Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 13. Golok dan Batok Kepala

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

 

13. Golok dan Batok Kepala

"So Bong-seng bukan manusia!"

"Dalam keadaan dia sudah terhajar senjata rahasia kacang hijau milik Hoa Bu-ciok, kemudian aku, si Barang antik dan Hoa Bu-ciok bersama-sama menghajarnya, di luar pun masih ada empat ratusan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tapi begitu goloknya berada di dalam genggaman, sekali tebas dia mengiris sepotong daging di kakinya sendiri, tebasan kedua mendesak aku dan Hoa Bu-ciok sehingga harus mundur, bacokan ketiga berhasil membunuh si Barang antik. Golok iblisnya nampak menyala semakin merah setelah menghirup darah segar!"

"Andai kata kami terlambat satu langkah saja untuk kabur, mungkin..."

"Golok milik So Bong-seng bukan sembarang golok, golok itu bukan dilancarkan ke arah kita, tapi mendatangkan rasa ngeri dan seram yang sukar dilawan, kengerian dan keseraman yang diciptakan golok itu belum pernah kami saksikan dan alami sebelumnya."

"Ketika menyaksikan So Bong-seng mengayunkan goloknya ke arah si Barang antik, gaya serangannya begitu indah menawan, begitu anggun mengagumkan, tapi hanya sekali tebasan, kepala si Barang antik sudah terlepas dari badannya."

Golok macam apakah itu?!

Manusia macam apakah So Bong-seng?!

Kalau dia manusia, kenapa bisa memiliki golok seperti itu?!

Si Nenek Kedelai masih merasa ngeri setiap kali teringat keganasan dan kehebatan golok itu, laporan yang sebenarnya hendak disampaikan kepada Lui Kun seketika jadi tergagap dan beberapa kali tak sanggup diucapkan.

"Aku bersembunyi di belakang dinding, menutup seluruh pernapasan, menutup semua pikiran, bahkan berusaha menahan detak jantung dan denyut nadiku, tujuannya tak lain agar telur busuk dari marga So itu tidak menyadari akan kehadiranku, itulah sebabnya aku baru berhasil dengan seranganku, Wo Hu-cu terhajar tiga batang Jarum Pelumat Tulangku, dengan kemampuan Sau-yang-jui-pit-jiu milik Wo Hu-cu, siapa yang sanggup menguasai keadaan jika dia tidak dirobohkan terlebih dulu?"

"Aku pun memaksakan diri untuk bertarung melawan Te Hoa, memaksa racunnya kambuh hingga tewas, kemudian bertarung habis-habisan membendung serbuah Su Bu-kui, agar dia tak sanggup mendekati telur busuk So dan memberikan pertolongan kepadanya, tapi siapa sangka, di saat kemenangan hampir kita raih, tiba-tiba muncul dua orang bocah busuk yang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, coba kalau tidak ada mereka berdua, orang she So itu pasti sudah terkapar di tanah, selamanya dia tak mampu berlagak jadi seorang Hohan lagi dalam dunia persilatan!"

Butiran air telah membasahi jidat Hwesio Perlente, entah air keringat atau air hujan, coba kalau tiada bekas sundutan hio di atas jidatnya, ditinjau dari pakaian yang dikenakan, dandanannya yang perlente, orang pasti mengira dia bukan seorang Hwesio melainkan seorang lelaki botak.

"Aku telah mempersiapkan empat ratus orang pemanah jitu, sebenarnya ingin kuciptakan empat ratus lubang di tubuh So-kongcu, tapi kemunculan kedua orang itu membuat barisan kami kacau, membuat pemanah kami kalang kabut dan tak keruan."

"Banyak kejadian di dunia ini tercipta pada situasi yang tak terduga. Banyak sekali urusan kecil yang sepele atau pemikiran sesaat berakibat terjadinya perubahan besar atas suatu masalah atau keadaan, bahkan bisa terjadi pergantian dinasti atau pemerintahan, aku rasa penyebab utama dalam kegagalan yang kita alami kali ini adalah tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa di luar dugaan itu."

Cambang lebat memenuhi seluruh wajah Panglima Tiga Panah, jenggotnya pun tumbuh tebal tapi kacau bagai rumput liar, dia memiliki wajah kurus dengan jidat tinggi dan sempit, alis matanya kusut dan tebal, sekilas pandang, orang akan menyaksikan gumpalan hitam di bawah kopiah perangnya, sulit untuk melihat jelas bagaimana tampangnya.

"Habis sudah kali ini, So Bong-seng adalah orang yang akan membalas setiap sakit hatinya!"

"Kalian mengatakan dalam operasi kita kali ini pasti akan berhasil membinasakan So Bong-seng, karena itulah aku baru berani turun tangan. Tapi dalam operasi sepenting ini kenapa Congtongcu tidak datang? Bahkan Toatongcu pun tidak turut muncul di sini? Sekarang So Bong-seng gagal dibunuh, dia pasti tak akan melepaskan kita semua, paling tidak dia pasti akan datang untuk membunuhku, Ngo-tongcu, kau harus mencari jalan keadilan bagiku!"

Sekujur badan Hoa Bu-ciok gemetar keras, sejak dilahirkan hingga setua ini, belum pernah dia merasakan ketakutan seperti apa yang dialaminya sekarang.

Dulu setiap kali menghadapi saat yang gawat, saat penentuan mati hidup, dia selalu tampil berani dan penuh semangat, tapi sekarang dia merasakan kegugupan yang luar biasa, rasa tak berdaya yang luar biasa, karena secara tiba-tiba dia telah kehilangan keberanian dan kegagahan yang pernah dimiliki dulu, kehilangan kekuatan yang luar biasa itu. Kekuatan apakah itu?

Mengapa di saat dia berkhianat, di saat dia menjual junjungannya dan selesai membantai saudara sendiri, tiba-tiba kekuatan itu hilang lenyap tak berbekas?

Kini giliran Lui Sun yang berbicara.

Sepasang mata besarnya yang berwibawa dan bersinar tajam, bagaikan sambaran petir menyapu wajah setiap anak buahnya, Si Nenek Kedelai, si Hwesio Perlente, Hoa Bu-ciok dan Panglima Tiga Panah, semua orang merasa hatinya bergetar keras ketika tertimpa sorot matanya.

Dengan suara keras menggelegar bagai bunyi guntur, ujar Lui Sun, "Nenek Kedelai, perkataanmu hanya memadamkan semangat orang sendiri, padahal hasil yang kalian capai kali ini tidak terhitung jelek, paling tidak kalian telah berhasil membantai dua orang jenderal andalan si setan penyakitan itu dan membuat kekuatannya terpukul, untuk memulihkan kembali kekuatannya, dia butuh banyak waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga baru. Jelas apa yang kalian lakukan merupakan sebuah jasa yang amat besar. Kalian semua harus tahu, orang she So itu hanya seorang manusia, manusia yang menggunakan golok, senjata yang digunakan pun tak lebih hanya sebilah golok, kenapa kau mesti mengagulkan kehebatannya?"

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dalam penggropyokan kali ini, kalian semua telah menyerempet bahaya dan mempertaruhkan nyawa, maka semua orang akan mendapat imbalan, khususnya Hwesio Perlente yang mempertaruhkan nyawa untuk membantai orang she So itu, andaikata kau berhasil membunuhnya, tentu saja jasamu luar biasa, tapi sekarang orang she So itu belum mampus, maka kau mesti berjuang lebih hebat lagi!"

"Lu Sam-cian, tampaknya kau lebih tahu diri, atau mungkin kau ingin lari dari tanggung jawab? Jangan lupa, panglima yang kalah perang lebih baik tak usah bicara takabur, kau membawa empat ratus orang pemanah jitu tapi tak mampu membunuh seorang setan penyakitan yang hampir mampus, kalau harus melakukan pemeriksaan, mungkin kau sendiri pun tak bisa menjawab semua pertanyaan secara jelas."

"Kini operasi pun sudah telanjur dilaksanakan, seharusnya kita tak perlu takut pembalasan dari orang she So itu! Lebih baik lagi jika si setan penyakitan itu berani datang kemari, aku Lui-longo akan menanti kedatangannya di sini. Wahai Hoa Bu-ciok, kau jangan macam orang kehilangan sukma, uang taruhan pun sudah kau pasang, jangan tunjukkan sikap lemahmu itu!"

Sekali lagi Lui Sun menatap wajah setiap anak buahnya dengan sorot mata yang tajam, kemudian baru berkata lagi, "Kali ini manusia she So itu sudah menderita luka parah, anak buahnya pun banyak yang mampus, paling tidak dia mesti mengatur barisan terlebih dulu sebelum melakukan pembalasan, aku rasa langkah kita kali ini sudah tepat sekali, bukankah begitu?"

Ketika dia mengajukan pertanyaan yang diakhiri dengan pertanyaan "bukankah begitu", tentu saja dia berharap jawaban yang diperoleh adalah "Benar" dan tentu tak ingin mendengar kata "tidak benar".

Jika dia menginginkan orang lain menjawab dengan kata "tidak benar", tentu saja pertanyaan yang diajukan tak akan memberi kesempatan kepada orang lain untuk tidak menjawab "Benar".

Kadang kala dalam sebuah rapat, ada orang yang pada hakikatnya berharap orang lain hanya membawa telinga dan tak usah disertai dengan mulut. Tentu saja terkecuali di saat dia butuh pujian dan sanjungan dari orang lain.

Di saat dia mengucapkan kata "bukankah begitu", tiba-tiba dari balik suara hujan yang berderai di luar sana terdengar suara pekikan melengking yang ditimbulkan dari suara seruling besi.

Suara seruling itu tinggi menusuk pendengaran, suaranya bersahut-sahutan tiada putusnya.

Berubah hebat paras muka Lui Sun.

Tiga orang lelaki bercelana pendek berbaju longgar serentak masuk ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.

"Cepat katakan!" hardik Lui Sun cepat.

Dua orang yang ada di belakang segera menyingkir ke samping, sementara lelaki di tengah melapor, "Di depan jalan telah kedatangan musuh tangguh, Tongcu kesebelas sedang melakukan perlawanan sekuat tenaga!"

Mendengar laporan itu, paras muka Hoa Bu-ciok seketika berubah jadi pucat keabu-abuan, sekujur badannya gemetar keras, gemetar saking takutnya.

"Kurang ajar, besar amat nyalinya!" bentak Lui Sun penuh amarah, kepada Panglima Tiga Panah segera perintahnya, "kau segera bawa pasukan berjaga di jalan belakang! Saat ini mereka menyerang jalan depan, kita mesti waspada terhadap ancaman yang datang dari jalan belakang!"

"Baik!" Panglima Tiga Panah segera bangkit dan beranjak pergi.

Dalam pada itu Hoa Bu-ciok semakin ketakutan, dengan badan menggigil dan bibir gemetar, bisiknya, "Dia ... dia telah datang!"

Lui Sun menarik napas panjang, beruntun dia turunkan tujuh perintah darurat untuk memohon bantuan, kemudian pikirnya, "Kemana perginya Congtongcu dan Toatongcu? Mestinya Loji, Losam dan Losu harus segera menyusul kemari."

Tapi pikiran lain segera melintas dalam benaknya, dalam waktu singkat dia harus berhadapan dengan So Bong-seng, si jagoan yang amat menggetarkan sungai telaga, dia tak tahu apakah kemampuannya sanggup menandingi kehebatan orang itu, tanpa terasa peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya.

Tapi sejenak kemudian ia sudah dapat mengendalikan diri, ujarnya kemudian, "Baiklah, kalau dia memang sudah datang, mari kita sambut kedatangannya!"

"Tidak usah!" mendadak terdengar seseorang menyahut, suara itu bergema persis di depan tubuh Lui Sun.

Menyusul kemudian tampak cahaya golok beterbangan di angkasa, selapis cahaya golok menyambar lewat persis di atas kepala Hoa Bu-ciok!

Cahaya golok itu muncul dari sisi tubuh dua orang lelaki bercelana pendek itu.

Lui Sun membentak nyaring, sepasang senjata martil bintang kejoranya yang mempunyai bobot sembilan puluh tiga kati berada di tangan kiri dan lima puluh sembilan kati di tangan kanan, segera meluncur ke udara dengan kecepatan luar biasa.

Senjata aneh dengan bobot yang berbeda ini merupakan senjata yang paling sulit dipelajari, tapi bila berhasil dikendalikan, maka akan berubah menjadi sepasang senjata yang paling susah dihadapi, bukan saja mampu menjangkau jarak jauh bahkan memiliki daya membunuh yang luar biasa.

Menyusul meluncurnya sepasang martil bintang kejora itu menembus angkasa, bayangan tubuhnya ikut lenyap.

Cahaya golok masih menyambar kian kemari, bagai hembusan angin tahu-tahu senjata itu sudah mampir di atas kepala gundul si Hwesio Perlente.

Menyadari datangnya ancaman, si Hwesio Perlente segera membentak nyaring, senjata mangkuk tembaga dalam genggamannya kontan disambitkan untuk membendung datangnya ancaman. Bukan hanya itu, seratus delapan biji tasbih yang ada dalam genggamannya turut dilontarkan ke depan, menyusul badannya menerobos melalui jendela dan berusaha kabur.

Sekarang dia hanya berharap bisa menangkis bacokan maut dari So Bong-seng, kemudian memanfaatkan peluang yang ada untuk melarikan diri dari ancaman kematian. Anggapannya dalam ruangan itu hadir banyak sekali jago tangguh, asal dia berhasil lolos dari bacokan itu, niscaya ada orang lain yang akan membendung serangan dari So Bong-seng.

Daun jendela hancur berantakan tertumbuk tubuhnya, di luar hujan masih turun dengan derasnya.

Benar saja, dia berhasil melarikan diri keluar dari ruangan.

Tapi bagaimana mungkin dia tahu kalau berhasil kabur?

Dalam waktu singkat dia menyadari akan sesuatu, ternyata tubuhnya yang berhasil melompat keluar dari balik jendela, namun tubuh tanpa kepala.

Mengapa tubuhnya bisa tak berkepala?

Bukankah jelas tubuh itu miliknya? Pakaian yang dikenakan pun miliknya, tapi....

Jangan-jangan...........

Hanya sampai di situ yang bisa dibayangkan si Hwesio Perlente, dia tak berpikir lebih jauh lagi.

Ya, dia memang tak mampu berpikir lagi, karena dia sudah kehilangan kemampuannya untuk berpikir.

Si Nenek Kedelai dengan jelas telah menyaksikan bacokan golok So Bong-seng ketika menebas kutung batok kepala Hoa Bu-ciok, caranya menebas persis sama seperti ketika ia memotong kepala si Barang antik, indah, cepat dan sedikit membawa romantika yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Menyusul kemudian tebasan golok yang kedua, Hwesio Perlente sebagai sasarannya, dan ia berhasil menemukan sang Hwesio itu.

Cahaya golok yang membawa warna merah berputar satu lingkaran di sekeliling tengkuk Hwesio perlente di saat tubuhnya baru saja melompat ke depan siap menerjang daun jendela, saat itu kebetulan kepala sang Hwesio baru saja berhasil menjebol jendela,- maka batok kepalanya mencelat terlebih dahulu keluar dari jendela kemudian baru disusul tubuhnya.

Setelah itu golok merah tadi melayang balik ke tangan So Bong-seng.

Pada saat itulah So Bong-seng berpaling, sorot matanya yang lebih tajam dari sembilu sedang memandang ke arahnya.

Dalam waktu singkat si Nenek Kedelai nyaris menangis saking panik dan takutnya, belum sempat pecah isak tangisnya, terdengar Lui Sun sudah meraung keras, suaranya menggelegar bagai guntur.

Lui Sun betul-betul tidak habis mengerti, tatkala ada bayangan abu-abu berkelebat tadi, sepasang martilnya secepat petir telah mengejar ke situ, karena dia tahu bayangan abu-abu itu adalah So Bong-seng.

So Bong-seng ternyata berani melanggar wilayahnya, padahal dia adalah orang yang hendak dibunuhnya!

Kenyataan yang sedang berlangsung saat ini ibarat sekeping ujung pisau yang sudah terbakar membara, menghujam di atas lantai dimana ia sedang berada!

Reaksi kelewat emosi membuat seluruh tubuhnya nyaris melejit ke udara, bahkan dipenuhi semangat tempur yang tinggi.

Saat ini semangat tempur bahkan jauh lebih membara ketimbang kekuatan hidupnya!

Dia lebih rela mati, tapi pertarungan tak boleh tak terselenggara!

Bila ia berhasil membunuh So Bong-seng, maka posisinya dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti akan terangkat, kedudukannya pasti lebih berbobot!

Dengan membunuh So Bong-seng, nama besarnya akan berkibar di antero jagad, wibawanya akan menggetarkan delapan penjuru!

Bila seseorang ingin melakukan satu pekerjaan yang menghebohkan, tapi ia tak berani melangkahi atasan, tak berani mendahului atasan, padahal dia tak pernah mau takluk pada orang kenamaan lainnya, maka dalam hati kecilnya dia akan menciptakan seorang musuh besar, musuh besar yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang melampaui kemampuannya, mengalahkannya bahkan membunuhnya, untuk membuktikan kemampuan dan kehebatan dirinya.

Musuh besar yang diciptakan Lui Sun di hati kecilnya adalah So Bong-seng.

Apalagi ketika orang lain memandangnya setengah mengejek. Menganggapnya bagai cahaya kunang-kunang yang hendak menandingi sinar rembulan, Lui Sun akan merasa semakin gelisah, panik bercampur gusar.

Suatu hari nanti, dia harus berhasil mengalahkan So Bong-seng.

Hanya dengan mengalahkan So Bong-seng, dia baru bisa membuktikan keberadaan dirinya!

Maka saat ini, ia sudah dibakar hingga sakit oleh semangat tempurnya, dia mulai menyerang dan menggempur So Bong-seng secara kalap, biarpun kalap, tidak berarti jurus serangan yang digunakan ikut kalap.

Sepasang senjata martilnya diayunkan, martil yang berat bergerak dari belakang mengejar ke depan sementara martil yang enteng dari depan melakukan penghadangan, satu depan yang lain belakang melakukan penggencetan, asal terbentur salah satu saja di antaranya niscaya batok kepala musuh akan hancur.

Pada waktu itu martil ringannya jelas terlihat seakan dapat menggempur tubuh lawan dari arah depan, siapa tahu So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan tubuh, tahu-tahu serangan itu sudah lewat begitu saja tanpa sanggup menyentuhnya.

Sementara martil beratnya yang jelas segera akan menghajar belakang kepala lawan, tapi entah mengapa, ketika berada pada jarak setengah inci dari sasaran, tahu-tahu rambut belakang kepala So Bong-seng berdiri tegak bagai landak, bukan saja serangannya gagal mengenai sasaran, bahkan terasa seakan ditangkis dengan toya baja, senjata itu mencelat ke arah lain.

Saat itulah So Bong-seng dengan dua kali lompatan telah berhasil memenggal kepala Hoa Bu-ciok serta si Hwesio Perlente.

Golok yang semula berwarna semu merah, kini telah berubah jadi merah membara, merah bagaikan kilatan halilintar.

Merah membara sepasang mata Nenek Kedelai, ia sadar nyawanya sudah di ujung tanduk, mendadak ia lepaskan pakaian compang-camping yang dikenakannya.

Ketika pakaian compang-camping itu digetarkan keras, mendadak benda itu menggulung jadi satu dan terbentuk sebatang tongkat panjang yang bisa digunakan secara keras maupun lembek, sambil mengayunkan senjatanya itu dia menangkis babatan golok yang menyambar ke arah batok kepalanya.

Cahaya merah segera menyelimuti angkasa, diikuti hamburan hujan bunga menyebar keempat penjuru.

Ternyata senjata gulungan kain yang berada dalam genggaman Nenek Kedelai telah hancur berantakan jadi ribuan keping dan tersebar keempat penjuru, dengan tergopoh-gopoh nenek itu melesat mundur untuk menghindar, namun desingan angin tajam tetap membabat di atas kepalanya, tahu-tahu sebagian besar rambutnya sudah terpapas kutung dan berhamburan kemana-mana.

Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini senjata itu balik kembali ke dalam baju So Bong-seng.

"Tidak mudah untuk menangkis serangan golokku ini," terdengar So Bong-seng berkata dengan suara dingin, "ingat, hari ini aku memang sengaja tidak membunuhmu, ini kulakukan karena satu alasan, karena kau tidak pernah membunuh saudaraku dengan tanganmu."

Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih menyeramkan ia menambahkan, "Siapa yang membunuh saudaraku, dia harus mampus!"

Selesai berkata, ia membalikkan badan dan segera berlalu.

Bukan saja ia tak memandang sebelah mata terhadap keempat ratus delapan puluh enam anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung rapat sekeliling tempat itu, bahkan dia pun seakan tidak melihat kalau di situ hadir seorang jagoan yang bernama Lui Sun.

Tak heran bila Lui Sun mencak-mencak macam orang kebakaran jenggot.

Penghinaan ini dirasakan olehnya jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa ketimbang dibunuh.

Paling tidak ia merasa sangat dipermalukan saat ini.

OoOOoo

Bersambung ke bagian 14

Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13

0 comments: