Join The Community

Premium WordPress Themes

Badik Buntung 008. Kekejian Kim-i Kongcu

Badik BuntungBADIK BUNTUNG

Karya: Chin Tung

Saduran: Gan K. H

008. Kekejian Kim-i Kongcu

Setelah tiba di kaki Gunung salju, Thian-hi langsung mengambil jalan menuju ke utara, menyelusuri Tembok Besar terus beranjak menuju ke timur laut.

Dataran tinggi tanah merah di daerah utara sangat panas, disini jarang kelihatan orang berlalu lalang, dimana-mana angin menghembus keras, debu dan pasir bergulung menari di tengah angkasa. Menunggang seekor kuda Thian-hi pelan-pelan melarikan tunggangannya.

Menurut adatnya ingin rasanya tumbuh sayap lantas terbang sampai di Tiang-pek-san. Tapi dirinya sudah menimbulkan bencana besar setiap saat dirinya menjadi incaran para tokoh-tokoh silat kenamaan, waktu lewat Tionggoan ia berlaku sangat hati-hati. setelah mengalami berbagai rintangan dan susah payah akhirnya bisa sampai disini, betapapun harus selalu waspada jangan sampai meninggalkan jejak.

Begitulah dengan tunggangannya pelan-pelan ia mencongklang ke arah timur. Sekonyong-konyong jauh di belakangnya terdengar derap langkan kuda yang dilarikan cepat. tak lama kemudian tampak dua ekor kuda berbulu putih melesat lewat di sampingnya. Sekilas pandang Thian-hi lantas kenal bayangan mereka, diam-diam terkejut hatinya. Dandan kedua orang itu serba ketat punggungnya mengenakan mantel berbulu warna putih bersih tanpa kelihatan kena debu, kalau ilmu silat mereka tidak lihai tak mungkin mereka berani mencari gara-gara pada dirinya, sedikit mengencangkan pedal kudanya ia menghentikan lari kuda hitamnya. Tampak kedua ekor kuda putih itu terus membedal ke depan.

Thian-hi termangu mengawasi bayangan kedua orang ini menghilang di kejauhan. Mendadak dari samping sebelah kanan terdengar lagi derap langkah kuda yang mendatangi, debu kuning mengepul tinggi, tampak seekor kuda kembang dipacuh ke arah dirinya. Bercekat hati Thian-hi, agaknya hari ini aku harus memeras banyak keringat.

Kuda kembang itu berhenti dan menghadang di depan Thian-hi, sembari bebenger keras kaki depannya terangkat naik tinggi terus berputar setengah lingkaran, kini mereka berhadapan langsung dengan Thian-hi.

Yang duduk di atas kuda kembang ini adalan seorang pemuda bermuka cakap halus berpakaian serba kuning berkilauan, mengenakan mantel besar berwarna Kuning mas pula.

Berdetak keras jantung Hun Thian-hi. Bukankah pemuda ini berjuluk Kim-I Kongcu, putra tunggal Sing-hu-it-koay si iblis durjana yang sangat ditakuti itu? Entah untuk apa dia gelandangan sampai di Tionggoan, naga-naganya malah hendak cari setori pada dirinya.

Kim-I Kongcu (Pemuda Baju Emas) menyeringai dingin kepada Thian-hi, katanya, “Kau inilah Hun Thian-hi? Pasti kau sudah tahu siapa aku ini bukan?”

Walau tidak tahu apa gerangan maksud kedatangan Kim-I Kongcu Leng Bu ini, namun dari sikapnya. yang garang dan takabur agaknya tidak mengandung maksud baik.

Sejenak ia amat-amati Pemuda Baju Emas tanpa mengeluarkan suara.

Dari kejauhan tampak mendatangi lagi dua ekor kuda coklat, yang terdepan terdengar berteriak dari kejauhan, “Saudara Leng, Jangan ceroboh!”

Waktu Thian-hi berpaling tampak yang mendatangi tak lain adalah Su Cin dan adiknya Su Giok-lan, diam-diam hatinya membatin, “Payah, entah berapa banyak orang yang bakal meluruk datang.”

Su Cin dan Su Giok-lan datang berjajar. Kim-I Kongcu, Leng Bu tentawa lebar, katanya kepada Su Cin, “Urusan Kim-I Kongcu selamanya tak senang dicampuri orang lain.”

Sedikit berubah rona wajah Su Cin, katanya mendengus, “kau sangka aku tukang bikin ribut? Kalau kau mau hanya kematianlah bagianmu!”

Leng Bu menyeringai sinis, pelan-pelan mantelnya dicopot terus melorot turun dari tunggangannya, serta katanya Kepada Su Cin, “Benar-benar, kunasehat kau jangan mencampuri urusan. Urusanku biar ayahku sendiri yang menanggungnya nanti.”

Berubah pucat air muka Su Cin, sekilas ia melirik Kepada Su Giok-lan, tampak muka adiknya membeku tanpa menunjukkan ekspresi, kini pandangan Su Cin beralih ke arah Hun Thian-hi.

Sementara itu, ganti berganti Hun Thian-hi juga sedang mengamati mereka bertiga, entah ada hubungan apa diantara mereka bertiga.

Setelah turun di tanah lambat-lambat Leng Bu melolos sebilah pedang panjang kuning emas, katanya kepada Hun Thian-hi, “Hati-hatilah! Pedang hari ini harus menenggak sedikit darahmu!”

Hun Thian-hi tenang-tenang bercokol di atas kudanya, dingin pandangannya mengawasi Leng Bu. Ia tahu ayah Leng Bu itu Sing-hu-it-koay merupakan salah satu pentolan iblis ganas yang ditakuti di kalangan Kangouw. Sing-hu-it-koay jauh menetap di Thian-lam, gurunya yang dijuluki Lam-siu (Seruling Selatan) pun segan untuk berhadapan tangsung dengan manusia iblis itu.

Melihat sikap acuh yang tidak menghiraukan dirinya, Leng Bu menjadi sengit, mendadak ujung pedangnya bergerak menggetar dari samping langsung ia menusuk ke pinggang Hun Thian-hi.

Hun Thian-hi tahu bahwa Kim-I Kongcu Leng Bu sudah lama malang melintang di Kangouw mengangkat nama. Hari ini sengaja mencari setori pada dirinya betapapun aku harus beri hajaran setimpal untuk menumpas sikapnya yang congkak. Seenaknya saja tangan kanan terayun tahu-tahu Badik Buntung sudah berada digenggamannya, selarik sinar hijau berkelebat langsung memapas turun ke batang pedang Leng Bu yang menusuk tiba.

Gerak tubuh kedua belah pihak amat cepat dan sama berkelit mundur, dilain saat tubuh Hun Thian-hi sudah mencelat tinggi meninggalkan tunggangannya dan berdiri berhadapan dengan Kim-I Kongcu Leng Bu.

Leng Bu bertengger dengan muka merah padam, betapa cepat ia menarik balik pedangnya namun tak urung ujung pedangnya sudah terkupas sebagian oleh ketajaman Badik Buntung.

Disebelah sana Su Cin tampak berseri dan manggut-manggut.

Leng Bu menyeringai sadis, cahaya pedangnya menari merangsak seru ke arah Hun Thian-hi.

Hun Thian-hi pun menggerakkan Badik Buntung untuk melawan serbuan musuh. Kedua belah pihak adalah anak murid dari tokoh ternama yang berkepandaian cukup lihai, lwekang keduanya sama kuat dalam sementara waktu sulit untuk tentukan siapa lebih unggul yang terang mereka bertempur dengan bernapsu dan cepat, sinar pedang ke-kuningan menari-nari laksana kupu-kupu yang lincah, sebaliknya sinar hijau pupus laksana lembayung berputar dan membabat kian-kemari.

Meski menggenggam senjata pusaka macam Badik Buntung. Hun Thian-hi merasa ilmu pedang Leng Bu adalah begitu hebat dan aneh sekali, sayang seruling pualamnya sudah kutung, Badik Buntung kurang leluasa baginya sehingga rada menghalangi gerak permainannya.

Begitulah pertempuan sengit itu tanpa terasa sudah mencapai ratusan jurus. Lama kelamaan dari pihak yang terdesak kini Leng Bu malah berinisiatip menyerang, sebaliknya semakin bertempur Hun Thian-hi merasa semakin payah. Ilmu serulingnya yang seharusnya cukup hebat tak kuasa dikembangkan karena tidak sesuai dengan senjata yang dipakai ini, sehingga intisari ilmu serulingnya kehilangan keampuhannya.

Dikejap lain dua puluh lima jurus telah dicapai, tapi jurus demi jurus Leng Bu semakin gencar lancarkan serangannya. Su Cin yang menonton dipinggiran menjadi gugup dan gelisah. Sungguh tak dimengerti olehnya, dalam segebrak saja Hun Thian-hi sekaligus telah dapat membunuh puluhan musuhnya, Toh-hun-cui-hun yang kenamaan dan lihai itu pun terkutung sebelah lengannya, kenapa hari ini tak kuasa menghadapi Leng Bu.

Dalam kuatirnya Su Cin melompat turun dari atas kuda. Su Giok-lan tetap duduk di atas kuda tidak membawa sikap.

Sementara itu, Hun Thian-hi semakin dibuat keheranan, bukankah Su Cin serombongan dengan Kim-I Kongcu Leng Bu, kenapa dia begitu gugup dan gelisah bagi dirinya? Besar hasratnya untuk mengetahui rahasia apa dibalik persengketaan ini. Karena pikirannya ini terpaksa ia main mundur sambil menjaga diri saja.

Sebaliknya Leng Bu menyeringai dingin, pedang panjang ditusukan semakin gencar, ia kembangkan Sing-hu-kiam-hoat, sejalur sinar kuning mas berterbangan mengurung tubuh Hun Thian-hi.

Sedikit perhatian Hun Thian-hi terpecah situasi pertempuran lantas berubah gawat, sekarang Leng Bu telah mantap pegang serangan. Betapa pun Hun Thian-hi menggerakkan Badik Buntungnya untuk menangkis, menyampok gerak-geriknya mulai kacau balau, Kim-I Kongcu semakin mendapat angin.

Baru sekarang Thian-hi betul-betul terkejut dengan mengertak gigi ia empos semangatnya, segera mengembangkan ilmu Thian-liong-chit-sek, tujuannya hendak mengrangsak musuh. Tapi cahaya pedang Leng Bu keburu sudah membendung setiap penjuru dengan jurus Pek-lian-jian-cong (Rantai Putih Ribuan Kati) sehingga Hun Thian-hi seakan-akan terbelenggu tak mampu bergerak.

Berulang-ulang Hun Thian-hi lancarkan serangan balasan yang dahsyat, namun tak berarti sama sekali, karena ilmu pedang Sing-hu-kiam-hoat yang dilancarkan Lang Bu begitu hebat dengan tipu-tipunya yang lihai dan sulit diraba, dalam keadaan yang terdesak itu berapa kali sudah Hun Thian-hi hendak lancarkan jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumi, namun setiap kali terkiang pesan orang tua alis putih sehingga niatnya dibatalkan.

Su Cin semakin gelisah seperti semut di dalam kuali panas, tidaklah menjadi soal kalau Hun Thian-hi dipihak yang menang, kalau kalah…. urusan ini terjadi gara-gara paman dan mereka berdua yang harus bertanggung jawab, apalagi….

Waktu Hun Thian-hi menghadapi serangan berbahaya lagi tak tertahan Su Cin berteriak maju, “Leng Bu, berhenti!”

Leng Bu tak menduga Su Cin bakal merintangi perbuatannya, serta merta gerak geriknya sedikit merandek. Kesempatan baik ini tak disia-siakan oleh Thian-hi, mendadak mencelat tinggi dengan gaya Lui-tian-hwi-theng (Geledek dan Kilat Terbang Menyambar) tubuhnya terbang keluar dari kepungan musuh.

Leng Bu menjadi melongo, dengan dingin ia awasi Thian-hi. Sekian lama mereka beradu pandang dengan diam. Mendadak pelan-pelan Leng Bu berpaling mengerling ke arah Su Cin.

Kata Su Cin dengan gusar, “Leng Bu! Jangan kau terlalu menghina orang. Ketahuilah dunia persilatan bukan milik Sing-hu-lo-koay ayahmu itu saja!”

Thian-hi tertegun, apa maksud kata-kata Su Cin terhadap Leng Bu ini?

Leng Bu menyipit mata menyeringai sadis, jengeknya, “Kau selalu menghalangi perbuatanku?”

Su Cin mendengus, sebelah tangannya melolos pedang katanya, “Kau sangka murid Pedang Utara gampang dibuat permainan?”

Tanpa bercakap lagi setindak demi setindak pelan-pelan Leng Bu maju menghampiri.

“Engkoh Cin! Hati-hati!” teriak Su Giok-lan dari atas kuda.

“Tak apa, aku tidak takut!” sahut Su Cin.

Sembari melolos pedang tersipu-sipu Su Giok-lan meloncat turun dan berdiri di samping Su Cin.

Hun Thian-hi tidak tahu persoalan apa yang disengketakan, terpaksa ia berdiri menonton saja.

Sebentar Leng Bu menghentikan langkahnya, matanya mengawasi Su Giok-lan lalu mendesak lagi ke arah Su Cin.

Pedang Su Cin bergerak, ujung senjatanya menusuk tepat di tengah alis Leng Bu. Sigap sekali Leng Bu angkat pedang emasnya menyampok pedang lawan, tangkas sekali tahu-tahu tajam pedang emasnya berbalik sudah mengancam tenggorokan Su Cin.

Su Giok-lan angkat pedangnya membacok, begitulah mereka berdua mengeroyok Leng Bu. Namun sedikit pun LengBu tidak gentar, dengan Sing-hu-kiam-hoat ia masih mampu menghadapi keroyokan kedua musuhnya, malah ia pegang inisiatif pertempuran, Su Cin berdua dicecar dengan serangan membadai. Terpaksa Su Cin berdua kembangkan Hian-thian-hui-kiam pelajaran gurunya, dengan kekuatan gabungan ini, mereka mandah membela diri saja.

Thian-hi mengikuti terus jalan pertempuran ini pikirnya, “Meski ilmu pedang Leng Bu cukup aneh dan keji. tapi pedang Hian-thian-hui-kiam dari Pedang Utara juga cukup lihai paling tidak lima raus jurus kemudian baru dapat dibedakan pihak mana bakal unggul dan asor tapi pertikaian apakah yang membuat mereka bermusuhan?” Naga-naganya Su Cin tiada maksud jahat terhadap dirinya, apalagi melihat martabat dan perangainya jauh lebih baik dibanding pamannya yang licik dan rendah itu. Syukur tadi ia memberi bantuan hingga aku terhindar dari malapetaka. Dengan cermat ia ikuti pula jalan pertempuran, kali ini kelihatan situasi telah berubah. Kim-I Kongcu terus lancarkan serangannya yang deras dan keras, sebaliknya. Su Cin berdua hanya menjaga diri tanpa balas menyerang. Hian-thian-tui-kiam mentabirkan bayangan pedang yang rapat dan padat membendung rangsakan Leng Bu.

Wajah Leng Bu menyungging senyum dingin, pedangnya menyerang ke timur membabat kebarat bermainan sebat sekali kakinya bergerak lincah mengikuti gaya pedangnya, berputar-putar mengeliling kedua musuhnya. Sekonyong-konyong Leng Bu melenting mundur berkelebat tiba di samping kuda terus meraih mantel emas yang berada di pungung kudanya.

Seketika berubah hebat air muka Su Cin berdua, cepat-cepat Su Cin berpaling ke arah Thian-hi, bibirnya sudah bergerak untuk berkata, namun ditelannya kembali. terasa hati Thian-hi menjadi tegang, serta merta serasa suasana tertekan ini bakal terjadi sesuatu peristiwa hebat.

Sementara itu, dengan seringai giginya yang putih, Leng Bu menyerbu lagi kepada Su Cin berdua, Sekarang kelihatan gerak-geirik Su Cin berdua yang gugup dan was-was. terpaksa mereka bergerak untuk menangkis dan mambela diri.

Melihat sikap dan air muka Su Cin berdua seperti ketakutan, pandangan Thian-hi lantas beralih kepada pedang mas yang dipegang tangan kiri Leng Bu, namun tiada sesuatu yang luar biasa entah kenapa Su Cin berdua agaknya sangat takut.

Beruntun Leng Bu lancarkan puluhan jurus serangan pedang, tiba-tiba ia ayun mantel di tangan kirinya untuk menggubat kedua batang pedang Su Cin berdua.

Hun Thian-hi tersentak kaget, jurus yang dilancar Leng Bu barusan adalah Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek.

Itulah ilmu tunggal yang kenamaan dari Hwi-cwan-ciam-soat Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po di Kang-lam. Entah cara bagaimana ilmu hebat itu bisa dipelajari oleh Kim-I Kongcu Leng Bu.

Tengah ia menimang-nimang, Leng Bu sedang mengobat-abitkan mantel emasnya itu mendesak musuhnya sehingga Su Cin berdua kepontang-panting. Sekonyong-konyong, Leng Bu menarik mantel emasnya berputar begitu cepat dikombinasikan dengan pedang di tangan kanannya, beruntun ia lancarkan lima jurus serangan hebat. Terdengar Su Cin berdua menggertak bersama serentak kedua pedang mereka saling silang terus memantek ke depan.

“Tring!” tahu-tahu kedua batang pedang mereka menceng tinggi ke tengah udara tersapu mantel emas seketika tampak bayangan orang berkelebat berpencar, namun tahu-tahu Leng Bu berdiri angker di sebelah samping, mantel emas digenggam di tangan kirinya, sebaliknya ujung pedangnya mengancam tenggorokan Su Cin.

Su Giok-lan hendak memburu maju.

“Jangan bergerak!” bentak Leng Bu.

Muka Su Cin penuh keringat, seikilas ia mengerling ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi tidak menduga situasi berubah begitu cepat, seketika, ia menjublek ditempatnya tanpa suara.

Leng Bu menyapu pandang mereka berdua, pelan-pelan ia berkata kepada Su Cin, “Kau selalu merintangi perbuatanku!”

Melihat keadaan Su Cin yang mengenaskan itu mencemas perasaan Thian-hi, betapapun keadaan Su Cin in karena menolong dirinya tadi. Sebagai murid Pak-kiam masa mandah saja dihina begitu rupa. Diam-diam ia menerawang sikap Su Cin tadi waktu membantu dirinya terang ia mengajak aku bekerja sama untuk menghadapi dan merobohkan Leng Bu.

Perlahan-lahan Kim-I Kongcu menarik pedang emasnya. Hun Thian-hi menghela napas lega. Tapi mendadak ujung pedangg Kim-I Kongcu menusuk pula ke arah Su Cin. Su Cin tidak menduga Leng Bu berbuat begitu licik dan keji untuk berkelit pun tak sempat lagi, ujung pedang telak sekali menembus dadanya sebelah kanan.

Su Giok-lan terpekik nyaring terus menubruk maju. Kim-I Kongcu mengerling ke arah Su Giok-lan, pelan-pelan menarik pedangnya, wajahnya tak berubah sama sekali, lalu mundur dua langkah.

Kedua tangan Su Cin mendekap luka di dadanya, keringat dingin membasahi seluruh mukanya kedua biji matanya mendelik bagai kelereng yang hendak mencelat keluar ke arah Leng Bu penuh rasa dendam yang membara.

Tersipu-sipu Hun Thian-hi juga memburu datang. “Perlu apa kau datang, pergi!” hardik Su Giok-lan.

Sungguh Thian-hi menyesal setengah mati. ia menjublek ditempatnya.

 

Badik Buntung

01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 |

0 comments: