Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
16. Batuk dan menundukkan kepala
Mengharapkan persahabatan hingga di hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-keng.
ooOOoo
Bila kau tidak mempunyai sahabat, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng adalah sahabatmu yang paling setia.
Bila tak ada orang yang bisa memahami dirimu, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng akan menjadi seorang teman yang bisa memahami perasaanmu.
Bila kau bertemu kesulitan, carilah Ti Hui-keng, sebab dia dapat menyelesaikan seluruh kesulitan yang sedang kau hadapi.
Bila kau ingin mengambil jalan pendek, carilah Ti Hui-keng, dia pasti dapat membangkitkan kembali semangat hidupmu, dan waktu itu sekalipun sang Kaisar bersedia memberi hadiah sepuluh juta tahil emas murni untuk kematianmu pun tak nanti kau sudi melukai ujung jari sendiri.
Semuanya ini merupakan kabar yang tersiar dalam kota.
Sayang Ti Hui-keng hanya ada satu, dan itupun tidak gampang untuk menjumpainya.
Di kolong langit hanya ada satu orang yang setiap saat dapat bertemu dengannya, dia bukan putri Ti Hui-keng karena Ti Hui-keng tak punya anak perempuan, juga bukan bini Ti Hui-keng karena dia belum beristri. Sepanjang hidupnya Ti Hui-keng hanya punya teman, tak punya keluarga, dia hidup sebatang kara.
Hanya Lui Sun seorang yang setiap saat dapat bertemu dengannya.
Siapa yang bisa bersahabat dengan Ti Hui-keng, dia pasti bisa menghasilkan sebuah karya yang menggemparkan, tapi sayang sahabat karib Ti Hui-keng hanya Lui Sun seorang.
Malah ada orang bilang, Ti Hui-keng bisa memahami kolong langit sementara Lui Sun dapat memanfaatkan Ti Hui-keng, itulah sebabnya dia bisa 'memperoleh seluruh jagad'.
Tapi ada juga yang berkata, sebuah gunung tak akan menerima dua ekor macan, sekarang Lui Sun memang tak akan bentrok dengan Ti Hui-keng, tapi bila dunia sudah aman, jagad sudah mereka kuasai, pasti akan terjadi bentrokan di antara kedua ekor macan itu.
Kalau peristiwa ini sampai terjadi, sudah pasti akan menjadi satu kehilangan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, merupakan sebuah aib yang harus dihindari.
Tentu saja So Bong-seng pernah juga mendengar berita itu.
Tentang berita yang terakhir, konon dia sendiri yang menciptakan, ia sengaja menyiarkan berita ini ke dunia persilatan, kemudian menunggu reaksi yang akan diperlihatkan kedua orang gembong utama perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Cara yang paling jitu untuk melenyapkan musuh adalah membiarkan mereka saling melenyapkan.
Agar musuh bisa saling membunuh, pertama-tama dia harus membangkitkan dulu rasa curiga di masing-masing pihak. Kalau sudah timbul perasaan saling curiga, maka mereka pun tak bisa bekerja sama, asal tak bisa bekerja sama, berarti ada peluang baginya untuk menyusup.
Maka So Bong-seng pun menciptakan isu itu, isu memang selalu mendatangkan manfaat.
Sehebat apa pun kemampuanmu, setinggi apa pun ilmu silatmu, sulit bagi mereka untuk menghindari isu, mereka mudah dipengaruhi berita yang tersiar di luar, sebab isu itu sendiri bisa menciptakan semacam daya tekanan, seperti bola salju, semakin menggelinding akan semakin bertambah besar.
Biarpun kau termasuk orang yang tak mau percaya dengan isu, namun apa yang bisa kau perbuat tak lebih hanya semacam menghindar, atau dengan perkataan lain isu tetap meninggalkan daya pengaruh, karena itu dia tak berani menghadapi kenyataan itu.
Hanya orang yang bisa menghadapi isu, berani menghadapi isu dan menyelesaikan berita isu terhitung seorang pemberani.
Setelah menyebarkan isu itu, So Bong-seng tinggal menunggu reaksi dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jika musuh merupakan sebuah gudang mesiu, dia tak perlu memindahkan isi gudang itu, tapi cukup menyulut sumbunya dengan api.
Dia percaya apa yang telah dilakukan ibarat menuang sebaskom air ke dalam sekarung gandum, tak selang lama gandum dalam karung akan menjamur lalu membusuk.
Jika kau menginginkan sepasang suami istri cekcok, gampang sekali, cukup menyiarkan kejelekan masing-masing pihak di luar, sebarkan isu itu dan tak lama kemudian percekcokan segera akan berlangsung.
Terkadang So Bong-seng juga percaya, asalkan persahabatan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng mulai retak, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya pasti akan mulai goyah.
Oleh sebab itu dia 'menuangkan sebaskom air, kemudian dengan sabar menanti hasilnya.
Lalu apa yang berhasil dia dapatkan? Tidak mendapat apa-apa!
Lui Sun tetap Lui Sun, sama sekali tidak menderita Sun (rugi), Ti Hui-keng tetap Ti Hui-keng, dia tidak jadi Keng (kaget) karena perubahan itu, yang satu tetap menjadi Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, yang lain tetap menjadi Toa-tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tak ada yang lebih unggul tak ada yang lebih asor, keduanya tetap seimbang.
Sebaskom air' itu ibarat dibuang ke tengah laut, sama sekali tidak bereaksi.
Sejak itu pandangan So Bong-seng terhadap Ti Hui-keng semakin mengherankan, semakin ingin tahu.
Seorang Loji memang harus mengalah kepada sang Lotoa, sebab kekuasaan Lotoa jauh lebih besar dari Loji, kalau Loji tak bisa menahan diri, maka ia tak bisa menjadi Loji, dia boleh jadi Lotoa, tapi sebagai Loji sudah menjadi kewajibannya untuk mengalah kepada sang Lotoa.
Tapi dengan cara apa sang Loji dapat membuat Lotoa tak perlu curiga kepadanya, tak perlu waspada kepadanya?
Di sinilah letak kehebatan Ti Hui-keng, selain itu juga merupakan kelebihan yang tak boleh diabaikan dari seorang Lui Sun.
So Bong-seng merasa sangat heran, tapi ia tidak lepas tangan begitu saja.
Dia tahu, di antara Ti Hui-keng dan Lui Sun pasti terdapat satu alasan yang membuat kedua belah pihak sama-sama menaruh kepercayaan, alasan itu besar kemungkinan adalah sebuah rahasia, asal dia berhasil menemukan rahasia itu, mungkin tak sulit untuk mengetahui hubungan mesra di antara mereka.
So Bong-seng ingin sekali menemukan rahasia itu.
Demi rahasia itu, dia tak segan menitahkan penyusupnya yang sudah berada dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk mencari tahu hubungan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng sebagai tugas paling utama.
Kini dia sudah mulai memperoleh titik terang.
Ia telah berjumpa dengan Lui Sun.
Lui Sun adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia merupakan orang lapangan, orang yang berada di garis depan, tak sulit bagi So Bong-seng untuk bersua dengan Lui Sun.
Tapi hingga kini So Bong-seng belum pernah bertemu dengan Ti Hui-keng.
Ti Hui-keng bukan seorang jagoan yang gemar menampakkan diri, dan sekarang dia berada di atas loteng, dia sedang menuju ke situ untuk bertemu dengannya.
Kini ia telah berjumpa dengan Ti Hui-keng. Tapi apa yang dilihat membuatnya amat terkejut.
Ti Hui-keng sebenarnya terhitung seorang pemuda ganteng, kesepian dan sedikit agak lugu, sedemikian tampannya sampai Pek Jau-hui yang melihat pun timbul perasaan iri dalam hatinya.
Saat itu Ti Hui-keng sedang menundukkan kepala, mengawasi jubah panjang sendiri, mungkin juga sedang memperhatikan ujung sepatu sendiri, sikap dan tingkah lakunya persis seperti seorang nona pemalu, tak berani mendongakkan kepala untuk memandang ke arah orang lain'.
Seorang nona tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang orang lain, karena dia memang seorang gadis. Maklum, seorang gadis biasanya memang pemalu.
Tentu saja Ti Hui-keng bukan seorang gadis, dia malah seorang Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi mengapa sewaktu berbicara dengan orang lain, ia tak pernah mendongakkan kepala?
Apakah dia tidak merasa tindakannya itu kurang sopan?
Tapi tak pernah ada orang menegurnya, tak pernah menyalahkan sikapnya, bahkan tak tega untuk memarahinya.
Sebab begitu melihat So Bong-seng bertiga naik ke atas loteng, Ti Hui-keng segera berkata dengan nada minta maaf, "Tolong, jangan salahkan kalau aku kurang hormat, tulang kepalaku ada kendala hingga tak bisa didongakkan, sungguh aku minta maaf!"
So Bong-seng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak tahu apakah Ti Hui-keng sedang bicara jujur atau tidak, namun perasaan mereka bertiga segera terkesiap dibuatnya.
ooOOoo
Seorang lelaki yang begitu tampan ternyata tulang tengkuknya patah, ini menyebabkan dia tak pernah bisa mendongakkan kepala, tak pernah bisa menikmati pemandangan alam di kejauhan sana.
Sekilas perasaan sedih melintas dalam hati ketiga orang itu.
Mereka merasa sedih dan ikut berduka atas ketidak beruntungan pemuda ini.
Apakah dikarenakan alasan ini, maka Ti Hui-keng diangkat menjadi orang kedua?
Tengkuk Ti Hui-keng terkulai lemas ke bawah, siapa pun dapat melihat dengan jelas kalau tulang tengkuknya memang patah, justru yang membuat orang terperangah adalah dia tidak mati lantaran hal itu, bahkan masih bisa hidup sehat hingga sekarang.
Nada suaranya amat lirih dan lembut, seakan ada seakan tak ada, kadang terputus kadang tersambung kembali, ini disebabkan ia tak sanggup menyelesaikan sepotong kalimat sekaligus.
Bisa hidup hingga hari ini dalam kondisi semacam ini pula, dapat dibayangkan betapa tersiksa dan menderitanya dia selama ini.
Tak punya tengkuk, napas pun sangat pendek hingga sukar berbicara, apa mungkin manusia dengan kondisi tubuh semacam ini memiliki kepandaian silat yang luar biasa?
Jelas kehidupan semacam ini merupakan sebuah kehidupan yang amat menyiksa!
Tapi Ti Hui-keng tetap tersenyum, dia seolah merasa amat puas dengan kondisi tubuhnya itu, senyuman yang tersungging di ujung bibirnya yang pucat menimbulkan suatu perasaan yang sangat aneh.
Ti Hui-keng selalu menundukkan kepala, maka dengan sangat mudah ia dapat melihat rombongan So Bong-seng naik ke atas loteng tapi setelah rombongan tamunya itu berada di atas, ia jadi tidak leluasa lagi, karena dia harus bicara dengan kepala tetap tertunduk.
Menyaksikan semua ini, rasa iri yang muncul dalam hati Pek Jau-hui seketika hilang lenyap.
Ternyata di dunia ini memang tiada kejadian yang sempurna, oleh sebab itu tak mungkin pula terdapat manusia yang sempurna.
Oleh karena Ti Hui-keng duduk dengan kepala tertunduk, tubuhnya jadi nampak lebih pendek dari siapa pun, Ong Siau-sik yang melihat hal ini ingin sekali menjatuhkan diri berlutut, agar bisa berbicara saling bertatap muka dengan orang ini.
Mungkin hanya dengan berbuat begitu mereka bisa duduk sejajar, bisa berbicara sambil bertatap muka.
Bagaimana dengan So Bong-seng? Apa pula jalan pikirannya?
ooOOoo
So Bong-seng berjalan menuiu ke depan jendela.
Sejauh mata memandang, pemandangan di luar jendela ibarat seutas ikat pinggang kemala, bayangan pagoda di atas permukaan telaga, bayangan pohon yang bergoyang terhembus angin, wuwungan rumah yang berjejer ..........
Sambil menggendong tangan, So Bong-seng membuang pandangannya keluar jendela, dia tidak memandang ke tempat jauh tapi memperhatikan suasana di tengah jalan raya.
Hujan masih membasahi bumi, awan kelabu masih menyelimuti angkasa.
Tapi di tengah jalan raya hanya ada dua macam warna.
Kuning dan hijau!!
Payung kuning dan payung hijau telah terbentang menjadi sebuah lukisan, masing-masing bergerombol pada kelompoknya, tapi mereka tidak berdiam diri, terkadang mereka bergerak cepat, terkadang saling serobot posisi, dipandang dari kejauhan, pemandangan itu sangat indah karena ibarat bunga kuning dan hijau yang sedang menari di tengah guyuran air hujan.
Tentu saja orang-orang itu berada di bawah payung.
So Bong-seng yang memandang dari atas loteng hanya menyaksikan lautan payung, tidak nampak bayangan manusia.
Payung berwarna hijau adalah barisan 'Berbuat Onar Semau Sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Sementara payung kuning adalah pasukan Lui Moay.
Pada saat So Bong-seng membalikkan tubuh, lagi-lagi dia terbatuk hebat, begitu mulai berbatuk, setiap otot tubuhnya seakan mengejang keras, setiap sarafnya seolah ikut bergetar keras, membuat setiap jengkal badannya seakan ikut tersiksa.
Kembali ia mengeluarkan saputangan putih dan ditutupkan ke sisi mulutnya.
Apakah saputangan putihnya kembali ternoda darah?
Kali ini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tak sempat melihat, sebab begitu selesai batuk, So Bong-seng segera memasukkan kembali saputangannya ke dalam saku.
Kalau ditinjau dari keadaan kedua tokoh silat ini, penderitaan Ti Hui-keng jauh lebih tersiksa?
Ataukah siksaan So Bong-seng jauh lebih menderita?
Beginikah pengorbanan yang harus dibayar untuk memperoleh kekuasaan dan nama besar?
Berhargakah bila dibayar dengan pengorbanan sebesar ini?
Untuk sesaat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui termenung, perasaan aneh itu seketika muncul di hati mereka berdua.
ooOOoo
Tiba-tiba So Bong-seng buka suara, caranya berbicara sama sekali tak sungkan.
Dia hanya melongok sekejap keluar jendela, sekali pandang ia sudah mengambil kesimpulan, Situasi sudah terkendali!
Untuk sementara waktu, pasukan payung hijau pimpinan Mo Pak-sin dapat membendung serbuan pasukan payung kuning pimpinan Lui Moay, bahkan menurut kode rahasia yang dipancarkan melalui gerakan payung, ia mendapat tahu kalau sesaat lagi Yo Bu-shia, salah seorang jenderal andalannya segera akan tiba di situ.
Dia tahu, Yo Bu-shia tak nanti datang seorang diri.
Boleh dibilang ia bersama pasukan intinya yang ada di bawah loteng sudah seia sekata.
Asal situasi sudah terkendali, berarti sekarang mulai merundingkan syarat perjanjian. Itulah salah satu sebab mengapa So Bong-seng harus mengetahui terlebih dulu keadaan di luar sana.
Syarat perundingan apa pun yang akan diajukan selalu terbentuk atas dasar kekuatan yang dimiliki, jika seseorang tak memiliki kekuatan, maka dia tak akan bisa mengajak orang lain berunding dan mengajukan syarat, yang bisa dilakukan hanya minta bantuan orang, memohon kemurahan hatinya, bimbingan dan perlindungannya.
So Bong-seng sangat memahami teori ini.
Ia harus dapat menganalisa kekuatan sendiri dalam situasi yang kalut, setelah yakin situasi menguntungkan pihaknya, perundingan baru bisa dimulai. Dia selalu berpendapat, berunding adalah jenis lain dari sebuah serangan. Sebuah serangan yang tidak perlu menggunakan pasukan maupun senjata.
ooOOoo
"Ada apa dengan kepalamu?" pertanyaan yang diajukan So Bong-seng langsung ke tujuan. Dia berpendapat kalau bisa menghindari segala liku-liku, kenapa tidak dilakukan, yang penting tujuannya tercapai, maksud dipahami dan apa yang ingin disampaikan dimengerti orang lain.
Langsung pada tujuan memang sistim yang paling aman dan bisa diandalkan, satu sistim yang sangat menghemat waktu.
Tentu saja bila orang tak punya kekuatan untuk menggunakannya, belum tentu sistim ini akan bermanfaat.
Tapi So Bong-seng, biarpun sedang berhadapan dengan sang Kaisar pun dia berhak bicara begitu, tidak usah mesti munduk-munduk di depan orang.
Mungkin di sinilah letak daya tarik sebuah kekuasaan.
Begitu So Bong-seng buka suara, dia langsung mengorek titik kelemahan orang. Ketika seseorang tertusuk bagian tubuhnya yang sakit, kau baru dapat melihat sampai dimana kemampuannya untuk mengatasi persoalan, sebab bila seseorang tersentuh titik kelemahannya, ia baru akan menampilkan sisi kuatnya.
"Tulang tengkukku patah!"
Ternyata jawaban Ti Hui-keng pun langsung, bahkan sangat halus dan sopan.
"Jika memang tulang tengkukmu patah, kenapa tak diobati?"
"Tulang tengkukku sudah patah lama sekali, bila dapat diobati, sejak awal sudah diobati."
"Su-tayhu dari balai pengobatan negara adalah salah satu tabib andalan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, datang saja ke loteng kami, akan kuundang dia untuk mengobati penyakitmu."
"Tabib kenamaan tidak menjamin dia adalah seorang tabib yang hebat, kau anggap hidangan yang dimasak oleh koki kerajaan pasti merupakan hidangan yang paling lezat?" jawaban Ti Hui-keng sangat cepat bahkan tajam nadanya, "jika dia benar-benar seorang tabib hebat, sekarang kau tak usah terbatuk-batuk lagi."
"Aku sendiri yang memilih batuk. Di antara kematian dan batuk, aku lebih memilih batuk, bukankah batuk lebih baik ketimbang mampus?"
"Selalu menundukkan kepala pun merupakan nasibku, ada kalanya seorang harus menundukkan kepalanya, sering menundukkan kepala ada juga faedahnya, paling tidak, tak usah kuatir menumbuk tiang rumah, bila aku harus memilih antara menundukkan kepala dan batuk, aku tetap akan memilih menundukkan kepala."
"Aku mengerti maksudmu."
"Aku memang sudah bicara sangat jelas."
"Bila seseorang dapat memilah secara jelas apa yang dilakukan, dia patut diajak bersahabat."
"Terima kasih."
"Sayang kita bukan sahabat."
"Kita memang bukan sahabat."
So Bong-seng kembali terbatuk-batuk, sementara Ti Hui-keng masih menundukkan kepalanya.
Hanya dalam satu gebrakan, perundingan telah diakhiri dengan satu keputusan.
Ti Hui-keng telah menyatakan posisinya, dia menampik undangan yang disampaikan So Bong-seng dan mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong tetap menyatakan permusuhan-nya dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.
Oleh sebab itu mereka adalah musuh, bukan sahabat.
Tapi bukankah sahabat yang paling memahami diri kita justru merupakan musuh yang paling berbahaya?
ooOOoo
Mereka segera memulai perundingan babak kedua.
"Belakangan pihak kerajaan berupaya menggalang kekuatan, biasanya cara yang digunakan untuk menggalang kekuatan adalah mencari musuh dari luar, provokasi dari musuh luar biasanya paling gampang membangkitkan perasaan nasionalis warganya, jika patriotisme dan nasionalisme sudah tumbuh, maka bangsa pasti bersatu dan negara bertambah kuat."
Dalam hal ini, So Bong-seng pun berpendapat begitu. Bila menginginkan Lui Sun gontok-gontokan dengan Ti Hui-keng, mungkin harus menunggu sampai perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau roboh lebih dulu, dunia mulai aman, mereka berdua baru mulai saling bermusuhan.
Menghadapi serangan musuh yang muncul di depan mata, malah sebaliknya membuat mereka semakin bersatu.
Sayang So Bong-seng tak dapat menunggu sampai saat itu.
"Aku pernah mendengar soal itu," jawab Ti Hui-keng santun.
"Jika kau ingin menggerakkan pasukan, maka negara harus dibuat aman dan tenteram terlebih dulu."
"Tentu saja."
"Kalau keadaan di luar tidak aman kan tidak jadi masalah, yang penting keadaan di dalam harus tenang. Di tempat kejauhan tidak tenteram juga tak masalah, tapi di depan kaisar mesti aman dan tenteram."
"Padahal kaki kaisar berada di kotaraja."
"Benar, itulah sebabnya situasi di kotaraja mesti aman tenteram dan sentosa, untuk itu pertama-tama kita mesti mengurangi para pembuat keputusan."
"Semakin sedikit pembuat keputusan, kekuatan semakin terpusat, dapat memusatkan kekuatan berarti menguasai, ini sangat menguntungkan jika membawa pasukan untuk melakukan penyerangan ke tempat jauh."
"Oleh sebab itu para pembesar tinggi kerajaan berharap di dalam kotaraja hanya tersisa sebuah perkumpulan saja."
"Perkumpulan Mi-thian-jit-seng (Tujuh Rasul Pembius Langit) termasuk kekuatan yang datang dari luar, jadi tak masuk hitungan, berarti antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan Lak-hun-poan-tong harus menyingkir salah satunya."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah kita melebur jadi satu?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Karena kau tak bakal setuju." "Kenapa aku tak bakal setuju?"
"Sebab kau selalu ingin jadi Lotoa, bila harus melebur jadi satu, apa mungkin kau mau turun pangkat? Apa mau kau diperintah oleh satu persekutuan?"
"Jadi menurut kau lebih baik membuat persekutuan?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Sebab Lui-congtongcu juga ingin menjadi Lotoa, bila bergabung dalam persekutuan, maka dia mesti menerima juga peleburan."
"Oleh sebab itu kita selalu beda pendapat?"
"Dan di kaki kaisar hanya boleh tersisa perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kim-hong-si-yu-lau."
"Ternyata kau memang orang pandai."
"Biarpun aku jarang mendapat kesempatan untuk mendongakkan kepala," sekilas senyuman pedih melintas di wajah Ti Hui-keng, "namun aku selalu pandai mengatur pekerjaan."
"Orang yang pandai mengatur pekerjaan memang selalu merupakan orang yang kurang beruntung," tampak sekilas kehangatan melintas di mata So Bong-seng, "karena dia tak boleh bloon, tak boleh pikun, bahkan tak boleh menuruti suara hati sendiri, biasanya tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat."
"Ya, jika tugas kelewat banyak, otomatis kehidupan pun jadi kurang bergairah."
"Tahukah kau, tugas berat apa yang harus kau pikul kali ini?"
"Kau ingin aku memikul tugas apa?"
"Sangat sederhana," sahut So Bong-seng cepat, "suruh Lu Sun menyerah!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, kembali terbatuk-batuk.
ooOOoo
Bersambung ke bagian 17
Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16
0 comments:
Post a Comment