Karya: Chin Tung
Saduran: Gan K. H
011. Hwesio Tua Buta dan Hwesio Kecil Jenaka
Hari sudah gelap gulita, samar-samar di kejauhan di depan sana kelihatan titik-titik sinar pelita yang kelap kelip, mungkin di depan sana ada perumahan atau pedusunan. Thian-hi menjadi girang, cepat-cepat ia keprak kudanya dilarikan ke arah sana.
Waktu sudah dekat, Thian-hi menjadi melongo karena tempat itu melulu sebuah hutan lebat di atas sebuah pohon besar yang tinggi tergantung beberapa buah lampion, di tengah lampu-lampu lampion ini duduk bersila di atas sebuah dahan besar seorang tua yang memejamkan matanya.
Hun Thian-hi hentikan kudanya, ia mendongak mengawasi orang tua di atas pohon itu sekian lamanya, diam-diam ia membatin siapakah orang tua ini, dengan lampu-lampu lampionnya ini ia memancing aku datang kemari apakah maksudnya?
Tiba-tiba orang tua itu membuka mata serta gumamnya, “Eh, betul-betul kepancing datang!”
Bertambah kaget hati Thian-hi mendengar perkataan si orang tua, lekas-lekas ia melorot turun dari tunggangannya terus membungkuk tubuh serta serunya, “Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya siapakah Cianpwe yang mulia ini?”
Tanpa menunjukkan berubahan mimik wajahnya si orang tua mengawasi Thian-hi dengan cermat, rada lama kemudian baru membuka mulut, “Tepat, kiranya kaukah Hun Thian-hi. Akulah Jan-ting Lojin, apakah kau pernah dengar nama ini?”
Hun Thian-hi melengak, ia geleng-geleng kepala, sahutnya, “Pengetahuan Wanpwe sangat cetek, belum pernah dengar nama ini, Cianpwe menggunakan sinar pelita untuk memancing Wanpwe kemari entah ada urusan apakah?”
Dengan seksama Jan-ting Lojin (Si Tua Pelita) mengamat-amati Thian-hi, tanyanya, “Apa betul kau belum pernah dengar namaku ini?”
Hun Thian-hi geleng kepala.
Tanya Si Tua Pelita, “Apakah gurumu tidak beri tahu kepada kau?”
Hun Thian-hi menjadi was-was dan heran kenapa Si Tua Pelita ini tanya akan hal ini, ia menggeleng kepala lagi.
Mendadak Si Tua Pelita mendongak serta terloroh-loroh, gelak tawanya begitu keras memekakkan telinga sehingga menggetarkan seluruh alam sekelilingnya, daun berjatuhan. Hun Thian-hi bercekat dan berubah air mukanya.
Setelah tertawa sekian lamanya, Si Tua Pelita ini mendesis sambil mengertak gigi, “Sangkamu kau masih bisa seperti dulu tidak memandang sebelah mata kepadaku lagi?”
Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, ia tidak tahu kemana juntrungnya perkataan si orang tua, mendadak ia teringat sesuatu serta-merta mulutnya lantas mengiakan, katanya, “Orang yang Cianpwe maksudkan barusan bukankah Ang-hwat-lo-koay?”
Si Tua Pelita membelalakkan matanya mengawasi Hun Thian-hi, tanyanya, “Apa katamu?”
“Bukankah orang yang Cianpwe maksudkan tadi adalah Ang-hwat-lo-koay?”
Si Tua Pelita mendengus sekali, tanyanya, “Apakah orang berbaju mas itu kau yang bunuh?”
Thian-hi manggut-manggut, katanya, “Tapi Cianpwe jangan salah paham, aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay.”
Si Tua Pelita berkakakan, pelan-pelan kedua telapak tangannya menepuk ke bawah tubuhnya tiba-tiba mencelat ke tengah udara dan terbang melingkar satu bundaran terus hinggap pula di tempat asalnya, katanya kepada Thian-hi, “Kau sudah takut?”
Bercekat hati Thian-hi, gerak tubuh Si Tua Pelita ini sungguh luar biasa dan mengagumkan, belum pernah dilihatnya sebelum ini, apalagi timbul tenggelam tubuhnya begitu enteng tanpa mengeluarkan sedikit suara atau desiran angin.
Tapi lahirnya Thian-hi tetap tenang, malah ia mendongak dan bergelak tawa juga serunya, “Apa yang perlu ditakuti?”
“Tidak lebih menakutkan dari ilmu Pencacat Langit Pelenyap Bumi yang diajarkan oleh gurumu itu bukan?”
“Perlu kutandaskan lagi bahwa aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay” ujar Thian-hi dengan nada berat,
“Memang kenyataan ia mengajarkan sejurus ilmu ganas itu, kukira kau sendiri sudah tahu berapa banyak jiwa melayang karena ilmu ganas itu?”
Si Tua Pelita terbungkam seribu basa.
Sambung Thian-hi dengan nada lebih tertekan, “Betapa picik dan licik tujuannya itu, sungguh aku lebih menderita daripada dibunuh olehnya!”
Si Tua Pelita rada sangsi, ia mendengus tidak percaya.
Hun Thian-hi menundukkan kepala tanpa bicara lagi.
Tiba-tiba Si Tua Pelita bergerak meluncur tiba. Kedua tangannya dengan telak mencengkeram kedua pundak Thian-hi, secara gerak reflek Thian-hi meronta sekuat-kuatnya. Sesaat tampak Si Tua Pelita tertegun sebentar terus menggumam dengan lesu, “Ah, bukan dia!” lalu ia lepas tangan mencelat kembali ke tempatnya semula.
Thian-hi mendelong awasi si orang tua tanpa buka suara. Akhirnya Si Tua Pelita menunduk kepala serta katanya lirih, “Pergilah, selanjutnya jangan kau gunakan lagi jurus ganas itu.”
Dilihatnya oleh Thian-hi kelopak mata Si Tua Pelita mengembeng air mata, agaknya ia sangat kecewa dan sekejap mata saja sudah tambah tua puluhan tahun, maka katanya pelan, “Kalau Cianpwe punya dendam kesumat dengan Ang-hwat-lo-koay, Wanpwe bersedia membantu sekuat tenaga, aku tahu dimana sekarang ia berada!”
Si Tua Pelita angkat kepala, ujarnya, “Tiada gunanya, siang-siang ia sudah pindah tempat. Tak mungkin ia menetap di tempat lama menunggu para musuhnya meluruk datang mencari penyakit padanya.”
Thian-hi berdiam diri sekian lama lalu pelan-pelan putar tubuh.
“Kau kembali!” tiba-tiba Si Tua Pelita memanggilnya kembali.
“Apakah Cianpwe masih ada urusan?” tanya Thian-hi merandek.
Si Tua Pelita termenung sebentar lalu katanya, “Tadi kau kata bahwa ada banyak orang telah menjadi korban karena jurus Jan-thian-ciat-te itu bukan?”
Thian-hi manggut-manggut.
Kata Si Tua Pelita, “Kuduga tentu kau mengalami banyak kesulitan karena jurus yang ganas itu. Demikian juga aku memancingmu kemari, walaupun kau takkan dapat membantu aku, namun maksud baikmu itu sungguh mengetuk sanubariku, biarlah kubantu sedikit kepadamu!”
Sebentar Hun Thian-hi berpikir, lalu menggeleng serunya, “Terima kasih akan kebaikan Cianpwe. Aku terlalu banyak menanam budi orang lain, sampai pun Soat-san-su-gou berempat Cianpwe rela mati demi jiwaku seorang.”
Bertaut alis Si Tua Pelita, katanya, “Apa katamu?”
Terpaksa Thian-hi ceritakan bagaimana Bu Bing Loni mencari dirinya untuk menuntut balas serta pertemuannya dengan Soat-san-su-gou.
Berjengkit alis Si Tua Pelita, ujarnya tertawa, “Kiranya begitu. Kedua tokoh yang dimaksudkan oleh Pek-bi tentu kedua bangkotan tua itu. Ah pengalaman dan pengetahuannya ternyata rada cetek juga. Tapi aku dapat menunjukkan sebuah jalan penerangan, kalau dibanding kedua bangkotan tua di Tiang-pek-san itu jauh lebih kuat berapa kali lipat!”
