Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 12. Tak Pernah Mencurigai Saudara Sendiri

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

 

12. Tak Pernah Mencurigai Saudara Sendiri

Orang bilang "Tombak gampang dihindari, panah gelap susah dihindari", padahal panah yang datang secara terang-terangan pun tidak mudah untuk ditangkis.

Seperti misalnya terkepung rapat oleh pemanah yang sangat terlatih saat ini, menanti mereka melepaskan keseratus anak panah yang digembolnya, kendatipun sangat hebat dan amat tangguh juga akan berubah jadi seekor landak dan tak sanggup melancarkan serangan balasan.

Kini barisan pemanah yang ada di deretan depan sudah mulai melepaskan panahnya.

Mendadak So Bong-seng melakukan satu tindakan. Ia sambar mayat si Barang antik, lalu dilemparkan ke tubuh Su Bu-kui. Tindakannya itu menyelamatkan Su Bu-kui dari ancaman kematian!

Berhasil dengan tindakannya itu, So Bong-seng kembali menggunakan mayat si Barang antik sebagai tameng untuk melindungi diri dari ancaman.

Wo Hu-cu tidak tinggal diam, ia berteriak keras sambil melompat bangun, kemudian badannya berputar kencang bagaikan gangsing. Dia melindungi belakang tubuh So Bong-seng.

Dengan adanya perlindungan pada bagian belakang, maka cukup bagi So Bong-seng untuk menangkis datangnya panah yang mengarah dari kiri, kanan serta depan.

Tak heran begitu selesai serangan itu dilancarkan, tubuh Wo Hu-cu ikut roboh ke tanah, namun ia tidak membiarkan badannya terjerembab, ia tetap mencoba berjongkok, menopang di atas panah yang menghujam tubuhnya.

Rupanya dia menjadi sasaran tembak para pemanah itu.

Dua batang anak panah kembali menghajar tubuh Su Bu-kui, sementara Te Hoa terhajar empat batang panah.

Kini barisan kedua pemanah itu sudah bersiap, mulai melepaskan panah mereka.

Anak panah bagaikan hujan deras segera berhamburan ke seluruh penjuru ruangan.

Akhirnya, dari balik mata So Bong-seng memancar keluar sekilas cahaya yang sangat aneh, cahaya keputusasaan seorang Enghiong yang sudah terdesak dan menemui jalan buntu, cahaya nekat seorang pahlawan yang siap mengadu nyawa.

Di saat yang amat kritis itulah mendadak kawanan pemanah yang berjajar rapi tahu-tahu sudah bergelimpangan ke sana kemari bagaikan digulung ombak samudra, mereka yang tak roboh segera membalikkan tubuh melakukan perlawanan, sayang, ibarat salju yang terkena air panas, tak lama kemudian hampir sebagian besar sudah terkapar di tanah.

Tampak dua orang pemuda berlompatan di tengah kerumunan orang banyak, siapa yang terbentur seketika roboh terjengkang, tak lama kemudian sudah empat-lima puluhan orang yang roboh terkapar.

Para pemanah sisanya jadi keder, melihat kepungan mereka sudah bobol, khususnya ketika terbayang keampuhan golok di tangan So Bong-seng, hampir sebagian besar di antara mereka segera membuang busurnya ke tanah, kemudian membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit.

Kelebihan dari kerja kelompok adalah di saat mereka bersatu-padu, maka kekuatannya kukuh bagaikan batu karang, tapi jeleknya, bila masing-masing sudah mulai memikirkan keselamatan sendiri, kelompok itu akan buyar bagaikan setumpuk pasir tersapu angin.

Asal ada satu orang saja di antara mereka yang melarikan diri, maka rekan lainnya pasti akan mengikuti jejaknya.

Alhasil, kecuali mreka yang sudah telanjur roboh, delapan puluh persen pemanah lainnya segera meninggalkan medan laga dan berusaha melarikan diri.

Ketika terjadi penyergapan secara tiba-tiba tadi, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera menyadari kalau keadaan tak beres, secepat kilat mereka segera mengeluyur keluar dari puing bangunan itu.

Untungnya perhatian para penyergap hanya tertuju pada So Bong-seng seorang, sehingga mereka sama sekali tak mempedulikan tingkah laku mereka.

Menanti kawanan pemanah itu mengepung rapat seluruh puing bangunan itu, Pek Jau-hui baru bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana? Apakah kita perlu turun tangan?"

"Perlu!" sahut Ong Siau-sik cepat, "aku rasa So-kongcu adalah seorang lelaki saleh yang berjiwa ksatria, anak buahnya pun hebat dan bagus, bagaimana dengan pandanganmu?"

"Aku pikir, inilah saat yang tepat bagi kita untuk belajar praktek."

"Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku."

"Katakan saja."

"Sebisa mungkin jangan membunuh orang."

"Baik," sahut Pek Jau-hui cepat, "aku bersedia bukan lantaran mengabulkan permintaanmu, tapi demi kepentinganku sendiri, aku pun tak ingin terlalu dimusuhi orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, terlebih tak ingin dimusuhi Lui Sun!"

Walaupun dia hanya berbicara beberapa patah kata, namun belum lagi dia menyelesaikan kata-katanya, So Bong-seng sudah terancam bahaya maut, maka tanpa membuang waktu lagi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera turun tangan bersama.

Mereka menerjang dari belakang barisan kawanan pemanah itu, begitu turun tangan langsung mengumbar kehebatannya dengan tujuan agar nyali musuh pecah dan keder.

Jari tangan Pek Jau-hui menyambar kian kemari bagai sambaran petir, semua sodokannya diarahkan ke jalan darah penting di tubuh lawan.

Sementara Ong Siau-sik menggunakan tepi telapak tangannya sebagai pengganti golok, bacokan demi bacokan dilancarkan, kekuatan yang digunakan pun tidak berat juga tidak enteng, tujuannya hanya membuat pingsan orang-orang itu.

Begitu melihat munculnya kedua pemuda itu mengobrak-abrik barisan musuh, sekali lagi sorot mata So Bong-seng berubah jadi angkuh, dingin bahkan menggidikkan siapa pun yang melihatnya.

Ia menghampiri Wo Hu-cu dan membangunkannya, namun sekujur badan anak buahnya itu sudah dipenuhi anak panah, tubuhnya bagaikan sasaran bidikan, persis seperti seekor landak.

Kemudian dia pun menengok Te Hoa, tapi sayang Te Hoa sudah tewas, orang ini mati dengan mata melotot, seakan dia mati dengan perasaan tak rela, mati penasaran, mati dengan penuh kemarahan yang meluap.

So Bong-seng tidak melakukan apa-apa, dia hanya berbisik, "Aku pasti akan membalaskan dendam kematianmu!" Ucapan yang diutarakan dengan sangat tegas, setegas paku yang terbuat dari baja.

Setetes air hujan meleleh jatuh dari atap bangunan, persis jatuh di bawah alis mata Te Hoa, di atas kelopak matanya, tiba- tiba Te Hoa memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya seakan merasa tenteram setelah mendengar perkataan So Bong-seng itu, karena itu dia mati dengan mata meram.

Perlahan-lahan So Bong-seng bangkit berdiri. Saat itulah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah berhasil menguasai keadaan.

Su Bu-kui terhajar empat batang panah, tapi beruntung tidak bersarang di bagian tubuh yang mematikan, dia biarkan anak panah tetap menancap di tubuhnya, sama sekali tak berniat mencabutnya keluar.

Sisi wajahnya yang hitam kini terlihat semakin hitam, sementara sisi yang berwarna putih nampak jauh lebih putih.

"Mengapa kau tidak mencabut anak panah itu?" So Bong-seng menegurnya.

"Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengobati luka," jawab Su Bu-kui sambil tetap berdiri tegak.

"Bagus sekali, si Barang antik mengkhianati kita, menjual nyawa lima ratus orang saudara kita, kusuruh Hoa Bu-ciok pergi membekuknya, tapi ternyata dari enam orang saudara sejatiku, kini hanya tersisa kau serta Yo Bu-shia," sorot mata sebara kobaran api memancar dari balik matanya, "kematian Wo Hu-cu dan Te Hoa disebabkan ulah si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, kini si Barang antik sudah mampus, Hoa Bu-ciok pun sama saja, sudah mati."

"Benar," Su Bu-kui mengangguk.

Menyaksikan berlangsungnya tanya jawab itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya bisa saling pandang.

Lama kemudian Pek Jau-hui baru berseru lantang, "He, kami telah menolongmu, kenapa kau tidak berterima kasih kepadaku?"

"Aku tak pernah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui ucapan," jawab So Bong-seng hambar.

"Kau pun tidak mencoba bertanya siapa nama kami?" kata Ong Siau-sik pula.

"Sekarang bukan saat yang tepat untuk saling bertanya nama."

"Kapan saatnya?" tanya Ong Siau-sik keheranan.

Sambil menuding jenazah Wo Hu-cu dan Te Hoa yang tergeletak di lantai, sahut So Bong-seng, "Tunggu sampai aku selesai membalas dendam dan balik lagi kemari dalam keadaan hidup."

"Balas dendam adalah urusan kalian," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin.

"Juga urusan kalian berdua."

"Mereka sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua."

"Aku pun tak punya hubungan apa pun dengan kalian."

"Menolong kau hanya terdorong oleh perasaan iseng, kami hanya menganggap pertarungan ini sebagai sebuah permainan."

"Sayang permainan ini belum waktunya selesai."

"Jadi kau menyangka kami akan ikut bersamamu pergi membalas dendam?" sela Ong Siau-sik keheranan.

"Bukan menyangka, tapi kalian pasti akan ikut," sahut So Bong-seng seraya menggeleng.

Ong Siau-sik semakin tercengang dibuatnya.

"Kapan kau akan berangkat?" tanya Pek Jau-hui tiba-tiba.

"Kapan?" So Bong-seng tertawa dingin, "tentu saja sekarang."

"Sekarang?!" Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik menjerit berbareng saking kagetnya.

Mereka punya mata dan sepasang mata mereka dalam keadaan sehat, tentu saja kedua orang itu dapat melihat kalau So Bong-seng sudah terluka, anak buahnya juga tinggal satu orang.

"Tapi ... tapi ... kau hanya memiliki seorang saudara, itupun sudah terluka," seru Ong Siau-sik tak tahan.

"Aku terluka, dia terluka, sisanya sudah mati semua," So Bong-seng tertawa perlahan, "kami sudah tak mungkin pulang lagi, bukankah saat ini merupakan saat yang sangat tepat?"

Dengan sorot mata yang dingin dan tajam ia memandang Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sekejap, seketika itu juga kedua pemuda itu merasa seakan ada hawa dingin yang membekukan tubuh menyusup ke hulu hati mereka.

"Penyergapan licik yang dilancarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru saja lewat, terlepas mereka sedang merayakan kemenangan ini atau mulai melakukan persiapan lagi, kita langsung membuntuti mereka sambil melancarkan serangan balasan, maka mereka pasti belum sempat mengatur kembali kekuatannya, mereka pasti tak akan menyangka dan menduga akan serbuan ini. Bila kita tunda penyerangan sampai besok, mereka pasti sudah menghimpun kekuatan untuk melindungi Hoa Bu-ciok, bisa jadi mereka justru akan menggunakan dia sebagai umpan untuk memancing kita masuk perangkap, lalu menghabisi kita semua. Sayang kami justru melancarkan serangan balasan pada saat ini juga!"

Bicara sampai di sini, sikap angkuh dan jumawanya kembali melintas di wajahnya, dia melanjutkan, "Apalagi sebagai seorang lelaki sejati, pertarungan boleh kalah, namun harga diri tak boleh hilang. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah menewaskan empat orang anak buahku, maka aku pun harus membuat dia merasakan bagaimana tersiksanya bila kehilangan lengan kanannya!"

Lalu kepada anak buahnya dia bertanya, "Bu-kui, sudah siap?"

"Sudah siap!" jawab Su Bu-kui cepat, biarpun tubuhnya sudah terhajar empat batang panah, namun ia masih berdiri tegar bagaikan seorang panglima perang.

"Menurut penilaianmu, orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan membawa Hoa Bu-ciok pergi kemana?"

"Po-pan-bun."

"Berapa bagian keyakinanmu?"

"Enam bagian."

"Baik, asal ada keyakinan enam bagian, kita bisa segera melaksanakan rencana ini."

"Apakah kau akan berangkat sekarang juga?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya.

So Bong-seng tertawa, wajahnya kelihatan sedikit mengejang, "Memangnya harus menunggu sampai hujan reda?" balik tanyanya.

"Orang-orang yang tergeletak di sini kebanyakan hanya tertotok jalan darahnya, bila kau tidak membantai mereka semua, kemungkinan besar mereka akan melaporkan kejadian ini kepada atasannya, kau akan meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari."

So Bong-seng mendengus angkuh.

"Hmm, aku tak akan membunuh mereka, pertama, aku tak pernah membunuh prajurit tanpa nama, apalagi manusia lemah yang sudah kehilangan tenaga perlawanannya, kedua, jika sekarang juga aku berangkat, secepat apa pun mereka berjalan, tak nanti bisa mendahului kecepatan kami. Ketiga, aku memang berniat menyerang mereka, jadi aku tak kuatir mereka melakukan persiapan, yang ingin kuhancurkan adalah seluruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bukan cuma seorang pemanah."

"Aduh celaka!" mendadak Ong Siau-sik berteriak.

"Apanya yang celaka?" tanya So Bong-seng agak tertegun.

"Kalau ada pertunjukkan sebagus ini, tidak bagus kalau aku tak ikut pergi!" sembari berkata dia melepas kain pembungkus sarung pedangnya, lalu dibuang.

Sorot mata So Bong-seng yang semula dingin membekukan, kini seakan memancarkan sinar kehangatan.

"Betul!" sambung Pek Jau-hui sambil menghentakkan kakinya, "kalau benar bakal terjadi pertunjukkan sebagus ini, mana boleh tak ada aku?"

Sambil berkata dia pun ikut membuang tumpukan lukisan yang semula dijepit di bawah ketiaknya.

Kini sinar yang mengandung senyuman mulai memancar keluar dari balik mata So Bong-seng, tapi hanya sebentar, kemudian sorot matanya kembali murung dan dingin.

Tanpa banyak bicara dia segera melesat keluar, menerobos hujan.

Su Bu-kui tak mau ketinggalan, ia segera menyusul di belakangnya.

ooOOoo

"Perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai dua belas orang Tongcu, sejak Ho Tong tewas di wilayah Ouw-pak, sisanya tinggal sebelas orang. Jagoan yang tadi melakukan penyergapan adalah Tongcu ketujuh si Nenek Kedelai serta Tongcu kedelapan si Hwesio Perlente.

"Kawanan pemanah yang mereka datangkan tadi adalah pasukan pemanah yang sudah menjalani pendidikan secara ketat dan penuh disiplin, biasanya kehadiran mereka selalu diiringi Tongcu kesepuluh Sam-cian Ciangkun, Panglima Tiga Panah, jadi menurut dugaanku, dia pasti sudah muncul di sini. Sementara daerah Po-pan-bun biasanya dijaga secara ketat oleh anggota keluarga Lui, yaitu Lui Kun."

Demikian Su Bu-kui memberi penjelasan kepada Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tentang keadaan musuh mereka sepanjang perjalanan.

"Kali ini Lui Sun tidak turut dalam penyerangan, aku rasa hal ini disebabkan dia sudah termakan laporan Hoa Bu-ciok yang mengatakan kalau Si Say-sin dan Mo Pak-sin dari empat Malaikat Sakti perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau berada di empang Tiok-lu-tong, mungkin dia akan turun tangan sendiri untuk melenyapkan kedua orang musuh bebuyutannya itu hingga tidak ikut serta dalam penyerbuan tadi."

"Kalau begitu, bukankah posisi Si Say-sin dan Mo Pak-sin jadi sangat berbahaya?" tanya Ong Siau-sik penuh rasa ingin tahu. Dia jadi teringat luka yang diderita Tio Thiat-leng.

"Padahal berita itu sebenarnya hanya berita bohong, kepergian Lui Sun pasti akan menubruk tempat kosong bahkan bila kurang hati-hati, dia malah bisa terperangkap oleh jebakan yang kami persiapkan," Su Bu-kui menerangkan, "saudara Yo dan Kwik Tang-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau telah mempersiapkan segala sesuatunya secara hebat, kami tak kuatir Lui Sun mengirim penyusup ke situ untuk mencari berita."

"Kalau toh sejak awal kalian sudah waspada terhadap Hoa Bu-ciok, kenapa kalian tetap membiarkan dia masuk perangkap?" tanya Pek Jau-hui.

"Sewaktu menyiarkan berita bohong itu, kami sama sekali tak berniat mempermainkan Hoa Bu-ciok, aku pun tidak tahu siapa pengkhianat yang telah dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menyusup jadi mata-mata, waktu itu aku bermaksud melepas berita bohong, baru setibanya di Ku-swi-po aku ceritakan kejadian yang sebenarnya kepada semua anggota rombongan. Tak disangka Hoa Bu-ciok ternyata adalah seorang pengkhianat yang kemaruk harta. Jika Lui Sun pulang dengan hasil nihil, sementara rombongan mereka yang berusaha mencabut nyawa kami pun pulang dengan kegagalan, pertunjukkan bagus pasti akan segera terjadi."

Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Padahal meskipun hari ini dia berhasil membunuhku, dengan tindakannya memberi laporan palsu, Lui Sun pasti tak akan melepaskan dirinya begitu saja. Hmmm, kalian tahu manusia macam apakah Lui Sun itu?!"

Air hujan telah membasahi alis matanya yang mirip alis setan, namun tak mampu memadamkan cahaya api yang memancar keluar dari balik matanya, "Aku tak pernah mencurigai Hoa Bu-ciok ... aku tak pernah mencurigai saudara sendiri!"

Mereka berlarian di tengah hujan deras, menentang angin, menerjang air hujan, hawa dingin yang membekukan badan tak mampu memadamkan api yang membakar hati semua orang.

Api itu telah melekat pada keempat orang itu, bara api membuat mereka seakan terhubung satu dengan yang lain.

Kehidupan manusia di dunia ini panjang dan penuh lika-liku, kapan harus melepas budi kapan harus bertemu dendam, siapa pun tak bisa meramalkan. Jika suatu saat dapat bersenang-senang kenapa tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melampiaskan kesenangan?

Keacuhan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik seketika tersapu sirna oleh keangkuhan So Bong-seng, semangat tempur tiba-tiba berkobar di hati setiap orang, bergabung dengan Su Bu-kui, mereka serentak berangkat menuju ke Po-pan-bun.

Sebenarnya tempat macam apakah Po-pan-bun (Pintu Papan Rongsok) itu?

Sebenarnya Po-pan-bun adalah nama sebuah simpang tiga, bisa dinamakan demikian karena jalan keluar dari ketiga buah jalan itu harus melalui sebuah papan nama yang sudah kuno dan rongsok.

Lorong di belakang ketiga buah jalanan itu terdapat sebuah pagar papan yang sangat tinggi, pagar papan itu mengelilingi seputar jalan hingga memisahkan antara daerah di depan jalan dengan bagian belakang jalan.

Di belakang jalan merupakan sebidang tanah yang amat luas, seringkali orang menggembalakan sapi dan kambingnya di situ karena sekelilingnya hanya ada rumah bobrok kaum papa miskin tak berduit, sementara di bagian depan ketiga buah jalan itu berdiam orang-orang kaya berduit dan punya kedudukan.

Oleh karena para orang kaya merasa sangat terganggu dengan kegiatan kaum miskin yang menggembalakan hewan peliharaannya di situ, maka mereka mendirikan pagar kayu mengelilingi tempat itu sebagai pemisah.

Setelah bertahun-tahun, papan pagar itu mulai lapuk dimakan waktu, itulah sebabnya orang pun menyebut tempat itu sebagai Pintu Papan Rongsok.

Ketiga buah jalanan itu termasuk dalam wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong.

Waktu itu, dalam gedung bangunan besar deretan ketiga pada jalanan kedua, berkumpul sekelompok manusia, namun dari kelompok manusia itu hanya ada lima orang yang duduk, empat di antara mereka adalah Tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong.

Keempat orang itu adalah si Hwesio Perlente, si Nenek Kedelai, Panglima Tiga Panah serta Tongcu kelima Lui Kun, orang kelima yang mendapat kehormatan untuk ikut duduk dibangku adalah Hoa Bu-ciok.

Waktu itu Hoa Bu-ciok duduk dengan kepala terpekur, keadaannya persis seperti burung yang baru kena panah.

Hwesio Perlente dan Nenek Kedelai duduk dengan perasaan tak tenang, bahkan Panglima Tiga Panah yang berperawakan tinggi besar pun kelihatan sedikit tegang.

Hanya seorang yang tetap duduk santai dan tenang bahkan menunjukkan sikap percaya diri.

Orang itu duduk di kursi utama, duduk persis di tengah ruangan, bangkunya paling tinggi, menunjukkan kekuasaannya paling besar di antara semua yang hadir.

Orang itu tak lain adalah Lui Kun.

Lui Kun memang pantas percaya diri, selain berasal dari keluarga penguasa yaitu keluarga Lui, dia pun sangat mengandalkan sepasang senjatanya, Hui-thian-siang-liu-seng (Sepasang Bintang Kejora Terbang ke Angkasa).

Orang bermarga Lui yang bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong berjumlah tiga ratus tujuh puluhan orang, di antaranya banyak yang merupakan jago tangguh berilmu tinggi, namun ia tetap bisa menempati posisi nomor enam dalam jajaran kepemimpinan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hal ini membuktikan kepandaiannya memang luar biasa.

Selain dia, anggota keluarga Lui lain yang bisa bercokol di jajaran Tongcu adalah Tongcu kedua Lui Tong-thian, Tongcu ketiga Lui Bi dan Tongcu keempat Lui Heng.

Inilah salah satu alasan mengapa Lui Kun begitu percaya diri.

Dia tahu, bila suatu ketika terjadi sesuatu atas dirinya, semisal melakukan kesalahan besar, Tongcu kedua, ketiga dan keempat serentak pasti akan berusaha melindunginya dan memintakan ampun untuknya, bahkan meski Lui Sun mau mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi pun, kesalahan itu tak nanti akan dilimpahkan ke atas pundaknya.

Dalam aksinya kali ini, dialah yang merancang dan mengatur semua siasat dan persiapan.

Tentu saja dia pun telah memperoleh persetujuan dari atasan, hanya satu hal yang belum dia ketahui secara jelas, dalam aksi pembunuhan terhadap So Bong-seng ini, sebenarnya ide ini muncul dari Toatongcu Ti Hui atau justru kemauan Congtongcu Lui Sun.

Tapi dia percaya, ide ini pasti bukan muncul dari benak Lui Sun.

Orang luar banyak yang bilang, selama beberapa tahun terakhir ini, wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong banyak yang sudah berpindah tangan ke dalam kekuasaan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, bahkan orang bilang Lui Sun ibarat seekor singa tua yang ompong dan sudah dicabuti taringnya, dia sudah bertemu musuh yang lebih muda, lebih tangguh dan ganas melebihi anak panah, So Bong-seng!

Kini pengaruh keluarga Lui sudah dihajar babak belur hingga tak punya kemampuan lagi untuk melancarkan serangan balasan!

Tentu saja Lui Kun tidak puas dengan pernyataan itu.

Dia sangat yakin dan percaya kalau kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama sekali tidak di bawah kemampuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, memang harus diakui hubungannya dengan pihak pemerintah dan kerajaan pihak lawan jauh lebih tangguh, tapi kalau bicara soal kemampuan dalam penyusupan dan perekrutan anggota, khususnya kerja sama dan jalinan hubungan dengan para jago kalangan hek-to, pek-to maupun liok-lim, kemampuan mereka jauh mengungguli perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.

Atau dengan perkataan lain, dengan mengandalkan kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-poan-tong sekarang, mereka mampu bertarung habis-habisan melawan musuh.

Itulah sebabnya selama ini dia selalu diliputi tanda tanya besar dan perasaan tak habis mengerti, kenapa Lui-congtongcu selalu berusaha menghindar, selalu bersikap mengalah terhadap tekanan yang dilakukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau!

Dia tidak percaya So Bong-seng si setan sakit-sakitan itu benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa!

Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, besar kemungkinan reputasi dan kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan bertambah surut dan lemah.

Maka Lui Kun memutuskan untuk melancarkan serangan, dia harus memberi hajaran dan

pelajaran yang setimpal kepada perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.

Dia tak peduli siapa yang mengusulkan dan ide itu datang dari mana, yang dia ketahui hanya segera menjalankan aksinya, siap menghajar dan menghabisi nyawa So Bong-seng. Sayang rencana besarnya mengalami kegagalan. Hasil yang diperolehnya hari ini membuat Lui Kun merasa sangat kecewa, bukan saja kawanan jago yang melakukan pengepungan pada kabur menyelamatkan diri, bahkan mata-mata mereka si Barang antik yang berhasil menyusup jauh ke dalam tubuh perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau harus membayar mahal dengan nyawanya, sementara penyusup yang lain, Hoa Bu-ciok terbongkar kedoknya. Kejadian ini membuat perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengalami kerugian yang fatal, pukulan telak khususnya dalam hal penyusupan mata-mata.

Pihak lawan telah kehilangan dua orang panglima perang utamanya yaitu Te Hoa dan Wo Hu-cu, tapi kini si Hwesio Perlente, si Nenek Kedelai dan Panglima Tiga Panah dirundung ketakutan akan pembalasan yang dilakukan So Bong-seng, kontan saja membuat Lui Kun menjadi sangat berang.

"So Bong-seng itu manusia macam apa? Aku tak percaya kalau dia berkepala tiga berlengan enam!" demikian dia mengumpat, "kalian semua memang gentong nasi yang tak berguna, sudah balik dengan membawa kerugian, sekarang ketakutan setengah mati macam tikus ketemu kucing, benar-benar membuat perkumpulan Lak-hun-poan-tong kehilangan muka!"

Mengikuti petunjuk dari atasan, Lui Kun melakukan persiapan di sekeliling tempat itu, kemudian memerintahkan Tongcu kesebelas Lim Ko-ko untuk berjaga di pintu masuk Po-pan-bun, sementara dia sendiri mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk melakukan perundingan.

Tentu saja dia tak perlu kuatir So Bong-seng datang menyerang, sebab pertama, ia pernah enam kali berhasil memukul mundur serangan musuh yang berusaha menerobos masuk melalui pintu Po-pan-bun, malah di antaranya termasuk serangan Mi Thian-jit yang memimpin tiga ratusan orang pasukan gerak cepat, tapi semuanya berhasil dia pukul mundur.

Kedua, dia berpendapat So Bong-seng baru saja lolos dari bahaya maut, saat ini mungkin yang dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan diri, tak mungkin dia punya cukup nyali untuk melancarkan serbuan.

Oleh sebab itulah Lui Kun tidak terlalu serius melakukan pertahanan, dia ingin mendengarkan pendapat Tongcu ketujuh, Tongcu kedelapan dan Tongcu kesepuluh sebelum mengambil keputusan.

Dia lebih suka berbicara dulu dengan mereka sejelas-jelasnya sebelum akhirnya mengambil keputusan, dia berpendapat, usulan yang dikemukakan mereka selalu jauh lebih hebat daripada usulan oang lain, dia menganggap cara seperti ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat cengkeramannya terhadap mereka, salah satu cara memperlihatkan kemampuan serta kekuasaannya.

Dia pun berpendapat, hanya orang yang sudah memiliki kemampuan hebat dan kekuasaan tinggi saja yang mampu mempergunakan cara seperti ini.

Hal ini membuat dia selalu menikmati indahnya kekuasaan yang dimilikinya.

ooOOoo

Bersambung ke bagian 13

Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12

0 comments: