Karya: Chin Tung
Saduran: Gan K. H
010. Pembelaan Pak-kiam dan Lam Siau
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi yang terus maju menyelusuri tembok besar. Tahu dia bahwa urusan hari ini takkan berakhir begitu saja, di depan tentu masih banyak orang lagi yang tengah menanti kedatangannya. Tengah ia mencongklang kudanya, dari atas tembok yang tinggi itu kelihatan melayang turun bayangan seorang hinggap tiga tombak di hadapannya. Waktu Thian-hi menegasi pendatang ini berusia kira-kira empat puluhan, mengenakan jubah putih, janggut hitam menjulai di depan dadanya, pinggangnya menyoreng sebatang seruling putih, bukankah beliau Suhunya yang berbudi, Lam-siau Kongsun Hong!
Sungguh kejut dan girang sekali Hun Thian-hi, bergegas ia lompat turun terus memburu maju dan berlutut, teriaknya, “Suhu!”
Kongsun Hong mendehem keras. katanya kereng mengawasi Hun Thian-hi, “Apakah aku ini gurumu? Kau masih anggap aku ini gurumu?”
Tercekat hati Thian-hi, berulang-ulang ia menyembah tanpa berani bersuara.
Sejenak kemudian baru Kongsun Hong berkata pula, “Sebelum ajal, ayahmu pernah berpesan wanti-wanti kepadaku untuk mengasuh kau baik-baik, tapi kau….”
Mendengar gurunya menyinggung ayahnya terketuk sanubari Hun Thian-hi tak terasa air mata meleleh dengan dengan derasnya.
Kongsun Hong menghela napas, ujarnya, “Kalau ayahmu bukan saudara angkatku urusan hari ini aku sudah tidak peduli lagi!”
Hun Thian-hi masih tetap tak berani bicara, Kongsun Hong membentaknya lirih, “Bangun!”
Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun dan berdiri ke samping, lama-lama Kongsun Hong mengamatinya. lalu katanya, “Kini Thi-kiam Lojin dari Bu-tong-pay, Hwi-lam-it-lo Siang Ing, serta tokoh-tokoh lain tengah menantimu di depan sana, malah Pak-kiam suami-istri katanya juga sudah datang!”
Berdebar keras jantung Thian-hi, angkat kepala ia awasi Kongsun Hong.
Tanya Kongsun Hong, “Kudengar kau telah membunuh puluhan tokoh-tokoh kosen dalam segebrak saja dan mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun, apakah berita ini benar?”
Hun Thian-hi manggut-manggut.
Kongsun Hong menjadi bungkam beberapa saat, rada lama kemudian ia tanya lagi dengan nada berat tertekan, “Dari mana kau pelajari jurus itu?”
Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya waktU dijehak oleh Su Tat-jin sehingga terjeblos ke dalam jurang. Tak lupa iapun ceritakan juga perihal Bu Bing Loni dan Soat-san-su-gou. Kongsun Hong menjadi ketarik akan pengalaman muridnya yang aneh-aneh itu, sesaat ia terbungkam tak bisa bicara.
Sekonyong-konyong terdengar gelak tawa nyaring di atas tembok tinggi sana, disusul dua bayangan orang melayang turun di hadapan mereka.
Kongsun Hong memutar tubuh, katanya tertawa, “Kiranya Pak-kiam suami istri yang telah datang!”
Waktu Thian-hi menegasi memang yang datang ini adalah sepasang suami istri berusia pertengahan.
Terdengar Pak-kiam Siau Ling berkata, “Sepak terjang muridku sangat memalukan dan membikin buruk nama perguruan saja, tak berani lapor kepadaku hanya disampaikan kepada istriku saja, sampai sekarang baru aku jelas duduk perkaranya, sengaja kita datang untuk memanggil pulang kedua muridku yang tak genah itu!”
Lam-siau Kongsun Hong tertawa, katanya, “Urusan yang sudah lalu buat apa disinggung lagi, yang terang mereka kena ditipu oleh pamannya apalagi demi nama baik perguruan maka mereka tak berani memberi laporan, maka tak perlu lah terlalu salahkan mereka.”
Pak-kiam Siau Ling menghela napas, ujarnya, “Betapapun mereka tak bisa diberi ampun.”
“Thian-hi!” kata Kongsun Hong, “Ajo, beri hormat kepada Pak-kiam suami istri, inilah Pak-kiam Siau Ling dan Siau-siang-cu To Bwe yang sangat kau kagumi itu!”
Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi sembah hormat, “Cianpwe berdua harap terimalah sembah sujut Wanpwe Hun Thian-hi!”
“Tak usah banyak peradatan,” ujar Pak-kiam Siau Ling, “perbuatan muridku kurang dapat dihargai, biarlah aku mewakili mereka minta maaf kepadamu!”
“Mana Wanpwe berani terima. Belum lama berselang aku berjumpa dengan saudara Su dan adiknya.”
“Dimana mereka?” tanya Siau Ling, mukanya rada berubah.
Hun Thian-hi rada sangsi, ia berpaling memandang ke arah Kongsun Hong.
Kata Kongsun Hong kepada Pak-kiam, “Ah, urusan bocah tak perlu dipikirkan!”
“Saudara Su telah meninggal.” demikian Hun Thian-hi menerangkan singkat.
Bagai disambar petir seketika Pak-kiam berdiri menjublek, Siau-siang-cu To Bwe melangkah maju menjambret baju Thian-hi teriaknya, “Apa! Kaukah yang membunuhnya?”
“Bukan!” sahut Thian-hi cepat. “Dia menemui ajal di bawah tangan Kim-I Kongcu Leng Bu!”
Siau-siang-cu To Bwe melepas tangan, gumamnya, “Kim-I Kongcu Leng Bu! Lalu kemana Giok-lan?”
Thian-hi menunduk, setelah rada sangsi ia menyahut lirih, “Sudah pergi!”
“Leng Bu! Leng Bu!” mulut Pak-kiam menggumam. Matanya terpejam dan mengalirkan air mata.
Hun Thian-hi berkata lirih, “Leng Bu juga telah kubunuh!”
To Bwe berdiri terlongong. “Kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku?” tanya Lam-siau.
Thian-hi bungkam, terpekur sekian lamanya baru pelan-pelan ia mengisahkan pengalamannya yang baru terjadi belum lama berselang.
“Takdir! Takdir!” desis Siau Ling sembari menghela papas.
Dari atas tembok terdengar lagi gelak tawa yang kumandang, sesosok bayangan hijau melayang turun, teriaknya tertawa, “Kalian mengobrol begitu gembira, kita menjadi tidak sabar menunggu, maka menyusul kemari!”
Beruntun dari atas tembok melayang turun lagi dua sosok bayangan manusia.
Tawar saja Lam-siau tertawa, katanya, “Kiranya adalah Thi-kiam Lojin dari Bu-tong dan Hwi-lam-it-lo, dan sahabat ini kalau aku tidak salah lihat tentu Im-hong-ciang Lim Bing adanya.”
Dua orang yang datang belakangan adalah dua orang seorang membawa sebatang pedang yang terselip di punggungnya, seorang lain menggembol sebatang tongkat warna hijau, orang ketiga adalah laki-laki berusia tiga puluhan air mukanya membeku dingin tentu dia inilah yang berjuluk Im-hong-ciang Lim Bing.
Seru Thi-kiam Lojin bergelak tawa, “Kongsun Tayhiap sendiri juga sudah hadir, sungguh baik sekali. Entah tindakan apa yang segera kau jatuhkan kepada muridmu ini Kongsun Tayhiap?”
Kongsun Hong mandah tersenyum ewa, ujarnya, “Urusan ini sulit dibicarakan, sebetulnya segala perbuatan muridku ini itu bukanlah menjadi kehendaknya, dalam hal ini masih ada latar belakang yang sulit diterangkan. Biarlah aku tuntun muridku ini bertandang ke setiap para sahabat yang kena menjadi korban untuk minta maaf dan mohon keringanan hukuman. Entah bagaimana pendapat kalian?”
“Bertandang minta pengampunan?” tiba-tiba Hwi-lam-it-lo menjengek, lalu terbahak-bahak, katanya lagi, “Apakah puluhan korban jiwa manusia itu cukup ditebus dengan bertandang minta pengampunan?”
“Biarlah para keluarganya mencacah hancur tubuh Thian-hi.” sela Im-hong-ciang Lim Beng.
“Aku tak tanya kau,” dengus Lam-siau, “di tempat ini tiada tempat bagi kau turut campur bicara.”
Im-hong-ciang Lim Bing belum lama mengangkat nama di dunia persilatan, sikapnya congkak sudah tentu dia tak mau mengalah, makinya gusar, “Kongsun Hong, apakah kau mau menjajal berkenalan dengan aku?”
Pak-kiam Siau Ling terloroh-loroh, serunya, “Aku Siau Ling tak tahu diri, ingin aku minta pengajaran kepada saudara ini!”
Rada berubah rona wajah Thi-kiam Lojin, katanya kepada Siau Ling, “Siau Tayhiap kenapa berbalik kau bantu mereka?”
Bertaut alis Siau Ling, katanya, “Bukan melulu Hun Thian-hi saja yang salah dalam peristiwa ini, dia terdesak oleh situasi dan harus melakukan apa saja yang dia bisa demi keselamatan jiwa sendiri. Kenapa kalian mejadi semena-mena tanpa mencari tahu duduk perkara sebenarnya. Terpaksa aku bantu mereka!”
Im-hong-ciang Lim Bing mendengus gusar, tantangnya, “Biar aku Ling Bing belajar kenal betapa tinggi kepandaian Pak-kiam yang kenamaan!”
Habis berkata langsung ia lancarkan serangannya ke arah Siau Ling.
Lam-siau dan Pak-kiam diberi julukan sebagai Hwe-siang-ki, sudah tentu mereka masing-masing punya kepandaian simpanan yang melebihi orang lain, sudah tentu angkatan macam Lim Bing yang belum lama angkat nama tidak dipandang sebelah matanya.
Sedikit bergerak mudah sekali Pak-kiam meluputkan diri dari rangsekan lawan, namun Im-hong-ciang Lim Bing tak tahu diri, ia terus menyerbu dengan ketat.
Pak-kiam Siau Ling merasa hutang budi kepada Hun Thian-hi, diam-diam ia sudah berketetapan hati untuk membela mati-matian. Gesit sekali ia berloncatan menghindari setiap pukulan Lim Bing yang cukup hebat juga. Gerak-geriknya laksana kelinci seperti burung kutilang yang berloncatan di atas dahan pohon, tak kalah hebatnya iapun saban-saban balas menyerang kepada Lim Bing.
Begitu saling gabrak kedua belah pihak sudah saling serang menyerang puluhan jurus, Siau Ling lancarkan jurus serangan yang gencar dan deras sehingga Im-hong-ciang Lim Bing kena terdesak mundur.
Sembari mengayun tongkat bambunya segera Hwi-lam-it-to Siang Bing menghardik, “Siau Ling, jangan kau takabur dan menghina orang!”
Lekas-lekas Siau-siang-cu pun melolos pedang serta jengeknya, “Biar aku belajar kenal dengan pentung bambu da Hwi-lam-it-lo yang kesohor itu!” segera ia menghadang maju, maka mereka pun bertempur tidak kalah serunya.
Tinggal Thi-kiam Lojin saja yang masih nganggur, mukanya membesi kaku, tapi hatinya gundah, ia tahu dan menurut gelagat, besar kemungkinan mereka bertiga bakal terjungkal dan mendapat malu, menurut dugaan semula disangkanya Pak-kiam suami isteri berdiri dipihaknya, kemenangan terang dan tentu bisa dicapai oleh pihaknya.
Sungguh di luar perhitungan semula kenyataan Pak-kiam suami-isteri membantu Hun Thian-hi malah, ia sendiri tahu bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan Lam-siau, terpaksa ia tinggal diam berpeluk tangan saja.
Dalam babak Siau-siang-cu lawan Hwi-lam-it-lo kelihatan sinar pedang dan bambu hijau berkemilauan, saling serang dengan hebat dan serunya, kedua belah pihak kerahkan setaker kepandaian masing-masing, dalam waktu singkat susah dipastikan pihak mana bakal menang.
Sebaliknya Im-hong-ciang Lim Bing jelas bukan tandingan Pak-kiam, untung Pak-kiam turun tangan tidak setakar tenaganya serta memberi sedikit kelonggaran, kalau tidak sejak tadi ia sudah terjungkal mampus. Meskipun gelisah namun Thi-kiam Lojin tak mampu bertindak.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar derap langkah kuda yang dilarikan kencang tengah mendatangi, kira-kira masih berjarak puluhan tombak jauhnya, terdengarlah suitan panjang, Tampak dua sosok tubuh manusia terbang meninggalkan tunggangannya terus meluncur datang ke tengah gelanggang pertempuran.
Begitu kedua orang ini hinggap di tanah, seketika beruba air muka Lam-siau, diam-diam ia mengeluh dalam hati mengapa bisa kedua orang ini tiba disini.
Hun Thian-hi sendiri juga telah melihat tegas orang pendatang ini, bukan lain adalah dua orang penunggang kedua ekor kuda putih tadi.
Sementara itu, Pak-kiam juga telah melirik, melihat kedatangan kedua orang ini diam-diam iapun bercekat, gerakannya gesit sekali dengan telak ia tusuk jalan darah Im-hong-ciang, terus mundur berdampingan dengan Lam-siau. Demikian juga Siau Siang-cu dan Hwi-lam-it-lo juga meloncat mundur kembali ke tempatnya masing-masing.
Begitu melihat kedatangan bala bantuan, legalah hati Thi-kiam Lojin, segera ia bergelak tawa girang, serunya, “Kiranya Yan-bun-siang-eng Ciok Tayhiap berdua telah datang, entah kemana hingga’sekarang kalian baru sampai!”
Berdebar keras jantung Hun Thian-hi mendengar kedua pendatang ini adalah Yan-bun-siang-eng. Dari penuturan gurunya ia pernah mendengar perihal Yan-bun-siang-eng Ciok Sing dan Ciok Gi berdua, mereka masih muda dalam pengalaman kelana di Kangouw, namun selama lima tahun terakhir ini sudah tiga kali mereka pernah meluruk ke Timur Tionggoan, mengandal sepasang golok Yan-hap-to dengan pengalamannya yang aneh dan lucu entah sudah berapa puluh tokoh Bulim yang terjungkal di bawah tangan mereka. Sudah tentu semakin hari ketenaran nama mereka semakin menjulang tinggi. Mereka berdua telah menciptakan ilmu permainan golok gabungan yang sangat lihai, selama ini belum pernah menemukan tandingan yang setimpal.
Dalam pada itu, dengan sikap gagah Siang-eng tengah menerawang keadaan kedua belah pihak, katanya dengan sombong, “Kedatangan kita bersaudara tak lain adalah untuk belajar kenal dengan tokoh-tokoh kenamaan yang menyebut dirinya Hwe-siang-ki, betapa tinggi kepandaiannya sejati.”
Lam-siau Kongsun Hong bergelak tawa, ujarnya, “Bagus, bagus! Kita berdua pun telah lama dengar Yan-bun-siang-eng, untung hari ini kita bertemu ingin benar kita minta pengajaran!”
Pak-kiam Siau Ling ikut menjengek, “Walaupun aku juga pernah dengar Yan-bun-siang-eng, tapi tidak lebih mereka hanya angkatan muda belaka!”
Berubah rona wajah Siang-eng, tanpa bicara lagi serentak mereka membalingkan golok masing-masing, dimana sinar putih gemerlapan, tahu-tahu Yan-hap-to sudah digenggam di tangannya.
Lam-siau saling pandang sebentar dengan Pak-kiam diam-diam hati mereka sudah maklum betapa tinggi kepandain Yan-bun siang-eng ini dilihat cara mereka mengeluar kan goloknya, tidak lebih rendah dari Thi-kiam Lojin kalau tidak mau dikatakan lebih tinggi, apapula mereka bisa bermain begitu rapi dan ketat mengombinasikain permainan golok yang saling berlawanan, entah pelajaran dari tokoh manakah kepandaian mereka ini.
Pelan-pelan Pak-kiam melolos pedangnya, sedang Lam-siau menanggalkan seruling pualam dari pinggangnya. Sementara itu gesit sekali Yan-bun-siang-eng sudah bergerak ke kanan kiri mengepung kedua musuhnya di tengah gelanggang.
Lam-siau dan Pak-kiam berbareng bergelak tawa panjang, mereka dijuluki Hwe-siang-ki, betapa. tinggi nama dan gengsi mereka serta melihat tingkah laku Yan-bun siang-eng yang sombong dan takabur ini hati mereka menjadi tak senang.
Kongsun Hong angkat serulingnya terus dilekatkan di depan bibirnya. Lam-siau sudah dua puluh tahun malang melintang di Bulim mengandal Thian-liong-cit-sek dan Siau-im-pit-hiat sudah tentu Siang-eng pun tak berani memandang rendah. Melihat Lam-siau berniat menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya, cepat-cepat Siang-eng menggerakkan goloknya terus menyerbu dengan garangnya.
Pak-kiam terbahak-bahak keras, dimana pedang panjangnya berputar-putar segera ia kembangkan Hian-thian-hui-kiam merintangi serbuan Yan-bun-siang-eng. Tapi permainan sepasang Yan-hap-to Siang-eng memang luar biasa, apalagi Pak-kiam sangat percaya akan tenaga dan kepandaian sendiri secara kekerasan ia sambut serbuan musuh dari kanan kiri, kontan Siau Ling merasa tangannya tergetar keras, tahu-tahu pedangnya sudah mencelat terbang.
Melihat hasil itu Yan-bun-siang-eng semakin berbesar hati, keruan mereka semakin temberang serangan semakin dipergencar.
Kongsun Hong kaget dan merasakan langsung tekanan musuh yang semakin berat, menurut dugaan semula asal Pak-kiam Siau Ling kuat bertahan dua jurus saja cukup baginya berkesempatan untuk meniup serulingnya, maka situasi pertempuran selanjutnya boleh dikata pihak pemenang adalah mereka berdua, siapa duga kejadian justru di luar dugaannya.
Untuk menolong kawannya ia bersuit nyaring, seruling di tangannya terbang menyapu dengan dahsyatnya dengan salah satu jurus Thian-liong-cit-sek yaitu yang dinamakan tipu Hwi-liong-wi-khong (Naga Sakti Terbang di Tengah Angkasa) menghadapi serbuan Yan-bun-siang-eng. Kombinasi mempermainkan Yan-hap-to kedua kakak beradik dari Yan-bun memang hebat luar biasa, satu maju yang lain menjaga dan melindungi, maju mundur sangat teratur sekali, kadang-kadang serentak menyerbu bersama membacok ke arah Lam-siau dan Pak-kiam.
Sementara itu, belum lagi jurus pertama dilancarkan rampung Lam-siau sudah menarik kembali serangannya di tengah jalan terus dirubah Sin-liong-jip-cui (Naga Sakti Masuk Air) tubuhnya mencelat terbang tinggi, seruling pualam terbang menukik dari atas ke bawah, berbareng mengancam jalan darah Hoa-kay-hiat di batok kepala kedua musuhnya.
Mendapat kesempatan ini Pak-kiam segera melejit ke tengah udara menyamber pedang panjangnya yang meluncur turun, di tengah udara jumpalitan sekali sembari lancarkan Hian-thian-hui-kiam yang hebat merangsak ke arah Siang-eng berdua.
Namun Yan-bun-siang-eng keburu sudah kembangkan Yan-hap-to-hoat yang hebat, golok mereka berputar memetakan sinar gemerdep yang bundar dan melingkar-lingkar mengaburkan pandangan mata. Meski Pak-kiam dan Lam-siau lancarkan serangan gencar yang hebat tapi kekuatan daya Putar dari pusaran golok lawan adalah begitu hebat dan lebat sekali sehingga setiap jurus serangan mereka selalu kena tertuntun atau dipunahkan begitu gampang oleh tenaga hisap yang kuat itu, begitulah meski mereka berdi atas angin untuk waktu dekat tak mungkin mereka dapat mengalahkan Yan-bun-siang-eng dengan mudah.
Melihat keadaan yang saling bertahan dan sama kuat ini, Thi-kiam Lojin tahu paling tidak mereka harus bertempur sebanyak tiga ratusan jurus baru Yan-bun-siang-eng dapat dikalahkan. Maka menggunakan kesempatan ini segera ia mulai bergerak setelah memberi isyarat kedipan mata kepada Im-hong-ciang dan Hwi-lam-it-to serentak mereka menubruk ke arah Hun Thian-hi.
“Sreng!” lekas-lekas Siau-siang-cu To Bwe melolos pedang terus menghadang di depan Hun Thian-hi. Terpaksa Thi-kiam Lojin juga melolos pedang, bersama Im-hong-ciang Lim Bing dan Hwi-lam-it-lo Siang Bing mengepung Hun Thian-hi berdua dari tiga jurusan.
Sudah tentu Lam-siau menjadi gelisah, cepat-cepat berteriak, “Thian-hi, lekas kau jalan dulu!”
Im-hong-ciang Lim Bing menyeringai dingin, ejeknya, “Mau lari? Tidak begitu gampang!” Gesit sekali ia merintangi jalan mundur Hun Thian-hi.
Mau tak mau Hun Thian-hi harus berpikir cermat, seandainya ia betul-betul bisa merat itulah baik sekali, namun paling tidak masih ada dua musuh yang bakal mengejar dirinya, maka kepungan kepada gurunya berdua dengan sendirinya bakal kocar-kacir. Tapi tiga orang yang dihadapinya sekarang rata-rata adalah tokoh-tokoh silat kosen kelas satu dari Bu-lim, seumpama Im-hong-ciang Lim Bing yang paling lemah pun jauh lebih unggul dari kemampuan sendiri. Karena pikiran ini akhirnya ia harus mengambil keputusan tegas, tangkas sekali kakinya bergerak menyelinap maju seraya kirim genjotan berantai yang deras merangsak ke arah Thi-kiam Lojin.
Melihat Hun Thian-hi menyerang dirinya dengan bertangan kosong terang tidak memandang sebelah mata kepada dirinya Thi-kiam Lojin menjadi murka, seking gusar ia tertawa gelak-gelak malah, pedang panjang bergetar melintas tahu-tahu sudah menukik balik menusuk ke belakang memapak serangan Thian-hi, pikirnya dengan serangan balasan ini ia hendak menabas buntung sebelah tangan Thian-hi.
Begitulah disaat Hun Thian-hi menggenjot dengan kerasnya, pedang Thi-kiam Lojin pun sudah menabas datang.
Keruan Siau-siang-cu To Bwe menjerit kaget. Sangkanya serangan balasan pedang Thi-kiam Lojin ini hanya bertujuan mendesak mundur Thian-hi adalah di luar dugaannya bahwa Thian-hi menyerang dengan bertangan kosong, terang sebelah tangannya itu bakal cacat tanpa ampun lagi.
Tingkat kepandaian dan kedudukan Siau-siang-cu To Bwe sangat tinggi dan hebat, mana mungkin ia mandah saja melihat seorang angkatan muda begitu saja dikutungi sebelah tangannya di depan matanya, sungguh dia tidak berani membayangkan sebelumnya kalau hal ini bisa terjadi. Akan tetapi kejadian selanjutnya justru membuat ia melongo dan heran bukan buatan.
Disaat pedang Thi-kiam Lojin hampir saja menyentuh tangan Hun Thian-hi, bukan saja Hun Thian-hi tidak berusaha melindungi atau menghindari tebasan pedang musuh, kelihatan malah disorongkan ke depan, berbareng tampak selarik sinar hijau berkelebat membawa hawa dingin kontan pedang panjang Thi-kiam Lojin kutung menjadi dua potong. Seketika Thi-kiam Lojin berdiri kesima. Siau-siang-cu sendiri pun terlongo heran dan kegirangan. Begitulah sembari menggembol Badik Buntung, Hun Thian-hi berkelebat lewat di samping tubuh Thi-kiam Lojin terus meloncat naik ke punggung kudanya.
Terdengar Im-hong-ciang Lim Bing menggertak keras terus mengejar dengan kencang. Tapi keburu Hun Thian-hi sudah menjepit perut kudanya dan membedalnya cepat-cepat ke samping sana.
Siau-siang-cu menggertak keras sembari melintangkan pedang merintangi mereka bertiga. Thi-kiam Lojin menggerung keras menerjang lewat, sedang Hwi-lam-it-lo mengayun tongkat bambunya menempur Siau-siang-cu. Maka Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing berkesempatan mengejar terus ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi larikan kudanya kencang-kencang, Thi-kiam Lojin berdua mengejar dengan cepat. Sekejap saja lima li telah dilampaui jarak Thi-kiam Lojin berdua semakin jauh, mereka ketinggalan satu li di belakang, tahu mereka kalau mengejar terus pun takkan dapat menyusulnya, terpaksa mereka putar balik dengan uring-uringan.
Sementara itu Hun Thian-hi masih larikan kudanya sekian lamanya, waktu ia berpaling Thi-kiam Lojin berdua sudah tidak kelihatan lagi, baru sekarang ia sempat menghela napas lega. Diam-diam ia bersyukur dalam hati di tengah jalan ini ia bersua dengan gurunya yaitu Lam-siau sehingga kesulitan dirinya dapat diatasi, terutama bantuan Pak-kiam suami istri sungguh besar artinya, kalau tidak sukar dikatakan bagaimana akibatnya tadi.
Thian-hi mendongak melihat cuaca, dilihatnya hari sudah hampir gelap, namun dirinya masih di tengah perjalanan jauh dari kota atau dusun, sekelilingnya tanah tandus dan hutan lekat yang memagari gurun berpasir menguning melulu. Tak tahu Thian-hi kemana ia harus menuju. terpaksa ia biarkan saja kuda hitamnya berjalan kemana dia suka….
Badik Buntung
0 comments:
Post a Comment