Wajah Hun Thian-hi mengunjuk rasa sangsi dan heran. Kata Si Tua Pelita menerangkan, “Dari sini kau langsung menuju ke utara, nanti disana kau bakal menemukan sesuatu rejeki besar. Tiga hari kemudian kau kembali ke sini menemui aku!”
Selesai berkata tubuhnya mencelat berputar satu lingkaran menanggalkan semua pelita yang tergantung di atas pohon terus meluncur cepat ke dalam hutan dan menghilang.
Hun Thian-hi terlongong-longong di tempatnya sekian lama menerawang pesan Si Tua Pelita sebelum pergi tadi, pikirnya, “betapapun jadinya aku harus pergi mencobanya.”
Cuaca masih rada gelap, dengan menunggang kudanya Hun Thian-hi melanjutkan perjalanan ke arah utara, entah berapa lama berselang, hari sudah menjelang pagi, namun sepanjang perjalanan ini tiada sesuatu yang diketemukan. Jauh dikeremangan kabut. pagi kelihatan bayangan sebuah bangunan kelenteng bobrok. Setelah melakukan perjalanan sehari semalam badan terasa penat, segera ia turun berjalan kaki sambil menuntun kudanya, setelah menambat kudanya didahan pohon besar langsung ia beranjak memasuki keleteng bobrok itu.
Begitu sampai di ambang pintu dilihatnya seorang Hwesio tua tengah duduk samadi di tengah ruangan besar sana. Hwesio ini begitu tua sehingga jenggotnya panjang memutih menjulai di depan dadanya, wajahnya kelihatan berwarna merah, jubah abu-abu yang dipakainya kelihatan begitu bersih tanpa kena debu sedikit pun, sepintas pandang seakan-akan dewata dalam dongeng.
Begitu Thian-hi melangkah masuk wajah si Hwesio tua lantas berseri tawa, serunya, “Tuan kecil ini datang dari jauh, harap maaf Lo-ceng tidak menyambut secara semestinya.”
Diam-diam kaget hati Thian-hi, tanpa membuka mata lantas Hwesio tua ini mengetahui kedatangannya, lekas-lekas ia memberi soja serta sapanya hormat, “Wanpwe Hun Thian-hi, menghadapi pada Sin-ceng!”
Hwesio tua itu menggoyangkan tangan ujarnya, “Tuan ini janganlah menggoda Lo-ceng, Lo-ceng sudah biasa mendengarkan derap langkah orang sehingga sekali dengar lantas tahu berapa usia tuan ini, apalagi sekitar sini tiada pedusunan, terang tuan pasti datang dari tempat yang cukup jauh bukan!”
Memang ucapan si Hwesio tua masuk akal, hanya dari derap langkah saja lantas dapat membedakan berapa usia seseorang, apalagi dia tak pernah membuka mata mungkin memang buta. Tapi bagaimana mungkin seorang diri cacat lagi bisa hidup di tempat yang terpencil ini.
Hwesio tua itu agaknya dapat menebak isi hati Hun Thian-hi, katanya tersenyum, “Aku punya seorang murid kecil, tapi sekarang sedang keluar.”
Hun Thian-hi manggut-manggut, batinnya, “Tak heran, kukira kau sebatang kara disini. Seorang tua buta lagi mana mungkin bisa hidup di tempat semacam ini!”
Hwesio tua itu tertawa lagi, katanya, “Silahkan duduk tuan, ada beberapa persoalan yang ingin Lo-ceng bicarakan dengan tuan!”
Hun Thian-hi tertegun, pikirnya, “Aku main terobosan masuk kemari, ada urusan apakah yang hendak dibicarakan oleh Hwesio tua ini?” Dalam hati ia bertanya-tanya namun ia menurut duduk di hadapan Hwesio tua.
Rada lama si Hwesio tua terpekur, katanya. “Selama enam puluh tahun Lo-ceng menunggu disini, hanya besoklah saatnya yang kunantikan!”
Bercekat hati Thian-hi, menunggu selama enam puluh tahun, jadi paling tidak usia Hwesio tua ini sedikitnya ada delapan atau sembilan puluh tahun, atau mungkin sudah melampaui seabad.
Terdengar Hwesio tua itu sedang bicara, “Di dalam lembah di belakang kelenteng ini ada sepucuk pohon yang bernama Kiu-thian-cu-ko, enam puluh tahun yang lalu waktu aku datang, kebetulan buah dan kembangnya telah gugur, besok justru adalah saatnya ia berkembang dan berbuah masak!”
Berdebur jantung Thian-hi, Kiu-thian-cu-ko adalah buah Dewata yang sukar didapat dengan khasiatnya yang sangat mujarab. Konon kabarnya setiap enam puluh tahun sekali baru berbuah, jumlah seluruhnya hanya sembilan buah, sungguh tak terduga di tempat ini dirinya bisa menemukan buah dewata yang sangat berharga itu.
Kata si Hwesio, “Lo-ceng sudah menjaganya selama enam puluh tahun, namun bagi aku kesembilan buah itu tiada gunanya, hari ini kebetulan tuan datang kemari, biarlah aku pinjam bunga persembahan kepada sang Budha (memberi sedekah), kuberikan seluruhnya kepada tuan!”
Keruan Thian-hi terkejut, serunya, “Mana boleh jadi? Benda macam Kui-thian-cu-ko yang begitu tinggi nilainya dijaga selama enam puluh tahun oleh Sinceng lagi, mana bisa diberikan begitu saja kepala orang lain?”
Hwesio tua tertawa, ujarnya, “Tapi tidak begitu gampang kau untuk mendapatkan pucuk buah ajaib ini. Ketahuilah ada seekor ular sanca besar yang juga telah menunggu selama enam puluh tahun, masih ada lagi seorang aneh yang menunggunya selama tiga puluhan tahun pula!”
“Begitu pun tak mungkin jadi,” sahut Thian-hi mengiakan keterangan orang, “Besok biarlah aku pergi mencobanya, jikalau dapat kurebut, aku rela persembahkan kepada Sin-ceng!”
Hwesio tua menggeleng kepala sambil tersenyum.
Kata-Thian-hi lagi, “Meskipun tiada perlunya bagi Sin-ceng, namun kau sudah susah payah menunggunya selama enam puluh tahun. Kukira tentu sangat memerlukannya bukan?”
“Walaupun Lo-ceng tidak bisa main silat.” demikian ujar Hwesio tua sembari tertawa-tawa, “namun hidup sampai setua ini perihal seluk beluk Bulim kuketahui juga. menurut jalan pernapasan tuan ini, bakat dan tulang tuan sungguh merupakan rahmat yang terbaik, apalagi dalam usia menanjak dewasa. Murid Lo-ceng sendiri tidak becus, maka dengan sukarela dan senang hati kuberikan pucuk pohon buah ajaib itu kepada tuan, harap tuan tidak menolak lagi.”
Melihat orang bicara begitu tulus dan sungguh hati Thian-hi menjadi tidak enak dan risi. Toh disana masih ada orang lain yang ingin merebutnya juga, belum tentu dirinya bisa berhasil memetiknya, terpaksa sekarang disetujui dulu saja. maka segera ia menjawab, “Terpaksa kunyatakan banyak terima kasih akan karunia Sin-ceng.”
Hwesio tua tersenyum ujarnya, “Suatu hal perlu kutegaskan, kalau tuan sudah setuju maka betapa juga, jangan sampai buah-buah ajaib itu terjatuh ke tangan orang lain.”
Thian-hi menjadi terhenyak melongo, sungguh ia tak habis heran kenapa jalan pikirannya dapat diketahui oleh Hwesio tua ini, terpaksa ia menyahut, “Wanpwe akan berbuat sekuat tenaga.”
“Tuan tentu sangat lelah,” begitu ujar Hwesio tua, “silahkan istirahat sebentar!” habis berkata. dengan telapak tangannya ia mengusap-usap di depan muka Thian-hi, kontan Thian-hi lantas terjatuh mendengkur dan tertidur nyenyak.
Waktu Thian-hi siuman dari tidurnya hari sudah terang benderang pada hari kedua. Tersipu-sipu Thian-hi meloncat bangun, ia heran mengapa sekali tertidur dirinya sampai pulas sehari semalam, waktu ia mengerling Hwesio tua itu sudah tak berada di tempatnya, sesaat ia terlongong, baru sekarang ia sadar bahwa, Hwesio tua ini pasti seorang sakti waktu ia lari keluat tampak kuda hitamnya masih tertambat di bawah pohon sana.
Thian-hi masih teringat pesan Hwesio tua kemaren, maka segera ia menyusuri jalanan kecil menuju ke belakang kelenteng. Dengan ilmu ringan tubuhnya ia memanjat naik ke bukit yang tidak begitu tinggi, tiba di puncak bukit hidungnya lantas dirangsang bau harum semerbak. Sebenfar berdiri menerawang keadaan sekitarnya, tampak olehnya di seberang bukit sebelah depan sana terdapat sebuah gua esar, di depan gua ini melingkar seekor ular sanca besar warna putih tengah berhadapan dengan seorang tua yang mengenakan jubah kuning. Ular dan orang itu diam tak bergerak seperti ayam aduan, masing-masing tiada yang berani bergerak dulu, namun besar hasrat masing-masing untuk mendahului mendapatkan buah ajaib yang berbau wangi.
Agaknya orang tua jubah kuning itu tidak sabaran lagi, gesit sekali ia berkelebat hendak menerjang masuk ke dalam gua, namun secepat anak panah ular sanca putih itu mematuk mengarah tenggorokannya. Orang tua jubah kuning menjadi gusar, dengan menghardik keras ia melolos sebilah pedang terus membabat ke moncong ular yang ternganga lebar itu. Ternyata si ular besar ini pun pandai berkelahi, dengan menekuk badannya ia sampok pedang musuh ke samping tubuhnya terus meluncur hendak menerjang ke dalam gua.
Si jubah kuning menggertak keras, pedangnya berputar memetakan setabir kabut sinar putih mendesak mundur ular putih itu keluar gua pula, begitulah mereka saling berhadapan lagi di luar gua dengan siap siaga.
Meski hanya melibat beberapa gebrak pertarungan antara ular dan manusia ini namun diam-diam bercekat hati Thian-hi, batinnya, ‘kalau kepandaianku dibanding dengan ular dan si jubah kuning terang terpaut teramat jauh sekali. Kiu-thian-cu-ko itu jangan harap dapat kuperoleh, tapi aku sudah berjanji kepada Hwesio sakti itu, masa lantas mundur begini saja.’
Bau harum yang teruar keluar dari dalam gua semakin tebal, jelas si jubah kuning dan ular besar Itu semakin bersitegang leher, pelan-pelan Hun Thian-hi menggeser maju ke arah gua besar itu. Waktu ia menggeremet tiba di atas samping gua, untung saking tegang dan tumplek perhatian musuh di hadapannya, ular dan si jubah kuning tidak mengetahui kehadirannya.
Kelihatan kedua musuh bertengger ini sudah tak sabar lagi, mendadak si jubah kuning mengayun pedangnya menyerang ke arah ular sanca sebat sekali. Ular putih berkelit tanpa hiraukan si jubah kuning lagi ia mendahului melesat masuk ke dalam gua. Tapi gerak-gerik si jubah kuning cukup hebat. Lincah sekali tangan kirinya bergerak dengan telak telapak tangannya memukul ke tubuh si ular, terdengar ular putih mendesis keras, tubuhnya melenting balik mematuk kedua biji mata si jubah kuning. Terpaksa si jubah kuning mundur selangkah, pedang di tangan kanan lagi-lagi membabat ke kepala musuh.
Si ular putih terdesak dan mundur berkelit, kontan jubah kuning timpukan pedangnya mengarah kedua biji mata sang ular, tanpa melihat apakah serangannya bakal berhasil segera ia menerobos masuk ke dalam gua. Keruan ular putih menjadi gugup, tubuhnya masih cukup gesit bergerak namun tak urung badannya sudah kena luka tergores, namun ia berhasil melenting maju merintangi si jubah kuning masuk ke dalam gua, maka dengan geram si jubah kuning ayun jotosannya menghantam sekuatnya menggetar mundur sang ular, sementara waktu mereka berhadapan lagi tanpa bergerak.
Diam-diam Thian-hi menghela napas lega, katanya dalam hati “Untung! Masih belum ada ketentuan pihak mana yang menang dan asor, kalau tidak sedikit pun aku takkan punya harapan.”
Tengah ia termenung sekonyong-konyong ia merasa telinganya seperti dikili-kili dengan hembusan angin silir, keruan kejutnya bukan kepalang, lekas-lekas ia berpaling dilihatnya seorang Hwesio kecil yang bertubuh tambun buntak tengah berseri tawa kepadanya.
Mengkirik kuduk Thian-hi, untung orang tiada niat mencelakai jiwanya, kalau tidak sejak tadi jiwanya tentu sudah melayang.
Sekian lama Hwesio cilik itu tertawa-tawa lucu lalu berseru lirih, “Kau ingin mendapatkan Kiu-thian-cu-ko itu bukan?”
Thian-hi manggut, baru saja ia hendak bicara, Hwesio cilik sudah mencegahnya dengan mendesis mulut dan menegakkan jari tangannya di depan mulutnya, begitu menarik tangan Thian-hi terus diajak lari ke bawah bukit.
Thiar-hi mandah saja diseret ke bawah bukit tanpa mampu mengeluarkan tenaga untuk meronta. Setiba di bawah Hwesio cilik itu memandang Thian-hi dan berkata, “Kalau kau ingin benar, aku bisa membantu kau!”
Thian-hi rada sangsi, namun akhirnya ia berkata, “Harap tanya Siausuhu ini bergelar nama siapa?”
“Siausuhu apa?” dengus Hwesio cebol itu rada tak senang, “usiaku jauh lebih tua dari kau, orang lain sering panggil aku Siau-hosiang (Hwesio Jenaka), kau panggil aku Siau-hosiang saja!”
Hati Thian-hi menjadi geli dan ingin tertawa, namun tak enak dikatakan, terpaksa ia manggut-manggut saja, katanya, “Siau-hosiang! Kau ada cara baik apa?”
Hwesio cilik bernama Siau-hosiang terkekeh-kekeh melebarkan mulutnya tanpa membuka kata.
Thian-hi tahu bahwa ilmu silat Hwesio Jenaka ini jauh lebih tinggi dari kemampuannya, kalau sudi membantu betul-betul merupakan pembantu yang boleh diandalkan, maka ia menambahi, “Kalau sudah dapat nanti kita bagi rata hasilnya bagaimana?”
Hwesio Jenaka menarik muka, jengeknya, “Bagi rata? Kataku tadi aku hanya membantu kepadamu, kalau aku mau gampang saja aku turun kesana mengambilnya, buat apa harus bagi rata dengan kau apa segala!”
Terpaksa Thian-hi minta maaf, sambungnya, “Tapi kau hanya tertawa-tawa saja tidak beritahu cara bagaimana harus bekerja, kalau….,”
“Ah, ada aku disini masa perlu kuatir apa lagi?” kata Hwesio Jenaka sambil menepuk dada.
Melihat sikap Hwesio cilik yang takabur ini, Thian-hi menjadi uring-uringan, katanya, “Jangan kau bicara begitu takabur!”
Hwesio Jenaka tertegun sebentar lantas melebarkan mulutnya lagi terkekeh-kekeh, serunya, “Memang benar, tapi aku ada pegangan dan pasti berhasil. Hari ini kau ada kerja maka kubantu kau kelak kalau aku punya urusan dan minta bantuanmu apakah kau sudi membantu?”
Thian-hi tercengang, tanyanya, “Kau ada urusan apa?”
“Sekarang tiada,” sahut Hwesio Jenaka dengan riang, “maksudku kelak kemudian hari kalau aku kena perkara apakah kau sudi membantu aku?”
“Tidak kau jelaskan urusan apakah itu, mana aku tahu dapatkah aku membantu?”
Hwesio Jenaka menunduk berpikir sebentar lalu angkat kepala serunya, “Mari kita naik ke atas!”
Badik Buntung
Join The Community