Join The Community

Premium WordPress Themes

Golok Kelembutan 20. Bukan hanya nomor satu

Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)

Seri Pendekar Sejati

Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID

20. Bukan hanya nomor satu

"Kau jadi Lotoa?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya sambil menghela napas panjang.

"Manusia macam aku kalau tidak jadi Lotoa, siapa yang jadi Lotoa?" So Bong-seng balik bertanya sambi! mendelik.

Sambil menggendong tangan memandang langit Pek Jau-hui termenung beberapa saat lamanya, sampai lama kemudian ia baru menghembuskan napas panjang dan berkata, "Ada sepatah kata akan kusampaikan dulu."

"Katakan."

Mendadak Pek Jau-hui maju ke depan, menggerakkan sepasang tangannya, dan memegang bahu So Bong-seng.

Tangan Su Bu-kui yang menggenggam golok pembabat seketika nampak mengejang keras hingga otot-otot hijaunya kelihatan nyata.

Sorot mata Mo Pak-sin yang tersembunyi di balik kelopak matanya yang bengkak pun tiba-tiba memancarkan cahaya setajam sembilu.

Bila sepasang tangan itu dibiarkan memegang bahu So Bong-seng, maka paling tidak ada tujuh delapan macam cara untuk menguasainya dan tujuh delapan belas jalan darah ke-matian akan terancam.

Apalagi tangan yang menggenggam itu milik Pek Jau-hui.

So Bong-seng sama sekali tak bergerak, mengedipkan mata pun tidak.

Dengan cepat sepasang tangan Pek Jau-hui sudah menempel di atas sepasang bahu So Bong-seng.

Tanpa perintah dari So Bong-seng, siapa pun tak berani turun tangan secara sembarangan.

Begitu tangannya memegang bahu So Bong-seng, dengan suara lantang Pek Jau-hui berseru, "Toako!"

So Bong-seng tertawa.

Ia memandang Ong Siau-sik sekejap, kemudian memandang pula Pek Jau-hui sekejap, sinar mata penuh senyuman terpancar dari balik matanya. Begitu ia tertawa, semua kebekuan pun sirna, seakan bukit salju yang tiba-tiba mencair dan airnya mengalir masuk ke dalam sungai.

"Tahukah kalian apa bedanya senyumanku sekarang dengan senyumanku tadi?" ia bertanya.

"Tadi palsu, senyuman palsu!" seru Ong Siau-sik tertawa geli.

"Dan sekarang asli, tertawa asli!" sambung Pek Jau-hui pula sambil tertawa, suara tawanya ibarat hembusan angin musim semi yang menggoyangkan permukaan air.

"Hahaha, tepat sekali jawaban kalian!" So Bong-seng tertawa tergelak.

Ketiga orang itu segera tertawa keras, tertawa penuh kegembiraan.

Mo Pak-sin segera maju ke depan, serunya cepat, "Kionghi Locu, hari ini kita benar-benar telah menaikkan bendera kemenangan, bukan saja dalam perundingan berhasil meraih di atas angin, bahkan bisa berkenalan dengan dua saudara yang baik!"

"Kau jangan merasa iri dulu," kata So Bong-seng sambil tertawa, "persaudaraan kami tidak terjadi dengan gampang, tugas pertama yang harus mereka kerjakan selain ganas juga luar biasa susahnya. Sementara kau adalah anak buah andalanku, kau bersama si To tua, A Si, Siau-kwik semuanya merupakan malaikat penunggu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, tanpa kehadiran kalian, mungkin sejak awal perkumpulan kita sudah ambruk, sudah runtuh dan bubar!"

Sekilas perubahan terpancar dari wajah Mo Pak-sin, perasaan terharu yang amat sangat. Gejolak emosi itu meski menyelimuti hatinya, namun dia berupaya untuk menahannya. Tapi dia tak sanggup menahan diri.

Gejolak emosi yang didorong perasaan terharu itu datang semakin menggelora, bagaikan hantaman ombak besar di atas batu karang menimbulkan gelombang besar dalam hatinya.

Tiba-tiba So Bong-seng bertanya, "Mana To Lam-sin? Apakah Pasukan Angin Puyuhnya sudah ditarik mundur?"

Sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Mo Pak-sin baru menjawab, suaranya tenang, "Sudah ditarik mundur, katanya dia akan menarik pasukannya kembali ke markas, mungkin malam nanti baru akan datang ke loteng untuk memberi laporan."

So Bong-seng manggut-manggut, kepada Su Bu-kui tanyanya, "Kau tahu, kau adalah apaku?"

"Aku adalah pasukan berani mati dari Kongcu," jawab Su Bu-kui tanpa berpikir lagi, "jika Kongcu menginginkan aku mati, aku segera akan pergi mati!"

"Kau keliru besar," tukas So Bong-seng serius, "bila seseorang benar-benar sangat baik terhadap orang lain, dia pasti tak akan berharap dia mati demi dirinya, kau harus ingat terus perkataanku ini."

"Tapi aku rela mati demi Kongcu, mati tanpa penyesalan."

"Hal itu hanya menunjukkan kesetiaanmu terhadapku, tapi aku lebih suka kau hidup demi aku."

Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah orang kepercayaanku, bukan pasukan berani matiku."

Sekilas cahaya mata yang tak terlukiskan dengan kata memancar keluar dari balik mata Su Bu-kui.

Terharu? Gejolak emosi yang meluap? Rasa terima kasih yang berlebihan? Mungkin satu di antaranya, mungkin juga meliputi keseluruhannya.

So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sayang Wo Hu-cu, Hoa Bu-ciok, si Barang antik dan Te Hoa sudah pergi jauh ... coba kalau mereka masih ada dan menyaksikan aku berhasil mengangkat saudara dengan dua adik yang setia kawan, mereka pasti akan ikut gembira."

Cahaya air mata terbias di balik mata Su Bu-kui. Dia tahu, So-kongcu selalu meluangkan banyak waktu hanya untuk mengenang dan memikirkan orang kepercayaannya, sayang mereka semua tak mungkin bisa berkumpul jadi satu.

Bedanya, dalam kenangannya kali ini Hoa Bu-ciok dan si Barang antik telah mati karena pengkhianatannya, Wo Hu-cu dan Te Hoa tewas karena dibokong musuh, yang tersisa sekarang tinggal Yo Bu-shia dan dirinya, tapi terlepas apakah dia telah berkhianat atau tetap setia, So Bong-seng tetap sama saja akan mengenangnya.

Tak kuasa lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang. Mengapa dia menghela napas?

Apakah dia pun mempunyai pengalaman yang tak diketahui orang, pengalaman sedih yang selalu terpendam di dasar hatinya?

Seorang jago berilmu tinggi yang sudah berusia mendekati tiga puluh tahun tapi masih belum ada orang yang mengetahui kehadirannya, sebetulnya pengalaman luar biasa apa yang pernah dialaminya?

Sekilas perasaan simpati bercampur rasa ingin tahu melintas secara tiba-tiba dari balik mata Ong Siau-sik, tentu saja ia tak berani memperlihatkan perasaan simpatinya.

Dia tahu beberapa orang yang kini berjalan bersama di tengah jalan raya ini merupakan jago-jago sangat tangguh, siapa pun di antara mereka, asal menggerakkan sebuah jari tangannya saja, pasti akan menimbulkan gelombang besar dalam dunia persilatan, manusia semacam ini apa mau menerima rasa simpati orang?

Walaupun sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membutuhkan rasa simpati dari orang lain.

Bagi seorang lelaki sejati yang hidup dalam dunia persilatan, mereka lebih suka mengucurkan darah ketimbang melelehkan air mata, sejarah pedih yang ada dalam sepenggal kehidupan masa lalunya ibarat luka yang menyayat di tubuh hingga merasuk ke tulang. Dalam keheningan malam yang sunyi, hanya bisa dirasakan kepedihannya seorang diri, tapi mereka tak nanti memohon simpati orang lain.

Jika kau memperlihatkan rasa simpatimu kepadanya, itu berarti kau memandang rendah dirinya.

Seorang lelaki sejati mungkin akan merentangkan tangannya untuk memeluk dan menyambut kau untuk minum arak bersama, membunuh musuh bersama, dengan penuh kehangatan mengajak kau mengayun tinju menyambut datangnya hembusan angin topan, memutar golok menghancurkan impian indah, tapi mereka tak akan membiarkan kau menyampaikan rasa simpati.

Hanya si lemah, si pecundang yang suka menerima simpati orang lain.

Rasa simpati Ong Siau-sik hanya muncul di dasar hatinya yang paling dalam, dia tahu apa yang mesti diperbuatnya, mengubah rasa simpati menjadi sebuah kenangan. Sementara rasa ingin tahu memang merupakan ciri khas seorang anak muda.

Pemuda mana yang tak punya rasa ingin tahu?

Sementara semua orang masih termenung dengan perasaan masing-masing, mendadak So Bong-seng menghentikan langkahnya.

Ternyata mereka telah tiba di suatu tempat... Kim-hong-si-yu-lau!

Begitu melihat bangunan itu, tak tahan Ong Siau-sik segera berseru, "Itu sih bukan loteng, tapi sebuah pagoda!"

"Tempat manakah ini?" tanya So Bong-seng sambil tertawa.

"Sebuah bukit"

"Bukit apa?"

"Bukit Thian-swan-san," jawab Ong Siau-sik setelah berpikir sejenak.

"Di atas bukit sumber langit ini terdapat tempat terkenal apa saja?"

Kali ini Ong Siau-sik tak perlu berpikir lagi, segera jawabnya, "Tentu saja terdapat pagoda Giok-hong-tha yang tersohor di seantero jagad serta mata air nomor wahid di bawah pagoda itu."

"Kali ini kau keliru besar!" kata So Bong-seng sambil tertawa, "ketika perkumpulan Kim-hong-siyu-lau mendirikan partai dan markasnya, kalau tidak dibangun di tempat seperti ini, tempat mana lagi yang jauh lebih pantas?"

Ong Siau-sik agak melengak, sahutnya kemudian, "Benar juga perkataanmu!"

"Bukan hanya nomor satu di kolong langit," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela.

Berkilat sepasang mata So Bong-seng sesudah mendengar perkataan itu, sekujur badannya nampak agak bergetar, tegurnya kemudian, "Apa maksud perkataanmu itu?"

"Kalau cuma ingin menjadi kekuatan paling berpengaruh di kotaraja, bahkan menjadi perkumpulan nomor satu di kolong langit, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah mampu melakukannya sejak dulu," Pek Jau-hui berpaling ke arah Ong Siau-sik, kemudian tanyanya, "Kau pernah mendengar cerita seputar pagoda mestika yang ada di bukit Thian-swan-san?"

"Pernah," sahut Ong Siau-sik, "konon dulunya tempat ini adalah sebuah telaga, banyak orang bercocok tanam di tanah ini, setiap menjelang musim panas, dari tengah telaga akan memancar keluar mata air yang menyemburkan air setinggi ratusan kaki, karena itu semua orang menyebut tempat ini sebagai mata samudra."

Pek Jau-hui memandang sekejap pemandangan sekeliling tempat itu, lalu katanya, "Tapi sekarang, tempat ini sudah berubah menjadi sebuah tempat dengan pemandangan alam yang sangat indah."

"Konon ada seorang pembesar setempat yang kemudian berniat meratakan mata samudra itu, dia perintahkan orang untuk menggali tanah membongkar batu cadas, namun sudah lima tahun mereka bekerja, mata samudra belum berhasil juga diratakan. Setelah itu datang tujuh orang, mereka adalah tujuh saudara angkat, sang Lotoa pun berkata, 'Biar kami yang menyelesaikan persoalan ini.', kemudian dia kerahkan tujuh puluh ribu orang untuk bekerja di situ, dia membangun sebuah tanah perbukitan batu di puncak utara mata samudra dengan menggunakan jutaan mantau."

"Benar, di antara ketujuh bersaudara itu, Lotoa mereka yang bermarga Li merupakan seorang pemimpin yang bernyali, setelah dia mengusulkan begitu, maka saudara yang lain pun segera mendukung usulannya. Saudara kedua Tauw-ji bertugas memasak baja menjadi cairan, Kiong-sam memerintahkan orang menuang cairan baja itu ke atas bukit mantau, Hong-si pandai ilmu perkayuan, dia bertugas mengukur kekuatan air tanah., Che-lak pandai mengatur keuangan, untuk membiayai proyek besar ini dibutuhkan dana besar, dialah yang bertanggung jawab mencari sokongan dan sumbangan, Siang-jit bertugas mengurusi segala transportasi peralatan, selama tiga bulan mereka bekerja siang malam. Dan otak arsitek yang merencanakan proyek besar ini adalah Liu-ngo, selama ini Liu-ngo merupakan pembantu paling andal dari Li-lotoa."

"Benar, selanjutnya mereka menuang cairan baja itu di atas bukit mantau dan menggugurkannya ke bawah bukit sehingga persis menyumbat mata samudra, karena mata air tersumbat, tanah di sekelilingnya pun mengering dan berubah jadi sawah, sawah menghasilkan padi, dari padi berubahlah jadi beras yang wangi lagi pulen."

"Kedengarannya macam cerita dongeng saja," komentar So Bong-seng.

"Dulunya aku pun menganggap cerita itu hanya isapan jempol, tapi kemudian aku dengar dari cerita para Cianpwe, katanya tujuh bersaudara itu tak lain adalah cikal bakal pendiri Perkumpulan Kolong Langit Thiari-he-pang. Jadi aku pikir, mungkin saja cerita itu merupakan sebuah kejadian yang nyata."

Pek Jau-hui manggut-manggut, katanya, "Tampaknya cerita dongeng hanya merupakan sebuah impian, impian adalah satu langkah lebih awal dari khayalan, bila sebuah khayalan diwujudkan menjadi kenyataan, maka khayalan itu akan muncul sebagai sebuah karya dan kejadian seperti ini bukannya tak mungkin terjadi."

Sorot matanya dialihkan untuk memandang sekejap bangunan pagoda tujuh tingkat itu, kemudian lanjutnya, "Seperti pendirian perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, sebetulnya merupakan saru kejadian yang tak mungkin bisa diwujudkan."

"Dan kebetulan kita sekarang berada di tengah kejadian yang kau katakan tak mungkin bisa diwujudkan itu," sambung Ong Siau-sik dengan sorot mata seterang lampu lentera. "Cuma sayang kau sudah ketinggalan satu hal dalam ceritamu itu."

"Seingatku, semua yang kuketahui sudah kuceritakan," sahut Ong Siau-sik setelah berpikir.

"Ini disebabkan kau belum pernah mendengar sebelumnya," kata Pek Jau-hui, "di dalam kolam mata air di bawah pagoda Giok-hong-tha masih terdapat sebuah pagoda lagi, pagoda itu hanya separuh yang muncul di permukaan air, orang menyebutnya Tin-hay-tha atau Pagoda Penenang Samudra."

"Apa? Di bawah pagoda masih ada pagoda? Pagoda di dalam air?"

"Coba kau tengok ke arah sana, bukankah lamat-lamat masih terlihat," kata Pek Jau-hui sambil menuding ke arah depan.

Mengikuti arah yang ditunjuk, Ong Siau-sik berpaling, benar juga terlihat sebuah pagoda berwarna putih yang runcing, atasnya mencuat keluar dari permukaan air.

"Kau jangan memandang enteng separuh pagoda itu," ujar Pek Jau-hui lebih jauh, "orang menyebutnya 'Mata Batu Penenang Samudra', dikarenakan setiap permukaan air naik maka pagoda itupun ikut naik, setiap permukaan air turun maka pagoda itupun ikut turun. Konon di bawahnya terdapat seekor naga emas yang menjaga benteng itu. Oleh karena masuk keluarnya air terkendali maka air yang mengalir keluar dari mata air itu tak pernah bisa menenggelamkan kotaraja."

"Hahaha, benar-benar cerita dongeng yang menarik" Ong Siau-sik tertawa tergelak.

"Cerita dongengnya bukan cuma sampai di situ, konon setelah permukaan air menyusut, di situ hanya tertinggal sebuah mata air kecil yang menyemburkan air bersih, air itu bening bagai mutiara, manis bagai madu, orang menyebutnya Thian Swan, Mata Air Langit. Suatu saat ada seorang kaisar yang tertarik dengan cerita mata air itu sempat menginap selama beberapa hari di sana, ketika mendengar cerita tentang naga emas yang menjaga kota air, dia pun memerintahkan tiga puluh ribu orang pekerja untuk menyumbat mata air itu dan kemudian menggali ke bawah. Konon para pekerja berhasil menggali keluar sebuah pagoda batu setinggi tujuh tingkat, ketika sang kaisar memeriksa dinding pagoda itu, ditemukan ada dua bait syair terukir di sana, syair itu berbunyi, 'Di bawah mata air langit ada sebuah mata air, pagoda menampilkan wujud, kekuasaan pun ambruk', membaca syair itu Sri baginda terperanjat, lekas dia memerintahkan orang untuk menutup kembali bekas galian itu dan membiarkan air tetap menggenangi pagoda agar kerajaaannya tidak ikut ambruk."

Bicara sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke wajah So Bong-seng, tanyanya, "Kau mendirikan Kim-hong-si-yu-lau di atas bukit Thian-swan-san, sebenarnya dikarenakan mata air kemala itu atau demi pagoda batu, atau mungkin dikarenakan bait syair yang tertera di bawah pagoda itu?"

So Bong-seng sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apa pun, sorot matanya masih sedingin salju. Senyuman yang selalu menghiasi wajahnya semenjak mengangkat saudara tadi, kini secara tiba-tiba berubah jadi dingin membeku lagi.

Mendadak Ong Siau-sik merasakan hatinya ikut membeku. Dipandang oleh sorot mata sedingin ini, dia merasa tubuhnya seolah terkubur dalam longsoran salju.

Setelah termenung sejenak, cepat pemuda itu menimbrung, "Aku lihat Kim-hong-si-yu-lau bukan dibangun di tengah air, peduli amat dalam air ada naga atau ada pagoda, aku rasa justru bangunan loteng persegi empat itulah baru merupakan tempat yang utama."

"Kenapa?" tanya Pek Jau-hui.

"Coba kau lihat, warna keempat bangunan loteng itu kuning, hijau, merah dan putih, seandainya ada musuh datang menyerang, sudah pasti mereka tak akan bisa memastikan di-manakah letak markas besar yang sebenarnya, padahal di balik setiap bangunan loteng itu justru sudah dilengkapi dengan berbagai alat jebakan!"

"Kalian semua keliru besar," mendadak So Bong-seng berkata, "akulah Kim-hong-si-yu-lau, Kim-hong-si-yu-lau adalah aku! Kim-hong-si-yu-lau hidup dalam hatiku, hidup dalam hati setiap anggota, tak seorang pun sanggup memusnahkannya, orang lain hanya tahu apa yang pernah ia lakukan, tapi tak akan tahu apa yang hendak dilakukan."

Kemudian ia berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu, lalu ajaknya, "Ayo, kita beristirahat dulu di loteng merah."

Loteng merah dibangun sangat megah dan mewah, tiang bangunan terbuat dari batu kemala, tampaknya tempat ini memang khusus disiapkan untuk menerima tamu, menjamu tamu dan mengadakan perjamuan kehormatan.

Lalu apa kegunaan ketiga bangunan loteng yang lain?

ooOOoo

Bersambung ke bagian 21

Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 |

0 comments: