Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 08 - Perempuan Cantik di Tengah Sungai

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

 

8. Perempuan Cantik di Tengah Sungai

Riak air di permukaan sungai Han-swe nampak tenang bagaikan cermin, sedemikian tenangnya hingga memantulkan bayangan perahu, gunung, lentera dan pepohonan di atas permukaan sungai.

Yang tak nampak justru hanya bayangan manusia.

Sebagian besar penghuni perahu itu sudah terlelap tidur.

Hanya ada dua tiga buah lentera yang tergantung di atas tiang, memancarkan cahayanya yang redup.

Suasana di sepanjang tepi sungai hening dan amat sepi, hingga saat itu Un Ji belum juga balik kembali ke atas perahu.

Di kejauhan sana terlihat ada orang sedang tidur, dengkurnya tenang penuh damai.

Di ujung jembatan ada orang sedang meniup seruling, menemani rembulan, bercermin permukaan air.

Un Ji wahai Un Ji, kemanakah kau pergi?

Ong Siau-sik mulai cemas, mulai menguatirkan keselamatan gadis itu.

"Kita jangan sembarangan bergerak," Pek Jau-hui telah berpesan begitu kepadanya senja tadi, "aku yakin mereka yang ada dalam perahu itu mempunyai asal-usul yang luar biasa, jelas bukan jago sembarangan, aku percaya menjelang tengah malam nanti kawanan jago yang menyaru sebagai kelasi itu akan turun tangan. Kita baru turun tangan setelah tahu keadaan yang sebenarnya."

Pek Jau-hui memang lebih cenderung bertahan sambil menunggu datangnya kesempatan.

Malam itu Ong Siau-sik tidak bisa tidur nyenyak, dia hanya membolak-balikkan badan namun mata tak mau terpejam, entah karena sedang memikirkan sesuatu atau karena sedang meningkatkan kewaspadaan.

Waktu berlalu amat lambat ... ....

Beberapa saat sudah lewat, dari kejauhan terdengar suara kentongan pertama telah tiba.

Pada saat itulah dia merasa perahu yang ditumpanginya sedikit berguncang.

Ong Siau-sik tahu perahu mereka telah kedatangan seorang jago tangguh, buru-buru dia melompat bangun dari tidurnya dan duduk.

Sesosok bayangan manusia melintas dari depan jendela perahu.

Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik membuka jendela sambil melompat keluar, dengan sekali gerakan dia mencengkeram tengkuk orang itu sementara tangan yang lain menghantam belakang kepalanya.

Orang itu berseru tertahan, baru saja akan meronta, Ong Siau-sik telah mencengkeramnya kuat-kuat.

Anak muda itu segera merasa tangannya seakan sedang menyentuh sebuah tubuh yang halus, lembut dan empuk, lamat-lamat terendus bau harum tubuh seorang perawan, apalagi ketika lengannya tanpa sengaja menyentuh dada orang itu, ia menjadi kaget setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan genggamannya.

"Lepas tangan," terdengar orang itu menghardik, "kau memang orang jahat, cepat lepas tangan!"

Ong Siau-sik amat terperanjat, lekas dia lepaskan genggamannya.

"Kenapa bisa kau?" tegurnya.

Gadis itu membalikkan badannya, rambutnya yang semula menempel di wajah pemuda itu segera menyiarkan bau harum semerbak, tampak dengan wajah girang bercampur mendongkol sedang memelototi dirinya.

Siapa lagi dia kalau Un Ji, gadis yang dipikirkan selama ini?

Ong Siau-sik girang setengah mati, sebaliknya Un Ji kelihatan hampir menangis saking jengkelnya, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menghadiahkan sebuah tempelengan.

Kali ini Ong Siau-sik masih tetap tidak menghindar, untuk kedua kalinya dia harus menerima tempelengan gadis itu.

Melihat tampang bloon yang ditunjukkan anak muda itu, tak tahan Un Ji tertawa cekikikan.

Senyum gadis itu membuat Ong Siau-sik semakin kesemsem, dia hanya bisa mengawasi nona itu dengari mata terbelalak dan mulut melongo.

Agaknya Un Ji mulai menyadari kalau dia sedang dipandang pemuda itu lekat-lekat, pipinya kontan merah jengah, untung waktu itu cahaya rembulan tidak terlalu cerah sehingga tidak kelihatan warna merah di pipinya.

Pada saat itulah mendadak dari kejauhan sana terdengar suara deburan air yang tersentuh benda berat, menyusul kemudian berkumandang suara jeritan ngeri yang memilukan hati.

Tindakan pertama yang dilakukan Ong Siau-sik saat itu adalah mencari Pek Jau-hui.

Ternyata Pek Jau-hui tidak berada di atas perahu.

"Celaka!" pekiknya tanpa terasa.

"Ada apa?" tanya Un Ji keheranan.

Sementara itu suara pertarungan yang amat seru sudah mulai berkumandang dari atas perahu pesiar yang mewah itu.

"Aku tak sempat memberi penjelasan, lebih baik menyeberang dulu ke sana!" seru Ong Siau-sik cepat.

Baik dia maupun Un Ji sama-sama tak pandai berenang, terpaksa dari sampan mereka melompat naik ke daratan, lalu dari tanggul sepanjang pantai melompat naik ke atas perahu pesiar itu.

Baru saja mendekati sasaran, mendadak terlihat sesosok bayangan orang terlempar keluar dari atas perahu dan tercebur ke dalam sungai, begitu tenggelam, orang itu tak pernah muncul kembali.

Ong Siau-sik segera mengajak Un Ji menyelinap ke atas perahu, tapi lagi-lagi sesosok bayangan orang terlempar keluar dan tercebur ke dalam sungai, kali ini orang itu tampak berusaha meronta di dalam air, namun tak selang beberapa saat kemudian dia pun berhenti bergerak.

Sewaktu Ong Siau-sik dan Un Ji menerjang masuk ke dalam ruang perahu, kembali sesosok tubuh terlempar keluar, kali ini Ong,Siau-sik menyambutnya dengan tepat.

Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi perahu, hanya alis matanya sudah berubah menjadi hitam keungu-unguan, darah memancar keluar dari panca indranya, orang itu sudah tewas.

Un Ji menyelinap masuk dengan gerakan cepat, kebetulan seseorang sedang menerobos keluar, nyaris mereka saling berbenturan.

Lekas gadis itu melolos goloknya, tapi orang itu segera menahan gagang goloknya sehingga tak mampu dicabut keluar.

Tangan Un Ji masih menggenggam gagang golok, tapi orang itu segera mencengkeram tangannya sebelum ia sempat melakukan suatu tindakan.

Dengan cepat Un Ji dapat merasakan bau pria yang kuat menusuk hidungnya, bau kelakian yang sudah tidak asing lagi baginya.

Terdengar orang itu berbisik dengan suara dalam, "Kau jangan melolos golok, kini hawa napsu membunuhku sedang bangkit, aku kuatir tak sanggup menahan diri."

Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dalam tangannya yang lain terlihat mencengkeram seseorang, dan kini dia mengayunkan tangannya, melemparkan tubuh orang yang dibekuknya itu hingga mencelat sejauh tiga tombak.

Di bawah cahaya rembulan, terlihat jelas kalau orang itu adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi kapal.

Tak ampun tubuh orang itu tercebur ke dalam sungai dan segera lenyap terseret arus sungai.

Saat itulah Ong Siau-sik tiba di dalam ruang perahu, ketika melihat di sisi Un Ji berdiri seseorang, tanpa banyak bicara dia pun siap melancarkan serangan.

Anak muda ini tak habis mengerti, padahal dia tahu kalau musuh yang sedang dihadapinya sangat tangguh, namun rasa ingin membunuhnya tahu-tahu sudah mencekam perasaannya, terutama setiap kali menyaksikan gadis itu terancam.

Perasaan aneh ini belum pernah dialami sebelumnya, bahkan sejak terjun ke dalam dunia persilatan.

Belum sempat serangan dilontarkan, terdengar orang itu telah berseru, "Ooh, rupanya kau pun sudah datang, bagus sekali."

Dengan cepat Ong Siau-sik dapat mengenali suara orang itu, suara rekannya. Pek Jau-hui!

Satu ingatan melintas dalam benaknya, selain gembira karena berhasil menjumpai rekannya, dia pun merasakan timbulnya perasaan sedih, dia tak tahu mengapa bisa muncul perasaan itu ....

Saat itulah cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruang perahu, seseorang berjalan keluar sambil menggenggam sebuah lentera.

Sebuah lentera dengan penutup kaca yang indah.

Tapi yang indah bukan lentera kaca itu, melainkan tangan yang memegang lentera.

Jari jemari yang tersorot cahaya lentera, halus dan lembut bagai kuncup bunga anggrek yang belum mekar, dengan tangan sebelah memegang lentera, tangan yang lain melindungi api agar tidak padam, berjalan perlahan menyusuri suasana yang redup.

Sebuah tangan dengan jari jemari yang sangat indah, sedemikian indah hingga susah untuk dilupakan.

Ong Siau-sik dapat melihat dengan jelas, dia adalah seorang gadis yang amat cantik, seorang gadis dengan rambut sebahu yang terurai, seorang gadis dengan sepasang mata yang jeli dan bening bagaikan air di musim gugur.

Pakaian bagian bahunya dalam keadaan terbuka, namun tertutup oleh mantel sutera milik Pek Jau-hui, menutupi baju tipisnya yang berwarna hijau muda.

Namun yang membuat orang terbuai adalah sepasang matanya yang jeli bagai cahaya intan, bening bagaikan air jernih, seakan sebuah telaga yang dalam tertutup awan impian yang sedang mengalir.

Ong Siau-sik hanya memandangnya sekejap, namun ia merasa dirinya seakan sedang bermimpi, bertemu dengan orang dalam impian. Namun ketika terbangun dari mimpi, ia baru sadar bahwa dirinya bukan sedang bermimpi, di hadapannya benar-benar terdapat seorang gadis yang begitu cantik dan menawan.

Un Ji ikut terbelalak begitu bertemu dengan gadis ini, dia pun dapat merasakan betapa cantik dan lembutnya gadis itu, selembut namanya.

Dulu, ketika masih kecil, dia pernah bermimpi menjadi gadis yang halus dan lembut, setelah menanjak dewasa, menjadi gadis lemah gemulai yang dicinta dan disayang banyak orang. Tapi kenyataan, setelah tumbuh dewasa, dia lebih suka berkelana, lebih suka bergaya seorang pendekar gagah, dia merasa dirinya saat ini jauh berbeda dengan yang dicita-citakan dulu.

Untuk sesaat dia terbayang kembali pada lamunannya di saat kecil dulu, hanya sejenak, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku adalah aku, dia adalah dia, kenapa aku mesti menyesali keputusan yang telah kuambil?"

Un Ji menganggap setelah berjumpa dengan gadis ini, dia merasa dirinya ibarat siang hari, sementara gadis itu ibarat malam hari....

Hampir pada saat bersamaan Un Ji dan Ong Siau-sik berseru, "Kau adalah ....?"

Kemudian mereka pun mengalihkan pandangannya ke arah Pek Jau-hui.

Buru-buru Pek Jau-hui mengangkat bahu seraya menggeleng, "Aku sendiri pun tidak tahu."

Kemudian sambil menuding seorang kelasi bergolok yang sudah tertotok jalan darahnya, ia menambahkan, "Coba tanyakan saja kepada orang ini, siapa tahu dia bisa bercerita banyak."

Tampaknya saat itu Pek Jau-hui sudah mengendalikan seluruh keadaan.

Semula dia berada dalam perahu bersama Ong Siau-sik, tapi begitu mendengar ada gerakan di perahu besar itu, dia pun seketika melakukan tindakan.

Tatkala tiba di atas perahu itu, tidak dijumpai sesuatu apa pun di situ.

Mula-mula Pek Jau-hui agak tercengang, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan terkesiap pekiknya di dalam hati, "Aduh, celaka!"

Tidak ada gerakan dalam perahu itu bukan berarti tidak terjadi sesuatu di situ, kawanan manusia yang sedang melaksanakan rencana busuk itu sudah menyusup ke dalam perahu sejak tadi, bahkan mereka terhitung jago kawakan yang berpengalaman, andai kata benar-benar berniat melakukan perbuatan jahat, niscaya mereka akan berusaha tidak menimbulkan sedikit suara pun.

Sadar akan situasi yang gawat, tak sempat memanggil Ong Siau-sik lagi, Pek Jau-hui segera melompat naik ke daratan lalu menyusup naik ke dalam perahu besar itu.

Baru saja menginjakkan kakinya di dalam ruang perahu, hidungnya segera mengendus bau anyir darah yang amat tebal, perasaannya kontan tercekat.

Betul juga, ia saksikan ada beberapa orang pelayan yang terkapar bersimbah darah, ternyata sebagian di antara mereka dibantai orang di saat masih dalam alam mimpi.

Diam-diam Pek Jau-hui menyesal karena kehadirannya sedikit terlambat, saat itulah dia mendengar dari balik ruangan ada seorang gadis dengan suara yang merdu sedang berkata, "Bukankah orang yang menjadi sasaran kalian adalah aku? Kenapa mesti membantai mereka yang tak tahu urusan? Apakah kalian tidak malu kalau perbuatan itu akan mencemari nama besar kalian?"

Terdengar seseorang dengan suara parau menjawab sambil tertawa, "Kami bukan orang gagah, juga tak ingin berlagak macam orang gagah, meski Jit-he sudah menurunkan perintah agar kami menghabisi nyawamu, tapi asal kau bersedia menuruti kemauan Toaya, hehehe ... bukan saja akan kau peroleh kesenangan, bahkan bisa kubuat kau lolos dari kematian."

Terdengar gadis itu mendengus dingin, kemudian terdengar berpuluh kata ungkapan jorok dan kotor dilontarkan ke arah gadis itu, di balik kata-kata cabul terselip jeritan gugup dan panik dari kawanan gadis.

Pek Jau-hui mengintip dari balik jendela, ia lihat ada enam tujuh orang lelaki kekar sedang mengerubuti tiga empat orang gadis muda, dengan wajah menyeringai cabul mereka sedang mempermainkan gadis-gadis itu.

Seorang di antara gadis muda itu terlihat mengenakan jubah lebar terbuat dari sutera tipis, sedemikian tipisnya hingga kelihatan pakaian dalamnya yang berwarna merah, payudaranya setengah menonjol keluar, kulitnya nampak putih mulus, penampilan si nona setengah bugil itu membuat kawanan lelaki itu bertambah beringas, sorot mata mereka seakan tak pernah lepas dari tubuh nona itu, mengawasinya terus tanpa berkedip.

Terdengar seorang lelaki di antaranya berkata sambil tertawa tergelak, "Sudah sejak awal kami menguntit dan mengawasi terus gerak-gerik manusia she Tio dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kami pun dapat melihat kalau orang she Tio itu menguntit terus di belakangmu, entah rencana busuk apa yang sedang dia persiapkan, sungguh tak nyana, kejadian apa yang dia alami, mendadak dia kabur terbirit-birit dari sini. Hahaha ... jadinya, kamilah yang diuntungkan, coba kalau dia tidak kabur, belum tentu malam ini kami mendapat giliran."

"Sekarang urusan menjadi gampang, karena kau bakal terjatuh ke tangan kami, tak perlu membangkang, puaskan kami semua dan kau pun tak perlu mampus. Hmm, kalau masih mengharap bantuan dari orang lain, hehehe ... lebih baik padamkan saja harapan itu, beberapa orang gentong nasi yang kau bawa sudah terkena obat pembius kami, sekarang mereka sudah tertidur macam babi, tak perlu bersusah-payah kami bisa mengirim mereka pulang ke langit barat."

Gadis itu segera tertawa dingin, ujarnya, "Hmmm, sungguh tak nyana Mi-thian-jit yang nama besarnya sudah tersohor di seantero jagad, ternyata memiliki anak buah dungu dan pandainya hanya melakukan tindakan tak terpuji."

"Wah, coba kalian lihat," seru seorang lelaki dengan suara aneh, "tajam benar mulut bocah perempuan ini, berani amat dia mengejek dan mencemooh kita."

Seorang yang lain berseru pula dengan suaranya yang aneh, "Kami pun tahu kalau di atas perahu ini kau membawa beberapa orang jagoan yang memiliki kungfu hebat, kami pun tahu mereka punya sedikit nama di dunia persilatan, tapi sayangnya yang kami adu bukan otot, tapi akal, kini kalian sudah menaiki kapal penyamun, maka jangan salahkan bila kami kaum penyamun menikmati hasil jarahannya."

"Ci-lotoa," seorang penyamun yang lain menyela, "semakin kupandang gadis ini, sekujur badanku terasa makin gatal, napsuku makin membara, bagaimana kalau kau serahkan dulu kepadaku, tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu."

"Aaah, kau ini menduduki urutan keberapa?" jengek rekannya yang lain, "sampai tujuh keturunan pun belum tiba giliranmu untuk menikmati duluan. Ci-lotoa yang akan menjadi pembuka untuk menikmati cewek itu, sedang yang lain tunggu giliran sesuai dengan tingkatan."

"Mana boleh jadi," protes lelaki itu lagi, "coba kau lihat nona itu, dia begitu lembut dan lemah, belum tiba giliranku mungkin dia sudah telanjur mampus duluan. Tadi ketika melancarkan sergapan, aku yang bekerja duluan, apa salahnya kalau sekarang aku pun mencicipinya paling dulu?"

Gelak tawa mengejek segera bergema gegap gempita. Kembali seseorang menjengek, "Siapa suruh kau tidak jadi pemimpin kami?"

"Betul, siapa suruh posisimu paling buncit," sambung yang lain, "kalau masih dapat giliran, anggap saja kau sangat beruntung karena menemukan mestika di tengah jalan, kalau tak dapat giliran, anggap saja bukan keberuntunganmu!"

"Tidak, tidak," seseorang yang lain berseru pula, "aku lihat cewek ini makin dipandang semakin menawan, aku lebih suka tidak menerima emas dan intan permata ketimbang tak bisa menikmati kehangatan tubuh cewek ini."

"Begini saja," seorang lelaki mengusulkan, "daripada saling berebut, mendingan kita undi, siapa yang mendapat nomor keberuntungan dialah yang boleh menikmati perempuan itu lebih dulu. Tergantung rezeki masing-masing, ini merupakan cara penyelesaian yang paling adil."

"Aku setuju. Seandainya tidak mendapat cewek itupun masih ada beberapa orang dayang, mendingan dapat yang lain ketimbang tidur sendirian."

"Bagus, bagus sekali!"

"Aku tidak setuju," sela orang yang disebut Ci-lotoa itu cepat, "sekalipun tidak menuruti urutan posisi, paling tidak harus diatur menurut urutan tua muda, aku rasa siapa yang usianya paling tua, dia boleh mengambil undian terlebih dulu."

"Sudah, kita tak perlu ribut, mendingan kita minta nona ini yang memilih sendiri, siapa yang terpilih maka dialah yang berhak menemaninya tidur, bagaimana? Setuju bukan?"

"Setuju, setuju ...!"

Maka ada enam orang lelaki kekar yang maju mengerubuti gadis itu, sambil mendekat mereka berteriak keras, "Nona, coba lihat aku tampan tidak?"

"Aku yang paling hebat, pilih aku saja nona manis!"

"Jangan pilih dia, orang itu tak punya hati nurani, pilih aku saja ...!"

Biarpun dikerubut banyak lelaki, gadis itu tidak nampak ketakutan, dengan matanya yang jeli dia mengawasi sekejap wajah kawanan penyamun itu, kemudian ujarnya halus, "Selama ini aku paling mengagumi orang gagah, tunjukkan dulu kemampuan kalian, siapa yang berilmu paling tangguh, dialah seorang Enghiong."

Pek Jau-hui yang bersembunyi di luar ruangan diam-diam bersorak memuji, dia tidak menyangka kalau gadis cantik itu masih bisa bersikap tenang, kendati sudah terjerumus dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.

"Baiklah, mau bertanding juga boleh," teriak Lo-sim cepat, "memangnya aku takut mengadu kepandaian ...?"

Tiba-tiba Ci-lotoa menghampiri lelaki itu dan menempelengnya sambil mengumpat, "Kalian semua memang goblok, gentong nasi, masa kamu semua tidak sadar kalau perempuan berhati keji ini sedang mengadu domba kita semua?"

"Kenapa?" kembali gadis itu mengejek, "mengadu domba? Aku hanya seorang wanita lemah, sementara pengiringku kalau bukan sudah mati, sebagian sudah tak mampu bergerak, memangnya kalian masih takut terhadapku? Karena kulihat semua gagah dan hebat, maka aku menaruh hormat dan kagum atas keberanian kalian, ingin kulihat sejauh mana kehebatan kungfu kalian, sejak kapan aku menyuruh kalian saling membunuh? Tapi ... ya, sudahlah, kalau memang takut, tentu saja kalian tak perlu bertanding, biarkan saja yang menjadi Lotoa mendapat keuntungan terlebih dulu."

Lelaki yang melontarkan usul tadi segera berseru, "Betul, siapa pun tak boleh memperoleh keuntungan hanya karena kedudukan! Maknya sialan, siapa yang tak berani bertanding, lebih baik menyingkir jauh-jauh, kita mesti tentukan menang kalah dengan mengandalkan tinju masing-masing, jangan tunjukkan kelemahan kita di hadapan seorang perempuan!"

Rekan-rekannya segera mendukung usul itu, maka suasana pun jadi gaduh, tampaknya pertarungan segera akan dim lai.

Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu kembali berpikir, "Baguslah kalau begitu, akan kusaksikan dulu dengan cara apa perempuan lemah ini membereskan kawanan penyamun yang berotot namun tak berotak itu?"

Baru berpikir sampai di situ, mendadak dari sisi tubuhnya terdengar seorang menghardik, "Siapa kau?"

Diam-diam Pek Jau-hui mengeluh, karena kelewat kesemsem menyaksikan peristiwa yang terjadi dalam ruang perahu, dia sampai lupa posisi sendiri yang sedang mengintip, baginya kejadian semacam ini boleh dibilang baru terjadi untuk pertama kalinya.

Begitu orang itu menghardik dan belum sempat melakukan sesuatu tindakan, Pek Jau-hui sudah menerjang ke hadapannya, sekali sambar ia cengkeram tulang tenggorokan orang itu.

"Kraaak!", sekali remas ia gencet tulang tenggorokan orang itu hingga hancur.

Dari dalam ruangan perahu bermunculan lima sosok bayangan, mereka saksikan ada sesosok bayangan manusia terlempar ke udara dan tercebur ke tengah sungai.

Menghadapi datangnya kelima orang itu, Pek Jau-hui sama sekali tidak bersuara, apalagi bicara, dengan gerak cepat ia menghampiri seorang di antaranya dan langsung menyodok keningnya dengan satu tonjokan maut.

Jeritan ngeri yang menyayat hati seketika bergema memecah keheningan, suara jeritan inilah yang didengar Ong Siau-sik dan Un Ji dari atas perahunya.

Menanti mereka berdua tiba di atas perahu besar, dari ketujuh orang penyamun itu, ada lima orang di antaranya yang sudah tewas di tangan Pek Jau-hui dan mayatnya dilempar ke dalam sungai, bahkan salah seorang di antaranya masih dicengkeram pemuda itu.

Sisanya yang seorang sebetulnya bertugas menjaga gadis itu dalam ruang perahu, ketika terjadi pertarungan sengit di atas geladak, orang itu segera menjulurkan kepalanya keluar jendela, niatnya ingin melihat keadaan di luar.

Begitu menyaksikan lelaki itu sedang menjulurkan kepala keluar jendela, si nona cantik segera menyambar sebatang bambu kemudian dihantamkan ke atas kepala lelaki itu.

Tatkala sang penyamun menarik kembali kepalanya dengan gelagapan, mendadak gadis cantik itu melolos sebilah golok tajam dari balik sakunya dan langsung dihujamkan ke hulu hati penyamun itu.

Begitu berhasil menyarangkan goloknya, dengan wajah pucat-pias gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang.

Penyamun itu menjerit kesakitan, belum sempat mengucapkan sesuatu, nyawanya sudah telanjur melayang meninggalkan raganya, sungguh mengenaskan nasib orang ini, dia harus mengakhiri nyawanya di tangan seorang gadis yang sama sekali tak mengerti ilmu silat.

Waktu itulah Pek Jau-hui sambil mencengkeram Ci-lotoa memburu masuk ke dalam, sementara Ong Siau-sik dan Un Ji juga telah melompat naik ke atas perahu.

ooOOoo

Bersambung ke bagian 09

Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08

0 comments: