Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
11. Manusia di Tengah Puing
Memandang air hujan yang turun dengan derasnya, tanpa terasa Pek Jau-hui bergumam, "Hujan kali ini sungguh deras."
"Benar, hujan memang amat deras," sahut Ong Siau-sik.
Kongcu berpenyakitan yang berdiri di samping mereka tiba-tiba mendongakkan kepala, memandang hujan di luar puing bangunan, lalu katanya pula, "Benar-benar hujan yang amat deras!"
Mereka bertiga sama-sama membicarakan soal hujan, tanpa terasa sorot mata pun dialihkan ke depan sana.
Di luar puing bangunan hanya suara hujan yang memekakkan telinga, seorang nenek berbaju compang-camping, berambut putih, sedang berjongkok di sudut dinding sambil mengais barang rongsok yang bertumpuk di situ.
Seekor semut tampak sedang merangkak di atas dinding bobrok, beberapa kali berusaha merangkak naik, namun selalu tertahan hembusan angin kencang dari luar, lelaki tinggi besar yang kebetulan berdiri di sisinya menjadi tak sabar, dia menggerakkan jari tangannya, siap menginjak mati semut itu.
"Te Hoa!" mendadak Kongcu penyakitan itu menegur, "sekalipun kau tak sabar melihatnya, tidak perlu mesti membunuhnya, dia toh tidak mengganggumu, tidak menutupi jalanmu, kenapa kau mesti berniat membunuhnya? Kenapa tidak membiarkan dia mencari hidup di dunia ini?"
"Baik, Kongcu," sahut orang tinggi besar itu sambil meluruskan tangannya ke bawah dengan kepala tertunduk.
Biarpun usia Kongcu ini belum terlalu tua, namun sikapnya seakan orang dewasa sedang menegur seorang anak kecil, kembali ujarnya, "Apakah kau kuatir Hoa Bu-ciok gagal menemukan barang antik itu?"
"Benar, aku kuatir terjadi sesuatu dengan dirinya," jawab lelaki tinggi besar itu dengan perasaan tak tenang.
Kembali Kongcu penyakitan itu mengalihkan pandangan matanya ke arah hujan yang masih turun dengan deras, sekali lagi bara api memancar dari balik matanya.
"Selama ini Hoa Bu-ciok pintar dan cekatan, dia tak akan membuat aku kecewa," katanya.
Si nenek yang kurus kering dan sedang mengais rongsok di pojok ruangan itu nampak gemetaran keras, mungkin lantaran udara sangat dingin sementara mantel yang dikenakan tak cukup tebal, dia nampak sangat kedinginan.
"Wo Hu-cu!" tiba-tiba Kongcu itu berseru.
Salah satu di antara dua lelaki yang berdiri di teras depan, seorang lelaki berdandan pegawai keuangan segera menyahut, "Siap!"
"Nenek itu nampak kasihan sekali, beri sedekah kepadanya!"
Wo Hu-cu menyahut dan segera mengeluarkan dua tahil perak yang diserahkan ke tangan nenek itu.
Tampaknya selama hidup belum pernah nenek itu menerima derma sebesar itu, sesaat ia nampak terperangah.
Saat itulah terdengar lelaki yang masih ada di teras depan berseru lirih, "Kongcu!"
"Sudah datang?" sekilas perasaan girang melintas di wajah Kongcu penyakitan itu.
Lelaki itu berpaling, ternyata orang ini memiliki wajah yang aneh, separuh bagian berwarna hitam dan separuh yang lain berwarna putih, sahutnya pada Kongcu penyakitan, "Hoa Bu-ciok telah datang, di punggungnya menggendong seorang."
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terperanjat.
Ternyata lelaki itu bukan 'melihat' ada orang datang, melainkan mendengar ada orang mendekatinya dari belakang. Jika hal ini terjadi di waktu biasa, kejadian itu tak aneh, tapi waktu itu hujan sedang turun dengan amat derasnya, suara angin gemuruh keras sementara si pendatang bergerak dengan langkah ringan, bahkan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun tidak mendengar apa-apa, tapi nyatanya orang itu bisa mendengar dengan amat jelas.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Te Hoa ikut berpaling, kemudian serunya dengan nada girang, "Ah, ternyata yang digendong Hoa Bu-ciok adalah si barang antik, barang antik telah berhasil dia tawan!"
Mendapat laporan itu, Kongcu penyakitan itu tersenyum.
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui saling bertukar pandang sekejap, ternyata yang dia maksud Barang antik bukan barang antik beneran, melainkan seorang manusia.
Hoa Bu-ciok dengan membopong seseorang berlarian kencang menerobos air hujan menuju ke dalam puing bangunan, gerakan tubuhnya cepat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.
Begitu tiba di ruang dalam, ia segera berlutut di hadapan Kongcu penyakitan itu sambil melapor, "Hamba Hoa Bu-ciok memberi salam pada Locu!"
"Sudah berulang kali kukatakan, sembah hormat macam ini tak perlu dilaksanakan, bila kau memang benar-benar menghormati aku, turuti permintaanku ini. Di dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, semua anggota adalah sederajat, apalagi berada di tempat musuh yang begini gawat! Masa kau lupa pada pesanku ini?" tegur Kongcu penyakitan dengan hambar.
"Baik, Kongcu!"
Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik semakin terkesiap dibuatnya.
Ternyata Kongcu penyakitan yang terbatuk tiada hentinya dan berbadan kurus kering macam tengkorak ini tak lain adalah ketua dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.
So Bong-seng!
Terlebih mereka tak menyangka kalau di tengah puing bangunan yang begini berantakan, di tengah hujan yang begitu deras, mereka dapat berjumpa dengan tokoh sakti yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan.
"Bagaimana dengan tugasmu?" terdengar So Bong-seng bertanya lagi.
"Hamba telah menggelandang si barang antik datang kemari."
"Bagus, sadarkan dia!"
Hoa Bu-ciok segera menggerakkan tangannya menepuk bebas beberapa totokan di punggung orang itu, kemudian menempeleng wajahnya empat lima kali, sementara Te Hoa mengguyurkan segayung air hujan yang dingin ke wajahnya.
Tak selang berapa lama, orang itu tersadar kembali dari pingsannya.
So Bong-seng tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi orang itu dengan pandangan dingin.
Ketika orang itu membuka matanya dan melihat So Bong-seng sedang berdiri di hadapannya, ia nampak terkesiap, saking kagetnya sampai berseru tertahan, "So ... So-kongcu!"
"Barang antik!" kata So Bong-seng sambil menatap tajam wajahnya, "kau memang bernyali, sayang tidak setia kawan."
Barang antik menggelengkan kepala berulang kali, sahutnya sambil tertawa getir, "Kongcu, selama ini Kongcu mengetahui segala sesuatu tentang hamba, di antara enam orang kepercayaan Kongcu, nyaliku terhitung paling payah!"
"Kau paling payah?" sekilas cahaya aneh memancar dari balik mata So Bong-seng, seakan bara api di tengah gumpalan salju, "Kau hebat, kau paling bernyali, lihatlah, hingga sekarang pun kau tidak nampak jeri atau takut menghadapiku, tampaknya selama ini aku telah salah menilaimu."
"Kongcu harap maklum, Kongcu harap maklum ..."
Mendengar sampai di situ, Ong Siau-sik segera berbisik kepada Pek Jau-hui, "Tampaknya mereka sedang menyelesaikan urusan dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, ada baiknya kita menyingkir saja."
"Tapi hujan masih turun sangat deras di luar sana," kata Pek Jau-hui dingin.
Ong Siau-sik masih kelihatan agak sangsi.
Kembali Pek Jau-hui berkata, "Seluruh kota Kay-hong toh bukan daerah kekuasaan mereka."
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Apalagi tempat yang kita pijak saat ini tidak seberapa besar."
Perkataan itu seketika menyadarkan Ong Siau-sik akan saru hal, ia berbisik pula, "Benar, selama ini wilayah Ku-sui-poh merupakan daerah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kedatangan So-kongcu untuk menangkap orang di tempat ini boleh dibilang sudah merupakan satu pelanggaran daerah."
Pek Jau-hui manggut-manggut.
"Kalau sampai Locu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau datang sendiri kemari, jelas persoalan ini bukan urusan kecil."
Terdengar So Bong-seng kembali berkata dengan suara dalam, "Sekarang, Wo Hu-cu, Su Bu-kui, Te Hoa, Hoa Bu-ciok dan kau sudah datang, tinggal Yo Bu-shia yang belum hadir, coba katakan, perlakuanku yang mana terhadap kau yang dianggap kurang baik? Mengapa kau begitu tega menjual enam kantor cabang berikut keempat ratusan anggotanya termasuk tulang belulang mereka kepada perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
Si Barang antik menundukkan kepala, tak sanggup menjawab.
"Ayo, katakan!" hardik So Bong-seng lagi.
Te Hoa yang berada di sampingnya ikut berseru sambil tertawa dingin, "Kau tak mengira bakal kami tangkap bukan! Hmmm, jangan dianggap setelah bersembunyi di wilayah Ku-sui-poh lantas kau bisa menikmati kehidupan yang mewah dan sentosa. Kau telah membuat beribu orang anggota Kim-hong-si-yu-lau jadi yatim piatu, biar bersembunyi di ujung langit pun kami tetap akan menyeretmu keluar!"
"Andaikata bukan berkat jasa Hoa Bu-ciok, kami pun belum tahu kalau sejak setengah bulan lalu perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah memindahkan kekuatannya ke wilayah seputar Po-pan-bun," kata So Bong-seng lagi, "kedatangan kami kali ini memang sengaja membawa serta saudara senasib sependeritaanmu, kami hanya ingin bertanya satu hal saja kepadamu, mengapa kau berbuat begitu?"
Perkataannya yang terakhir ini diucapkan dengan suara keras bagai guntur.
Sekujur badan si Barang antik bergetar keras, bibirnya kelihatan gemetar namun tak sepatah kata pun yang diucapkan.
Dalam pada itu, lelaki berwajah hitam putih itu masih tetap berjaga di depan teras rumah, Wo Hu-cu pun tetap berdiri di depan si nenek itu, tampaknya mereka telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengawasi gerak-gerik Ong Siau-sik dan Pekjau-hui.
"Ayo, jawab!" terdengar Te Hoa kembali menghardik, "jawab, apakah kau tidak malu terhadap Kongcu, tidak malu terhadap kami semua?"
Mendadak si Barang antik mendongakkan kepalanya, lalu balik bertanya, "Kau benar-benar menyuruh aku menjawab?"
"Hmmm, akan kulihat perkataan apa yang bisa kau ucapkan!" Te Hoa mulai tertawa seram, tertawa penuh kegusaran.
"Baik, akan kukatakan," setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya, "Kesalahan kalian justru terletak pada kasus ini."
Begitu selesai dia mengucapkan perkataan itu, terjadilah perubahan yang luar biasa di tengah arena kejadian, perubahan yang di luar dugaan siapa pun.
Sedemikian hebat terjadinya perubahan itu sehingga Pek Jau-hui serta Ong Siau-sik yang berada di sisi arena pun ikut terkesiap dibuatnya.
Tiba-tiba tubuh si Barang antik melejit ke tengah udara.
Padahal tadi ia terkapar dalam keadaan lemas, paling tidak ada empat-lima buah jalan darah penting di tubuhnya masih tertotok, namun loncatannya kali ini luar biasa, tampaknya sudah dipersiapkan sejak tadi.
Sambil melejit ke udara, tangannya diayunkan berulang kali, melolos sebilah golok baja.
Tampak sekilas cahaya hijau berkelebat, tahu-tahu golok itu sudah dihujamkan ke lambung Te Hoa. Menghujam dari bawah menuju ke atas.
Mimik muka Te Hoa nampak mengenaskan, mimik muka seorang yang menahan rasa sakit, rasa sakit yang luar biasa hebatnya karena jantung dan paru-parunya hancur tersayat.
Pada saat bersamaan, ketika So Bong-seng siap melancarkan serangan, Hoa Bu-ciok sudah turun tangan terlebih dulu.
Begitu kepalanya ditundukkan ke depan, dari belakang punggungnya paling tidak muncul dua puluh lima jenis senjata rahasia yang serentak menyergap ke tubuh So Bong-seng.
Setiap ujung senjata rahasia itu terbias warna biru yang menggidikkan, jelas semuanya telah dibubuhi dengan racun jahat bahkan dilepaskan dari sebuah alat pelontar dengan alat pegas yang kuat, cepat, tepat, ganas, pada hakikatnya sulit untuk dihindari, susah dihadapi.
Waktu itu konsentrasi So Bong-seng sudah terpecah karena serangan bokongan dari si Barang antik, selain itu dia pun sedang berusaha menyelamatkan jiwa Te Hoa, orang kepercayaannya dari serangan maut Hoa Bu-ciok.
Dalam keadaan begini So Bong-seng segera membentak keras, jubah panjangnya dikebaskan berulang kali, dalam waktu sekejap dia melakukan gulungan, puntiran, kebasan dan kebutan di sekeliling tubuhnya, dalam waktu sekejap seluruh senjata rahasia yang menyelimuti angkasa itu sudah lenyap tak berbekas.
Namun sayang, masih ada sebatang, sebuah jarum sebesar kacang kedelai yang menghajar kakinya.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, buru-buru Wo Hu-cu menggerakkan tubuhnya, siap menerjang ke depan So Bong-seng untuk memberi bantuan.
Belum sempat ia bertindak, tiba-tiba si nenek yang sedang mengais barang rongsok itu telah mengayunkan tangannya, selimut dekil yang berada dalam genggamannya langsung menyapu wajah Wo Hu-cu.
Selapis angin berbau amis menyebar ke udara dan menyambar ke arah wajahnya.
Wo Hu-cu terkesiap, dia tahu bau amis itu merupakan ciri khas dari Bu-mia-thian-ih (Baju Langit Tak Bernyawa) milik To-cu-popo si Nenek Kacang Kedelai yang berasal dari bukit Ci-lian-san, bila terkena sambaran itu, niscaya sekujur badannya akan membusuk dan akhirnya mati, apalagi jika kepalanya sampai terkerudung?
Bu-mia-thian-ih dengan membawa deruan angin tajam langsung menyambar tiba dan mengurung sekeliling arena, Wo Hu-cu tak berani ayal, lekas dia melejit ke samping, berusaha menghindarkan diri.
Sekali melejit ia sudah melompat naik ke atas tiang penglari, kemudian melejit sekali lagi melambung di atas puing bangunan dan bergerak ke dalam, targetnya saat itu adalah berusaha menolong So-kongcu, sementara keselamatan sendiri merupakan urusan kedua.
Sungguh cepat gerakan tubuhnya, tapi ada tiga batang senjata rahasia yang bergerak jauh lebih cepat, jauh lebih ringan daripada gerakan tubuhnya.
Wo Hu-cu segera sadar akan datangnya bahaya, segera dia mengegos ke samping berusaha menghindarkan diri, sayang ketiga batang jarum lembut itu bergerak lebih cepat, belum sempat ia mengegos, ketiga batang senjata itu tanpa menimbulkan suara sudah menembus tulang punggungnya.
Menyusul melesatnya jarum beracun, dinding bangunan hancur berantakan dan terberai di atas permukaan tanah.
Si pembokong muncul dari balik reruntuhan dinding, ternyata dia adalah seorang Hwesio kepala gundul, di tangan kirinya dia membawa mangkuk, tasbih tergantung di leher, sementara tangan kanan digunakan untuk melepaskan jarum.
Rupanya semenjak tadi ia sudah bersembunyi di belakang dinding sambil menunggu kesempatan.
Entah sudah berapa lama orang ini bersembunyi di belakang dinding, tujuannya tak lain hanya ingin melepaskan ketiga batang jarum lembut yang lebih ringan dari angin, lebih cepat dari petir dan lebih bening daripada air hujan ini.
Kembali terjadi perubahan dalam arena pertarungan.
Tubuh Wo Hu-cu yang bergerak ke depan tiba-tiba menggeliat beberapa kali, gerakan ini tidak membuat gerak serangannya menjadi kendor ataupun melemah.
Tahu-tahu badannya sudah meluncur tiba di depan So Bong-seng dan membendung datangnya serangan Hoa Bu-ciok.
"Blaaaamm!", diiringi suara benturan nyaring, Hoa Bu-ciok memuntahkan darah segar, segera ia melompat mundur ke belakang.
Sambil membalikkan badan, sekali lagi Wo Hu-cu melancarkan satu bacokan, ketika si Barang antik harus menyambut serangan itu dengan kedua tangannya, lagi-lagi dia menjerit kesakitan, badannya mencelat sejauh beberapa tombak dan mulai memuntahkan darah segar.
Saat itulah si nenek sudah merangsek tiba, dalam keadaan begini lagi-lagi Wo Hu-cu membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan.
"Blaaam!", sekali lagi terjadi benturan keras, si nenek harus membendung datangnya ancaman, dengan sebuah tangkisan keras lawan keras ia terdorong mundur sejauh tujuh delapan langkah sebelum berhasil berdiri tegak.
Sebaliknya Wo Hu-cu sudah tak mampu menahan diri lagi, ia mendengus tertahan, tubuhnya goyah dan darah warna hitam mulai meleleh keluar dari ujung mata dan lubang hidungnya.
Melihat lawannya sudah terluka parah, si Nenek Kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik baru bisa menghembuskan napas lega, kembali mereka merangsek maju menghampiri Wo Hu-cu.
Mereka tahu saat ini adalah saat penentuan mati hidup mereka, tapi juga merupakan kesempatan terbaik untuk mengukir jasa dan menciptakan nama besar.
Siapa pun tak ingin melepaskan kesempatan emas ini, bahkan siapa pun tak dapat melepaskannya begitu saja.
Kini keadaan ibarat anak panah yang sudah dipentang di atas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga.
Bila serangan ini gagal mengenai sasaran, dapat dipastikan So Bong-seng pasti akan mencari mereka untuk membuat perhitungan!
Dalam pada itu So Bong-seng telah menyingkap jubah panjangnya sambil berjongkok, senjata rahasia sekecil kacang hijau itu sudah menghajar kaki kirinya secara telak, luka yang membuatnya tak leluasa untuk bergerak.
Tanpa pikir panjang lagi segera ia melolos sebilah golok, sebilah golok yang sangat indah, seindah bisikan lirih seorang gadis cantik, sangat menggetarkan perasaan, sangat membetot sukma.
Mata golok berwarna hijau bening dengan tubuh golok bergaris merah, bagaikan sebuah kaca kristal yang tembus pandang membungkus tulang berwarna merah, cahaya golok pun bening bagai selapis air berwarna merah.
Golok itu sangat pendek, lekukan golok ramping bagai pinggang seorang gadis, ketika golok itu bergerak, lamat-lamat membawa suara dentingan lirih bagai suara lonceng dari surga, bahkan terendus pula bau harum yang semerbak.
Golok itu merupakan sebilah golok yang membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat orang sukar untuk melupakannya sepanjang masa.
So Bong-seng mengayunkan golok ke tubuh sendiri, menyayat segumpal daging di sekeliling kaki kirinya yang terhajar senjata rahasia sebesar kacang hijau itu.
Ketika mengiris sepotong daging tubuh sendiri, dia seakan sedang memetik sebiji buah masak dari atas ranting pohon, begitu sederhana, begitu leluasa ....
Darah dengan cepat meleleh keluar dari lukanya, membasahi celananya dan tercecer ke atas lantai, namun ia tidak merintih, tidak mengaduh, mengernyitkan alis mata pun tidak.
Malah penyakit batuk yang dideritanya pun seakan turut hilang.
Selesai menyayat segumpal daging di atas kakinya, kembali ia tempelkan tangan kanannya ke punggung tubuh Wo Hu-cu.
Mendadak golok aneh yang berada dalam genggamannya itu mulai memancarkan sinar aneh, sinar berwarna merah darah.
Tangan kanannya bagaikan sedang memetik alat musik saja mengayun, menotok, menjojoh, menepuk, mendorong, mencengkeram, melumat dan meremas ke setiap sudut udara, sementara golok di tangan kirinya membendung datangnya serangan mematikan dari si Nenek Kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik.
Bukan hanya itu saja, malah dengan satu ayunan kilat dia tebas batok kepala si Barang antik!
Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri si Nenek Kedelai serta Hoa Bu-ciok menghadapi serangan balasan semacam ini, segera mereka melompat mundur.
Sekilas Hoa Bu-ciok sempat menyaksikan batok kepala si Barang antik terbang lepas dari tubuhnya, dia malah sempat menyaksikan sepasang biji matanya yang melotot keluar karena ketakutan.
Tak kuasa menahan rasa ngeri dan seramnya, ja segera menjerit keras, "Golok Ang-siu-to!" Golok Baju Merah, Ang-siu-to!
Tangan kanan So Bong-seng masih tetap digunakan untuk menolong Wo Hu-cu sementara golok di tangan kirinya telah berhasil membunuh seorang musuh dan memukul mundur dua musuh lainnya, terbukti betapa hebat kemampuan yang dimiliki orang ini.
Selesai memenggal batok kepala seorang lawannya, tampak cahaya merah yang memancar keluar dari golok itu bertambah terang dan bercahaya.
Golok apakah itu? Sebilah golok dewa? Atau sebilah golok iblis?
Bagaimana pula dengan si pemegang senjata itu? Apakah dia adalah Dewa Golok? Atau justru Iblis Golok?
Tatkala Wo Hu-cu meluncur ke depan berusaha menolong So Bong-seng tadi, si Hwesio gundul berbaju perlente itupun sudah muncul dari tempat persembunyiannya, dia berniat menghadang jalan pergi Wo Hu-cu, tapi Te Hoa segera menghadang jalan perginya.
Waktu itu Te Hoa sudah mencabut keluar pisau belati yang menancap di atas dadanya dan melibatkan diri dalam pertarungan sengit melawan Hwesio itu.
Dalam keadaan seperti ini dia hanya tahu akan satu hal, beri waktu dan kesempatan secukupnya untuk So-kongcu agar ia bisa menarik napas sambil mempersiapkan diri!
Asal So Bong-seng punya kesempatan untuk menarik napas dan mempersiapkan diri, biar harus mati, dia akan mati dengan mata meram.
Bukan hanya Te Hoa seorang yang berpikiran begitu, Wo Hu-cu juga mempunyai pemikiran demikian, bahkan Su Bu-kui pun mempunyai pikiran yang sama.
Ketika So Bong-seng, Wo Hu-cu dan Te Hoa berada di dalam puing bangunan disergap oleh si Hwesio berbaju perlente, Nenek Kedelai, Barang antik dan Hoa Bu-ciok, di luar bangunan runtuh itu masih ada seorang jago yang sedang berjaga, dia adalah si wajah Im-yang, Su Bu-kui.
Tapi musuh berhasrat membinasakan So Bong-seng, mana mungkin mereka membiarkan Su Bu-kui tetap berdiri menganggur?
Hampir pada saat bersamaan, dinding bangunan kuno yang ada di Ku-sui-poh itu roboh ke tanah. Bersama dengan robohnya seluruh dinding bangunan itu, paling tidak ada empat ratusan anak panah bersama-sama dilepaskan ke tengah arena.
Menyaksikan datangnya ancaman itu, mustahil bagi Su Bu-kui untuk menghindarkan diri.
Dia memang tak mungkin bisa menghindar, sebab sekali dia berkelit, maka seluruh ancaman anak panah itu akan meluncur ke arah So-kongcu!
Dalam keadaan begini, hanya ada satu jalan yang bagi Su Bu-kui, yaitu menghadapinya dengan keras lawan keras.
Ketika dua ratusan batang anak panah meluncur datang, paling tidak ia sudah membendung seratus delapan puluhan panah di antaranya, senjata andalannya adalah sebilah golok besar berkepala naga, golok yang diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan suara menderu dan lapisan bayangan yang menyilaukan mata.
Sehebat dan setangguh apa pun ilmu goloknya, mustahil baginya untuk merontokkan semua anak panah yang diarahkan ke dalam puing bangunan, maka ia tetap terhajar dua batang anak panah.
Baru saja serangan gelombang pertama selesai meluncur, kini giliran serangan gelombang kedua dibidikkan para pemanah.
Su Bu-kui meraung keras, goloknya menyapu melintang, kembali sebagian dinding bangunan tersapu roboh dan berserakan kemana-mana.
Hujan deras, awan mendung ditambah debu yang beterbangan karena ambruknya dinding, membuat para pemanah kesulitan mengarah sasarannya secara tepat, kembali Su Bu-kui memutar goloknya menyapu ke belakang, berusaha mendesak mundur si Hwesio perlente dari posisinya.
Begitu musuh berhasil dipaksa mundur, Te Hoa pun roboh lemas dalam rangkulannya.
Paras muka rekannya itu pucat kehijau-hijauan, mengenaskan sekali keadaannya.
Dalam pada itu So Bong-seng dengan mengandalkan goloknya kembali berhasil membantai seorang musuhnya dan membuat takut dua orang musuh yang lain, sementara telapak tangannya masih menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Wo Hu-cu.
Tak selang lama, dari belakang punggung Wo Hu-cu mencuat keluar dua batang jarum berwarna bening, mencelat keluar dari balik daging dan rontok ke tanah.
Saat itulah Wo Hu-cu mendengus tertahan, paras mukanya jauh lebih merah cerah, serunya sambil tertawa getir, "Kongcu, aku sudah tak tahan lagi, aku tak sempat menghimpun tenaga untuk menghadang jalannya racun, sebatang Jarum Pelumat Tulang telah menyusup ke otakku."
Waktu itu si Hwesio perlente, si Nenek Kedelai maupun Hoa Bu-ciok sudah mundur dari arena, sementara keempat ratus orang pemanah itu menerobos maju ke depan dan mengepung puing bangunan itu dengan rapat, mereka terbagi dua barisan, satu baris berdiri dan satu baris berjongkok, mereka telah mementang busur dan siap melepaskan anak panah.
ooOOoo
Bersambung ke bagian 12
Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11
0 comments:
Post a Comment