Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
9. Angin, Rembulan, Bayangan Manusia
Kini suasana di atas perahu pesiar itu sudah pulih dalam ketenangan. Dari lima orang dayang yang ikut dalam perjalanan ini, empat di antaranya berhasil lolos dari maut, namun mereka sudah telanjur dibuat ketakutan setengah mati.
Dari delapan orang pengawal yang ikut di atas perahu itu, enam orang di antaranya tewas karena terkena obat pembius dalam kadar yang banyak, sisanya dua orang harus diguyur air dingin berulang kali sebelum akhirnya tersadar kembali.
Di antara mereka, hanya gadis cantik bak bidadari itu yang tetap bersikap tenang, ia perintahkan para pembantunya untuk menolong rekannya, memasang lentera dan membersihkan ruangan, kemudian setelah berterima kasih kepada Pek Jau-hui, ia masuk ke ruang dalam untuk bertukar pakaian.
Ketika muncul kembali, ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna kuning jeruk, ia mempersilakan Pek Jau-hui bertiga mengambil tempat duduk, kemudian memerintahkan orang untuk menyiapkan meja perjamuan.
Baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik, diam-diam amat mengagumi sikap tenang gadis itu, mereka tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan, tidak semua orang bisa bersikap begitu tenang dalam menghadapi kejadian seperti ini, terkecuali ia berasal dari satu keluarga kenamaan.
Setelah menanyakan nama ketiga orang penolongnya, gadis itu baru berkata, "Malam ini seandainya tidak ada kalian bertiga, entah bagaimana nasibku sekarang, budi kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya."
Walaupun perkataan itu ditujukan pada ketiga orang, namun sewaktu berbicara dia melirik terus ke arah Pek Jau-hui, membuat pemuda itu merasakan jantungnya berdebar.
Sambil tertawa Ong Siau-sik menjawab, "Sebetulnya budi ini bukan milik kami, aku dan Un-lihiap hanya secara kebetulan tiba di sini, coba kalau tak ada saudara Pek, mungkin ...."
"Ketujuh orang itu memang kelompok penyamun berhati keji," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela, "mereka sudah terbiasa merampok, memperkosa dan membunuh, selama ini berlindung di bawah panji Mi-thian-jit dan menyebut diri sebagai Jit-sat, Tujuh Malaikat Bengis. Tampaknya sebelum turun tangan terhadap perahu ini, mereka telah menyusun rencana yang matang, boleh aku tahu apa sebabnya mereka mengincar kalian?"
Gadis cantik itu tersenyum.
"Biarpun mereka menyebut diri sebagai Tujuh Malaikat Bengis, kenyataannya di tangan Inkong (tuan penolong) mereka tak lebih hanya sebangsa tikus."
Pek Jau-hui ikut tertawa.
"Sewaktu bersembunyi di luar jendela tadi, aku sempat mencuri dengar pembicaraan mereka," katanya, "aku rasa kehadiran mereka ada hubungannya dengan kelompok Mi-thian-jit serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Setahuku kelompok Mi-thian-jit (Pembius Tujuh Langit) adalah organisasi misterius yang didirikan di kota Kay-hong, kantor cabang dan pengaruh mereka sudah menyebar ke antero propinsi, memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap enteng, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah perkumpulan nomor satu di kolong langit. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin dua organisasi besar itu bisa berhubungan dengan Tujuh Malaikat Bengis?"
"Aku tidak seberapa tahu tentang masalah dunia persilatan, kenapa tidak kau tanyakan sendiri kepada Ci Thian-jiu?" kata nona itu sambil tertawa.
"Siapa itu Ci Thian-jiu?" tanya Ong Siau-sik.
"Ci Thian-jiu adalah pemimpin kawanan penyamun ini," Pek Jau-hui menerangkan, "walaupun aku tahu mereka disebut Tujuh Malaikat Bengis, namun nama mereka tak ada yang kukenal."
"Aku juga tidak tahu," sambung Ong Siau-sik dengan mata berbinar.
