Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
7. Manusia dalam Impian
Dengan kening berkerut, Un Ji siap melolos goloknya. "Jangan mencabut senjata," buru-buru Pek Jau-hui mencegah, "kali ini yang datang adalah para opas dari pengadilan."
"Mau menangkap kita?" tanya si nona tertegun.
Kontan Pek Jau-hui tertawa geli. "Memangnya kau sudah melakukan pidana?" ejeknya.
"Kalau begitu mereka datang untuk menangkap kalian?" sekali lagi Un Ji tertegun.
"Aku rasa kehadiran mereka hanya merupakan sebagian dari strategi yang diatur Tio Thiat-leng," kata Ong Siau-sik menjelaskan, "kini para opas sudah berdatangan, kita tak perlu berdiam terlalu lama di tempat ini."
"Betul, lebih baik segera angkat kaki," Pek Jau-hui membenarkan.
Terdengar suara gonggongan anjing, derap kaki kuda dan bentakan manusia berkumandang semakin dekat, kali ini Un Ji pun dapat menangkap suara berisik itu dengan jelas.
Pek Jau-hui segera berseru sambil tertawa, "Kalau tidak angkat kaki sekarang, mau menunggu sampai kapan lagi?"
Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap, Ong Siau-sik segera menerobos keluar lewat lubang di wuwungan rumah, Un Ji lewat jendela, sementara Pek Jau-hui melesat lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia sempat menyentilkan jari tangannya ke arah dasar cawan yang menancap di tiang kayu.
Begitu kena sentilan, cawan arak itu segera hancur, hancur jadi dua bagian. Kedua pecahan cawan tadi segera melesat ke samping, satu menghantam tubuh Li Tan sedang yang lain menghajar tubuh Li Ciau-hong, sungguh tepat gerak serangan itu.
Saat itu sebenarnya Ong Siau-sik sudah melayang naik ke atap rumah, begitu mendengar desingan angin tajam, badannya segera meluncur kembali ke bawah, langsung menuju ke arah dua bersaudara Li tergeletak, dengan kepala di bawah kaki di atas dia menyambar ke samping, mengambil segenggam hancuran genting.
"Sreeet!", terdengar suara desingan tajam menggelegar membelah bumi, belum lagi serangan Ong Siau-sik tiba, tahu-tahu pecahan cawan itu sudah menyambar lewat, langsung menancap di atas kening Li Tan.
Tak ampun lagi diiringi suara dengusan tertahan Li Tan tewas seketika.
Menyaksikan kejadian ini, Ong Siau-sik tak kuasa menahan rasa gusarnya, bentaknya penuh amarah, "Kenapa kau harus mencabut rumput hingga seakar-akarnya?"
"Perasaanmu kelewat lembek," sahut Pek Jau-hui santai.
"Masalah ini bukan perasaan lembek atau tidak, tapi apa perlunya? Kenapa kau ngotot ingin membunuhnya?"
"Jika kita melepaskan siapa pun di antara mereka, suatu ketika bila kejadian ini sampai tersiar, sudah pasti Lui Sun maupun So Bong-seng tak akan melepaskan mereka, bayangkan sendiri, apa untungnya perasaan lembekmu itu?"
Ong Siau-sik tidak membantah, namun dia nampak uring-uringan.
Sementara itu Un Ji yang sudah berada di luar tiba-tiba menegur, "He, apa yang sedang kalian lakukan di situ? Cepat keluar!"
Tampaknya Pek Jau-hui tak ingin bentrok dengan Ong Siau-sik gara-gara persoalan ini, katanya kemudian, "Ayo, cepat kita menyusul keluar, kalau perempuan itu berkoar-koar di luar sana, bisa jadi seluruh opas dalam kota akan menyusul kemari."
Ong Siau-sik memandang sekejap Li Ciau-hong yang masih menggeletak di lantai, saat itu perempuan siluman itu sedang mendongakkan kepalanya dengan susah payah, pancaran sinar dendam yang kuat terlintas dari balik matanya.
"Ya, sudahlah," ujar Pek Jau-hui kemudian, "akan kuampuni perempuan ini, semoga saja dia tidak menyia-nyiakan harapanmu yang telah menyelamatkan jiwanya."
Selesai berkata, ia beranjak pergi dari situ.
Sekali lagi Ong Siau-sik mengawasi Li Ciau-hong yang tergeletak di lantai, kemudian memandang pula mayat yang bergelimpangan dalam ruangan, tak kuasa dia menghela napas panjang.
Dalam pada itu suara derap kaki kuda dan teriakan manusia sudah makin mendekat, Ong Siau-sik segera menendang tubuh Li Ciau-hong untuk membebaskan totokan jalan darahnya, sebelum meninggalkan tempat itu pesannya, "Semoga kau tidak melakukan kejahatan lagi."
ooOoo
Di bawah cahaya rembulan tampak tiga sosok bayangan manusia melesat dengan kecepatan tinggi.
Bayangan berbaju putih adalah Ong Siau-sik, dia memang selalu berdandan sederhana, baju panjangnya berwarna cerah bagai sinar rembulan, lembut bagai warna rembulan.
Bayangan yang berbaju sutera adalah Pek Jau-hui, dia mengenakan stelan baju terbuat dari bahan sutera yang mahal harganya, anggun, mewah dan terhormat.
Sementara bayangan yang memakai baju merah adalah Un Ji, baju ketat warna merahnya dengan renda berbentuk kupu-kupu emas, sulaman bunga mawar di sisi bahu membuat gadis ini nampak cantik bak bidadari dari kahyangan.
Tak kuasa Ong Siau-sik melirik sekejap ke arah gadis itu.
Pek Jau-hui turut mengerling sekejap, namun sekulum senyuman angkuh segera tersungging di ujung bibirnya.
Un Ji tahu, kedua orang anak muda itu sedang mencuri pandang ke arahnya.
Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya jauh lebih rendah ketimbang kedua orang itu, namun dia yakin memiliki kemampuan yang cukup sempurna dalam menganalisa 'adakah seseorang yang sedang mencuri pandang ke arahnya'.
Dalam persoalan ini, kaum pria memang selalu lebih bodoh ketimbang kaum wanita.
Un Ji luar biasa gembiranya, dengan senyum di kulum dia sengaja hanya memandang jalanan di kejauhan sana, kepalanya didongakkan, alis matanya bekernyit dan sebisa mungkin dia berusaha menjaga gerak-geriknya agar selalu tampil anggun.
Perasaan bangga menyelimuti hatinya, dia senang karena kedua orang anak muda itu mulai menaruh perhatian kepadanya.
Baru keluar dari rumah penginapan, mereka telah menginjak sesosok mayat yang tergeletak di sisi pepohonan, orang itu tak lain adalah salah satu mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk mengawasi Tio Thiat-leng.
Menyusul teriakan kaget gadis itu, suara bentakan dan desingan angin tajam bergema dari seluruh penjuru ruangan, untung Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik bertindak cepat, coba kalau bukan ditarik kedua orang pemuda itu, mungkin dia sudah dikepung pasukan kerajaan.
"Hei, apa yang kalian takuti?" protes Un Ji tak senang hati, "aku toh tidak membunuh, juga tidak membakar, kenapa aku mesti takut?"
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tidak menggubris, mereka tetap menyeret gadis itu menjauh dari tempat itu.
Menanti kejaran pasukan kerajaan tertinggal jauh, ketiga orang itu baru memperlambat larinya.
Saat itulah Un Ji baru membenahi rambutnya yang kusut, dia tahu, gayanya saat ini pasti lembut dan menarik hati.
"Eh, bukankah bunga yang kau sisipkan di sanggulmu adalah bunga melati?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya.
Un Ji memegang sisi sanggulnya sambil membetulkan letak bunga melati itu, lalu tanyanya sambil mengerling ke arah pemuda itu sekejap, "Benar, ada apa?"
Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, serunya kemudian, "Nah, apa kubilang, ternyata memang bunga melati."
"Bunga melati?" Ong Siau-sik seperti tak mengerti.
"Tempo hari Gwe-sian dan Loan-si juga menyisipkan bunga itu disanggulnya," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "ketika aku tanya mereka, gadis-gadis itu enggan memberitahu, sekarang aku baru mengerti, ternyata bunga itu bernama melati."
"Gwe Sian? Loan Si?" Ong Siau-sik semakin tak habis mengerti.
"Masa kau tidak tahu?" kembali Pek Jau-hui berseru, "semua pelacur penghuni Ing-cun-sian maupun Hong-hiang-kek di sepanjang sungai Chin-hway hampir semuanya menyisipkan bunga semacam itu di sanggulnya, tak kusangka ...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Un Ji dengan wajah cemberut sudah kabur duluan meninggalkan mereka berdua.
Melihat itu Pek Jau-hui mengerdipkan matanya ke arah Ong Siau-sik, kemudian tertawa tergelak.
Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng.
"Sekarang kau hendak berangkat kemana?" tanya Pek Jau-hui kemudian.
"Kotaraja"
"Mau apa ke sana?"
"Mengadu untung."
"Kau punya sahabat atau sanak saudara di sana?"
"Tidak."
"Lantas mau apa kau ke kotaraja?" tegur Pek Jau-hui sambil tertawa, "ingin kaya mendadak? Ingin ternama?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu bahwa aku belajar ilmu untuk berbakti kepada negara, ambisi dan cita-citaku harus diwujudkan mumpung aku masih muda, aku tak ingin menyia-nyiakan hidupku," kemudian setelah berpikir sejenak, tambahnya, "Tapi seandainya cita-citaku tak terwujud, ya sudah, apa boleh buat."
"Tahukah kau, begitu banyak manusia macam kau hidup di dunia ini? Tapi akhirnya mereka hanya menanggung rasa kecewa, karena keinginannya sulit terwujud."
Ong Siau-sik tidak langsung menanggapi perkataan itu, dia berpikir sejenak kemudian baru sahutnya, "Paling tidak, aku toh harus mencobanya dulu."
"Bagus sekali!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Ong Siau-sik balik bertanya.
"Aku? Kenapa dengan aku?"
"Aku lihat kungfumu hebat, kemampuanmu luar biasa, hendak kemana kau? Apa yang akan kau lakukan?"
"Sebetulnya aku sejalan dengan kau," di balik keletihan terlintas sikap angkuh dan kesendirian di wajah Pek Jau-hui, "aku pun hendak ke kotaraja, mencoba mengadu untung pula. Oleh karena aku tak ingin mencari sesuap nasi dengan bekerja dalam lingkungan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka kuterima order sesaat yang bisa menghasilkan duit, dengan bekal itu aku hendak ke kotaraja, mencoba apakah aku bisa menancapkan kaki di situ."
"Kalau begitu kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama," seru Ong Siau-sik kegirangan, "dengan begitu kita tak usah kesepian sepanjang jalan."
"Kesepian sih tak mungkin, kau tak kuatir aku segera angkat kaki menyingkir begitu melihat kau tertimpa kesulitan?"
"Ooh, masa iya?" Ong Siau-sik menanggapi dengan serius.
"Hahaha, sayang aku bernama Pek Jau-hui, kabur di kala orang sedang murung, coba aku bernama Pek Oh-hui, aku tentu akan kabur di saat kau sedang kelaparan," Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak.
Kini Ong Siau-sik baru tahu kalau rekannya tidak bicara serius, serunya cepat, "Mau kabur pada saat seperti apa pun aku tak bakal menyalahkan dirimu, aku hanya berharap kau jangan membohongi aku, seperti yang kau lakukan tadi, katanya tak akan membunuh, tapi kenyataan ... kau ..."
"Sudahlah, yang sudah lewat tak usah disinggung lagi," potong Pek Jau-hui sambil tertawa.
"Saudara Pek," tiba-tiba Ong Siau-sik berseru setelah mengawasi wajahnya sekejap, "ternyata sewaktu tertawa, kau tidak nampak angkuh atau jumawa, malah kelihatannya amat ramah."
Pek Jau-hui tidak menyangka kalau Ong Siau-sik akan mengucapkan perkataan semacam itu, setelah melengak sekejap sahutnya, "Kalau tiap saat kita mesti senyum tak senyum, bagaimana orang mau menghormati kita?"
Tiba-tiba terasa segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu Un Ji bagaikan sekuntum bunga mawar sudah menerjang ke depan mereka, serunya sambil tertawa, "Aneh, masakah dua orang lelaki senang bicara berbisik, persis banci saja."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Coba tebak, nonamu mau pergi kemana? Kalau bisa menebak secara jitu, aku akan mentraktir kalian makan gula-gula."
Kemudian seraya berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya pula, "Kau duluan."
"Aku rasa kau akan ke Mongolia," sahut pemuda itu terpaksa.
"Dan kau?" tanya Un Ji sambil berpaling pada Pek Jau-hui.
Dengan wajah serius Pek Jau-hui berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Kau akan menuju pesanggrahan Ing-cun-sian di tepi sungai Chin-hway."
Saat itu mereka bertiga memang sudah tiba di tepi sungai, sudah barang tentu sungai itu bukan sungai Chin-hway melainkan sungai Han-swe dengan arusnya yang deras.
Dengan menumpang sebuah sampan, mereka melanjutkan perjalanan, untuk tiba di kotaraja paling tidak masih membutuhkan waktu sepuluh hari hingga setengah bulan lamanya.
Begitulah mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan bersama-sama, tengah hari itu tibalah mereka di dermaga penyeberangan Lam-tok-tau.
Karena sepanjang perjalanan mereka berbincang dan bergurau, hubungan mereka bertiga pun bertambah akrab, saat itulah Ong Siau-sik dan Un Ji dapat merasakan bahwa Pek Jau-hui ternyata bukan orang jumawa yang segan bergaul, meski cara kerjanya tegas, telengas dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan terkadang tak kenal sanak keluarga sendiri, sesungguhnya dia adalah seorang pemuda yang berhati mulia.
Sebaliknya Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun merasa bahwa Un Ji meski kekanak-kanakan dan lincah, sesungguhnya dia berhati mulia, cuma rasa ingin tahunya kelewat besar dan agak keras kepala.
Sementara Un Ji dan Pek Jau-hui menganggap Ong Siau-sik kelewat jujur, polos, namun terkadang serius dan tak main-main.
Di samping mereka bertiga dapat memahami satu sisi dari rekannya, namun ada sisi lain yang mereka anggap sulit untuk diraba, seakan meraba sisi punggung rembulan, sulit untuk diketahui rahasia apa di balik semua itu. Adakah sisi baik dari semua itu? Atau justru sisi buruk yang masih tersembunyi? Terkadang dalam kehidupan manusia di dunia ini, ada sekelompok manusia berkumpul dan berteman lantaran mereka memiliki kegemaran yang sama, terkadang berkumpul karena kebutuhan yang sama atau didesak oleh keadaan, sifat asli mereka baru akan terlihat bila sedang menghadapi suatu masalah, suatu keadaan yang berbahaya, kerap kali sifat asli yang mereka tampilkan bisa membuat orang terkejut, membuat orang terpana bahkan melongo.
OoOOoo
Tiba di dermaga, mereka bertiga menyewa sebuah perahu dan bersiap melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Ujar Pek Jau-hui, "Lebih baik kita menempuh perjalanan air saja, lebih nyaman dan santai, toh kita tidak sedang terburu-buru, kalau ada angin, mungkin kita akan tiba di tempat tujuan lebih cepat, kalau sedang tak ada angin, anggap saja waktu yang lebih lama merupakan saat kita bersantai."
"Aku tak setuju," protes Un Ji.
"Kalau begitu kau boleh menempuh perjalanan darat sementara kami lewat jalan air."
Un Ji kontan melotot, sambil menghentakkan tangan ia berteriak, "Pek Jau-hui, apa maksudmu?"
"Apakah nona takut kurang leluasa berada di atas ranjang?" tanya Ong Siau-sik cepat.
Sebenarnya ia bermaksud mengurai ketegangan di antara Un Ji dan Pek Jau-hui, siapa tahu saking cemasnya dia telah salah menyebut Juan (perahu) menjadi Juang (ranjang), aneh kalau perkataan ini tidak menimbulkan bencana.
Benar saja, Un Ji kontan mencak-mencak gusar, sambil menuding ke arah pemuda itu teriaknya penuh amarah, "Kalian memang cuma pintar bicara kotor, jangan keburu senang hati, suatu saat nonamu pasti akan membuat perhitungan!"
Sepanjang perjalanan dia memang sudah terbiasa digoda Pek Jau-hui, maka ketika Ong Siau-sik ingin mengucapkan kata yang bernada menggoda, dia kira anak muda inipun telah bersekongkol untuk mempermainkan dirinya.
Ong Siau-sik semakin tergagap, serunya lagi terbata-bata, "Nona Un, aku ... aku ... tidak ... tidak bermaksud begitu, maksudku ... ... aku ... aku ingin bersamamu naik ... naik ranjang ...."
Lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar, naik 'perahu' disebutnya naik 'ranjang', kegugupan pemuda ini semakin membuat Un Ji naik darah, dia mengira pemuda ini sedang melakukan pelecehan terhadapnya, tanpa pikir panjang, telapak tangannya langsung diayunkan ke muka dan ....
"Plaaak!", dia tampar wajah Ong Siau-sik dengan keras. Bicara kepandaian silat yang dimiliki Ong Siau-sik, sebenarnya dia mempunyai kekuatan yang lebih untuk menghindar, tak ada alasan bagi anak muda itu untuk tak mampu menghindarkan diri.
Tapi kenyataan, Ong Siau-sik sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari tamparan itu.
Begitu pipinya terasa panas lantaran kena tamparan, untuk beberapa saat pemuda itu hanya berdiri tertegun tanpa mengerti harus berbuat apa.
Pek Jau-hui sama sekali tidak melerai, dia hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan kejadian itu.
Sementara itu Un Ji sambil bercekak pinggang mengomel lagi, "Hmm, kalian berdua memang bukan orang baik, beraninya hanya mempermainkan aku!"
Selesai bicara ia segera melompat ke daratan dan beranjak pergi dari situ.
Ong Siau-sik ingin melompat ke daratan untuk menyusul gadis itu, tapi segera dicegah Pek Jau-hui, ujarnya, "Kau tak usah terburu-buru, asal tidak menjumpai sesuatu yang menarik, dia pasti akan balik sendiri kemari."
"Tapi dia ... dia masih menaruh salah paham padaku," kata Ong Siau-sik sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas, "kalau tidak kuberi penjelasan, dia tentu akan menganggap aku sedang melakukan pelecehan, sengaja bicara kotor."
"Mau dibantah dengan cara apa pun toh percuma, perkataan sudah telanjur diucapkan," kata Pek Jau-hui tertawa, "apalagi dia memang cantik, masih muda dan menawan hati, bila tak ingin naik ranjang bersamanya, kau pasti bukan seorang lelaki."
"Tapi....... tapi....... aku sama sekali tak punya pikiran begitu!" "Kalau hanya bicara, rasanya bukan kejadian yang luar biasa, bukankah dia pun sudah marah? Kenapa? Memangnya perkataanmu sudah merugikan dirinya? Apalagi dia toh sudah turun tangan menamparmu, apa dianggapnya kurang puas? Tak usah kuatir, menjelang rnalam dia pasti sudah balik lagi kemari!"
"Semoga dia memang tidak pergi meninggalkan kita," gumam Ong Siau-sik sambil mengawasi tengah sungai dengan perasaan gundah.
Pek Jau-hui yang mengamati gerak-gerik pemuda itu segera menyadari akan sesuatu, serunya kemudian, "Jangan kuatir, tak bakalan pergi."
Mendadak ia berhenti berbicara, dengan sikunya dia menyodok pinggang rekannya itu.
Ong Siau-sik agak tertegun, belum sempat bertanya sesuatu, Pek Jau-hui kembali berbisik dengan nada serius, "Coba kau lihat!"
Mengikuti arah yang ditunjuk Ong Siau-sik, ia lihat ada serombongan perempuan yang berdandan sebagai dayang, mengiringi seorang nona bergaun hijau sedang menaiki sebuah perahu pesiar mewah di sisi kiri sungai.
Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap, tiba-tiba saja semua orang seakan sudah lenyap dari pandangan.
Ia dapat melihat nona berbaju hijau itu berparas amat cantik, dengan perawakan tubuh yang ramping dan gerak-gerik yang lembah gemulai, sungguh seorang gadis yang menawan hati.
Ong Siau-sik tak berani memandang lebih lama, ia merasa hatinya mendadak amat sakit, buru-buru pandangannya dialihkan ke tempat lain, mengawasi keindahan alam di kejauhan sana.
Dalam pada itu para kelasi yang berada di atas perahu pesiar itu sudah mulai mendayung perahunya bergerak menuju ke mulut sungai.
"Kau dapat menyaksikan sesuatu?" bisik Pek Jau-hui kemudian.
"Ya, sungguh tak disangka ternyata di dunia ini terdapat seorang gadis yang begitu cantik, bila dibandingkan Un-lihiap, maka nona itu ... nona itu...."
Bicara sampai di sini ia segera bungkam, ia merasa tak pantas untuk melanjutkan kata-katanya.
"Haah, tak nyana kau pun pandai menilai," goda Pek Jau-hui cepat, "setelah bertemu wanita cantik, lalu ...."
Ia tidak melanjutkan godaannya, karena dengan wajah serius kembali bisiknya, "Aku rasa perahu itu sedikit kurang beres."
"Mana yang tak beres?" tanya Ong Siau-sik terperanjat, di samping menguatirkan keselamatan gadis cantik itu, dia pun sedikit kurang percaya dengan omongan Pek Jau-hui, dianggapnya rekannya itu sengaja mengada-ada.
Pek Jau-hui tak menggubris keraguan rekannya, dengan sorot mata yang tajam dia masih mengawasi perahu pesiar yang semakin menjauh itu.
"Orang yang sudah terbiasa mendayung perahu, biasanya galah mereka tak akan menimbulkan percikan air, sang juru mudi biasanya sangat mengenal sifat arus dan pandai mengendalikan posisi. Tapi kau lihat beberapa orang kelasi yang memegang kemudi perahu tadi, pertama, mereka bermata tajam, berotot kekar dan punya kuda-kuda yang mantap, siapa pun tahu kalau mereka sekawanan jago yang berilmu silat tinggi. Kedua, kawanan manusia itu tak mengerti mengemudikan perahu, dayungan mereka menimbulkan percikan air, siapa pun tahu kalau mereka masih sangat awam dalam mengemudikan perahu. Ketiga, kulit tubuh mereka kelewat putih dan mulus, padahal biasanya kelasi berkulit gelap karena tiap hari berjemur di bawah teriknya matahari. Selain itu, sebelum naik ke perahu mereka saling bertukar pandang sekejap, bahkan membawa perahu itu menuju ke tempat yang sepi, jelas mereka mempunyai rencana busuk."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku yakin, malam nanti perahu itu akan tertimpa bencana."
Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Ong Siau-sik terbayang kembali wajah si nona yang cantik jelita itu, tanyanya tiba-tiba, "Bagaimana kalau kita memberi peringatan ...."
"Jangan!" cegah Pek Jau-hui, sorot mata yang buas bagaikan sorot mata serigala yang sedang mengintai mangsanya terlintas dari balik matanya.
Bersambung ke bagian 08
0 comments:
Post a Comment