Golok Kelembutan (Wen Rou Yi Dao)
Seri Pendekar Sejati
Karya: Wen Rui An / Penyadur: Tjan ID
21. Bersedia
Di saat Pek Jau-hui masih memikirkan persoalan itu, mendadak ia merasa Ong Siau-sik secara diam-diam sedang menarik ujung bajunya dari belakang. Terpaksa dia pun memperlambat langkahnya.
Dengan suara setengah berbisik Ong Siau-sik berkata, "Aku merasa berterima kasih karena tadi kau telah melakukan penambahan dalam cerita dongengku."
Pek Jau-hui tertawa.
"Aku selamanya paling suka ada orang tahu berterima kasih, aku memang orang yang gila hormat."
"Aku bicara serius. Pernah kau dengar, dari dulu hingga sekarang, banyak pejabat setia justru berakhir dalam kondisi yang mengenaskan?"
Pek Jau-hui berpikir sejenak, lalu sahutnya sambil tertawa, "Ini disebabkan para pejabat setia itu kelewat polos, kelewat jujur, biasanya tak suka mendengar nasehat orang, bahkan ada kalanya senang menampar mulut orang yang suka memberi nasehat kepadanya, tapi aku? Memangnya aku mirip dengan orang yang jujur dan polos?"
"Kau memang tidak mirip," Ong Siau-sik menghela napas, "aku rasa selain kelewat polos dan jujur, para pejabat setia percaya diri, mereka anggap bicara pakai aturan sudah dapat menyelesaikan segala urusan, padahal tak ada manusia di dunia ini yang senang ditunjuk kesalahannya di hadapan orang lain, memangnya dianggap kalau bicara blak-blakan lantas semua orang mau menerimanya? Kalau seseorang tidak mempertimbangkan hal semacam ini, sering akibatnya menjadi runyam."
Pek Jau-hui terbungkam tanpa menjawab.
Kembali Ong Siau-sik berkata, "Ada satu cerita lagi, dulu Chao-chao berulang kali menyerang sebuah kota, tapi tak pernah berhasil merebutnya, ketika kegagalan demi kegagalan dialaminya, ia pun berniat menarik mundur pasukannya, ketika berjalan mondar-mandir sambil berpikir itulah dia berseru, 'sayap ayam, sayap ayam!'. Anak buahnya kebingungan karena tak paham apa yang dimaksud, kemudian ada seorang yang merasa pintar berkata, 'Mari kita bebenah', perdana menteri memerintahkan untuk menarik pasukan, rekannya pun bertanya kenapa ia berkesimpulan begitu? Si pintar menjawab, sayap ayam adalah bagian yang paling hambar, maksudnya dibuang sayang, ini berarti niatnya untuk mundur sudah bulat. Merasa perkataannya masuk akal maka semua orang bersiap untuk mundur. Ketika Cho-cho mengetahui kejadian ini, ia menjadi terperanjat, dia pikir, kenapa si pintar bisa membaca jalan pikirannya."
Berbicara sampai di situ Ong Siau-sik berhenti sejenak, lalu tanyanya lagi, "Menurut dugaanmu, apa yang dilakukan Cho-Cho terhadap orang pintar itu?"
"Membunuhnya!" jawab Pek Jau-hui tanpa berkedip. "Menurut pendapatmu, benarkah tindakan yang dilakukan Cho-cho?"
"Tidak bagus, tapi tindakan yang tepat. Ketika dua pasukan sedang berhadapan di medan laga, sebelum jenderal menurunkan perintah, orang pintar yang berlagak pintar hanya akan menggoyahkan pikiran pasukan, menurunkan semangat tempur dan menggoncangkan rasa percaya diri. Sudah tentu orang semacam ini harus dibunuh."
Ong Siau-sik menghela napas panjang.
"Jika kau adalah seorang yang amat cerdas, tapi tak mampu mengendalikan diri hingga memperlihatkan kecerdasannya, dan akibat perbuatan itu justru mengundang datangnya bencana kematian, apakah hal semacam ini tidak terlalu sayang?"
Pek Jau-hui memiringkan wajahnya mengerling ke arah Ong Siau-sik sekejap, lalu serunya, "Apa yang barusan kau katakan bukan cerita dongeng tapi sejarah."
"Sesungguhnya bukan hanya cerita sejarah saja, tapi juga serupa peringatan. Kalau sejarah hanya menceritakan kembali apa yang pernah terjadi dulu, sedang peringatan lebih mempertegas agar orang jangan meniru cara yang pernah dilakukan orang dulu."
"Kau bukan sedang membicarakan sejarah, tapi sedang membicarakan aku," tukas Pek Jau-hui sambil menggendong tangan memandang ke angkasa, ia menarik napas panjang, "Aku sangat memahami maksudmu, tapi ... aku tetap akan menjadi diriku sendiri."
Pada saat itulah terlihat seseorang berjalan masuk ke dalam ruang loteng merah.
Orang itu masih muda dan tampan, di atas jidatnya terlihat sebuah tahi lalat hitam yang besar, tingkah lakunya lembut, sopan dan sangat terpelajar, perawakan tubuhnya tinggi kurus, jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Sambil tersenyum dia manggut-manggut, tampaknya sedang menyapa Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik.
Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui sama sekali tidak kenal siapakah orang itu.
Dengan sikap yang sangat menghormat orang itu masuk sambll menjinjing dua jilid buku yang sangat tebal, kemudian dilaporkan ke hadapan So Bong-seng.
Dengan cepat So Bong-seng menyambut buku itu, lalu membnlok balik beberapa halaman dan keningnya pun berkerut. Tak ada yang tahu apa yang telah dilihatnya dan apa yang lelah dibaca dari buku itu.
Kecuali So Bong-seng dan orang itu, siapa pun tidak tahu kenapa sebelum memasuki ruang utama loteng merah itu, So Bong-seng berhenti dulu di atas anak tangga dan membolak-balik beberapa halaman buku besar itu.
Apakah selanjutnya So Bong-seng akan mempelajari dulu Isi kitab itu kemudian baru melanjutkan pekerjaannya?
Dalam pada itu Mo Pak-sin berkata secara tiba-tiba, "Saudara berdua, dia adalah Yo-congkoan, Yo Bu-shia."
"Pek-tayhiap, Ong-siau-hiap," pemuda itu segera menjura.
"Darimana kau tahu kalau aku dari marga Pek?" tanya Ong Siau-sik.
"Ya, darimana kau bisa tahu kalau aku bermarga Ong?" sambung Pek Jau-hui.
"Ah, kalian berdua memang senang bergurau," seru Yo Bu-shia tersenyum, kepada Ong Siau-sik terusnya, "Kau adalah Ong-siau-hiap." Kemudian sambil berpaling ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Dan kaulah Pek-tayhiap."
"Kita belum pernah berjumpa," sela Pek Jau-hui.
"Tapi kami mempunyai semua bahan, keterangan serta kasus yang pernah kalian berdua lakukan," sambung So Bong-Seng tiba-tiba.
Dia serahkan salah satu kitab tebal itu ke tangan Yo Bu-shia.
Dengan suara lantang Yo Bu-shia segera membaca, "Pek Jau-hui, dua puluh delapan tahun, berwatak angkuh lagi jumawa, senang menggendong tangan sambil memandang angkasa, jejak tidak menentu, kalau turun tangan selalu telengas dan tidak membiarkan musuhnya hidup, di bawah puting susu kirinya terdapat sebuah bisul daging, besarnya lebih kurang sekuku jari ...."
"Hmmm, rupanya ada orang senang mengintip orang lain sedang mandi!" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin.
So Bong-seng tidak menanggapi, dia hanya berdiri tanpa reaksi.
Terdengar Yo Bu-shia membaca lebih lanjut, "... pernah memakai nama samaran Pek Yu-bong dan menyanyi di kebun Sim-cun-wan kota Lok-yang, memakai nama samaran Pek Ing-yang, bekerja sebagai piausu di perusahaan ekspedisi Kim-hoa-piau-kiok, memakai nama samaran Pek Yu-kin, menjadi penulis dan pelukis di kota-kota besar, memakai nama samaran Pek Ko-tang, berhasil merebut juara pertama dalam pertandingan silat di kota Sam-siang wilayah tiga sungai besar."
Mendengar sampai di situ, timbul perasaan kagum dan hormat di wajah Ong Siau-sik.
Semakin banyak nama samaran yang digunakan Pek Jau-hui, semakin mencerminkan betapa sengsara dan menderitanya masa lalu pemuda itu, juga mencerminkan betapa tersiksanya dia karena tak pernah orang mengagumi kebolehannya.
Dalam pada itu paras muka Pek Jau-hui makin lama berubah semakin hebat.
Ia menarik napas dalam-dalam, sepasang tangannya diletakkan di belakang punggung, tapi baru sebentar sudah bergeser ke samping kaki, kemudian dimasukkan lagi ke dalam saku.
Semua kejadian sebenarnya hanya dia seorang yang tahu. Kecuali dia sendiri, tak mungkin di kolong langit ada orang kedua yang mengetahui rahasia ini.
Tapi kini, bukan saja pihak lawan mengetahui dengan sangat jelas bahkan seakan jauh lebih jelas daripada dia pribadi, malah semua sudah tercatat di dalam buku catatan besar.
Yo Bu-shia membacakan lagi, "... pernah mengalami masa jaya ketika berusia dua puluh tiga tahun dan dua puluh enam tahun, ketika berusia dua puluh tiga tahun, dengan memakai nama samaran Pek Beng melakukan pembantaian terhadap enam belas orang panglima bangsa Kim di tebing Boan-liong-po, oleh kalangan militer ia disebut Naga sakti dari Luar Angkasa dan pernah memimpin tiga puluh laksa prajurit, tapi tak lama kemudian ia buron karena dicari pihak militer."
"Kemudian pada usia dua puluh enam tahun ......."
Pek Jau-hui mulai terbatuk-batuk ringan, ia nampak mulai jengah dan kelabakan sendiri, persis seperti semut di atas kuali panas.
"Kemudian pernah menjadi sasaran yang diincar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hampir saja dia diangkat menjadi Tongcu untuk tiga belas kantor cabang ........."
Mendadak So Bong-seng menukas, "Coba dibacakan saja kehebatan kungfu serta asal usulnya."
"Baik. Asal usul perguruan Pek Jau-hui tidak jelas, perguruan tidak tercatat, orangtua tak jelas, istri tak ada, senjata tak menentu."
Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui.
Terdengar Yo Bu-shia membacakan lagi, "Ilmu silat andalannya mirip ilmu andalan Lui Cian, ilmu jari Sin-sin-ci dari Lui-bun-ngo-hou-jiang, salah satu aliran Bi-lek-tong dari wilayah Kanglam. Cuma kalau Lui Cian menggunakan ibu jari maka Pek Jau-hui menggunakan jari tengah, ilmu jarinya pun sedikit berbeda, ada orang bilang dia telah melebur semua jurus ilmu pedang yang dimiliki tujuh jago pedang kenamaan di dalam ilmu jarinya ..........."
"Cukup," mendadak Pek Jau-hui berseru.
So Bong-seng segera mengangguk.
Yo Bu-shia pun seketika berhenti membaca.
Sesudah membasahi bibirnya dengan air ludah, Pek Jau-hui baru bertanya, "Ada berapa orang dalam Kim-hong-si-yu-lau yang pernah membaca buku catatan itu?"
"Termasuk aku ada tiga orang!" jawab So Bong-seng tetap dingin, namun lamat-lamat terlihat jidatnya mulai dibasahi keringat.
"Bagus," Pek Jau-hui menarik napas panjang, "aku berharap tak akan ada orang keempat yang mendengarnya."
"Baik."
Tampaknya Pek Jau-hui merasa agak lega, dia segera menghembuskan napas panjang.
"Benar-benar mengerikan," bisik Ong Siau-sik, "baru saja kita berkenalan di tengah jalan, semua bahan dan keterangan tentang identitas kita sudah tercatat di dalam buku."
"Oleh sebab itu akulah yang diutus datang ke Po-pan-bun untuk melindungi pertemuan di loteng Sam-hap-lau, dan bukan Yo-congkoan," sambung Mo Pak-sin sambil tertawa.
"Kau keliru," tiba-tiba So Bong-seng berkata kepada Ong Siau-sik sambil tertawa.
"Aku salah bicara?"
"Bukan cuma dia, bahkan semua keterangan dan identitasmu pun sudah tercatat di dalam buku."
Ketika ia memberi tanda, Yo Bu-shia pun mulai membaca, "Ong Siau-sik, ahli waris Thian-gi Kisu. Menurut penyelidikan besar kemungkinan Thian-gi Kisu adalah ........ "
"Bagian yang ini jangan dibaca!" hampir serentak So Bong-seng, dan Ong Siau-sik berteriak.
Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya.
Setelah menghembuskan napas panjang, So Bong-seng berkata lagi, "Baca lebih lanjut!"
"Senjata andalan Ong Siau-sik adalah sebilah pedang. Gagang pedangnya bengkok setengah lingkaran bulan. Tak disangkal pedang itu pasti pedang sakti Wan-liu-kiam yang sejajar namanya dengan Golok Merah 'Ang-siu' milik So-kongcu, Golok Iblis 'Put-ing' milik Lui Sun serta pedang sakti 'Hiat-ho' milik Pui Ing-gan."
"Ah, rupanya pedang Wan-liu-kiam! Sangat sesuai dengan syairnya, 'Hiat-ho-ang-siu, Put-ing-wan-liu" (baju merah sungai darah, tidak sepantasnya ditahan)!" kata Pek Jau-hui sambil berseru tertahan.
Ong Siau-sik mengangkat bahu.
Setelah berhenti sejenak, Yo Bu-shia baru melanjutkan pembacaannya, "Ong Siau-sik sensitip dan penuh perasaan, sejak berusia tujuh tahun sudah mulai berpacaran, hingga usianya yang kedua puluh tiga, ia sudah lima belas kali putus cinta, setiap kali selalu dia sendiri yang mulai bercinta, tapi akhirnya hanya kesedihan dan kehampaan yang diperoleh."
"Waduuh ...." jerit Ong Siau-sik.
"Kenapa?" tanya Pek Jau-hui sambil menyengir mengejek.
"Masa urusan macam begini pun dicatat di buku? Aku ....... "
"Apa salahnya? Kau mulai berpacaran pada usia tujuh tahun, hingga usia dua puluh tiga tahun putus cinta sebanyak lima belas kali, berarti setiap tahun tak sampai satu kali, belum terhitung banyak."
"Tapi ....... ini ............."
Terdengar Yo Bu-shia membaca lagi, "Ong Siau-sik gemar berteman, ia tak pernah membedakan mana kaya mana miskin, suka mencampuri urusan orang, tapi bila berkelahi melawan orang yang tak pandai bersilat, ia tak pernah mengandalkan kungfunya untuk mencelakai lawan, maka ia pernah dihajar habis-habisan oleh tujuh orang bandit muda hingga mesti melarikan diri, kejadian ini ........"
"Tolong ............. tolong jangan dilanjutkan, boleh?" mendadak Ong Siau-sik berseru kepada So Bong-seng.
"Minta tolong apa?" tanya So Bong-seng sambil mengerling ke arahnya sekejap.
"Semua itu adalah urusan pribadiku, boleh tidak, jangan dilanjutkan pembacaannya?"
"Boleh."
Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya sambil memberi tanda, empat orang segera muncul, dua orang membawa kain pembungkus buku yang tebal dan dua orang berjaga-jaga di sampingnya, kemudian serentak mereka berjalan menuju ke loteng berwarna putih.
Apakah loteng berwarna putih itu merupakan tempat untuk menyimpan bahan serta catatan berharga, seperti halnya loteng penyimpan kitab dalam kuil Siau-lim-si?
Sambil tersenyum So Bong-seng menjelaskan, "Semua arsip catatanku merupakan hasil karya Yo Bu-shia, sebetulnya bahan mengenai kalian berdua masih belum cukup lengkap."
Tampaknya dia merasa amat bangga dan puas terhadap cara kerja anak buahnya ini.
"Aku mengerti sekarang," gumam Ong Siau-sik, "terhadap dua orang tak ternama macam kami pun kalian berhasil membuat catatan secermat itu, apalagi terhadap Lui Sun musuh tangguh kalian, bahan keterangannya tentu sudah teramat banyak."
"Lagi-lagi kau keliru besar."
"Keliru?" anak muda itu tertawa getir, "kelihatannya pikiranku memang agak terganggu hari ini, masa segalanya keliru?"
"Kami memiliki tujuh puluh tiga bundel catatan mengenai Lui Sun, tapi setelah diperiksa Yo Bushia, hanya sekitar empat bundel yang sedikit bisa dipercaya keterangannya, dari keempat bundel itupun masih terdapat banyak bahan yang mencurigakan, kemungkinan besar Lui Sun sengaja menyebarkan berita salah itu untuk mengelabui orang."
Kembali sorot mata kagum dan memuji memancar keluar dari mata So Bong-seng, terusnya, "Yo Bu-shia punya julukan Tong-siu-bu-khi (Bocah Ajaib Yang Sukar Dibohongi), ketajaman mata serta kemampuannya untuk menganalisa sesuatu mungkin masih jauh di bawah kemampuan Ti Hui-keng, tapi dalam ketelitiannya mengumpulkan bahan keterangan serta kesabarannya mencari keterangan jelas jauh di atas kemampuan Ti Hui-keng."
Yo Bu-shia sama sekali tidak sombong karena itu, tapi dia pun tidak merendah, hanya ujarnya lirih, "Kongcu, Su-tayhu sudah datang, luka di kakimu ......"
"Suruh dia menunggu sebentar," kata So Bong-seng. Tampaknya wibawa dan kekuasaan Locu Kim-hong-si-yu-lau ini bukan saja dapat mengundang tabib kerajaan untuk mengobati penyakitnya, bahkan bisa menyuruh tabib kenamaan itu menunggunya.
Dengan kening berkerut So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sewaktu di loteng Sam-hap-lau tadi, berulang kali Ti Hui-keng memanfaatkan kesempatan sewaktu menundukkan kepala untuk memeriksa luka di kakiku, jika dia menganggap ada kesempatan untuk digunakan, Lui Sun pasti sudah melompat turun dari atap rumah dan menantangku bertarung, sayang ketika dia memeriksa luka di kakiku, dijumpai lukanya tidak separah apa yang diinginkan, aaai ......... Wo Hu-cu dan Te Hoa telah menolong aku, tapi mereka ......"
Bicara sampai di sini, suaranya jadi sesenggukan, untuk sesaat tak mampu dilanjutkan lagi.
Tiba-tiba Ong Siau-sik menyela, "Toako, dari luka di kakimu sudah mengucur banyak darah, kau seharusnya istirahat sejenak."
"Ada satu hal, aku tak memberitahu kalian karena kalian berdua belum memanggil aku Toako, tapi sekarang, setelah kalian memanggilku begitu, aku pun perlu memberitahukan kepada kalian."
Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera pasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama.
"Pui Siau Hou-ya yang berbincang denganku tadi adalah orang yang menunjang Kim-hong-si-yulau selama ini, tapi orang ini tak boleh dipandang enteng, sebab setiap perkataannya cukup berbobot di kalangan pembesar kerajaan, kedudukannya dalam dunia persilatan pun sangat terhormat."
"Kenapa?" tanya Ong Siau-sik tak tahan.
"Alasannya kelewat banyak, salah satu di antaranya adalah dia mempunyai seorang ayah yang hebat."
"Jangan-jangan ayahnya adalah ....." Pek Jau-hui berseru tertahan.
So Bong-seng membenarkan.
"Siapa?" tanya Ong Siau-sik tak habis mengerti.
"Masa kau tidak memperhatikan apa yang dikatakan saudara Yo tadi, Pedang Sakti Sungai Darah berada di tangan Pui Ing-gan?"
"Jadi ayahnya adalah..."
"Betul, ayahnya adalah Pui Ing-gan, jagoan hebat yang sudah diakui sebagai pendekar besar dalam dunia persilatan sejak tiga puluh tahun lalu."
"Hmm, kalau sudah mempunyai ayah sehebat itu, yang jadi anaknya masih menguatirkan apa," jengek Pek Jau-hui ambil tertawa dingin.
"Pui Siau Hou-ya sendiri pun terhitung seorang lelaki berbakat yang sangat hebat. Ayahnya Pui Ing-gan tak berminat menjabat sebagai pembesar negara, untuk menghormati jasanya, pihak kerajaan menganugerahkan gelar Ongya atau raja muda kepadanya. Tapi selama ini dia anggap pangkat bagaikan sampah, dia lebih suka mengandalkan pedang berkelana ke empat penjuru. Akan tetapi Pui Ing-gan juga tahu, bila ingin berhasil dalam suatu pekerjaan besar, maka dia harus meminjam kekuatan pemerintah, maka Siau Hou-ya pun menjadi orang paling dekat dengan Baginda Raja. Padahal Pui Ing-gan sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti apa yang berhasil dicapai anaknya."
Pek Jau-hui berpikir sebentar, kemudian baru berkata, "Benar juga perkataanmu itu. Orang itu masih muda tapi berhasil mencapai jenjang karier yang luar biasa, manusia semacam ini memang tak boleh dipandang remeh."
"Ada satu hal kau belum pernah menyampaikan kepada kami," mendadak Ong Siau-sik menyela lagi.
"Oya?" So Bong-seng agak melengak.
"Bukankah tadi kau mengatakan akan menyerahkan sebuah tugas kepada kami?"
"Haah, benar," So Bong-seng tertawa, "sebetulnya bukan satu tugas, tapi dua tugas, seorang satu tugas."
"Tugas macam apakah itu?"
"Kau ingin tahu?"
"Sekarang kami sudah bersaudara, aku tak ingin menumpang makan secara gratis."
"Bagus. Menurut pandanganmu, mungkinkah Lui Sun akan membatalkan janjinya untuk bertemu pada pertemuan tiga hari mendatang?"
"Asal menguntungkan, Lui Sun pasti datang."
"Tapi akulah yang mengajukan tawaran untuk pertemuan ini."
"Bila posisi ini tidak menguntungkan bagi pihak Kim-hong-si-yu-lau, tak nanti kau ajukan penawaran semacam itu."
"Kalau memang tidak menguntungkan bagi pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menurut kau apa yang akan dilakukan Lui Sun?"
"Dia tak akan memenuhi undangan."
"Tapi dia adalah seorang jago tersohor, seorang pemimpin perkumpulan besar, mana mungkin dia tak hadir dalam pertemuan semacam ini?"
"Dia pasti akan berusaha mencari alasan, bahkan pasti akan memperketat penjagaan di sekelilingnya."
"Kali ini ucapanmu tepat sekali, salah satu alasan yang digunakan pasti menyangkut soal putrinya."
"Putrinya?"
"Satu bulan lagi putrinya akan menjadi biniku," kata So Bong-seng hambar, "aku percaya kalian pasti pernah mendengar tentang kawin perdamaian bukan?"
"Jadi kau setuju dengan perkawinan semacam ini?"
"Aku setuju."
"Dan kau bersedia?"
"Aku bersedia." So Bong-seng mengangguk, "sebetulnya perkawinan ini sudah dirembuk ayahku semenjak delapan belas tahun berselang."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Delapan belas tahun lalu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah menancapkan kaki di kotaraja, bahkan kian hari pengaruh perkumpulan ini makin meluas dan kuat. Waktu itu ayahku baru saja mendirikan Kim-hong-si-yu-lau, jangan lagi memperluas pengaruh, markas besar kami belum didirikan, waktu itu perkumpulan kami hanya sebuah organisasi kecil di bawah bayang-bayang perkumpulan Lak-hun poan-tong. Saat itulah Lui Sun sempat bertemu aku satu kali dan dia pun menetapkan tali perkawinan ini."
So Bong-seng menghela napas panjang, terusnya, "Dua puluh sembilan hari lagi adalah hari perkawinanku."
"Kau menyesal?" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin.
"Aku tak ingin menyesal."
"Bila kau kuatir menjadi bahan pembicaraan orang di kemudian hari, cari saja sebuah alasan untuk membatalkan perkawinan ini."
"Aku tak ingin membatalkan perkawinan ini."
"Kenapa?"
"Karena aku mencintainya!"
ooOOoo
Bersambung ke bagian 21
Golok Kelembutan: 01 | 02 | 03 | 04 | 05 | 06 | 07 | 08 | 09 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 |
0 comments:
Post a Comment