Un Ji tidak paham apa maksud pembicaraan kedua orang lelaki itu, segera serunya, "Aku pernah mendengar tentang hal ini."
"Oya?"
"Betul, Ci Thian-jiu adalah salah satu di antara Tujuh Malaikat Bengis."
"Selain itu?"
"Dia ... dia seorang lelaki," agak gugup Un Ji menerangkan.
"Terus?"
"Dia adalah seorang telur busuk yang sudah banyak melakukan kejahatan."
"Kejahatan apa saja yang telah dia lakukan?"
Gadis cantik itu tersenyum, setelah mengerling pada Pek Jau-hui sekejap, ia memandang ke arah Un Ji dan katanya, "Seorang gadis suci dari perguruan lurus, mana bisa mengingat semua perbuatan bejat yang pernah dilakukan manusia macam Ci Thian-jiu? Hanya kaum jalanan yang memperhatikan perbuatan busuknya. Un-lihiap, ketidaktahuanmu dalam hal ini malah menunjukkan bahwa kau memang selalu berjalan lurus."
"Nah, itulah dia," tanpa pikir panjang Un Ji berseru, kemudian katanya lagi pada gadis cantik itu sambil tertawa, "Ciri, pengetahuanmu sungguh luas, boleh tahu siapa namamu?"
"Aku bermarga Thian, bernama Tun."
"Oooh, rupanya cici Thian Tun!"
Memandang rambutnya yang hitam berkilauan di bawah cahaya lentera, kembali Un Ji berseru, "Cici, rambutmu sangat indah!"
"Senyuman adik pun segar bagai sekuntum bunga."
"Menurut kau, bunga apa yang paling cocok untukku?" suara tawa Un Ji semakin melengking. "Aku rasa mirip sekali dengan bunga anggrek."
"Apakah kau menganggap suara ter kelewat keras?" kembali Un Ji cekikikan.
"Ah, tidak," Thian Tun menggeleng, "aku rasa semua bunga indah sewaktu mekar, bentuknya pasti mirip dirimu."
Un Ji makin kegirangan, kembali serunya, "Betul, betul sekali, dulu di halaman rumahku juga tumbuh banyak jenis bunga, ada ...."
"He, bunga anggrek bulan, sudah selesai belum kau ribut?" mendadak Pek Jau-hui menyela.
Dengan perasaan mendongkol Un Ji mengerling sekejap ke arah pemuda itu, ia merasa kegembiraannya sangat terganggu dengan teguran itu.
Tapi Pek Jau-hui sama sekali tidak menggubrisnya, kepada Thian Tun katanya, "Nona Thian, apa boleh kupinjam sebentar tempatmu ini untuk menginterogasi orang itu, jika kau merasa tak tega, biar aku gelandang dia ke perahuku."
"Tidak apa apa."
Pek Jau-hui pun membanting tubuh Ci Thian-jiu ke atas tanah, belum sempat ia berbicara, Un Ji dengan mata melotot sudah berseru duluan, "Jadi dia adalah ketua dari Tujuh Malaikat Bengis, Ci Thian-jiu?"
"Hmmm, dia memang Ci Thian-jiu yang sudah banyak melakukan kejahatan, tapi sayang, saat ini sudah menjadi Ci Thian-jiu yang mampus," sahut Pek Jau-hui dengan wajah membesi, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "Sejahat dan sebuas apa pun, jika sudah mampus maka tak nanti ia mampu mencelakai orang lain lagi."
"Jadi kau tidak akan membunuhnya?" tanya Ong Siau-sik.
"Tidak."
"Kau totok jalan darahnya?"
"Itulah sebabnya dia tak mampu membunuh diri."
Ong Siau-sik berjongkok sambil memeriksa kelopak mata si orang mati, kemudian memeriksa juga mulutnya, setelah diamati sesaat, ujarnya, "Dia mati karena keracunan."
"Mungkin sudah ia selipkan obat racun di antara sela-sela giginya," sambung Pek Jau-hui.
"Bisa jadi Ci Thian-jiu tak ingin rahasianya terbongkar," kata Thian Tun pula, "maka begitu tertangkap oleh Pek-tayhiap, ia terpaksa menelan racun untuk menghabisi nyawa sendiri."
"Ya, rasanya jalan ini memang merupakan jalan terakhir baginya" sahut Pek Jau-hui sambil mengangkat bahu.
Dengan tewasnya Ci Thian-jiu, berarti sumber berita pun terputus di tengah jalan, dalam keadaan begini Pek Jau-hui hanya bisa termenung sambil membayangkan kembali semua kejadian itu.
Tio Thiat-leng pernah bilang, masih ada satu pekerjaan besar lainnya yang mesti diselesaikan, mungkinkah pekerjaan besar yang dimaksud adalah peristiwa ini? Apa hubungannya dengan Thian Tun, si gadis cantik ini? Tio Thiat-leng sudah kabur dengan membawa luka, kenapa Mi-thian-jit kembali mengirim anak buahnya untuk mencegat Thian Tun? Apa yang dia mau dan apa tujuannya?
Dari pembicaraan yang kemudian berlangsung, diketahui bahwa Thian Tun sesungguhnya adalah putri seorang pejabat tinggi di kotaraja, waktu itu mereka dalam perjalanan pulang setelah pergi menengok famili.
Baik Ong Siau-sik maupun Un Ji tahu, saat itu sedang berangsung perebutan pengaruh antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, untuk memperluas pengaruh dan daerah kekuasaan, kedua belah pihak sama-sama tak segan bersekongkol dengan para pejabat tinggi.
Tampaknya peristiwa yang menimpa Thian Tun kali ini, kejadian itu tak terlepas dari perebutan pengaruh yang sedang berlangsung, malah kekuatan nomor tiga, perkumpulan Mi-thian-jit pun ada minat turut serta dalam pertikaian ini.
Jelas kota Kay-hong akan semakin bertambah semarak!
Mereka berempat berbincang-bincang hingga kentongan kedua, karena merasa cocok satu dengan lainnya, kebetulan Thian Tun yang sudah kehilangan banyak pengikut pun hendak balik ke kotaraja, maka mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama.
Tampaknya Thian Tun amat menyukai Un Ji, segera katanya sambil tertawa, "Bagus sekali, dengan dilindungi adikku, Cici tak usah kuatir keselamatan lagi sepanjang perjalanan."
Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, lalu katanya lagi, "Aku hanya merasa kurang enak karena harus merepotkan kalian berdua."
"Tak usah sungkan," tukas Ong Siau-sik tersenyum, "kami malah merasa gembira karena punya teman dalam perjalanan."
Sampai di sini dia pun berpaling ke arah Pek Jau-hui, ternyata rekannya sudah berdiri di ujung geladak sambil memandang rembulan.
Rembulan bersinar terang menyinari permukaan sungai.
Riak ombak saling kejar bagaikan gulungan perak.
Ketika menjelang fajar, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berpamitan untuk kembali ke perahu sendiri dan beristirahat, sementara Un Ji tetap tinggal di perahu itu dan terpulas dengan nyenyak.
Di tengah keheningan yang mulai mencekam seluruh jagat itulah Thian Tun dengan gerak-gerik yang amat lambat dan berhati-hati turun dari pembaringan, berjalan menuju ke depan cermin dan memperhatikan sekejap raut wajah sendiri yang cantik bak siluman rase.
Tiada senyuman yang menghiasi raut muka cantiknya, ia nampak serius bahkan sedikit tegang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan sebuah jepitan rambut berwarna hitam dari gulungan rambut Ci Thian-jiu.
Kemudian dengan jari tangannya yang lentik pelan-pelan dia lepaskan penjepit rambut itu.
Satu sisi dari penjepit rambut itu terbuat dari baja, ujungnya kelihatan runcing dan tajam.
Ketika tertimpa cahaya lentera, ujung jarum itu membiaskan cahaya biru yang menyilaukan mata, cahaya semu biru dikelilingi tujuh warna lain yang agak samar.
Dari balik sanggulnya, kembali ia melepaskan sebuah tusuk konde, ujung tusuk konde dibukanya dengan hati-hati, lalu jarum berwarna biru yang barusan dijepit keluar dari balik kepala Ci Thian-jiu itu dimasukkan ke balik tusuk konde itu.
Sesudah tusuk konde itu diselipkan kembali di balik sanggulnya, ia baru mengulum senyum di ujung bibirnya.
Dia yakin perbuatannya itu, kecuali seluruh rambut di kepala Ci Thian-jiu dicukur hingga gundul, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan seksama, kalau tidak, tak mungkin orang bisa menemukan lubang lembut di kepala itu.
Selesai dengan pekerjaannya, pelan-pelan ia berjalan keluar dari ruang perahu.
Fajar belum lagi menyingsing, suasana di sekeliling sungai itu amat hening dan sepi, hanya cahaya rembulan yang menyaksikan seluruh perbuatannya.
Seluruh perbuatannya, seluruh tingkah lakunya.
Termasuk juga pakaiannya, wajahnya, hatinya.
ooOOoo
Mereka berada di satu perahu, melakukan perjalanan bersama-sama, makan, minum, tertawa dan bergurau bersama, berkumpul jadi satu membicarakan persoalan dunia persilatan, berkumpul membahas situasi dunia persilatan.
Sikap Pek Jau-hui sudah tidak seangkuh dulu, seperti apa yang pernah dia katakan, "Bila seseorang kelewat banyak tertawa, dia sudah tak mampu angkuh dan jumawa", mungkin saja hal ini disebabkan selama beberapa hari terakhir dia kelewat banyak tertawa.
Thian Tun pun bersikap sangat lembut dan halus, terkadang ia bersikap seperti pendekar wanita, ia pandai minum, Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik tak ada yang mampu mengungguli dirinya, dia pun pandai bermain dadu, begitu asyik bermain, kemahirannya setara dengan tauke pemilik sarang judi.
Tapi sebagian waktu dia hanya duduk di samping, mengawasi semua orang dengan sepasang matanya yang bening, atau tersenyum dengan tertawanya yang manis.
Ada kalanya dia pun menertawakan Un Ji, kepolosan dan kenakalan gadis itu membuatnya merasa geli bercampur senang.
Bagaimana dengan Ong Siau-sik? Dia hanya mengikuti semua itu dengan mulut bungkam.
Dia memang bergabung dengan perasaan tulus, berhubungan dengan perasaan penuh persahabatan, tapi dia pun merasa bahwa perjalanan yang mereka tempuh bersama-sama ini telah meninggalkan kenangan yang mendalam.
Malam itu, di tengah pancaran sinar rembulan yang terang dan alunan ombak yang tenang, sambil tertawa Un Ji bertanya, "Setibanya di ibukota, kalian mau apa?"
Tak ada yang menjawab.
"Kau duluan!" ucap Un Ji kemudian sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik.
"Aku akan mengadu nasib," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Kalau aku ingin berjuang agar bisa membangun satu usaha," sambung Pek Jau-hui sambil mendongakkan kepala memandang rembulan.
"Apakah sebagai seorang lelaki, dia harus memiliki nama dan jabatan?" tanya Thian Tun tiba-tiba, nadanya agak sendu.
"Sebagai seorang lelaki, bila tak mampu berjasa, tak mampu membangun usaha dan tak mampu punya nama, apakah artinya hidup di dunia ini?" sahut Pek Jau-hui.
Perlahan Thian Tun mendongakkan kepala sambil memandang kejauhan, katanya lagi, "Bukankah lebih enak hidup gembira, hidup aman sentosa?"
"Itu sih pemikiran orang yang tak punya ambisi, aku bukan jenis manusia begini. Ketenangan merupakan penderitaan, hidup sebagai nelayan, petani, tukang kayu, sastrawan merupakan pekerjaan yang membosankan!"
"Aku pun hanya ingin mencoba," kata Ong Siau-sik pula, "belum tentu perjalananku kali ini akan menghasilkan nama atau kedudukan, aku tak peduli, tapi aku tak boleh tidak harus mencoba, melepaskan kesempatan merupakan orang bodoh, perbuatan yang akan disesali di kemudian hari. Dan bagaimana dengan kau? Mau apa kau datang ke kotaraja?"
"Aku?" Thian Tun tersenyum lirih, "aku bukan pergi ke kotaraja, aku dalam perjalanan pulang ke rumahku."
Kemudian setelah mengerdipkan matanya yang jeli, dia menambahkan, "Pulang ke rumah merupakan keinginanku yang paling utama, bagaimana dengan kau, adikku?"
Un Ji berpikir sejenak, mendadak ia jengah sendiri, pipinya berubah jadi merah dadu.
"Kenapa? Mencari jodoh?" goda Thian Tun sambil tertawa.
"Ah, kau, justru kau yang ingin kawin sampai-sampai rada sinting."
"Masa selama hidup kau tak akan kawin?"
"Aku ingin menjumpai Suhengku terlebih dulu."
Terbayang Un Ji memiliki seorang Suheng yang amat tersohor di antero jagad, So Bong-seng, Ong Siau-sik seketika merasa tengkuknya agak gatal, begitu juga dengan Pek Jau-hui. Maka ujarnya kemudian, "Nona Thian, hari ini pemandangan alam sangat indah, suasana pun nyaman, bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu dengan alat khim?"
"Darimana kau tahu kalau aku bisa memetik khim?" tanya Thian Tun seraya berpaling.
"Dengan jari jemarimu yang begitu indah, aneh jika tak pandai memainkan khim."
"Siapa yang bilang? Kesepuluh jari tanganku ini justru paling pandai membunuh orang!" seraya berkata pelan-pelan ia bangkit berdiri dan mengambil sebuah khim yang kelihatan agak hangus karena bekas terbakar dari atas sebuah rak.
"Khim yang bagus!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa.
Thian Tun tersenyum manis, jari jemarinya segera menari di atas senar dan melantunkan sebuah lagu yang merdu merayu.
"Ilmu jari yang hebat!" puji Pek Jau-hui cepat.
Ong Siau-sik ikut bangkit kegembiraannya, segera ia mencabut keluar serulingnya dan mengimbangi permainan khim itu, melantunkan irama lagu yang indah.
Pek Jau-hui pun tak kuasa menahan diri, ia bangkit berdiri dan mulai menari.
Begitulah, di tengah sungai, di bawah cahaya rembulan, di tengah hembusan angin, di dalam perahu, seruling, khim dan tarian menghiasi sekeliling tempat itu.
"Sayang, aku tak pandai menari maupun memainkan alat musik," keluh Un Ji penuh rasa sesal, "apa pun aku tak mampu, Cici, kau memang hebat!"
"Kau toh bisa menyanyi," hibur Thian Tun.
"Suaraku jelek, aku tak bisa menyanyi," sahut Un Ji dengan wajah memerah, "tatkala masih di rumah dulu, aku pernah menyanyi, baru kulantunkan dua bait, ayam dan burung tetangga pada jatuh sakit selama dua hari. Untung aku tidak ikut menyanyi saat ini, kalau tidak, mungkin pemain khim, pemain seruling dan penarinya sudah menceburkan diri ke dalam sungai lantaran pada mabuk."
Ucapan itu kontan disambut gelak tertawa semua orang. Angin, rembulan, irama lagu dan tarian yang berlangsung malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan, meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang.
Keesokan harinya, ketika Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik balik lagi ke perahu besar itu, mereka jumpai Thian Tun beserta para dayang dan barang bawaannya telah lenyap, yang tersisa hanyalah Un Ji yang masih terlelap tidur. Thian Tun telah pergi entah kemana.
Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, sepucuk surat dengan bekas noda air mata.
ooOOoo
Bersambung ke bagian 10
Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09
0 comments:
Post a Comment