apapun karena terbuat dari porselen putih dan merupakan cawan arak yang bisa digunakan kebanyakan orang. Kalau dibilang benda itu mempunyai keistimewaan, maka hal ini dikarenakan di sisi cawan terlihat ada beberapa helai rambut yang terpapas serta selembar kecil kain putih, kain dengan bercak darah.
Sekarang Un Ji jadi paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata orang yang merobohkan tubuhnya dan melindunginya di atas lantai tak lain adalah Pek Jau-hui, lelaki acuh tak acuh itu. Sementara orang yang menerobos naik ke atap rumah untuk mengejar musuh adalah Ong Siau-sik, si anak muda yang nampak sedikit bloon itu.
"Mana orangnya?" ia segera menegur sembari membenahi rambutnya yang kusut.
"Sudah pergi," sahut Ong Siau-sik sembari mengawasi cawan itu tanpa berkedip.
"Siapa sih orang itu?" tanya Pek Jau-hui pula.
"Kurang jelas, aku hanya melihat bayangan orang berkelebat kemudian lenyap, rasanya dia agak jangkung, agak kurus, tapi tidak terlampau jelas."
Kali ini giliran Pek Jau-hui yang melengak, dia tahu ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ong Siau-sik cukup tangguh, tapi nyatanya ia gagal mengejar orang itu, hal ini membuktikan kepandaian silat lawan memang luar biasa.
Sementara itu Un Ji sedang mengawasi wajah Pek Jau-hui dengan matanya yang tajam, ia lihat pemuda itu memiliki hidung mancung dengan kelopak mata agak cembung tulang matanya tinggi menonjol, saat itu dia sedang berdiri dengan sikap tak acuhnya. Tak tahan si nona ini jadi mencak-mencak lantaran mendongkol, tapi sekarang dia sadar ada orang telah membokong mereka.
Rambut yang terpapas kutung jelas merupakan rambut miliknya, robekan kain putih ternyata berasal dari ikat kepala Pek Jau-hui, sedang bercak darah berasal dari alis mata sebelah kiri Ong Siau-sik.
Sungguh hebat kepandaian silat yang dimiliki si pembo-kong, ternyata ia mampu menggunakan sebuah cawan arak, dari sudut yang tak terduga sekaligus mengancam nyawa ketiga jago itu.
"Serangan cawan yang hebat!" gumam Pek Jau-hui tanpa terasa.
Ong Siau-sik memeriksa sekejap dasar cawan yang nampak menongol keluar, lalu katanya pula, "Orang ini sangat mahir menggunakan cawan sebagai senjata rahasia, aku jadi ingin tahu apakah dia hebat juga menggunakan tombak?"
Begitu mendengar perkataan itu, Pek Jau-hui nampak terkesiap, serunya tanpa sadar, "Jangan-jangan perbuatan dia?"
"Siapa?"
"Seseorang!"
Baru saja Ong Siau-sik dan Un Ji ingin bertanya siapakah orang itu, mendadak terdengar Pek Jau-hui berbisik lagi, "Sstt, jangan berisik, ada orang datang."
"Benar, malah lebih dari satu," sambung Ong Siau-sik.
ooOOoo
Bersambung ke bagian 07
0 comments:
Post a Comment