Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
17. Pengalaman aneh
Perundingan babak kedua telah berakhir. Ti Hui-keng sama sekali tidak kaget.
Dia mengangkat kelopak matanya, terpancar sinar mata yang bening. Dengan tenang ditatapnya wajah So Bong-seng, menunggu So Bong-seng selesai batuk.
Oleh karena tengkuknya terkulai ke bawah maka kelopak matanya mesti diangkat ke atas agar bisa melihat So Bong-seng. Biji matanya pun bergeser ke arah atas, hal ini membuat matanya nampak putih kebiru-biruan, tajam, mantap dan sangat menawan.
Dia seakan sudah menduga kalau So Bong-seng bakal mengucapkan perkataan semacam itu.
Yang merasa terkejut justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.
Mereka tidak menyangka begitu buka suara So Bong-seng langsung minta perkumpulan Lak-hun-poan-tong, perkumpulan nomor wahid di kolong langit untuk menyerah kepadanya.
ooOOoo
Kini So Bong-seng sudah selesai batuk.
Jarang ada orang yang bisa bersabar menanti sampai dia selesai batuk.
Penyakit batuknya mungkin tidak terlampau parah, tapi begitu mulai batuk, setiap bagian tubuhnya seolah mulai berubah bentuk, suaranya begitu parau seakan pita suaranya segera akan retak dan pecah, lambungnya mengejang keras seakan dijepit orang dengan tanggam baja, seluruh tubuhnya melengkung bagai busur, jantungnya seolah ditusuk hingga berdarah, bola matanya penuh dengan jaringan darah, otot wajahnya menonjol keluar, jalan darah Tay-yang-hiat naik turun tak menentu, otot tubuhnya mengejang, jari tangan pun ikut kejang, begitu hebat batuknya sampai sepasang kakinya tak sanggup berdiri tegak, suaranya menyayat seolah paru-parunya mulai retak dan hancur, hancur berkeping dan ikut menyembur keluar bersama suara batuknya.
Akhirnya selesai juga ia berbatuk.
Begitu batuknya berhenti, dengan hati-hati dia melipat kembali saputangan putihnya dan dimasukkan ke dalam saku, caranya memasukkan saputangan persis seperti seorang yang sedang menyimpan selembar cek yang bernilai seratus juta tahil perak.
"Apakah kau punya pendapat atau usul lain?" tanyanya kemudian.
ooOOoo
Begitu pertanyaan itu diutarakan, berarti perundingan babak ketiga dimulai.
Banyak perundingan yang diselenggarakan di dunia ini memang tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat apalagi terburu-buru.
Siapa terburu-buru berarti dia tak bisa mengendalikan diri, berarti pula dia tak punya kesempatan untuk meraih kemenangan.
Siapa tak dapat mengendalikan diri, dia selalu akan menderita rugi.
Makna yang sebenarnya dari sebuah perundingan adalah bertujuan agar tidak menderita rugi atau sedikit menderita kerugian, atau juga membiarkan orang lain yang rugi, oleh sebab itu semakin berunding harus semakin pandai mengendalikan diri.
"Kenapa bukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang menyerah kepada perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Ti Hui-keng balik bertanya.
Pertanyaan itu diajukan dengan perasaan tenang dan datar, sama sekali tak diselipi gejolak emosi, dia seakan sedang merundingkan satu persoalan yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
"Sebab situasi saat ini sudah amat jelas, Phang-ciangkun yang semula menunjang kalian, sekarang telah berbalik menunjang kami, Yan Yu-si yang semula menjadi bukit sandaran kalian, sekarang malah mengajukan laporan yang merugikan kalian di depan Kaisar, Lui Sun tiga kali mengajukan permohonan untuk bertemu perdana menteri tapi selalu ditolak, masa kau belum bisa menganalisa situasi semacam ini?" tanpa sungkan So Bong-seng langsung menyerang.
"Semua yang kau ungkap memang kenyataan," Ti Hui-keng mengakui dengan cepat.
"Oleh sebab itu kalian sudah mulai menunjukkan gejala kekalahan, bila tidak segera menyerah, yang kalian tuai hanya kekalahan dan kematian, mencari penyakit buat diri sendiri."
"Walaupun fakta yang kau kemukakan benar," ujar Ti Hui-keng hambar, "akan tetapi kami masih mempunyai tujuh puluh ribu anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tinggal di kotaraja, mereka rela mati dalam pertempuran dan tak sudi menjadi seorang lelaki yang menyerah kalah."
"Kau keliru besar," tukas So Bong-seng cepat.
"Pertama, kalian tidak memiliki tujuh puluh ribu anggota, hingga kemarin sore, anggota kalian hanya tersisa lima puluh enam ribu lima ratus delapan puluh dua orang, tapi kemarin tengah malam, delapan ribu empat ratus enam puluh tiga orang yang berada di wilayah Keng-hoa-to telah bergabung ke pihakku, maka hari ini sisa anggota kalian tinggal empat puluh delapan ribu seratus sembilan belas orang, itu belum dipotong lagi dengan kematian si Hwesio Perlente barusan."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, So Bong-seng berkata lebih jauh, "Kedua, dari sisa anggotamu yang empat puluh delapan ribu seratus delapan belas orang itu, paling tidak ada setengahnya bukan manusia yang setia, sisanya yang setengah lagi, di antaranya ada empat puluh persen yang tidak tahan menerima godaan dan rayuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau kami, sisanya yang enam puluh persen ada tiga puluh persen di antaranya tak sudi mati demi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jadi kekuatan yang benar-benar dapat kalian gunakan bukan berjumlah tujuh puluh ribu orang melainkan hanya tujuh ribu orang, jadi kau tak perlu ragu lagi."
So Bong-seng membuka daun jendela yang menghadap ke arah timur, sambil menuding keluar katanya lagi, "Ketiga, coba kau lihat sendiri!"
Di kejauhan sana, dipandang dari tempat yang tinggi, di antara lamat-lamatnya cuaca mendung dan langit berwarna keabu-abuan, tampak satu pasukan manusia berbaju hijau yang menggembol golok besar di punggungnya, berdiri berjajar di tengah terpaan hujan gerimis.
Di belakang pasukan bergolok itu, berjajar pula sepasukan berkuda yang dipimpin seorang lelaki berbaju perang warna putih, membawa tombak panjang yang sangat menyolok.
Biarpun anggota pasukan itu banyak sekali jumlahnya, namun suasana amat hening dan sepi, mereka berdiri angker di bawah derasnya air hujan.
Pasukan itu sama sekali tidak bergerak, hanya panji kebesarannya yang berkibar ketika terhembus angin, di atas panji itu tersulam sebuah huruf yang sangat besar, "To" atau golok.
Perlahan-lahan Ti Hui-keng bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela lalu dengan susah payah melongok sekejap ke tempat jauh, setelah itu dia baru berkata, "Ooh, rupanya To Lam-sin telah membawa Pasukan Angin Puyuhnya datang kemari."
"Oleh karena kalian sudah terkepung, maka pasukan Lui Moay tak berani bergerak maju secara sembarangan," kata So Bong-seng menerangkan.
"Sayang kalian pun tidak sungguh-sungguh berani melancarkan serangan, sebab jika sampai geger, penggunaan pasukan kerajaan untuk kepentingan organisasi bisa menjadi masalah yang amat serius, sudah pasti perdana menteri dan raja muda akan tak senang," kata Ti Hui-keng cepat.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Kecuali kalau pihak kami yang menyerang duluan, To Lam-sin dengan alasan menumpas pemberontakan bisa saja melancarkan pembersihan."
"Perkataanmu tepat sekali," kata So Bong-seng manggut-manggut, "oleh sebab itu kalian pun tak akan melancarkan serangan, tapi kau mesti tahu, dua puluh persen kekuatan pasukan yang ditempatkan di kotaraja berada dalam genggaman kami, ini fakta, inipun kekuatan nyata, padahal kalian tidak memilikinya."
"Betul, kami memang tidak punya," kali ini Ti Hui-keng mengangguk.
"Makanya lebih baik kalian menyerah saja."
"Sekalipun kami bersedia menyerah, belum tentu Cong-tongcu akan menyetujuinya."
"Orang yang sudah terbiasa jadi orang nomor satu memang tak ingin jadi orang nomor dua, tapi bagaimana dengan kau?" tatapan So Bong-seng tajam bagai sembilu.
"Aku pun sudah terbiasa menjadi orang nomor dua," jawaban Ti Hui-keng masih tetap santai, "jadi, mau pindah kemana pun tetap aku jadi orang nomor dua, apa gunanya? Apalagi kalau sampai dijadikan orang nomor tiga atau orang nomor empat, waah ... bedanya bisa jauh sekali."
"Belum tentu, bisa saja kau malah jadi orang nomor satu?" tukas So Bong-seng cepat, kemudian setelah mengatur nada suaranya, ia melanjutkan, "Orang nomor satu perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan orang nomor satu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau boleh saja tetap ada, asalkan si penanggung jawab perkumpulan Lak-hun-poan-tong mau bertanggung jawab juga terhadap perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau."
Ti Hui-keng mencibirkan bibir sebagai ganti senyuman, "Sayang selama ini aku terbiasa memberi pertanggungan jawab kepada Lui Sun."
"Lui Sun sudah tua, sudah tak becus, kau tak usah bertanggung jawab lagi kepadanya, sudah waktunya bagimu untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri."
Ti Hui-keng seakan agak tertegun, sesaat dia tak berkata-kata.
So Bong-seng berkata lebih jauh, "Setelah tujuh-delapan tahun menjadi orang nomor dua, sekarang menjadi orang nomor satu, rasanya hal ini menarik juga."
Ti Hui-keng menghela napas panjang, tapi suaranya sangat lirih, sedemikian lirih hingga nyaris tak terdengar oleh orang lain.
"Apakah kau masih punya pendapat lain?" kembali So Bong-seng bertanya.
Ti Hui-keng mendongakkan kepala dan memandang lawan lekat-lekat, sesaat kemudian ia baru menjawab, "Aku sudah tak punya pendapat apa-apa lagi. Tapi Congtongcu pasti mempunyai pendapatnya sendiri."
"Kau ingin menanyakan pendapatnya?" So Bong-seng tiba-tiba menarik kelopak matanya hingga pandangan matanya nampak dingin menggidikkan.
Ti Hui-keng manggut-manggut.
"Kau sendiri tak sanggup mengambil keputusan?" desak So Bong-seng lagi dengan sorot mata setajam sembilu.
Ti Hui-keng mengawasi sepasang tangannya. Sepasang tangan yang putih dan bersih, jari tangannya panjang tapi ramping, ruas jarinya kelihatan sangat bertenaga.
"Aku selalu memberikan pertanggungan jawab kepadanya, sedang dia bertanggung jawab atas keseluruhan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bagaimanapun aku harus menanyakan pendapatnya, setelah itu baru mulai mempertimbangkan pendapatku sendiri."
So Bong-seng mulai bersikap tenang.
Ong Siau-sik yang selama ini hanya membungkam, mendadak mulai merasa kuatir. Dia menguatirkan Ti Hui-keng.
Asal So Bong-seng melolos goloknya, mungkin dalam waktu singkat Ti Hui-keng sudah roboh bersimbah darah.
Menyaksikan Ti Hui-keng dengan tubuhnya yang begitu lemah, ditambah lagi mengidap cacad yang begitu mengenaskan, dia tak tega menyaksikan orang itu mati.
Untung So Bong-seng tidak turun tangan, dia hanya berkata dengan nada dingin, "Tengah hari tiga hari kemudian, di tempat yang sama, suruh Lui Sun datang kemari, aku ingin berbicara hingga jelas dengannya. Jika ia tidak datang, segala akibat tanggung jawab dia sendiri."
Begitu selesai bicara ia segera beranjak pergi, pergi tanpa melirik lagi ke arah Ti Hui-keng.
Perundingan tiga babak pun kini berakhir.
ooOOoo
So Bong-seng membalikkan badan dan berlalu, turun dari loteng.
Karena ia pergi secara tiba-tiba, mau tak mau Ong Siau-sik mengikut di belakangnya turun dari loteng itu, Pek Jau-hui sebetulnya ingin membangkang, tapi situasi dan kondisi tidak mengizinkan dia mengumbar watak sendiri, maka dia pun ikut turun dari situ.
So Bong-seng memang selalu memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain mengikuti kehendaknya. Kendatipun dia sendiri sudah didera penyakit yang membuatnya nyaris kehilangan segenap tenaga dan kekuatan yang dimilikinya.
Kekuatan dalam kehidupan!
ooOOoo
So Bong-seng sudah turun dari loteng, namun Ti Hui-keng sama sekali tak bergerak.
Beberapa saat kemudian, ia menjumpai gerombolan payung hijau yang semula memenuhi tengah jalan raya, kini sudah bubar dan lenyap dari pandangan.
Tak selang berapa saat kemudian, pasukan berkuda yang berada di kejauhan pun dengan tanpa menimbulkan suara telah bergeser dan meninggalkan tempat itu.
Ti Hui-keng masih duduk dengan santai, persis seperti seorang siucay yang sedang menikmati pemandangan alam di tengah hujan sambil membuat pantun dan syair.
Menyusul kemudian ia mendengar suara tiupan seruling yang berkumandang dari kejauhan, dua kali tiupan panjang tiga kali tiupan pendek, seakan ada orang yang sedang memanggil.
"Sungguh aneh," kala itulah Ti Hui-keng baru berbisik.
Meskipun mengucapkan dua patah kata yang singkat, tapi jelas dia bukan sedang bergumam.
Dia seakan sedang berbicara dengan seseorang.
Tapi ... dalam ruangan loteng itu hanya ada dia seorang, dengan siapa dia berbicara?
Baru selesai dia bicara, mendadak terdengar seseorang menanggapi, "Apanya yang aneh?"
Seseorang terlihat 'berjalan' turun dari atap rumah.
Ia tidak menggunakan gerakan tubuh apa pun, hanya membuka jendela dekat atap rumah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Di antara atap bangunan dengan lantai ruangan tingkat dua, sama sekali tak tersedia anak tangga, namun dia telah berjalan turun ke bawah dengan santainya, seolah sedang berjalan di tanah datar saja.
Orang ini mengenakan jubah lebar berwarna abu-abu, tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku, sewaktu turun ke dalam ruangan, tiba-tiba Ti Hui-keng merasa kalau saat itu turun hujan, benar-benar langit gelap dan hujan turun, suasana hujan yang akan amat menggidikkan.
Sampai kapan hujan akan turun?
Ketika musim hujan lewat, salju pun akan mulai turun.
Bila salju sudah turun, harus menunggu sampai berapa lama lagi matahari baru menampakkan diri?
Pikiran semacam itu hanya berkecamuk di dalam benaknya, di luar ia segera menyapa, "Congtongcu sudah menunggu lama di atap rumah?" Kakek itu tertawa.
"Loji, kau pasti sangat lelah," katanya, "cucilah dulu matamu, kemudian cucilah tanganmu."
Begitu perkataan itu diucapkan, dua orang gadis cantik dengan membawa sebuah baskom perak berisikan air bersih dan sebuah handuk berwarna putih telah muncul dalam ruangan, kemudian dengan sangat hati-hati meletakkannya di atas meja, persis di samping Ti Hui-keng.
Menyaksikan hal ini Ti Hui-keng tertawa.
Ia benar-benar mencuci matanya dengan air, lalu mencelupkan handuk putih itu ke dalam air dan membilas wajahnya perlahan, setelah itu dia celupkan juga sepasang tangannya ke dalam air.
Selang beberapa saat baru ia mencuci tangan itu dengan sangat teliti, mencucinya dengan serius, sangat hati-hati dan tak ada bagian tangannya yang tidak dibersihkan.
Kakek itu hanya mengawasi dari kejauhan, jenggotnya kelihatan agak berguncang, entah karena terhembus angin atau alasan lain, tapi yang jelas bukan cuma jenggotnya yang bergoyang, jubah yang dikenakan pun ikut bergelombang.
Dengan sabar dan hati-hati Ti Hui-keng mencuci matanya, mencuci tangannya, lalu satu demi satu dilap dengan handuk hingga kering, dia tidak membiarkan setetes air pun masih membasahi jari tangannya.
Si kakek pun dengan sabar menunggu, menanti hingga dia menyelesaikan semua pekerjaannya.
Usianya sudah cukup tua, dia tahu, semua keberhasilan harus melalui kesabaran dan keuletan.
Ketika masih muda dulu, dia lebih membara ketimbang orang lain, itulah sebabnya ia berhasil memperoleh dunia, tapi dunia bisa diperoleh dengan semangat yang berkobar, namun begitu harus mempertahankan dunianya, kobaran api yang kelewat panas justru bakal membikin runyam masalah.
Sebab yang diutamakan adalah kesabaran.
Oleh karena itu dia bisa bersabar jauh melebihi kemampuan siapa pun.
Setiap kali dia membutuhkan orang, dia dapat begitu sabar. Apalagi ingin memanfaatkan orang berbakat, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dia sadar banyak persoalan tak akan selesai bila terburu-buru, bahkan ada persoalan tertentu yang semakin susah dicapai bila kelewat bernapsu, maka dia belajar menjadi seorang pemburu, menjadi seorang nelayan, menebarkan jaring dan perangkap, kemudian menyingkir agak menjauh dan menunggu dengan sabar.
Sabar memang mempunyai banyak keuntungan, paling tidak bisa membuat orang lebih jelas melihat situasi, bisa mengatur langkah dengan lebih tepat, memperkuat diri, mengubah posisi lemah menjadi kuat. Jika seorang tak punya kesabaran, dia tak akan berhasil menciptakan karya besar, paling yang bisa dilakukan hanya usaha kecil.
Tentu saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong bukan sebuah usaha kecil.
Maka ia harus sabar, khususnya sabar menghadapi Ti Hui-keng.
Karena Ti Hui-keng adalah orang paling berbakat di antara orang berbakat lainnya.
Ti Hui-keng memiliki dua kelebihan, kelebihan yang dimilikinya terhitung nomor satu di kotaraja, tak nanti ada orang lain sanggup mengunggulinya.
Sepasang tangan Ti Hui-keng.
Sepasang mata Ti Hui-keng.
Maka dari itu dia harus merawat sepasang tangannya ekstra hati-hati, melindungi sepasang matanya ekstra ketat. Lui Sun sangat memahami akan hal ini.
Hari ini dia mengatur rencana secara cermat, menyusun strategi dengan sempurna, tujuannya tak lain adalah untuk mengatur suatu pertemuan antara Ti Hui-keng dengan So Bong-seng, jelas pertemuan ini bertujuan melakukan perundingan, bagaimana hasil perundingan itu tidak terlalu penting baginya, justru kesimpulan yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih penting dari segalanya.
Inilah yang disebut kekuatan dari suatu pengamatan, jika pandai memanfaatkannya, maka pengamatan dari seseorang justru jauh lebih berharga daripada harta kekayaan.
Setelah So Bong-seng berlalu, Ti Hui-keng hanya mengucapkan sepatah kata, "Aneh!"
Kenapa aneh?
Apanya yang aneh?
Lui Sun tak perlu terburu-buru, sebab dia tahu Ti Hui-keng pasti akan menjelaskan.
Siapa pun orangnya, bila dia memiliki bobot seperti Ti Hui-keng, memiliki kemampuan yang hebat dalam menganalisa sesuatu dan mengambil suatu kesimpulan, dia berhak untuk jual mahal, berbicara bila dia merasa senang.
Akhirnya Ti Hui-keng bicara juga, ujarnya, "Aneh, kenapa So Bong-seng begitu terburu-buru?"
"Maksudmu dia terburu-buru ingin bertanding melawanku?" tanya Lui Sun hati hati.
Ti Hui-keng menundukkan kepala, mengalihkan sorot matanya mengawasi sepasang tangannya yang putih mulus, "Sebenarnya dia tak perlu terburu-buru, karena situasi makin lama semakin menguntungkan bagi dirinya."
Lui Sun tidak menjawab, dia menunggu Ti Hui-keng bicara lebih jauh.
Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan melanjutkan kata-katanya.
Sekalipun Ti Hui-keng bukan sedang memberi laporan kepada atasannya tentang hasil pantauan dan analisanya, dia tetap akan mengatakannya, sebab pandangan seseorang yang kelewat istimewa, pendapat yang kelewat sempurna, selalu berharap ada orang bisa menikmatinya, ada orang memujinya.
Tak disangkal Lui Sun adalah seorang pendengar, penikmat dan pemuja yang amat pandai.
Benar saja, Ti Hui-keng berkata lebih jauh, "Jika seseorang sudah terburu-buru ingin menyelesaikan segala sesuatunya, berarti dia sudah berada dalam kondisi tak bisa menunggu lagi, jelas hal ini merupakan kesulitannya, kesulitan seseorang besar kemungkinan merupakan titik kelemahannya."
Bicara sampai di situ ia segera membungkam.
"Apakah dengan mencari titik kelemahan itu berarti kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan diri dari kekalahan?" Lui Sun segera menimpali.
"Benar!"
"Tapi kesulitan apa yang sedang ia hadapi?"
"Kita tidak tahu, kita hanya bisa menebak ..." sekilas perasaan bimbang muncul di wajah Ti Hui-keng.
"Kondisi kesehatannya?" tanya Lui Sun.
Inilah tujuan utamanya mempersilakan Ti Hui-keng berjumpa dengan So Bong-seng, hanya Ti Hui-keng seorang yang bisa melihat apakah So Bong-seng benar-benar berpenyakit, bagaimana penyakitnya dan apa penyakitnya.
So Bong-seng merupakan seorang jago yang tak mudah dikalahkan, dia nyaris tak punya kelemahan, musuh-musuhnya pun tak berhasil menemukan titik kelemahannya.
Tapi setiap orang tentu punya kelemahan, biasanya jago tangguh pandai menyembunyikan kelemahan, bahkan pandai mengubah titik kelemahannya menjadi titik yang paling kuat.
Sehebat apa pun kepandaian silat yang dimiliki seseorang, dia tak akan lolos dari kematian, begitu juga dengan kondisi kesehatan seseorang, seprima apa pun kondisi tubuhnya, suatu ketika pasti akan sakit juga.
Tapi penyakit apa yang diderita So Bong-seng? Bila orang lain tak sanggup merobohkan dia, mungkin setan penyakit dapat merobohkan dirinya?
Berita semacam inilah yang paling ingin diketahui Lui Sun.
"Dia benar-benar sakit," ungkap Ti Hui-keng tegas, dia tahu analisa yang baru saja dilontarkan itu sudah lebih dari cukup untuk menggemparkan seluruh kotaraja, menggetarkan separuh dunia persilatan, "Seluruh tubuhnya tak ada yang tidak sakit, paling tidak ia menderita tiga empat macam penyakit, hingga kini penyakitnya boleh dibilang termasuk penyakit parah yang tak ada obatnya, di samping itu dia pun menderita lima-enam macam penyakit yang hingga kini belum diketahui namanya. Sampai sekarang dia masih belum mati karena dia mempunyai tiga kemungkinan."
Setelah termenung sejenak, terusnya, "Kemungkinan pertama, tenaga dalamnya kelewat tinggi, sanggup mengendalikan penyakitnya hingga tidak menjalar. Namun, sehebat apa pun tenaga dalamnya, mustahil dia bisa mengendalikan penyakitnya dalam jangka waktu yang panjang, mustahil bisa membuat penyakitnya tidak memburuk."
Sinar matanya dialihkan ke atap bangunan dan menerawang sampai lama sekali.
Lui Sun menanti dengan tenang, menanti dia melanjutkan perkataannya, wajahnya tak ada rasa gusar, tak ada perasaan mendongkol, yang ada hanya keseriusan, keseriusan untuk mendengar.
Mimik seperti inilah yang paling ditakuti Ti Hui-keng, sebab dari balik mimik muka seperti ini, sulit baginya untuk menebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan orang itu.
"Kemungkinan kedua, bisa jadi tujuh delapan macam penyakit yang dideritanya saling mengendalikan, saling berbenturan hingga untuk sementara tak akan kambuh."
"Apa pula kemungkinan yang ketiga?" tanya Lui Sun cepat.
"Pengalaman aneh."
ooOOoo
Bersambung ke bagian 17
Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 } 17
0 comments:
Post a Comment