Join The Community

Premium WordPress Themes

Badik Buntung 009. Murid Baru Bu Bing Loni

Badik BuntungBADIK BUNTUNG

Karya: Chin Tung

Saduran: Gan K. H

009. Murid Baru Bu Bing Loni

Kata Su Cin kepada Su Giok-lan, “Dik, jangan begitu kasar! Aku ada omongan yang perlu kusampaikan kepada saudara Hun!” — lalu ia berpaling katanya kepada Hun Thian-hi, “Saudara Hun aku ada sedikit omongan harap dengarlah!”

Lekas-lekas Hun Thian-hi maju memajang Su Cin, katanya berbisik, “Saudara Su, sungguh aku sangat menyesal!”

Su Giok-lan mendekam di tanah menangis tergerung-gerung.

Su Cin mengerling ke arah Su Giok-lan serta katanya pada Hun Thian-hi, “Bermula kusangka pasti saudara Hun takkan terkalahkan oleh Kim-I Kongcu, siapa tahu….”

Hun Thian-hi bertambah malu,

Kata Su Cin selanjutnya, “Peristiwa tempo hari saudara Hun sampai terfitnah secara semena-mena, untung Suboku sudah jelas duduk perkaranya, kelak tentu segalanya dapat dibikin terang!”

Thian-hi semakin malu dan menyesal sekali, ia tertunduk tak berani adu pandang.

Kata Su Cin, “Adikku diracun oleh Leng Bu, dipaksanya untuk kawin dengan dia. Setelah aku tiada harap kau suka melindungi dan menjaga adikku baik-baik”

Bercekat hati Hun Thian-hi mulai paham kenapa bermula tadi Su Cin kelihatan rada mengalah segan menghadapi Leng Bu, kiranya punya latar belakang yang keji ini…. Pelan-pelan ia berpaling memicingkan mata menatap ke arah Leng Bu, tampak Leng Bu berdiri jajar di samping tunggangannya tanpa menunjukkan sikap tertentu, pedang masih terpegang di tangannya.

Waktu Thian-hi berpaling lagi Su Cin berkata kepadanya, “Kulihat saudara Hun merupakan calon pendekar kenamaan yang bakal menjulang tinggi di antara sekian tunas muda saat ini, hari depanmu pasti gemilang, betapapun kau harus menjaga adikku baik-baik!”

Mendengar orang memuji dan mengagumi dirinya, sungguh Thian-hi merasa haru dan terima kasih, tak kuasa air mata meleleh keluar dari kelopak matanya. Sembari mengigit gigi pelan-pelan ia berkata tegas, “Aku tentu menuntut balas bagi kau!”

Wajah Su Cin mengunjuk tawa riang, katanya kepada Su Giok-lan, “Dik! Ada sedikit omongan perlu kusampaikan kepadamu!”

Su Giok-lan berdiri duduk, air mata membasahi dan mengotori mukanya yang putih bersih. Setelah menghela napas baru Su Cin melanjutkan, “Adik Lan. Apakah kau mau dengar pesan eagkohmu sebelum ajal ini?”

“Engkoh!” jerit Su Giok-lan, tangisnya semakin menjadi-jadi.

Su Cin menghela napas, ujarnya, “Jangan bersedih adik Lan!”

Terdengar Leng Bu menjengek, “Kau menyesal sesudah sekarat siapa suruh kau selalu menghalang-halangi sepak terjangku!”

Berubah air muka Su Cin, cepat Thian-hi menyikapnya erat-erat, kata Su Cin megap-megap, “Adik Lan, lekas katakan!”

Melihat keadaan engkohnya yang semakin parah Su Giok-lan menjadi bingung dan manggut-manggut.

Tangan Su Cin menunjuk kepada Thian-hi, mulutnya terpentang namun tak kuasa mengeluarkan suara, mendadak mukanya menjadi kejang dan berubah semakin pucat, badannya berkelejotan sebentar terus menjadi kaku

Su Giok-lan semakin hebat tangisnya, dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi rebahkan badan Su Cin di atas tanah lalu pelan-pelan bangkit berdiri. Sejenak ia amat-amati jenazah Su Cin terus memutar tubuh mengawasi Kim-I Kongcu Leng Bu.

Dengan menyeringai sinis Leng Bu pun mengawasi ke arah Thian-hi. Kalem saja Hun Thian-hi merogoh keluar Badik Buntungnya lagi.

Leng Bu berkata dingin, “Hun Thian-hi menggetarkan Tionggoan, ternyata begitu saja kepandaiannya.”

Hun Thlan-hi melangkah pelan-pelan menghampiri. Melihat sikap Hun Thian-hi ini diam-diam mengkirik tengkuk Leng Bu, dengan tangan kiri ia tepuk-tepuk kudanya terus menyuruhnya menjauh, tangan kanan menyoreng pedang mengawasi Thian-hi dengan tajam.

Setindak demi setindak Thian-hi maju menghampiri, Leng Bu menjadi tidak sabar, ringan sekali pedang emasnya berputar terus menyerang lebih dulu kepada Hun Thian-hi.

Sebat sekali Thian-hi melompat ke samping menghindar. namun laksana bayangan ujung pedang mas lawan telah menyamber tiba pula. terpaksa Thian-hi harus mencelat berkelit lagi, kini mereka sudah ganti kedudukan yang berlawanan.

Leng Bu terus mendesak maju dengan serangan pedangnya yang gencar, Thian-hi terdesak mundur terus. Sekonyong-konyong biji mata Thian-hi memancarkan cahaya terang yang aneh, dimana Badik Buntung bergerak selarik sinar hijau pupus berkelebat jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumi telah dilancarkan, terus menungkrup ke arah Leng Bu.

Mendadak Leng Bu melihat perubahan permainan Thian-hi yang aneh ini, hatinya sungguh kejut bukan main, pedang mas dibolang-balingkan rapat sekali untuk melindungi badan, namun tampak sinar hijau berkelebatan rapat merekah menyambar-nyambar. disertai tekanan tenaga besar yang luar biasa memberondong mengekang dirinya dari berbagai penjuru sehingga tenaga untuk ia angkat pedang sendiri pun tak mampu lagi.

Dimana sinar hijau melintas, kontan tubuh Leng Bu terkapar di tanah tanpa bergerak lagi.

Hun Thian-hi menyimpan lagi Badik Buntungnya serta berjalan balik menghampiri Su Giok-lan. Su Giok-lan mendelik mengawasi Hun Thian-hi, melihat Thian-hi menghampiri mendadak ia lompat berdiri sambil membopong jenazah Su Cin, makinya sambil mengertak gigi, “Laki-laki palsu!”

Hun Thian-hi menjadi tertegun. Kata Su Giok-lan gemes, “Terang kau dapat membunuh Leng Bu semudah itu, tapi kau biarkan engkohku mati dulu baru kau menuntut balas baginya, kau sangka aku bisa menghargai dan terima kasih kepadamu?” - selesai berkata air mata tak kuasa lagi membendung meleleh dengan derasnya.

Hun Thian-hi punya kesukaran sendiri yang tak mungkim dijelaskan, terpaksa ia berdiri melongo saja.

Dengan membopong jenazah Su Cin, Su Giok-lan lompat naik ke atas tunggangannya terus dilarikan ke depan sana dengan cepat.

Tersentak Thian-hi dari lamunannya, cepat ia berlari mengejar serta teriaknya, “Nona Su.”

Su Giok-lan menghentikan lari kudanya, katanya berpaling, “Kau masih ada muka mengejar kemari! Sebelum meninggal, engkohku menuding kau, apa kau tahu apa maksudnya? Gamblang sekali ia menghendaki aku menuntut balas baginya, tahu? Laki-laki palsu!” — lalu kudanya dibedal lagi ke depan sekencang-kencangnya.

Thian-hi berdiri menjublek di tempatnya, mematung seperti tonggak, sungguh hatinya sangat duka dan entahlah bagaimana pula perasaannya, teringat akan pesan Su Cin sebelum ajal ia angkat kepala hendak mengejar lagi ke depan, namun bayangan Su Giok-lan sudah tak kelihatan lagi.

Pelan-pelan ia menghela napas, Su Giok-lan adalah murid Pedang Utara yang cukup kenamaan, tentu tidak akan mendapat kesusahan di depan sana, tapi dia kena dicekoki racun Kim-I Kongcu Leng Bu cara bagaimana harus mengobatinya.

Teringat akan hal ini, cepat-cepat ia larikan kudanya mengajar ke depan, Tiba-tiba terdengar pekik burung di tengah angkasa, seekor burung terbang rendah di atas kepalanya terus menuju ke depan. Waktu ia angkat kepala dilihatnya orang yang menunggang burung tak lain adalah Siau Hong, tanpa merasa pelan-pelan ia meneriaki nama Siau Hong, Siau Hong berpaling ke belakang melambaikan tangan kepadanya, terus terbang ke depan.

Thian-hi menjadi lega, anak buah Bu Bing Loni muncul menalangi persoalan ini, tentu Su Giok-lan takkan menghadapi bahaya apa-apa, mungkin malah mendapat rejeki besar dari beliau. Justru Bu Bing Loni tengah bermusuhan dengan dirinya, tentu Su Giok-lan akan dibantu dan dididiknya, meski selanjutnya ia bertambah seorang musuh yang kuat, betapapun hati menjadi lega.

Setelah pikirannya ini hati Thian-hi menjadi lapang, ia tertawa geli sendiri lalu memutar balik kudanya, pelan-pelan dilarikan ke depan menyusuri tembok besar terus menuju ke arah timur laut. Waktu ia berpaling lagi, burung dewata dan kuda tunggangan Su Giok-lan tak kelihatan lagi.

Mayat Kim-I Kongcu Leng Bu masih menggeletak di tanah, kuda kembang bebenger di samping jenazahnya, sedang seekor kuda coklat lainnya tampak berlari kencang ke arah lain.

*****

Sementara itu, Su Giok-lan membedal kudanya lari ke depan, hatinya kosong dan hampa, benaknya dirundung kesedihan yang sangat memukul batinnya, namun tak kuasa dilampiaskan.

Kira-kira setangah li kemudian tiba-tiba terdengar pekik burung di tengah udara yang sangat nyaring seekor burung besar berbulu hijau lambat-lambat meluncur turun di depan tunggangannya. Sungguh kejutnya tak kepalang, lekas-lekas ia menarik kendali kudanya, terus melolos pedang.

Di atas burung besar ini duduk dua gadis jelita, seorang berpakaian hitam sedang yang lain dandan sebagai pelayan.

Su Giok-lan tak tahu siapakah mereka berdua, namun mereka menunggang burung besar tentu bukan sembarang orang, entah apa maksud tujuan mereka?

Sekian lama gadis baju hitam mengamati Su Giok-lan, baru terlihat bibirnya bergerak, katanya, “Nona Su, peristiwa barusan guruku sudah tahu seluruhnya, beliau menyuruh aku datang menahanmu sebentar, beliau ada sedikit omongan ingin tanya padamu!”

Su Gio-lan rada sangsi, tanyanya, “Siapakah gurumu? Urusan apa yang ingin dia tanyakan?”

“Guruku itu bergelar Bu Bing Loni!”

“Apa? Bu Bing Loni?” teriak Su Giok-lan di luar dugaan.

Gadis baju hitam manggut-manggut. Sungguh mimpi pun Su Giok-lan takkan menduga Bu Bing Loni bakal mencari dirinya. Bu Bing Loni merupakan tokoh kenamaan yang menjagoi seluruh jagat, kepandaiannya tiada lawan di kolong langit, sepak terjangnya saja yang tidak menentu. Dari sikap gadis baju hitam yang wajar dan tenang agaknya mereka tak berimaksud jelek terhadap dirinya.

Ia menghela napas lega, katanya prihatin, “Untuk urusan apakah beliau mencari aku?”

“Itulah beliau sudah datang kemari!” sahut gadis baju hitam.

Memang benar, waktu Su Giok-lan mendongak, tampak seekor burug dewata yang lain tengah meluncur turun pelan-pelan, dari punggung burung berbulu hijau ini berjalan turun seorang Nikoh tua yang berwajah welas asih, sepasang matanya memancarkan cahaya terang yang berwibawa….

Su Giok-lan melangkah selangkah terus menekuk lutut, sembahnya, “Wanpwe Su Giok-lan menghaturkan sembah sujud kepada Cianpwe!”

Bu Bing Loni mengamati Su Giok-lan dengan seksama, akhirnya katanya sembari manggut-manggut, “Bangunlah!”

Sembari menyeka air matanya pelan-pelan Su Giok-lan bangkit berdiri.

“Sudah jangan nangis lagi,” ujar Bu Bing Loni, “Engkohmu meninggal, kemana selanjutnya kau hendak pergi?”

Sahut Su Giok-lan sesenggukkan, “Aku hendak mencari guruku untuk menuntut balas!”

Bu Bing Loni menggeleng kepala, katanya, “Tak mungkin, gurumu pun takkan mampu menangkis jurus serangannya itu!”

Su Giok-lan melengak, katanya, “Tentu Suhuku bisa mengundang orang lain untuk membalas dendam ini.”

“Apa kau sendiri tidak ingin membalas dendam dengan tanganmu sendiri?” tanya Bu Bing Loni.

Su Giok-lan tersentak kaget sambil angkat kepala, matanya mengawasi Bu Bing Loni sahutnya tersekat, “Aku….aku ….”

“Kalau kau mau, aku bisa menerima kau menjadi muridku.”

Su Giok-lan menjadi kegirangan, sungguh tak terkirakan olehnya bahwa tokoh nomor satu sejagat ini rela menerima dirinya sebagai murid, sesaat ia menjadi melongo.

“Eh, apa kau mau?” desak Bu Bing Loni.

“Suhu!” cepat-cepat Su Giok-lan maju berlutut dan menyembah berulang-ulang.

Bu Bing Loni berseri tawa, ujarnya, “Tulangmu bagus, belum lama berselang aku mendapat sebatang Ho-siu-oh yang berusia ribuan tahun, nanti boleh kau minum, kalau kau giat dan rajin belajar, tiga bulan saja, cukup kau dapat mempelajari Hui-sim-kiam-hoat, kalau kau mau menuntut balas gampang sekali seperti kau membalikkan tanganmu.”

Su Giok-lan merangkak bangun dengan kegirangan, sahutnya, “Aku pasti giat belajar.” lalu tanyanya tak mengerti, “Suhu atau Suci kenapa tidak memberi hajaran kepadanya sekarang saja?”

Bu Bing Loni mengerut kening, katanya, “Aku sudah sumpah, gurunya membunuh ayah Sucimu sehingga sakit hati ini pun sulit dibalas!”’

Su Giok-lan mengerling memandang ke arah gadis baju hitam. Bu Bing Loni berkata lagi, “Inilah Sucimu Ham Gwat.”

Tersipu-sipu Su Giok-lan membungkuk tubuh memberi soja, “Suci, harap selanjutnya kau suka memberi bantuan dan bimbingan kepadaku yang masih hijau ini!”

“Ah Sumoay terlalu sungkan. Kulihat bakat dan rejeki Sumoy sangat besar, kelak tentu mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari aku sendiri!’

“Hun Thian-hi kan murid Lam siau? Bagaimana bisa menjadi musuh besar pembunuh ayahmu?”

Berkedip-kedip biji mata Ham Gwat, katanya, “Lam-siau? Dia adalah murid Ang-hwat-lo-mo!”

“Apa?” tanya Giok-lan heran dan, menegas, “Dia murid Ang-hwat-lo-mo?”’

Ham Gwat manggut-manggut, katanya, “Jurus Pencacat Langit Pelenyap Bumi yang dilancarkan tadi untuk membunuh Kim-I Kongcu adalah ilmu silat pelajaran tunggal dari Ang-hwat-lo-mo. Dulu menggunakan jurus inilah Ang-hwat-lo-mo membunuh ayahku!”

Su Giok-lan manggut-manggut, batinnya, “Kiranya Hun Thian-hi juga menjadi murid Ang-hwat-lo-mo. Tak heran ilmu silatnya begitu lihai. Dalam segebrak saja sekaligus membunuh puluhan tokoh-tokoh silat kosen!”

Kata Bu Bing Loni, “Giok-lan, tak perlu banyak pikir, mari kita pulang!”’

Su Giok-lan mengiakan, jenazah Su Cin dijinjingnya bersama Bu Bing Loni dan lain-lain menunggang burung dewa terbang tinggi dan hilang di kejauhan.

*****

Badik Buntung

01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 |

0 comments: