Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 14. Orang dalam pasar

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

 

14. Orang dalam pasar

Seandainya Lui Sun tidak mengeluarkan jurus serangan Hong-yu-siang-sat (Angin Hujan Sepasang Malaikat), mungkin kerugian yang dialaminya tidak sampai membuatnya sangat sedih dan menderita.

Namun keberhasilannya di kemudian hari pun mungkin tak akan sedemikian besar.

Dalam kehidupan manusia banyak tersedia langkah yang bisa ditempuh, banyak keputusan yang bisa diambil, sekali kau melangkah keluar, sekali kau mengambil keputusan, mungkin pada saat ini kau menilai langkah dan keputusanmu itu keliru, namun di kemudian hari bisa saja kekeliruan itu justru merupakan kebenaran.

Mungkin saja hari ini kau merasa langkah dan keputusanmu itu sudah benar, tapi setelah berkembang hari esok, bisa saja langkah dan keputusanmu itu justru merupakan sebuah kesalahan besar.

Kesalahan kerap kali ibarat golok dengan dua sisi, membelah sebab dan akibat, jodoh dan berpisah.

Jika seseorang sudah terbiasa merasakan kesuksesan dan keberhasilan, kemungkinan besar dia tak akan menikmati keberhasilan atau kesuksesan yang lebih besar lagi, sebaliknya jika seseorang sudah terbiasa menderita dan tersiksa, keadaan itu tak bisa dibilang satu kejadian yang jelek.

Kalau tak ada gunung yang tinggi, mana mungkin ada tanah yang datar?

Lalu bagaimana pula dengan hasil serangan yang dilancarkan Lui Sun kali ini?

Kemana perginya golok merah So Bong-seng? Hawa pembunuhan yang mengerikan itu apakah bisa berkembang tapi tak bisa dikendalikan?

ooOOoo

Sebelum sepasang senjata martil milik Lui Sun dilontarkan, senjata itu sudah berputar kencang bagaikan gangsing, kemudian setelah dilontarkan, senjata itupun saling membentur hingga menimbulkan suara keras, tak ada orang yang bisa memastikan dari sudut mana serangan akan dilancarkan, juga tak ada yang tahu dengan cara bagaimana serangan itu akan menghajar bagian tubuh yang mematikan, bahkan termasuk Lui Sun sendiri pun tak bisa menentukan.

Dia hanya bisa memastikan satu hal, bila seseorang terhajar oleh sepasang martilnya secara telak, jangan harap tulang belulangnya bisa utuh, dan jangan harap nyawanya dapat diselamatkan.

Kini keadaan Lui Sun ibarat orang yang menunggang di punggung harimau, sudah kepalang basah untuk turun lagi, dia mulai menyadari akan kemampuan sendiri.

Seandainya serangan sepasang martilnya tak mampu mencabut nyawa So Bong-seng, paling tidak dia harus menghadiahkan sebuah tanda mata di atas tubuhnya.

Siapa sangka peristiwa lain telah terjadi, bahkan sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan pertanda atau gejala apa pun.

Ketika sepasang martilnya tiba di hadapan So Bong-seng, tidak terlihat musuh melakukan sesuatu gerakan, tahu-tahu rantai baja pengikat sepasang senjatanya telah putus jadi dua bagian.

Sebagus apa pun permainan senjata martilnya, asal rantai pengaitnya putus, maka martil itu tak beda jauh dengan buah semangka, yang satu menggelinding keluar ruangan, memaksa kawanan jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung tempat itu harus memberi jalan lewat, sementara yang lain membentur dada wakil Tongcu yang sedang bertarung sengit melawan Su Bu-kui, akibatnya tulang dada orang itu remuk dan amblas ke dalam, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya.

Hingga kini, So Bong-seng masih belum juga melirik ke arah Lui Sun walau hanya sekejap, bahkan sepatah kata pun tak sudi diucapkan kepadanya.

Ia tetap melanjutkan ayunan kakinya berjalan keluar dari situ, berjalan sambil berseru kepada Su Bu-kui yang sedang membendung serbuan dari anggota Perkumpulan Enam Setengah Bagian, "Kita segera pergi dari sini!"

Sepasang martil yang masih menggelinding di atas tanah pun seolah sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya.

Su Bu-kui segera menarik kembali goloknya.

Ia menarik kembali senjatanya secara tiba-tiba dan dilakukan sangat cepat, akibatnya sebilah golok, tiga bilah pedang dan lima batang tombak yang sedang bertarung sengit nyaris menghujam semua ke atas tubuhnya.

Tindakan Su Bu-kui yang menarik golok secara mendadak membuat pertahanan tubuhnya sama sekali terbuka, tapi tindakannya ini justru membuat kawanan jago yang sedang bertarung melawannya serentak ikut menarik kembali senjatanya, mereka mengira tindakan itu merupakan sebuah perangkap.

Bahkan salah satu di antara kawanan jago itu segera menancapkan tombaknya di atas tanah guna mengerem gerakan tubuhnya yang sudah telanjur menerjang ke depan, percikan bunga api berhamburan kemana-mana.

Sementara itu Su Bu-kui sudah menyusul di belakang So Bong-seng, berjalan keluar dari situ.

Tak seorang pun berani menghalangi mereka.

Tak seorang pun mampu menahan mereka.

Tiba di depan pagar pekarangan, So Bong-seng menggerakkan kakinya menendang, martil sebarat sembilan puluh tiga kati itu mencelat ke udara dan meluncur balik ke dalam halaman.

Semua orang menjadi sangat panik, suasana menjadi gempar, berbondong-bondong kawanan jago itu menyingkir ke samping menghindarkan diri, siapa pun tak ingin tertimpa sial.

"Blaaam!" diiringi suara benturan keras, martil berat itu menghajar di atas dinding bangunan dan menghancurkan tulisan "enam" yang tertera jelas di situ.

Dinding batu itu hancur berantakan, di antara debu dan pasir yang beterbangan di angkasa, tahu tahu bayangan tubuh So Bong-seng sudah lenyap dari pandangan.

Kini yang tersisa di atas dinding tembok itu tinggal tiga huruf besar yaitu "perkumpulan ... Setengah bagian", ditambah sebuah senjata martil yang tergeletak di tanah.

ooOOoo

Di luar sana hujan masih turun membasahi permukaan bumi.

Kini hujan sudah mulai mereda, yang tersisa hanya hujan gerimis.

Walau begitu, awan gelap masih bergelantung di angkasa, awan basah yang membawa air masih merapatkan barisannya.

So Bong-seng sudah keluar menuju ke jalan raya, langkahnya sangat cepat, Su Bu-kui mengintil terus di belakangnya, setengah jengkal pun tak mau ketinggalan.

Tadi So Bong-seng menyuruh dia "segera pergi" dan bukan "pergi", maka begitu mendapat perintah, ia segera menghentikan serangannya bahkan tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri.

"Pergi" dan "segera pergi" memang beda artinya.

Dia sangat mengenal watak So Bong-seng, dia sudah hapal dengan kebiasaan pemimpinnya, terutama sewaktu menurunkan perintah, ia tak pernah membawa embel-embel kata, setiap penambahan satu kata berarti mempunyai tujuan tertentu.

Situasi sudah dikuasai, pembunuh pun sudah membayar dengan nyawanya, mengapa So-kongcu masih ingin pergi secepatnya?

ooOOoo

Setelah meninggalkan Po-pan-bun, So Bong-seng segera melihat dari sudut kiri dan kanan jalan muncul dua orang yang jalan berdampingan.

So Bu-kui berjalan di belakang pemimpinnya.

Dua orang yang baru saja muncul itu, salah satu di antaranya masih berdiri santai di bawah curahan hujan, sikapnya yang tenang dan santai tak beda jauh dengan keadaannya di saat biasa, seseorang yang tak pernah menganggap air hujan sebagai hal yang memuakkan, baginya setiap butir air hujan seakan sama berharganya dengan sebutir mutiara.

Tentu saja mereka adalah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.

Ketika berjumpa So Bong-seng dari balik mata mereka segera terpancar perubahan cahaya yang aneh.

Sinar mata Pek Jau-hui membara seakan sedang terbakar, sementara sinar mata Ong Siau-sik berkilauan seakan bintang di langit.

So Bong-seng sama sekali tidak mengajukan pertanyaan, bicara pun tidak.

Dia telah mengutus Ong Siau-sik untuk menyerang jalan muka dan mengirim Pek Jau-hui untuk menyerang jalan belakang, tentu saja kedua penyerangan itu hanya penyerangan tipuan, tujuannya hanya untuk mengalihkan konsentrasi dan perhatian lawan.

Dia baru pertama kali bertemu dengan mereka berdua, tapi dia telah menyerahkan 'tugas sulit' ini kepada mereka.

Jika mereka gagal dalam menjalankan tugas, bila kekuatan di jalan depan dan jalan belakang terhimpun jadi satu, maka So Bong-seng tak nanti bisa menggetarkan sukma semua orang, dia tak mungkin bisa lolos dari kepungan lautan manusia secara mudah.

Tapi So Bong-seng sangat berlega hati, dia tahu, kedua orang itu pasti sanggup melaksanakan tugasnya, bahkan melaksanakan tugas itu dengan baik.

Sanggup melaksanakan tugas dan bisa melaksanakan tugas beda sekali artinya, sama seperti seseorang yang bisa menyanyi, bisa menyanyikan lagu yang merdu dan bisa membuat nyanyian yang terdengar merdu, jelas mempunyai arti yang berbeda.

Sekarang mereka sudah muncul di situ, sama artinya mereka telah berhasil menggiring pergi pasukan yang ada di jalan depan dan jalan belakang kemudian baru berkumpul di situ.

Begitu bertemu mereka, So Bong-seng hanya berhenti sejenak, lalu berseru, "Bagus sekali."

Setelah itu katanya pula, "Ayo, pergi!"

Bagi So Bong-seng, "Bagus sekali" sudah merupakan kata pujian yang paling tinggi.

Dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, paling hanya delapan belas orang yang pernah mendapat pujian "bagus", di antara mereka mungkin tak ada sepertiganya yang pernah memperoleh kata pujian "bagus sekali".

"Ayo, pergi", jelas sebuah perintah.

"Pergi?" Pek Jau-hui segera mengulang.

So Bong-seng tidak menanggapi. Dia memang tak suka mengulang kata yang sama dua kali.

"Mau pergi kemana?" kembali tanya Pek Jau-hui.

"Kembali ke Kim-hong-si-yu-lau!"

"Kita tidak saling mengenal, paling hanya berjodoh untuk bertarung bahu membahu, kenapa kita tidak segera menyudahi pertemuan ini?" kata Pek Jau-hui seraya menjura.

Dengan sorot mata bagaikan bintang berapi, So Bong-seng menyapu sekejap wajahnya.

"Perkataan itu bukan muncul dari dasar hatimu," katanya, kemudian terusnya, "sekarang kalian enggan ikut aku pun sudah tidak mungkin!"

"Kenapa?" kali ini Ong Siau-sik yang bertanya.

"Tampaknya penghadangan dan usaha pembunuhan yang dilakukan di Ku-swi-poh bukan maksud Lui Sun, pimpinan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi menggunakan kesempatan di saat aku membalas dendam ke Po-pan-bun lalu melakukan penghadangan dan pembunuhan di saat aku pulang baru merupakan maksud tujuan Lui Sun yang sebenarnya."

Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Oleh sebab itu kalian tak punya pilihan lain, perjuangan kita belum berakhir, tak seorang pun dapat mengundurkan diri dari rombongan."

Bagi orang yang terkepung pasukan musuh, biasanya hanya tersedia dua pilihan, menerjang keluar dari kepungan atau menyerahkan diri.

Jika ingin menerjang keluar dari kepungan berarti harus bertempur, jika ingin menyerah berarti membiarkan orang menghukum semaunya, mau dicincang seperti seekor anjing atau disembelih seperti seekor babi, tak mungkin bisa melawan maupun membangkang.

Siapa suruh menyerah?

Bila seseorang sudah pasrah pada nasib, sudah menyerah, apa dan bagaimanapun sikap musuh, orang hanya bisa menurut dan menerimanya tanpa membantah.

Itulah sebabnya lebih banyak orang yang rela berjuang hingga titik darah penghabisan ketimbang menyerah.

Pek Jau-hui menghela napas panjang, katanya, "Aku lihat, semenjak menyelamatkan dirimu, bibit bencana ini sudah sulit terlepas dari tubuh kami."

"Apakah kalian berharap setiap persoalan yang terjadi di kotaraja sama sekali tak ada hubungannya dengan kalian?" kata So Bong-seng sambil mengerling sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin.

Pek Jau-hui tidak menanggapi.

Ketika mereka berempat tiba di jalan raya Tang-sam-pak, tampak jalan raya itu masih ramai orang berjualan kendatipun hujan masih turun tiada hentinya.

Di sebuah istal terikat beberapa ekor kuda, ada dua tiga orang sedang memberi rangsum kuda-kuda tunggangan itu. Di situ pun terdapat tiga pedagang daging, satu pedagang daging sapi, satu pedagang daging kambing dan satu pedagang daging babi.

Selain itu terdapat juga sebuah toko asah pisau, di sampingnya warung penggilingan kedelai, di depan toko itu ada orang menjual tahu, ada penjual sayuran, penjual ayam, bebek, ikan, udang, ada juga pedagang kaki lima yang menjual sau-pia, kue apem, bakpao, malah ada pedagang air gula, kue manis, air tebu, bakso, di samping pemain wayang potehi, penjual gangsing dan layang-layang, penjual gula-gula, penjual kulit hewan.

Asal benda itu biasa terlihat dijual di pasar, semuanya hampir ada juga di tempat itu.

Padahal kejadian ini bukan kejadian aneh, karena jalanan itu memang merupakan sebuah pasar.

Yang aneh justru adalah orang-orang itu, tidak seharusnya mereka muncul di tengah hari hujan begini.

Para pedagang kaki lima itu pada hakikatnya tidak menganggap saat itu hujan sedang turun.

Mereka semua tetap bertransaksi, tetap menjajakan barang dagangannya, seakan mereka menganggap saat itu adalah saat yang cerah, matahari bersinar cerah, angin berhembus sepoi.

Satu-satunya yang berbeda di situ adalah tak ada orang yang berbelanja.

Pedagang mana pun di dunia ini pasti berdagang untuk para pembeli, tapi keempat lima puluhan orang pedagang itu seakan tidak melayani pembeli umum.

Ya, mereka hanya khusus melayani satu orang 'pembeli' saja.

Pembeli itu tak lain adalah Locu atau ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau So Bong-seng, seorang jagoan yang disebut nomor wahid dalam ilmu golok, seorang pemimpin organisasi besar yang asal-usulnya penuh misterius, namun mengendalikan sebagian besar jago golongan hek-to maupun pek-to dalam dunia persilatan dan mengendalikan para pejabat negara.

Ketika mereka berbelok ke jalan Tang-sam-pak, para pedagang dan penjaja kaki lima yang memenuhi jalanan itu sudah menantikan kedatangan 'pembeli'nya.

ooOOoo

Tanpa terasa Pek Jau-hui menarik napas panjang.

Sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal, ia menarik napas dalam-dalam.

Setiap kali sedang merasa tegang, dia pasti akan menarik napas dalam-dalam.

Sejak kecil ia sudah diberitahu, bila seseorang berada dalam keadaan tegang maka tariklah napas dalam-dalam, sebab dengan menarik napas dalam, maka emosinya akan mendatar, jika emosi sudah datar, perasaan pun tenang, bila perasaan sudah tenang, konsentrasi pun akan mencapai puncaknya.

Sekarang ia butuh konsentrasi, karena musuh besar sudah muncul di depan mata.

Sudah delapan tahun ia terjun dalam dunia persilatan, sudah membunuh musuh tangguh dalam jumlah yang tak sedikit, tapi hingga kini masih jarang orang mengenal nama "Pek Jau-hui".

Hal ini disebabkan dia masih belum ingin ternama.

Bila harus punya nama, dia ingin punya nama besar, nama yang amat tersohor, nama kecil keuntungan kecil masih tidak dipandang sebelah mata.

Agar sementara waktu ia tidak peroleh nama besar yang tak berarti, dia tak segan melenyapkan mereka yang tahu kalau dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa.

Orang berilmu tinggi, bercita-cita setinggi langit yang mampu bersabar dan bertahan menjadi seorang jago tak bernama selama delapan tahun, tentu saja ia termasuk orang yang pandai menahan diri, pandai mengendalikan perasaan sendiri.

Tapi kini, setelah menyaksikan pemandangan yang terpampang di bawah curah hujan, ternyata dia tak sanggup menahan diri.

Manusia yang terlihat berdiri di bawah curah hujan berjumlah tujuh puluh dua orang, di antaranya ada enam belas orang yang menyembunyikan diri, apabila orang-orang itu melancarkan serangan secara bersama, maka keadaannya akan tiga belas kali lipat lebih menakutkan ketimbang diancam bidikan panah oleh empat ratus orang pemanah di Ku-swi-po tadi. Tidak lebih tidak kurang, persis tiga belas kali lipat! Setelah memperhitungkan situasi yang dihadapinya, sekalipun Pek Jau-hui dapat menahan diri, kini keyakinannya mulai goyah, dia mulai tak mampu mengendalikan diri.

Ketika ia mulai tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa ditariknya napas panjang-panjang.

Walaupun setelah menarik napas panjang tidak berarti perasaannya berhasil dikendalikan, paling tidak tarikan napas yang dalam ini membuktikan kalau dia masih hidup.

Hanya manusia hidup yang bisa menikmati tarikan napas, karena bisa bernapas bukan satu kejadian yang terlalu buruk.

Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan tangan dan kakinya mulai membeku, membeku karena kedinginan.

Dia paling tak suka reaksi seperti ini. Setiap kali perasaannya mulai tegang, biarpun napasnya tidak kalut, biar detak jantungnya tak bertambah cepat, biar kelopak matanya tidak melompat-lompat, tapi tangan dan kakinya selalu berubah jadi beku, dingin kaku bagaikan direndam dalam kolam salju, membuat seluruh badannya kaku karena kedinginan.

Bila ada orang memegang tangan atau menyentuh kakinya dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan salah mengira kalau ia sedang ketakutan.

Padahal dia tidak takut, tak pernah merasa takut, dia tak lebih hanya merasa tegang.

Tegang beda dengan takut, tegang bisa meninggikan semangat tempur, tapi takut justru menurunkan semangat juang. Ong Siau-sik memang gampang merasa tegang, jangan kan menghadapi situasi segawat ini, bertemu Un Ji saja tangan dan kakinya jadi dingin, ketika pertama kali bersua dengan So Bong-seng, kaki tangannya juga dingin membeku seolah baru keluar dari rendaman salju.

Itu semua bukan berarti dia takut pada Un Ji, takut pada So Bong-seng.

Ketika bersama Un Ji, Ong Siau-sik merasa teramat gembira, ketika bergaul dengan So Bong-seng, ia justru merasakan rangsangan yang luar biasa.

Terlepas gejolak perasaan mana yang dialaminya, semua itu tak ada sangkut-pautnya dengan perasaan takut.

Tapi setiap kali orang lain mengetahui kaki dan tangannya jadi dingin, semua orang salah mengira dia sedang ketakutan.

Padahal bagi Ong Siau-sik, kecuali mati, dia tak pernah takut pada apa pun.

Sekarang dia bukan sedang takut mati, tapi setelah menyaksikan barisan yang dipersiapkan lawan berupa sebuah pasar di tengah jalan, dimana barisan itu jauh lebih susah dihadapi ketimbang barisan Pat-tin-toh yang pernah digelar Khong Beng dulu, bahkan menyisipkan inti kehebatan dari barisan itu membaur dengan pelaku pasar sehingga membuat orang sukar menduga, semua ini semakin merangsang semangat tempur Ong Siau-sik, dan akibatnya dia merasa semakin tegang.

Begitu mulai tegang, secara tak sadar kakinya mulai gemetar keras, jari tangannya ikut bergetar.

Kaki dan tangannya yang gemetar keras merupakan salah satu cara untuk melenyapkan rasa tegang.

ooOOoo

Di dunia ini terdapat pelbagai jenis manusia, menggunakan cara yang berbeda satu dengan yang lain untuk menghilangkan rasa tegang.

Ada orang akan membaca buku, membaca doa atau menulis bahkan pergi tidur ketika rasa tegang mulai menyerang, tapi ada pula yang kebalikannya, di saat sedang merasa tegang, ada kalanya mereka mulai mencaci maki, mulai memukul bahkan membunuh manusia.

Ada pula cara melepaskan rasa tegang yang normal seperti pergi mandi, main opera atau mencari perempuan untuk pelampiasan. Tapi ada pula dengan cara yang aneh seperti minta digebuki orang berhenti bekerja atau sekaligus melahap sepuluh biji cabe pedas bahkan menangkap seseorang, mencincang daging tubuhnya dan menyantapnya mentah-mentah.

Bagaimana dengan So Bong-seng?

Dengan cara apa dia melepaskan ketegangannya?

ooOOoo

Tak ada yang tahu, karena tak pernah ada orang melihat So Bong-seng merasa tegang.

Sekalipun ketika berada di Ku-swi-po, sewaktu dikepung empat ratus orang pemanah jitu yang sudah mementangkan busurnya, dia hanya sedikit berubah wajah, tapi sama sekali tidak tegang.

Dia selalu beranggapan, tegang hanya akan mengacaukan urusan, sama sekali tak dapat menyelesaikan persoalan.

Ketika persoalan mulai datang, dia hanya tahu menyelesaikannya dengan sepenuh tenaga, dia tak ingin menciptakan masalah lain bagi diri sendiri, inilah prinsip yang dipegang teguh So Bong-seng.

Tapi setelah dihadapkan dengan barisan sebuah 'pasar di tengah jalan', bukan saja So Bong-seng mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling, bahkan ia mulai gemetar.

Padahal begitulah yang disebut manusia, semakin dia tak pernah sakit, sekali waktu jatuh sakit maka sukarlah untuk disembuhkan, sebaliknya orang yang sering kena penyakit, biasanya dia memiliki daya tahan lebih kuat ketika menghadapi penyakit parah.

Orang yang gemar minum arak jarang mabuk, tapi sekali mabuk, dia akan muntah jauh lebih hebat ketimbang orang lain!

So Bong-seng termasuk orang yang jarang merasa tegang.

Begitu merasa tegang, dia segera akan berbicara. Berbicara merupakan rahasia pelepasan rasa tegangnya.

Oleh sebab itu orang hanya mendengar So Bong-seng sedang berbicara, sama sekali tidak pernah melihat So Bong-seng merasa tegang.

Padahal kebanyakan orang tidak selalu memandang dengan matanya, berkeluh kesah dengan mulutnya. Kalau tidak, mana mungkin sikap yang garang justru bisa membesarkan nyali? Kenapa asal perkataan itu diucapkan seorang kaya raya maka ucapannya seakan kata emas yang wajib dituruti?

Tadi ketika berada di Po-pan-bun, Lui Sun pernah mengucapkan sepatah kata, kata makian terhadap Lu Sam-cian, dia berkata "Panglima yang kalah perang tak usah bicara besar". Padahal umpatan itu salah besar.

Menurut So Bong-seng, "Orang di dunia ini yang paling berhak bicara besar adalah panglima kalah perang yang berperang lagi. Hanya panglima yang pernah kalah perang tahu dimana letak kekalahannya, tahu dimana keunggulan lawannya. Panglima yang sering menang tidak akan mengetahui hal ini, justru mencari kemenangan di tengah kekalahan baru merupakan impian seorang panglima sejati."

Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, sindirnya, "Panglima yang pernah kalah perang memang bisa bangkit lagi, tapi panglima yang mampus mana mungkin bisa bangkit kembali?"

"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya So Bong-seng sambil mengerling sekejap ke arahnya.

Pek Jau-hui tertawa.

"Aku sedang berpikir, dengan cara apa aku bisa menggiring para jago unggulan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini hanya membunuh kau dan tidak membunuh aku," katanya.

"Itu sih gampang!" seru So Bong-seng cepat, "asal kau tangkap aku, mempersembahkan kepada musuh, maka kau bisa memperoleh imbalan dan jasa, mengubah musuh jadi sahabat."

"Hahaha ... sebuah usul yang sangat bagus!" Pek Jau-hui tertawa tergelak, mendadak ia melejit ke muka dan langsung menerjang ke tengah arena.

Ditinjau dari caranya menerjang ke depan, paling tidak pasti ada sepuluh orang yang bakal tewas di tangannya.

Setelah Pek Jau-hui turun tangan, tentu saja Ong Siau-sik tak ingin berpangku tangan.

Baru saja dia hendak mencabut pedangnya, mendadak terdengar Su Bu-kui mengucapkan sepatah kata yang dipahami artinya, tapi tidak mengerti kenapa mengucapkan perkataan itu di saat seperti ini, "Berbuat onar semau sendiri!"

ooOOoo

Begitu perkataan itu diucapkan, sikap So Bong-seng seketika berubah.

Dengan satu gerakan cepat dia menarik lengan Pek Jau-hui yang sedang melesat maju ke muka.

Gerakan tubuh Pek Jau-hui saat ini amat cepat dan kuat, meski ada delapan puluh orang lelaki kekar, belum tentu sanggup menahan gerakan tubuhnya, tapi So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan badannya, tahu-tahu ia sudah ditariknya balik.

Mungkinkah Pek Jau-hui memang sengaja membiarkan tangannya ditarik?

Setelah menahan gerak maju Pek Jau-hui, So Bong-seng hanya mengucapkan sepatah kata, "Kita menonton dulu, kemudian baru turun tangan."

Pada saat itulah tiba-tiba berdatangan segerombolan manusia.

Ada yang datang dari jalan raya sebelah timur, utara dan ada pula yang datang dari jalan simpang tiga. Orang-orang itu datang dengan sikap santai, tenang, mantap dan tenteram.

Mereka terdiri dari tua, muda, laki, perempuan, tinggi, pendek, ganteng, jelek, kuat, cantik, namun ada dua hal persamaan yang dimilikinya, dalam genggaman semua orang terlihat sebuah payung kertas minyak berwarna hijau tua.

Kepala orang-orang itu semuanya diikat dengan secarik kain saputangan berwarna putih.

Payung di tangan mereka bisa digunakan untuk menahan air hujan, tapi membuat mereka tak mampu melihat angkasa. Kain putih yang membungkus kepala membuat rambut mereka pun tak kelihatan.

Kawanan manusia itu bermunculan dari arah timur, selatan, barat, utara dan langsung bergerak menuju ke posisi tengah, gerak langkah mereka tidak cepat namun juga tidak lamban, tapi bergerak secara teratur dan langsung mengepung barisan 'pasar di tengah jalan', dengan demikian bisa memperlihatkan kehebatannya.

Sebuah barisan yang sudah tertata rapi, dalam waktu singkat berubah jadi kacau karena disumbat oleh beberapa orang itu.

Melihat kemunculan orang-orang itu, kawanan manusia yang berada dalam pasar hanya bisa saling berpandangan tanpa tahu apa yang mesti dilakukan.

Kawanan manusia berpayung itu masih melanjutkan langkahnya, ada yang menghampiri si pedagang ikan, ada yang mendekati istal kuda, beberapa orang mendekati penjual daging, dua tiga orang mendekati tauke penjual bakpao. Dalam waktu singkat hampir semua orang yang ada di dalam pasar telah saling berhadapan dengan orang-orang berpayung itu.

Kawanan jago tangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang sejak awal bersembunyi di dalam pasar itu paling tidak berjumlah delapan-sembilan puluhan orang, sementara manusia berpayung itu jumlahnya hanya dua tiga puluhan orang, tapi begitu muncul, justru kawanan manusia berpayung itulah yang telah mengepung para jago di dalam pasar.

Suasana tegang segera mencekam semua orang, khususnya para jago yang berada di dalam pasar.

Perasaan tegang mencekam pula seorang lelaki yang duduk di pasar bagian depan, seorang lelaki kurus kering yang memiliki tulang pelipis penuh berotot hijau, otot-otot hijau yang mengelilingi jalan darah Tay-hiang-hiat. Dia tak lain adalah Lui Heng.

ooOOoo

 

Bersambung ke bagian 15

Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14

0 comments: